Kabupaten Rokan Hilir Kesejahteraan masyarakat ditinjau kondisi sosial kemasyarakatan di tiga kabupaten pemekaran
yang mencapai hampir tigapuluh ribu, maka jumlah pohon tertanam diperkirakan sudah mencapai tiga juta pohon.
Masyarakat kesadarannya tinggi akan lingkungan hidup yang baik, terbukti dengan budaya menanam dan memelihara pohon. Masyarakat juga ikut serta memelihara
‘embung-embung’ yang menjadi persediaan air mereka pada saat musim kemarau tiba. Keterlibatan masyarakat dalam menanam dan memelihara pohon-pohonan dan ‘embung’
akan meningkatkan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Kabupaten Rote Ndao. Program ini terus berjalan seiring waktu, yang akan menikmati selain masyarakat
pada saat sekarang, juga anak cucunya. Kawasan hutan di Kabupaten Rote Ndao perlu dilestarikan sesuai dengan
fungsinya sebagai hutan lindung, hutan produksi, hutan konversi, dan hutan mangrove. Penataan batas kawasan hutan perlu dilanjutkan, hal itu diperlukan untuk mempertegas
batas-batas kawasan. Program pembangunan “embung” dan wajib tanam dan memelihara 5 – 10 batang perlu dilestarikan, karena akan berdampak positif terhadap
lingkungan. Manfaat “embung” dapat langsung dirasakan masyarakat ketika musim kering tiba, sedangkan manfaat penanaman dan pemeliharaan pohon akan dirasakan
lima sampai sepuluh tahun kemudian, bahkan bisa lebih lama tegantung jenis pohon yang ditanam. Sebaiknya pohon yang ditanam adalah pohon yang dapat menyimpan air,
tahan terhadap kekeringan dan dengan laju evapotranspirasi yang rendah. Soemarwoto 1991 menulis, hutan mempunyai laju evapotranspirasi yang besar, hutan tidak tidak
menambah aliran air, melainkan menguranginya. Tetapi hutan menaikkan peresapan air ke dalam tanah sehingga memperbesar pengisian air simpanan. Mengingat hal tersebut,
reboisasi dan penghijauan mempunyai dua efek yang berlawanan, yaitu pada satu pihak mengurangi aliran air tetapi pada lain pihak menambah pengisian air simpanan.
Sehubungan dengan itu, reboisasi dan penghijauan haruslah dilakukan dengan hati-hati, terutama di daerah yang curah hujannya rendah atau musim kemaraunya panjang, agar
efek pertamanya tidak berlebihan sehingga tidak mengurangi air yang tersedia dalam aliran air. Hutan juga mengurangi terjadinya bahaya banjir, terutama banjir bandang.
Namun, adanya hutan yang cukup luas pun tidak meniadakan bahaya banjir. Dengan kondisi alamnya yang miskin sumberdaya alam dan beriklim kering
menjadikan masyarakat Rote Ndao ulet dan tangguh serta sederhana hidupnya. Masyarakat Rote Ndao, Sabu, dan masyarakat berbudaya lontar lainnya, dikategorikan
sebagai non-eating people, karena penduduk Rote Ndao, seperti juga Sabu, lebih banyak minum dibandingkan dengan makan. Kebiasaan ini terjadi karena tanaman pangan dan
ternak umumnya mati pada saat kemarau panjang Santoso, ed., 2005. Kebiasaan ini mulai berubah apabila dilihat pada saat ini banyak rumah makan, warung makan dan di
pasar banyak yang menjajakan makan. Kabupaten Rote Ndao yang terletak di ujung paling selatan di Indonesia, yang