personal maupun secara institusional. Akibatnya banyak sekali penyimpangan dalam pelaksanaan UU No. 221999 yang hampir semua daerah di seluruh Indonesia Piliang
ed., 2003. Akibat penambahan organisasi, maka organisasi jadi “gemuk” yang berakibat
membengkaknya anggaran untuk membayar gaji pegawai pembengkakan jumlah unit-unit pemerintahan dan jumlah pegawai daerah untuk mendapatkan budget yang
lebih besar dari Jakarta. Organisasi pemerintah daerah menjadi tidak efisien, karena belanja publik lebih sedikit dibandingkan belanja rutin. Sejalan dengan dinamika
masyarakat yang menuntut adanya pertanggungjawaban setiap kebijakan yang diambil pemerintah, maka pemerintah berkeinginan memperbaiki sistem penyelenggaraan
pemerintahan guna mewujudkan pemerintahan yang baik good governance yaitu “Reformasi Birokrasi” yang merupakan upaya pembaharuanperbaikan sistem
penyelenggaraan pemerintahan dalam aspek kelembagaan organisasi, ketatalaksanaan business process dan sumber daya aparatur. Sesuai dengan Peraturan
Menpan No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Reformasi Birokrasi, adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna
dalam tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Dalam pedoman tersebut rancangan aktivitas yang terkait dengan penataan Sumberdaya Manusia
adalah penataan sistem yang mencakup analisis jabatan, evaluasi jabatan dan remunerasi, asesmen kompetensi pegawai, membangun penilaian kinerja berbasis
kompetensi, seleksi dan pengadaan pegawai, pola perencanaan karir berbasis kompetensi, sistem pelatihan berbasis kompetensi dan data base kepegawaian
Kusumastuti, 2010.
2.8 Sosial Kemasyarakatan
Dari sejak lahir sampai meninggal dunia manusia perlu bantuan atau bekerjasama dengan orang lain. Dalam zaman yang makin maju maka pada
hakekatnya secara langsung atau tidak langsung manusia memerlukan hasil karya atau jasa-jasa orang banyak dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya mulai dari hal-hal
yang kecil sampai hal-hal yang besar. Dari kondisinya yang seperti inilah, maka demi kelangsungan dan untuk kesejahteraan hidupnya, manusia perlu mendapat bantuan
atau kerjasama dengan manusia lain dalam masyarakat. Tidak hanya dari segi badaniah saja, maka manusia harus ditolong dan harus bekerjasama dengan manusia
lain, akan tetapi sebagaimakhluk yang berperasaan, sebagai makhluk yang memiliki
emosi, manusia memerlukan tanggapan emosional dari orang lain. Rudito 2007 mengatakan, dalam kehidupan masyarakat, sistem sosial akan terus berjalan untuk
mengatur segala tingkah laku individu-individunya. Sistem sosial ini akan terus berkembang dan selalu berubah mengikuti perkembangan dari kehidupan
masyarakatnya dan ini dipengaruhi oleh lingkungan sosial lainnya. Tadjudin 2000 menulis, pada tahun 1940-1970 muncul aliran pemikiran yang
memandang konflik sebagai bagian dari hubungan antar manusia. Dalam pandangan ini, konflik dipandang sebagai hal yang alamiah yang muncul sebagai suatu dampak
yang tidak terelakkan dalam setiap hubungan antar manusia dalam suatu kelompok atau organisasi. Aliran pemikiran ini menerima kehadiran konflik, dan mengakui
bahwa konflik bisa bersifat fungsional. Pandangan tentang konflik paling mutakhir dimulai pada tahun 1970-an, yang dikenal sebagai aliran pemikiran interaksi. Aliran
pemikiran ini bukan sekedar menerima konflik, malahan memanfaatkannya untuk membangun suatu kelompok masyarakat yang lebih dinamik. Pandangan ini
menganggap, jika dalam suatu kelompok masyarakat tidak terdapat konflik, maka kelompok masyarakat itu akan menjadi statik, apatis, dan tidak responsif terhadap
perubahan dan inovasi. Konflik justru harus dikelola pada tingkatan optimum agar tercipta kondisi yang kondusif bagi pemberntukan suatu kelompok masyarakat yang
memiliki daya tahan, kritis, dan kreatif. Dengan adanya sistem sosial di masyarakat, maka prasangka sosial, anggapan,
stigma, diskriminasi yang terjadi dalam masyarakat dapat diredam dan dikendalikan sehingga tidak menjurus pada konflik yang berkepanjangan dan merugikan semua
pihak.
2.9 Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam di Era Otonomi Daerah
Undang-Undang Otonomi Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah undang-undang Pemda juga masih tidak menjamin
otonomi masyarakat daerah dalam pengelolaan SDA. Dalam soal koordinasi pengelolaan SDA, kekawatiran munculnya ketidakpaduan masih punya alasan.
Kekawatiran ini bukan hanya karena UU Pemda tidak tegas dalam soal itu tapi juga dikuatkan oleh pengalaman semenjak UU Otda efektif diberlakukan sejak 1 Januari
2001. Hingga UU Otda direvisi pada tahun 2004 telah dikeluarkan berbagai bentuk peraturan perundangan dan kebijakan yang menampilkan aura ego sektoral yang
berujung pada semakin kacaunya regulasi SDA. Eksesnya mudah untuk dilihat, yakni pengurasan dan pengrusakan terhadap sumberdaya hutan dan laut terus berlanjut tanpa
menunjukan tanda-tanda berkurang, apalagi berhenti. Sementara itu, struktur penguasaan atas sumberdaya alam tak juga berubah yang ditandai dengan minimnya
luasan hutan, pesisir dan laut yang dikuasai langsung oleh masyarakat setempat Steni, 2004.
Selanjutnya dikatakan, otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab mengganti kewenangan untuk mengatur dan mengurus diri sendiri menjadi otonomi
yang menjalankan amanat dan kekuasaan pusat di daerah. Kepala Daerah diangkat oleh pemerintah pusat dari sekian calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah DPRD tanpa terikat pada peringkat hasil pemilihan yang dilakukan DPRD. Kendali pusat ini juga berlaku terhadap pengelolaan sumber daya alam. Sebagai pulau
yang kaya dengan sumberdaya alam, semestinya masyarakat Orang Papua di Pulau Irian Jaya dan Orang Dayak di Kalimantan secara de facto maupun de jure berhak
penuh atas penguasaan dan pengelolaan atas sumberdaya alam. Namun, UU No. 5 Tahun 1974 justru mengingkari hak-hak penguasaan masyarakat tenurial rights lokal
atas sumberdaya alam. Sebaliknya, negara mendaulat 70 kawasan daratan menjadi kawasan hutan negara. Akibatnya, dalam soal pemberian izin pengusahaan
sumberdaya alam, masyarakat setempat benar-benar hanya sebagai penonton. Oleh UU No. 51974, otonomi daerah lebih dilihat sebagai kewajiban ketimbang hak.
Otonomi daerah adalah kewajiban daerah untuk ikut melancarkan jalannya pembangunan sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang harus
diterima dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Otonomi daerah dengan demikian bukan otonomi rakyat tetapi otonomi Negara yang diwakili oleh pusat.
Undang-undang ini secara sistematis didukung oleh berbagai peraturan organik yang mengkondisikan daerah sebagai penyedia tanah, pekarangan, kebun maupun rumah
tinggalnya pemerintah pusat Steni, 2004. Pengelolaan hutan di Indonesia semrawut tersebut, menyebabkan deforestasi
yang menyebabkan kerugian ekonomi dan lingkungan. Fauzi 2007 mengemukakan selama perjalanan pembangunan Indonesia historically, sumberdaya alam seperti
minyak, gas, hutan dan pertambangan telah menjadi pilar pembangunan ekonomi Indonesia. Periode orde baru merupakan periode di mana sumberdaya alam mengalami
ekstraksi yang luar biasa, namun non-convexity dari sumberdaya alam tersebut harus dibayar mahal sekarang. Deforestasi telah menyebabkan kerugian ekonomi dan
lingkungan yang sangat besar. Demikian juga praktek-praktek penambangan di masa lalu belum mengindahkan kaidah-kaidah sumberdaya alam. Bahkan belakangan
beberapa praktek masa lalu masih terbawa saat ini dan terbukti dengan bencana Lumpur Lapindo yang sampai saat ini telah menimbulkan kerugian ekonomi dan sosial
triliyunan rupiah. Hutan yang seharusnya dimanfaatkan-untuk kemaslahatan rakyat hanya
dinikmati segelintir orang. Penyebabnya, Departemen Kehutanan sebagai regulator dan daerah sebagai pemilik otoritas mempertahankan egonya masing-masing. Robert
Cardinal, anggota Komisi IV DPR, mengatakan selama ini pemerintah pusat dan pemda tidak kompak. Itu bisa dilihat dari sejumlah surat izin pengelolaan hutan yang
janggal lantaran masing-masing pihak merasa paling berhak mengeluarkan surat izin. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang cenderung eksploitatif
untuk mengejar pendapatan daerah, menyebabkan kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi yang sangat besar, maka Fauzi 2007 menawarkan pembangunan
berkelanjutan perlu dilengkapi dengan prinsip “satelit”nya yakni Evolutionable Development ED yang menggunakan elemen dasar sumberdaya alam dan lingkungan
di mana pembangunan sosial dan ekonomi bisa membaik jika sumberdaya alam dan lingkungan mampu menyuplai kebutuhan manusia secara lebih baik. Evolutionable
Development tidak dirancang untuk menggantikan konsep sustainable development, namun lebih kepada penekanan kembali Re-Emphasizing tentang sustainable
development.
2.10 Penelitian-penelitian sebelumnya
Studi tentang pemekaran atau pembangunan wilayah cukup banyak dilakukan, misalnya Indraprahasta 2009 “Strategi Pengembangan Wilayah di Era Otonomi
Daerah Studi Kasus : Kabupaten Bandung Barat” yang pada pokoknya meneliti tentang perlunya Kabupaten Bandung Barat sebagai daerah otonomi baru dalam
menghadapi tantangan internal dan eksternal perlu diimbangi dengan strategi pengembangan wilayah yang dapat menangkap reorientasi pengembangan wilayah
yang berbasis kewilayahan sehingga pemaknaan dan pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bandung Barat tidak kehilangan esensinya. Dengan demikian,
pengembangan wilayah tidak lagi diartikan sebagai pengembangan keseluruhan sektor secara sama rata, namn lebih mengarah pada bagaimana sektor-sektor apa yang
menjadi unggulan dan bagaimana keterkaitannya dengan aspek spasial, kelembagaan
dan isu-isu penting dalam pengembangan wilayah. Rosda Malia 2009 “Analisis Dampak Pemekaran Wilayah terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah Studi Kasus di