Tanah Gambut ARDI ANSYAH

13 bahan organik serta tersedianya SO 4-2 dan besi. Bahan organik yang terdekomposisi dalam keadaan tergenang anaerob menciptakan kondisi tanah menjadi sangat reduktif atau tereduksi tinggi. Bahan organik merupakan sumber energi bagi bakteri pereduksi sulfat. Ion sulfat berperan sebagai penerima elektron hasil respirasi bakteri pereduksi sulfat sehingga tereduksi menjadi sulfida. Sulfida yang terbentuk bereaksi cepat dengan besi ferro atau ferri oksida membentuk besi sulfida. Jika pada lingkungan tersebut terdapat senyawa atau ion yang berperan sebagai oksidator seperti O 2 atau Fe +3 , sebagian sulfida dapat teroksidasi menjadi unsur S atau ion polisulfida. Selanjutnya unsur S atau ion polisulfida tersebut bereaksi dengan FeS membentuk pirit FeS2. Proses terbentuknya pirit yang dapat terukur memerlukan waktu yang cukup lama yaitu beberapa bulan atau beberapa tahun. Namun di daerah rawa pasang surut Tidal Salt Marsh, pembentukan pirit dapat berlangsung dalam waktu 48 jam Howarth 1979, diacu dalam Pons et al. 1982. Proses dekomposisi bahan organik menyebabkan kandungan oksigen sangat rendah sehingga mengaktifkan bakteri belerang anaerob obligat Desulfovibrio dan Desulfotomaculum genera untuk mempercepat dekomposisi dan memanfaatkan sejumlah sulfat dari air laut untuk proses respirasi yang akan menghasilkan kondisi reduktif dan menghasilkan sulfida. Sulfida terakumulasi dalam sedimen sebagai gas hidrogen sulfida atau dengan besi untuk membentuk besi sulfida tidak larut FeS. Kalpage 1974 dalam Golez 1995 menjelaskan reaksi pembentukan pirit sebagai berikut : SO 4-2 + 2CH 2 O 2H 2 CO 3 + H 2 S H 2 S + 2FeOH 3 2FeS + S + 6H 2 O Van Breemen 1979 menyatakan bahwa di bawah kondisi tertentu, unsur S dapat dihasilkan dalam jumlah besar oleh reaksi oksidasi kimia dan oksidasi mikroba dari hidrogen sulfida H 2 S. Unsur S dapat dihasilkan dari oksidasi ferro monosulfida FeS dan pirit FeS 2 tapi hanya pada konsentrasi sangat rendah. Perubahan besi monosulfida dengan reaksi kimia murni dengan unsur sulfur S dan selanjutnya ditransformasi menjadi pirit FeS 2 Berner, 1963 dalam Golez, 1995 FeS + S FeS 2 14

2.5. Reaksi Oksidasi-Reduksi pada Tanah Sulfat Masam

Reaksi oksidasi pirit memerlukan adanya O 2 dalam kondisi aerobic Dent, 1986. Adapun persamaannya sebagai berikut : FeS 2 + 154 O 2 + 72 H 2 O → FeOH 3 + 2SO 4-2 + 4H + Proses oksidasi FeS 2 secara kimiawi akan berlangsung lambat dan bila dibantu oleh bakteri pengoksidasi besi Thiobacillus ferrooxidans akan berlangsung lebih cepat. FeS 2 + Fe +3 + 8H 2 O → 2Fe +2 + 16H + + 2SO 4-2 Pada proses oksidasi pirit dengan Fe +3 akan berlangsung lebih cepat dari pada oksidasi pirit dengan O 2 , juga lebih cepat dibandingkan oksidasi pirit melalui Fe +2 menjadi Fe +3 . Pada proses reaksi inilah yang menyebabkan kemasaman lebih tinggi dengan melapaskan 16 H + dan melepaskan 2Fe +3 . Dalam proses oksidasi awal pirit terjadi perubahan pirit menjadi jarosit berwarna kuning dengan reaksi sebagai berikut : FeS 2 + 154 O 2 + 52 H 2 O + 13 K + → 13 KFe 3 SO 4 2 OH 6 + 43 SO 4-2 + 3 H + Kemasaman yang dihasilkannya dalam proses pembentukan jarosit adalah 3 mol H + . Kelarutan Fe +2 melebihi 500 mgl dan H 2 S melebihi 1 mgl akan meracuni tanaman, tetapi hal ini tidak bisa menjadi patokan, karena variasinya cukup besar tergantung pada varietas dan status hara tanah. Ion-ion berdifusi ke permukaan tanah atau terbawa oleh aliran air dalam pipa kapiler tanah ke permukaan. Ion Fe +2 yang berdifusi mengalami oksidasi ferri atau mengendap sebagai ferri oksida di permukaan tanah selama ada perbedaan konsentrasi air di permukaan tanah dan di dalam tanah. Persyaratan tidak adanya suplai oksigen dapat dipenuhi jika tanah jenuh air karena laju difusi gas yang sangat lambat di dalam air. Reduksi oksigen yang tersisa akan terjadi terlebih dahulu, diikuti oleh unsur-unsur lain. Unsur-unsur tersebut tereduksi menurut urutan termodinamika sebagai berikut : nitrat, senyawa mangan, senyawa besi ferri, senyawa antara perombakan bahan organik, sulfat dan sulfit. Pada keadaan tergenang nitrat menjadi tidak mantap dan mengalami denitrifikasi. Setelah semua nitrat terpakai, jasad renik anaerob mereduksi 15 senyawa Mn +4 menjadi Mn +2 tetapi senyawa mangan pada umumnya tidak terdapat terlalu banyak di dalam tanah sehingga peranannya kecil pada kebanyakan tanah. Setelah ion mangan tereduksi, ion Fe +3 direduksi menjadi Fe +2 , hal ini mungkin merupakan reaksi reduksi terpenting yang terjadi dalam tanah tergenang karena senyawa besi biasanya lebih banyak daripada nitrat, mangan ataupun sulfat. Beberapa asam organik seperti asam laktat dan asam pirivat direduksi menjadi alkohol, selanjutnya ion sulfat direduksi menjadi SO 3-2 dan S -2 Sanchez, 1976. Dengan penggenangan terus menerus menimbulkan rendahnya kandungan oksigen, tingginya kandungan CO 2 , banyaknya kandungan ferro dan mangano Ponnamperuma et. al. 1972. Ada beberapa perubahan kimia yang terjadi jika tanah tergenang adalah ; 1 reduksi besi dan mangan, 2 denitrifikasi, 3 akumulasi amonia, 4 peningkatan ketersediaan P dan Si, 5 produksi senyawa organik toksik dan 6 pelepasan NH 4+ , Na + , K + , Ca +2 , dan Mg +2 dari kompleks pertukaran ke larutan tanah.

2.6. Tata Air di Lahan Pasang Surut

Pada hakekatnya ada tiga macam program dalam pembangunan jaringan tata air dalam reklamasi rawa, yaitu 1 pembukaan atau pengembangan daerah baru, 2 peningkatan rehabilitasi, dan 3 operasi dan pemeliharaan. Dalam perjalanannya, prioritas program tersebut disesuaikan dengan lingkungan strategis yang mempengaruhi dari waktu ke waktu. Pada periode tahun 1969 sampai 1974, prioritas antara pembukaan lahan baru dan rehabilitasi tidak dibedakan secara tegas, sehingga keduanya dijalankan bersamaan Direktorat Rawa 1992. Acuan utamanya adalah bahwa dalam pengembangan lahan rawa diberlakukan teknologi sederhana dan biaya rendah. Salah satu infrastruktur yang penting di lahan pasang surut adalah pembangunan saluran tata air yaitu primer, sekunder, tersier, kwarter. Pembangunan ini ditujukan untuk mengelola air pada tingkat makro dan mikro. Ketepatan penggunaan masing-masing saluran tersebut dapat bervariasi disesuaikan dengan kebutuhan dengan keadaan setempat dan kenyataannya akan selalu mengalami penyesuaian dengan kondisi lingkungannya. 16 Dalam pengelolaan tata air pada tingkat makro meliputi suatu kawasan reklamasi yang bertujuan untuk mengelola fungsi jaringan irigasi atau drainase, kawasan retarder, sepadan sungai atau laut dan saluran intersepsi bila diperlukan serta kawasan tampung hujan. Adapun pengelolaan tata air pada tingkat mikro meliputi tata air pada tingkat petani. Berdasarkan penelitian Suwardi et. al. 2009 di delta Berbak, bahwa membuat saluran mikro di lahan sawah bertujuan untuk meningkatkan pengaruh pencucian dengan meningkatkan mobilitas air di lahan. Proses pencucian ini mencakup membuang air masam yang berbahaya. Sistem pengelolaan air mikro berfungsi untuk ; 1 mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman dan dengan demikian cukup air untuk penyerapan hara optimum, 2 mencegah pertumbuhan gulma, khususnya dalam budi daya sawah, 3 mencegah keadaan air dan tanah bersifat racun bagi tanaman melalui penggelontoran dan pencucian, 4 mengatur tinggi air di sawah dan tinggi air tanah dan 5 menjaga kualitas air di lahan dan di saluran. Pada kondisi kemarau intensif dan panjang seringkali bahan sulfidik teroksidasi menghasilkan bahan- bahan beracun. Pada keadaan demikian saluran-saluran dapat dibuat lebih dalam, yang lebih dalam dari daerah perakaran. Saluran demikian berguna untuk mencegah kontak antara air tanah, yang mengandung bahan beracun, yang mendekati permukaan tanah pada awal musim penghujan. Untuk membantu pencucian, hujan awal digunakan untuk mencuci bahan-bahan beracun ini. Pembukaan lahan secara besar-besaran memerlukan saluran-saluran besar, panjang, dan dalam, yang bisa jadi menyebabkan tidak memungkinkannya pengairan melalui pasang surut. Oleh karena itu pengairan seringkali tergantung pada air hujan. Dengan demikian, daerah-daerah tampung hujan hendaknya dibuat pada daerah-daerah lebih hulu dari daerah yang dibuka. Orang-orang Banjar secara tradisional selalu mempersiapkan daerah tampung hujan ini Sumawinata dan Mulyanto, 2000. Mereka mengupayakan agar tanah selalu lembab terutama pada tanah-tanah berpotensi sulfat masam. Agar air tidak begitu saja hilang dari lahan atau saluran dibuatlah sekat baik pada saluran primer maupun saluran sekunder. Tipe sekat ini memungkinkan kita dapat mengatur ketinggian air yang diinginkan tanpa perlu kita setiap saat mengontrol ketinggian air, dibandingkan dengan sistem di mana penutupan dari arah atas. Sistem stop-lock sama seperti