Birokrasi Era Otonomi Daerah

2.11 Kerangka Pikir Penelitian

“Industri” atau ‘bisnis’ pemekaran wilayah di masa reformasi terjadi juga disebabkan oleh faktor lemahnya Pemerintah Pusat dan sebaiknya menguatnya local power pasca Soeharto. Lemahnya Pemerintah Pusat dipandang dari kepentingan daerah adalah peluang untuk mengajukan tuntutan aspirasi atau melakukan ‘resistensi’ terhadap negara Ratnawati, 2009. Resistensi pada dasarnya perlu dilakukan untuk memperoleh kepatuhan. Namun, dalam memperoleh kepatuhan tersebut, sejumlah peneliti menemukan alasan yang berbeda-beda. Stanley Milgram 1974 dalam Kasali 2006 misalnya, menemukan bahwa manusia atau kelompok individu sesungguhnya dapat dimanipulasi untuk menumbuhkan kepatuhan. Milgram menaruh perhatian pada bagaimana Hitler memanipulasi para pengikutnya sehingga patuh terhadap dirinya dalam membinasakan kaum Yahudi di benua Eropa. Menurutnya, ada beberapa faktor yang membuat seseorang dapat dimanipulasi : adanya prakondisi yang sudah ditanamkan disosialisasikan pada kelompok yang akan diubah untuk menerima norma-norma otoritas, bila mematuhinya akan diberikan imbalan atau hukuman bila sebaliknya; ada persepsi yang kuat terhadap figur otoritas dan ada faktor pengikut :setuju persetujuan untuk berpartisipasi. Elit-elit lokal memanipulasi massa bergerak gerombolanmobs di daerah- daerah untuk menekan pemerintah pusat yang lemah. Sebagaimana dikemukan Ratnawati 2009, mobrokasi inilah yang tampaknya dikhawatirkan pemerintah pusat yang lemah itu karena dapat berdampak buruk pada stabilitas dan pembangunan citra yang sedang diupayakan. Seperti diketahui, SBY sangat menonjolkan politik pencitraan. Kemudian pusat yang tidak berdaya melakukan politik akomodasi atas tuntutan-tuntutan daerah, khususnya tuntutan pemekaran. Dengan dikabulkannya tuntutan pemekaran, maka daerah diharapkn dapat lebih ‘tenang’ stabil. Padahal ‘ketenangan’ di daerah yang terjadi pasca pemekaran bisa saja merupakan ‘ketenangan semu’ yang diindikasikan oleh banyaknya konflik atau permasalah akibat pemekaran. Adanya ketimpangan pembangunan daerah, adanya kesenjangan sosial-ekonomi antarwilayah, adanya ketidakpuasan masyarakat akan pemberian pelayanan oleh pemerintah daerah merupakan prakondisi yang dimanfaatkan oleh elit-elit lokal dan digunakan sebagainya pendorong pemekaran wilayah menjadi daerah otonomi baru. Pembentukan daerah otonomi baru, baik kabupatenkota atau propinsi memerlukan persyaratan administratif, teknis dan fisik kewilayahan sesuai dengan UU No. 322004 Pasal 5 ayat 1 dan PP 78 Tahun 2007. Persyaratan administrasi untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupatenkota dan bupatiwalikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat administratif untuk kabupatenkota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupatenkota dan bupatiwalikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri. Syarat teknis meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Syarat fisik meliputi paling sedikit lima kabupatenkota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan. Dengan berlakunya UU No. 221999 dengan PP 1292000, pemekaran wilayah menjadi daerah otonomi baru sepertinya tidak terkendali, terlihat dari banyaknya daerah otonomi baru yang pemekarannya didasarkan faktor politis, bukan karena untuk mensejahterakan masyarakat. Kemudian diubah dengan UU No. 322004 dengan PP No. 782007 persyaratan pembentukan daerah otonomi diperketat, walaupun begitu pemekaran terus berjalan hingga mencapai sebanyak 530 daerah otonom yang terdiri dari 33 provinsi, 398 kabupaten dan 98 kota. Dalam penelitian ini kabupaten pemekaran yang dianalisis sebanyak 114 kabupaten yang secara yuridis formal dibentuk berdasarkan peraturan yang ada dan merupakan hasil pemekaran pada kurun waktu tahun 1999 sampai 2003. Daerah hasil pemekaran sebanyak 114 kabupaten yang terjadi pada periode tahun 1999 sampai 2004. Pada tahun 1999, terbentuk sebanyak 34 kabupaten berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah. Tahun 2000, terbentuk tiga provinsi sedangkan kabupaten tidak ada. Tahun 2001 – 2004 terbentuk 80 kabupaten sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menyebutkan bahwa daerah otonom adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku. Daerah dibentuk dengan memperhatikan syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, pertahanan dan keamanan Nasional dan syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilitas politik dan kesatuan bangsa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab. Persyataran pembentukan daerah dimaksud tidak ada ketentuan tentang berapa jumlah kabupaten atau kecamatan yang dicakup oleh suatu provinsi maupun kabupaten. Ketentuan lainnya, apabila dipandang perlu sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya, dalam wilayah kabupaten dapat dibentuk Kota Administratif. Berdasarkan data rata-rata times series tahun 2005-2009 makro ekonomi : PDRBkapita, dan laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan ke 114 kabupaten pemekaran diketahui perkembangan kabupaten pemekaran. Kemudian dipilih secara acak sederhana, dan diperoleh tiga kabupaten pemekaran Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Rote Ndao, dan Kabupaten Mamasa. Selanjutnya, kesejahteraan masyarakat ditinjau dari pembangunan ekonomi di tiga kabupaten pemekaran meliputi pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto PDRB suatu daerah yang esensinya menggambarkan perekonomian suatu daerah yang menghasilkan barang dan jasa sebagai agregat dari konsumsi rumah tangga, investasi dan pengeluaran pemerintah net export. Pelayanan publik yang diberikan pemerintah daerah, apabila semakin memuaskan masyarakat maka pelayanan semakin baik. Penduduk miskin yang semakin rendah menunjukkan daerah yang bersangkut an semakin sejahtera. Yulistiani et al., 2007 menyatakan implikasinya, produktivitas suatu daerah sangat tergantung pada tinggi rendahnya output yang dihasilkan dalam suatu aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan faktor produksi yang terdiri dari capital dan labor sebagai komponen utama dalam perekonomian suatu daerah atau BPS, 2009 menulis PDRB merupakan penjumlahan nilai output bersih perekonomian yang ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi, di suatu wilayah tertentu satu tahun kalender. Kegiatan ekonomi yang dimaksud mulai kegiatan pertanian, pertambangan, industri pengolahan, sampai dengan jasa-jasa.