Ruang Lingkup Penelitian PENDAHULUAN
Tabel 6. Produksi Padi 2006 – 2010 Menurut Propinsi ton
No Propinsi
Tahun 2006
2007 2008
2009 2010
1. Nanggroe Aceh
1.350.748 1.533.369
1.402.287 1.556.858
1.582.468 2. Sumatera Utara
3.007.636 3.265.834
3.340.794 3.527.899
3.582.432 3.
Sumatera Barat 1.889.489
1.938.120 1.965.634
2.105.790 2.211.248
4. Riau
429.380 490.087
494.260 531.429
574.864 5.
Jambi 544.597
586.630 581.704
644.947 628.828
6. Sumatera Selatan
2.456.251 2.753.044
2.971.286 3,125.236
3.272.451 7.
Bengkulu 378.377
470.469 484.900
510.160 516.869
8 Lampung
2.129.914 2.308.404
2.341.075 2.673.844
2.807.791 9
Bangka Belitung 16.506
24.390 15.079
19.864 22.249
10 Riau Kepulauan 332
343 404
430 1.246
11. DKI Jakarta 6.197
8.002 8.352
11.013 11.164
12. Jawa Barat 9.418.572
9.914.019 10.111.069 11.322.681 11.737.683 13. Jawa Tengah
8.729.291 8.616.855
9.136.405 9.600.415 10.110.830
14. DI Yogyakarta 708.163
709.294 798.232
837.930 823.887
15. Jawa Timur 9.346.947
9.402.029 10.474.773 11.259.085 11.643.773 16. Banten
1.751.468 1.816.140
1.818.166 1.849.007
2.048.047 17. Bali
840.891 839.775
840.465 878.764
869.161 18. N. T. Barat
1.552.627 1.526.347
1.750.677 1.870.775
1.774.499 19. N. T. Timur
511.911 505.628
577.895 607.359
533.268 20. Kalimantan Barat
1.107.661 1.225.259
1.321.443 1.300.798
1.343.888 21. Kalimantan Tengah
491.712 562.473
522.732 578.761
648.872 22. Kalimantan Selatan
1.636.840 1.953.868
1.954.284 1.956.993
1.842.089 23. Kalimantan Timur
541.171 567.501
586.031 555.560
588.112 24. Sulawesi Utara
454.902 494.950
520.193 549.087
583.458 25. Sulawesi Tengah
739.777 857.508
985.418 953.396
931.379 26. Sulawesi Selatan
3.365.509 3.635.139
4.083.356 4.324.178
4.374.432 27. Sulawesi Tenggara
349.429 423.316
405.256 407.367
454.644 28. Gorontalo
192.583 200.421
237.873 256.934
253.563 29. Sulawesi Barat
301.616 312.676
343.221 310.706
362.900 30. Maluku
49.833 57.132
75.826 89.875
83.109 31. Maluku Utara
59.215 48.531
51.559 46.253
55.401 32. Papua
68.319 28.204
39.537 36.985
34.254 33. Irian Jaya Barat
27.073 81.678
85.699 98.511
102.610 Indonesia
54.454.937 57.157.435 60.325.925 64.398.890 66.411.469
Deptan, 2011
b
Sejak tahun 2005 sampai 2009, tiga propinsi yang paling banyak menghasilkan produksi beras nasional berturut-turut adalah Jawa Barat, Jawa
Timur dan Jawa Tengah walaupun pada tahun 2008 dan tahun 2009, jumlah produksi beras dari propinsi Jawa Timur sudah melampaui jumlah produksi beras
dari propinsi Jawa barat.
Dalam hal pengadaan beras nasional, Badan Urusan Logistik BULOG telah membuat standar pembelian beras dalam enam jenis mutu yaitu BG I dan
BG II dengan mutu masing-masing A, B dan C. BG I adalah beras giling dengan derajat sosoh 11, sedangkan BG II adalah beras giling dengan derajat sosoh 34.
Mutu A, B dan C masing-masing menunjukkan persentase maksimum beras patah Winarno, 2004. Pada tahun 1999 terbit SNI No. 01-6128-1999 tentang
standar mutu beras giling yang meliputi definisi, istilah, klasifikasi, syarat mutu, cara pengambilan contoh, cara uji, penandaan, pengemasan dan rekomendasi.
Beras giling digolongkan ke dalam lima kelas mutu yaitu I, II, III, IV dan V yang dinyatakan dengan persyaratan umum bebas hama dan penyakit, bebas bau apek,
asam atau bau asing lainnya, bebas dari campuran bekatul dan bebas dari tanda- tanda adanya bahan kimia yang membahayakan, sedangkan persyaratan
khususnya dapat dilihat pada Tabel 7 berikut : Tabel 7. Persyaratan Khusus Mutu Beras SNI 01-6128-1999
No Komponen Mutu
MUTU Satuan
I II
III IV
V 1
Derajat Sosoh min 100
100 100
95 85 2
Kadar Air maks 14
14 14
14 15
3 Beras kepala min
100 95
84 73 60
4 Butir utuh min
60 50
40 35
35 5
Butir patah maks 5
15 25
35 6
Butir menir maks 1
2 5
7 Butir merah maks
1 3
3 8
Butir kuningrusak maks 1
3 5
9 Butir mengapur maks
1 3
5 10
Benda asing maks 0 0.02 0.05 0.2
11 Butir gabah maks
Btr100 gr 1
2 3
12 Campuran varietas lain maks
5 5
5 10
10
Winarno, 2004
Sentra Agribisnis Perberasan SAP, adalah suatu gagasan yang mengemuka dari BULOG yang diharapkan dapat mengatasi berbagai
permasalahan seperti pola rantai distribusi gabah dan beras yang masih lemah, mutu beras yang cenderung lebih rendah dari mutu beras impor dan tingkat harga
beras yang cenderung fluktuatif. SAP juga diharapkan mampu memperbaiki
kondisi ketahanan pangan yaitu mampu menyediakan tingkat produksi beras dalam upaya memenuhi jumlah konsumsi dan persediaan akhir Gumbira-Said
dan Dewi, 2004. Selanjutnya menurut Gumbira-Said dan Dewi 2004, untuk mengoptimalkan SAP diperlukan usaha integrasi atau keterkaitan antara fungsi
pengolahan dan penanganan gabah beras di lini off-farm serta penyediaan bibit, pupuk, alat mesin dan pestisida di lini on-farm dengan fungsi kegiatan pemasaran
future trading, standarisasi dan sertifikasi serta pemanfaatan limbah terpadu. Keterkaitan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Keterkaitan Kegiatan Yang Perlu Dibangun Untuk Pengembangan SAP di Indonesia Gumbira-Said dan Dewi, 2004.
Selain itu, menurut Gumbira-Said dan Dewi 2004, dalam pengembangan SAP diperlukan juga integrasi antara unit-unit penggilingan padi dengan industri
pengguna lainnya seperti dengan unit penyedia faktor produksi, industri pangan, industri pengguna limbah, penyedia jasa logistik, bank serta asuransi. Dengan
demikian SAP tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh para petani dan kelompok tani. Ilustrasi integrasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.