62 Selain persoalan ekonomi, orang ketiga, dan
konsumsi minuman keras, dalam kultur masyarakat NTT, budaya patriarki, budaya mahar atau belis, dan
persoalan keturunan dapat menjadi penyebab KDRT Rumah Perempuan, 2012.
4.1.2 Gambaran Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kab. TTS
Permasalahan kekerasan di Kab. TTS telah menjadi permasalahan yang dihadapi dalam kurun
waktu yang lama. Kekerasan terhadap perempuan dan anak
cenderung meningkat
setiap tahunnya.
Indikasinya, banyak
korban melaporkan
kasus kekerasan yang dialami kepada Unit Perlindungan
Perempuan Dan Anak PPA Polres, Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan
Dan Anak
P2TP2A, Rumah Aman Pemerintah Shelter Kab. TTS, serta kepada SSP Kab. TTS.
Jumlah kasus kekerasan yang dilaporkan sejak tahun 2009-2011 mengalami peningkatan. Dalam hal
yang sama, jumlah pendampingan yang dilakukan oleh SSP terhadap kasus kekerasan di Kab. TTS sejak tahun
2007-2011 juga mengalami peningkatan Gambar 4.4.
63 Walaupun demikian, jumlah kasus yang dilaporkan ke
lembaga pemerintahan lebih sedikit dibanding dengan jumlah pendampingan yang dilakukan oleh SSP. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat lebih memilih untuk melaporkan masalah kekerasan yang dialami kepada
SSP untuk mendapatkan pendampingan dibanding melapor ke lembaga pemerintah. Pendampingan yang
dilakukan oleh SSP berupa pemberian pelayanan kepada korban secara terpadu dan prima yang
didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan kebutuhan korban.
Sumber data: Bagian Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Kab. TTS dan SSP Kab. TTS
Gambar 4.4 Jumlah Kasus Kekerasan Di Kab. TTS Di Kab. TTS, menurut data dari Bagian
Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Kab. TTS, ciri- ciri pelaku kekerasan pada tahun 2011 yakni pelaku
64 paling banyak berjenis kelamin laki-laki, usia pelaku 25
tahun ke atas, pendidikan terakhir SLTA, memiliki pekerjaan dan hubungan dengan korban yaitu
suamiistri. Sedangkan ciri-ciri korban kekerasan di Kab. TTS didominasi oleh wanita dengan kisaran umur
0-25 tahun ke atas, pendidikan terakhir SD, tidak memiliki pekerjaan dan status perkawinan belum kawin.
Ciri-ciri pelaku dan korban korban kekerasan di Kab.
TTS secara jelas dapat dilihat pada lampiran 7.
Jenis kekerasan yang terjadi di Kab. TTS pada tahun 2011
sesuai dengan data dari
Bagian Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Kab.
TTS meliputi kekerasan fisik sebanyak 49 kasus, kekerasan psikis 6 kasus, kekerasan seksual 45 kasus,
eksploitasi 2 kasus, penelantaran 6 kasus dan kasus- kasus lainnya sebanyak 7 kasus sehingga total
kekerasan yang terjadi di tahun 2011 sebanyak 115 kasus. Gambar 4.5 menunjukkan bahwa pada tahun
2011, dua kekerasan yang menonjol di Kab. TTS yakni kekerasan fisik dan kekerasan seksual.
65
Sumber data: Polres, Shelter dan P2TP2A, diolah oleh Bagian Pemberdayaan Perempuan Setda Kab. TTS
Gambar 4.5 Jenis Kasus Kekerasan Tahun 2011 di Kab. TTS
Sementara itu, jenis kasus kekerasan yang mendapatkan pendampingan dan pelayanan dari SSP
Kab. TTS yaitu KDRT sebanyak 41 kasus, penganiyaan 23 kasus, ingkar janji menikah 18 kasus, percabulan 13
kasus, traffickingperdagangan
orang 10
kasus, perkosaan 4 kasus, perbuatan tidak menyenangkan 3
kasus, pencemaran nama baik 2 kasus, orang hilang 2 kasus, percobaan perkosaan 1 kasus dan pelecehan
seksual 1 kasus. Gambar 4.6 menunjukkan bahwa pada tahun 2011, dua jenis kekerasan yang paling banyak
dilaporkan dan mendapatkan pendampingan dari SSP yaitu KDRT 44 dan penganiayaan 29 .
66
Sumber data: Sanggar Suara Perempuan Kab. TTS
Gambar 4.6 Data Kasus Dampingan Langsung Sanggar Suara Perempuan Periode Januari -
Desember 2011
Berdasarkan hasil wawancara dengan Sarci Maukari staf SSP, faktor yang melatarbelakangi
terjadinya kekerasan di Kab TTS yakni faktor ekonomi pengangguran, peningkatan kebutuhan keluarga,
perselingkuhan, konsumsi minuman keras, kurangnya komunikasi antar anggota keluarga dan faktor budaya
masyarakat seperti mahar atau belis dan budaya patriarki.
Masyarakat Kab. TTS yang didominasi oleh suku Timor sebagai penduduk asli, memiliki corak
patriakal dalam kehidupan sehari-hari. Ada pembagian peran yang jelas antara laki-laki dan perempuan.
Budaya Timor mengenal istilah “lasi nak atoni” yang secara harafiah mempunyai arti laki-laki adalah kepala
semua urusan. Laki-laki mempunyai wewenang untuk
67 berbicara
dalam suatu
pertemuan, sedangkan
perempuan harus “tahu diri” untuk tidak berbicara dan tugasnya ialah menyediakan makanan dan minuman
bagi kaum laki-laki. Berbicara tentang tentang perempuan dalam
budaya Timor, tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan dibatasi ruang geraknya. Ia hanya diberi peran dalam
sektor domestik yakni urusan anak, rumah dan dapur. Perempuan dipandang sebagai masyarakat kelas dua
yang posisinya jauh di dibawah laki-laki. Dalam budaya Timor, perempuan tidak memiliki
hak suara dalam proses penentuan pernikahan anak, perempuan Timor tidak dapat ambil bagian dalam
memimpin ritual-ritual budaya di Timor. Hal ini terlihat jelas dalam sebutan untuk perempuan bife dan laki-
laki atoni. Secara harafiah bife berasal dari kata bi = sapaan untuk dia perempuan dan fe = memberi, hal ini
berarti perempuan memberi semua. Sementara itu, atoni berasal dari kata a = dia yang dan toni =
menjawab, hal ini berarti laki-laki adalah orang yang memberi
jawab. Penyebutan
atoni dan
bife dimaksudkan agar perempuan hanya memberi dan laki-
laki memiliki andil dalam kepemimpinan. Perempuan sering kali tidak memiliki hak yang
sama dengan laki-laki baik dalam keluarga, masyarakat dan juga gereja. Hal ini mengakibatkan kesetaraan
jender yaitu tatanan nilai sosial budaya masyarakat yang pada umumnya mengutamakan laki-laki yang
memiliki kekuasaan daripada perempuan. Perbedaan biologis atau seks memposisikan perempuan sebagai
68 kaum yang lemah secara jasmani dan laki-laki sebagai
yang kuat. Budaya ini membuat perempuan selalu dinomorduakan, berada dibawah laki-laki, tidak memiliki
hak seperti laki-laki, dan lain-lain Nayoan, 2012. Pernyataan ini menunjukkan bahwa dalam
budaya Timor, laki-laki mempunyai posisi yang lebih tinggi dari perempuan, memiliki kekuasaan sebagai
pemimpin dan berhak atas segalanya termasuk berhak atas perempuan. Hal ini menjadikan laki-laki dapat
melakukan apa saja terhadap perempuan seperti memerintah untuk dilayani bahkan melakukan tindak
kekerasan terhadap perempuan.
4.1.3 Gambaran Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Ibu Hamil di Kab. TTS