Kondisi Perberasan Nasional TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profil Beras Sebagai Komoditas Strategis

Secara umum, pola distribusi perdagangan beras dari lima belas provinsi dapat dilihat pada Gambar 5. Pola distribusi perdagangan beras pada lima belas provinsi tersebut dimulai dari produsen beras kemudian didistribusikan ke eksportir, distributor, agen, grosir, supermarket, pengecer, konsumen akhir rumah tangga, rumah sakit pemerintah, panti asuhan dan panti sosial, industri pengolahan industri makanan seperti kue-kue basah, ketupat, krupuk dan industri tepung beras, serta didistribusikan kepada kegiatan usaha lain seperti rumah makan, hotel, restoran dan katering Badan Pusat Statistik, 2009. Gambar 5. Pola Distribusi Perdagangan Beras Pada 15 provinsi Badan Pusat Statistik, 2009 Menurut Perdana 2008, sistem rantai pasokan industri perberasan merupakan suatu siklus tertutup yang terdiri atas umpan balik aliran material berupa gabah, beras, uang dan aliran informasi berupa permintaan yang terjadi pada interaksi pelaku dari mulai petani, pedagang gabah, penggilingan beras RMU, pedagang beras di sentra produksi sampai dengan pedagang beras di pasar induk perkotaan. Setiap aliran material dan informasi yang terjadi merupakan hasil keputusan yang dilakukan oleh setiap pelaku rantai pasokan industri perberasan.

2.4 Kondisi Perberasan di Provinsi DKI Jakarta

Menurut Rusastra et al. 2004, secara umum petani dari tujuh kabupaten di Indonesia yaitu kabupaten Indramayu, Majalengka, Klaten, Kediri, Agam, Sidrap dan Ngawi menjual gabahnya melalui pedagang pengumpul, penggilingan padi dan Koperasi Unit Desa KUD, sedangkan beras yang dihasilkan selanjutnya dijual melalui pedagang besar, pasar propinsi dan Depot Logistik DOLOG. Sebagian jalur pemasaran beras dari tujuh kabupaten pemasok yang memasuki pasar konsumen DKI Jakarta ada yang masuk langsung menuju ke kios pengecer dan konsumen, misalnya dari kabupaten Agam, Sidrap dan Ngawi, sedangkan dari kabupaten Indramayu, Majalengka, Klaten dan Kediri, beras dipasarkan ke konsumen terlebih dahulu melalui pasar induk beras Cipinang PIBC. Ilustrasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Distribusi Beras Dari Tujuh Kabupaten Ke DKI Jakarta. Rusastra et al., 2004 Menurut Badan Pusat Statistik 2009, pengadaan beras untuk DKI Jakarta, baik di tingkat distributor maupun pedagang pengumpul berasal dari produsen yang berada di provinsi lain, sedangkan importir mendapat pasokan dari importir langsung. Proses penjualan beras untuk wilayah DKI Jakarta memiliki pola distribusi perdagangan yang cukup panjang dari tingkat distributor sampai dengan pedagang eceran. Sebagian besar distribusi beras di tingkat distributor dijual ke pedagang grosir 49,48, kemudian ke agen 24,82, ke pedagang eceran 17,19, ke sub distributor 6,30, ke supermarket 1,62, ke konsumen akhir 0,57, dan sebagian kecil ke kegiatan usaha lainnya 0,02. Menurut pimpinan Dewan Pimpinan Pusat Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia DPP Perpadi DKI Jakarta, impor beras yang terjadi pada tahun 2009 adalah impor beras ketan dan beras kelas premium yang dilakukan oleh pihak swasta yang ditentukan oleh Kementerian Pertanian untuk kuota impor beras khusus sebesar 80 ribu ton. Beras tersebut berasal dari Vietnam, Thailand dan India. Tahun 2010 sendiri, terdapat angka impor beras sebesar 600 ribu ton yang dilakukan oleh BULOG dari Vietnam untuk cadangan beras nasional sebagai tindak lanjut kontrak pemerintah Indonesia dengan pemerintah Vietnam sebelumnya. Dengan demikian, pada saluran distribusi perberasan di provinsi DKI Jakarta, terdapat unsur beras yang masuk dari luar negeri melalui mekanisme impor. Pola saluran distribusi beras di DKI Jakarta tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Pola Distribusi Beras di DKI Jakarta Badan Pusat Statistik, 2009 Pasokan beras yang masuk ke PIBC terutama berasal dari berbagai daerah seperti dari Banten, Cianjur, Karawang, Bandung, Cirebon, Jawa Tengah dan dari Jawa Timur. Berdasarkan data dari PIBC yang dapat dilihat pada Lampiran 1.1 sampai dengan Lampiran 1.5, untuk tahun 2005, beras sebanyak 80,8 dipasok dari tiga daerah yaitu dari Karawang, Cirebon dan Bandung, sedangkan 19,2 dipasok dari Jawa Tengah, Jawa Timur dan dari luar pulau Jawa. Dari daerah yang sama untuk tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009, berturut-turut beras yang dipasok ke PIBC adalah 74,73, 70, 89, 69,19 dan 78,61 . Untuk tahun 2009, ilustrasi pasokan beras menuju PIBC dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Pola Distribusi Beras Dari Luar DKI Jakarta ke PIBC PIBC 2009 Pasokan beras yang ke luar dari PIBC, didistribusikan ke berbagai daerah yaitu ke wilayah DKI Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan antar pulau. Berdasarkan data PIBC, untuk tahun 2005 beras sebanyak 65,98 didistribusikan ke sejumlah pasar di DKI Jakarta, sebanyak 16,21 beras didistribusikan menuju antar pulau, sebanyak 14,91 beras didistribusikan menuju Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, sedangkan sisanya sekitar 2,9 didistribusikan ke Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Secara lebih rinci, dari tahun 2005 sampai dengan 2009, persentase beras yang didistribusikan dari PIBC ke luar PIBC dapat dilihat pada Tabel 8. Sejak tahun 2008, beras dari PIBC juga didistribusikan ke Propinsi Banten. Ilustrasi distribusi beras dari PIBC ke luar PIBC tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 9. Tabel 8. Distribusi Beras Dari PIBC ke luar PIBC, 2005 – 2009 Wilayah Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 DKI Jakarta 65,98 66,48 74,43 65,27 58,32 Antar Pulau 16,21 17,49 10,01 15,60 23,43 Bodetabek 14,91 13,86 13,41 17,27 16,03 Jabar, Jateng, Jatim 2,89 2,18 2,16 1,86 2,22 Diolah dari Data FSTJ 2005 – 2009 Gambar 9. Pola Distribusi Beras Dari PIBC ke Luar DKI Jakarta PIBC, 2009

2.5 Manajemen Logistik

Logistik secara praktis sudah dimanfaatkan oleh pihak militer yang harus mendesak kekuatan negara wilayah tetangganya. Sebagaimana tercatat pada tahun 700 sebelum masehi, pasukan Assiria telah memiliki banyak peralatan perang yang terbuat dari besi, baju baja serta kereta pertempuran. Pasukan Assiria mengelola peralatan tersebut dengan baik dan menyediakannya dalam pertempuran di berbagai medan tempur seperti di gurun dan pegunungan Karoo, 2011. Menurut La Londe 1994, istilah logistique sudah dikenal pada jaman Napoleon Bonaparte. Istilah tersebut diberikan kepada perwira pembagi pasukan dan kepada petugas yang mencari dan mengumpulkan makanan untuk kuda dan binatang ternak. Lebih lanjut La Londe 1994 menyatakan bahwa pada tahun 1920`an, istilah distribusi fisik dipergunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian bagaimana mengelola aliran barang yang dapat menurunkan biaya serta untuk meningkatkan pelayanan. Pada tahun 1948, The American Marketing Association AMA mendefinisikan manajemen distribusi fisik sebagai pergerakan dan penanganan barang dari titik produksi ke titik konsumsi. Pendekatan ke arah manajemen logistik terpadu, dimulai dari pendekatan pertama yaitu pendekatan distribusi fisik yang memfokuskan pengelolaan pada aliran barang jadi ke luar. Pendekatan ke dua adalah pendekatan manajemen material yang lebih fokus pada aktivitas pembelian, penerimaan, penanganan material, perencanaan produksi dan pengendalian persediaan. Pendekatan ke tiga adalah pendekatan logistik bisnis business logistics yang mencakup dua pendekatan sebelumnya yaitu gabungan dari manajemen material dan distribusi fisik La Londe, 1994. Selanjutnya La Londe 1994 juga menyatakan bahwa evolusi manajemen logistik terpadu didasari oleh persediaan. Secara umum, persediaan dalam suatu perusahaan sebanyak 30 terdapat pada putaran pengadaan procurement loop, 30 terdapat pada putaran operasional operation loop dan 40 terdapat pada putaran distribusi fisik. Ilustrasinya dapat dilihat pada Gambar 10. Gambar 10. Evolusi Manajemen Logistik Terpadu La Londe, 1994 Sementara itu Johnson 1996 merinci hal-hal yang terkait dengan perpindahan atau pengadaan barang dari para pemasok ke perusahaan yang disebut dengan logistik masuk inbound logistics, pergerakan barang di dalam satu perusahaan disebut dengan manajemen material dan pemindahan barang jadi dari suatu perusahaan sampai kepada pelangan disebut dengan distribusi fisik. Johnson 1996 juga mendefinisikan logistik sebagai keseluruhan proses bahan dan barang materials and products mulai masuk, melalui dan keluar dari perusahaan. National Council of Physical Distribution Management NCPDM yang berubah nama menjadi Council of Logistic Management CLM dalam Blanchard 1998, mendefinisikan logistik sebagai proses perencanaan, penerapan, pengendalian aliran dan penyimpanan bahan baku, persediaan dalam proses, barang jadi dan informasi terkait secara efisien dengan biaya efektif cost- effective dimulai dari titik awal sampai dengan titik pengguna atau titik konsumsi dengan tujuan memberikan kepuasan kepada pelanggan. Menurut Council of Supply Chain Management Professional CSCMP, logistik didefinisikan sebagai bagian dari rantai pasokan yang merencanakan, menerapkan dan mengendalikan aliran maju dan balik forward and reverse flow secara efektif dan efisien dalam hal barang, jasa dan informasi antara titik awal dan titik konsumsi dengan tujuan memenuhi kebutuhan pelanggan CSCMP, 2011. Stock 2001 memperlihatkan hubungan antara input , proses dan output logistik. Input yang memasuki sistem logistik dapat berupa sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya finansial dan sumber daya informasi. Proses logistik dimulai dari perencanaan, penerapan dan pengendalian. Ketiga proses ini didukung oleh berbagai kegiatan seperti layanan pelanggan, prakiraan kebutuhan, pengadaan, pergudangan dan distribusi serta transportasi. Sementara output dari sistem logistik tersebut ditujukan supaya sistem dapat berorientasi pada pasar, memiliki utilitas tempat dan waktu serta bersifat cepat tanggap terhadap pelanggan. Ilustrasi konsep tersebut dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11. Sistem Logistik Secara Komprehensif Stock, 2001. Rutner 2007 memberikan gambaran keterpaduan antara manajemen material dan distribusi fisik secara lebih menyeluruh yang mencerminkan bisnis logistik. Mulai dari bahan baku, penyimpanan, proses manufaktur, distribusi dan transportasi barang jadi hingga ke pasar. Ilustrasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 12. Gambar 12. Integrasi Manajemen Material dan Distribusi Fisik Rutner, 2007. Menurut Rutner 2007, evolusi logistik dimulai dengan fase fragmentasi pada tahun 1960`an kemudian fase fragmentasi tersebut mengerucut menjadi tiga