T inggim
ukaair c
m
T inggim
ukaair c
m
74 sungai Batang Berbak pada pasang tertinggi sampai surut terendah di Kuala Pelita paling
rendah pada musim kemarau 160 cm dan pada musim hujan 51 cm.
Gambar 26 Tinggi muka air pasang dan surut sungai Batanghari.
Gambar 27 Tinggi muka air pasang dan surut SK 16 Rantau Rasau II.
T inggim
ukaair c
m T
inggim ukaair
c m
75
Gambar 28 Tinggi muka air pasang dan surut pada lokasi 1 Parit 4 Rantau Rasau II.
Gambar 29 Tinggi muka air pasang dan surut pada saluran lokasi 2 SK 21 sungai Dusun
T inggim
ukaair c
m
76
Gambar 30 Tinggi muka air pasang dan surut lokasi 3 SK 12 Harapan Makmur. Sungai Batanghari memiliki selisih pasang tertinggi pada musim hujan dengan surut
terendah pada musim kemarau adalah sebesar 218 cm, SK 16 sebesar 116 cm , Lokasi 1 sebesar 78,07 cm, Lokasi 2
sebesar 94,55 cm dan lokasi 3 sebesar 113,41 cm. Selisih pasang tertinggi dan surut terendah secara berurutan dari tertinggi ke terendah adalah pada
sungai Batanghari , SK 16 , Lokasi 3 Harapan Makmur, Lokasi 2 sungai Dusun dan Lokasi 1 Rantau Rasau II SK 4. Adapun rata-rata selisih tinggi muka air harian antara pasang dan
surut yang paling rendah adalah Lokasi 2 sungai Dusun SK 21. Hal ini dapat dipahami bahwa lokasi 2 merupakan lokasi yang paling kecil dipengaruhi oleh air pasang
dibandingkan dengan lokasi lain. Jarak sungai Batanghari dengan Lokasi 2 mencapai 10,5 km sehingga air pasang tidak mencapai lokasi tersebut. Selain itu, Lokasi tersebut
merupakan daerah cekungan sehingga pada musim hujan air berlebih terutama pada bulan Januari dan Februari akan terakumulasi sehingga tergenang. Lokasi 3 lebih besar mendapat
pengaruh pasang dibandingkan dengan Lokasi 1 dan Lokasi 2 karena mendapat pengaruh air pasang dari FC 1 dan FC 0 dari sungai Batanghari.
Rata-rata selisih tinggi muka air harian antara pasang dan surut sungai Batanghari adalah 139,85 cm; Sk 16 sebesar 51,61 cm; Lokasi 1 sebesar 26,19 cm; Lokasi 3 sebesar
37,47 cm dan Lokasi 2 sebesar 15,61 cm. Secara sederhana angka tersebut menunjukkan bahwa semakin kecil rata-rata selisih tinggi muka air harian antara pasang dan surut
menunjukkan semakin kecilnya pengaruh air pasang terhadap lokasi tersebut.
VI . HUBUNGAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DENGAN KARAKTERI STI K TANAH DAN AI R TERHADAP PRODUKTI VI TAS
6.1. Pemikiran Reklamasi Lahan Pasang Surut Delta Berbak Jambi
Perubahan penggunaan lahan pasang surut di delta Berbak Jambi pada awalnya tidak lepas dari kebijakan pemerintah. Pemikiran pertama untuk
reklamasi lahan pasang surut dalam skala besar muncul dari pengalaman persawahan rawa pasang surut secara tradisional mulai dibangun di Kalimatan
Selatan oleh petani-petani Bugis dan Banjar, kemudian diikuti oleh pendatang dari Jawa dan Madura. Belajar dari pengalaman sambil jalan, petani menemukan cara
budi daya padi rawa pasang surut, yakni suatu cara becocok tanam padi yang disesuaikan dengan keadaan setempat Sastrosoedarjo dan Soemartono, 1979.
Salah satu daerah yang akan dikembangkan untuk usaha pertanian khususnya bagi objek transmigrasi terdapat di daerah pasang surut. Di antara
banyak daerah yang potensi salah satu diantaranya adalah Pantai Timur Jambi Delta Berbak. Melihat potensi yang baik dari hasil produksi dalam usaha
penyediaan padi beras bagi penduduk di Propinsi Jambi, daerah pasang surut memegang peranan yang sangat penting Tabel 15. Di sini terlihat bahwa 39,1
sampai 51,2 atau rata-rata 43 luas panen dan 36,2 sampai 49 atau rata-rata 43,6 produksi padi di Propinsi Jambi berasal dari daerah pasang surut
Sulaksono, 1979. Petani Bugis, Banjar dan Melayu yang ada di daerah Delta Berbak cukup arif membuka lahan pasang surut dengan cara tradisional. Parit atau
saluran yang dibuat tidak terlalu lebar, tidak terlalu dalam dan tidak saling menyambung satu sama lainnya. Mereka membuka lahan pasang surut dimulai
dari pinggir dekat dengan pantai seperti Nipah Panjang dan sungai Ular. Pemerintah membuka areal lahan pasang surut dalam skala luas dengan
melakukan reklamasi secara besar-besaran merubah penutupan lahan dari hutan menjadi perladangan sawah.
Pada tahun 1970 sudah mulai muncul permasalahan pembukaan lahan pasang surut diantaranya masalah air tanah, di mana sistem tata air yang dibuat
menyebabkan terjadinya pengeluaran air secara berlebihan over drain. Hal ini
membuat sebagian sawah seakan-akan berubah menjadi sawah tadah hujan, dimana turun naiknya pasang yang berada di bawah muka air tanah. Keadaan ini
78 akan mempercepat proses mineralisasi bahan organik tanah dan timbulnya pasir
semu pseudo sand yang bersifat irreversible sehingga menipisya lapisan gambut
dan pirit semakin dekat ke permukaan tanah. Tabel 15 Peranan daerah pasang surut terhadap produksi gabah kering di Propinsi
Jambi tahun 1969-1977.
Sumber : M. Sulaksono, staf Dinas Pertanian Rakyat Propinsi Jambi 1979.
Tanah-tanah di daerah pasang surut, termasuk tanah-tanah yang belum mengalami perkembangan. Selama proses pembentukannya sangat dipengaruhi
oleh kondisi jenuh air. Oleh sebab itu pada tanah yang masih ditutupi oleh bahan organik lokasi 1, lokasi 2 dan lokasi 3 ditemui ruang makro tanah yang besar,
sehingga hal ini mengakibatkan hantaran hidrolik cukup tinggi. Adapun kenyataan di lapang ditemukan adanya lubang bongkahan kayu yang melapuk dan
menjadikan lubang makro diameter 2 cm - 10 cm. Dalam hal ini selama periode pasang terutama pada pasang besar, air mudah masuk ke petak pertanaman
melalui saluran tersier yang dibuat petani namun air akan mudah hilang waktu surut walaupun pintu tersier air ditutup.
Air pasang di daerah Delta Berbak yang melalui tata saluran primer dan sekunder banyak yang tidak dapat melimpas ke areal sawah petani baik pada
musim penghujan maupun musim kemarau seperti pada areal yang relatif tinggi di Rantau Jaya, Rantau Rasau II dan Harapan Makmur. Areal yang terluapi air pasang
masih bertahan sebagai lahan sawah seperti di Rantau Makmur, Harapan Makmur No
tahun Luas Panen
Produksi Total
Pasang Surut Total
Pasang surut Ha
Ha ton
ton 1
1969 118,862
52,387 44.1
295,813 136,147 46.0
2 1970
119,842 51,077
42.6 318,209
136,529 42.9 3
1971 135,022
61,100 45.3
332,875 151,800 45.6
4 1972
110,369 43,100
39.1 287,967
121,425 42.2 5
1973 131,712
51,850 39.4
348,332 145,958 41.9
6 1974
133,712 57,593
43.1 352,837
156,162 44.3 7
1975 142,680
60,433 42.4
385,838 170,542 44.2
8 1976
136,414 54,594
40.0 350,924
127,036 36.2 9
1977 127,097
65,029 51.2
380,580 186,512 49.0
Rata-rata 128,412
55,240 43.0
339.264 43.6