Bila dilihat perbandingan belanja rutin dan pembangunan, terlihat bahwa hampir diseluruh pulau belanja rutin lebih mendominasi dibandingkan belanja
pembangunan. Bila dilihat perbandingan antar pulau, maka Pulau Kalimantan memiliki pengeluaran pembangunan terbesar dibandingkan pulau lainnya. Daerah
yang memiliki potensi SDA yang banyak, relatif banyak mengalokasikan belanja daerahnya untuk belanja pembangunan dibandingkan untuk belanja rutin, seperti
Pulau Kalimantan yang pada umumnya daerahnya relatif kaya akan sumber daya alam, distribusi belanja daerahnya banyak dialokasikan untuk belanja
pembangunan. Pembangunan daerah diharapkan dapat memperbaiki fasilitas publik, selain untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat juga ditujukan untuk
meningkatkan daya tarik investasi di daerah tersebut, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah.
4.3 Pertumbuhan Ekonomi
Jika kita tinjau perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia terlihat cukup fluktuatif. Pada era sebelum desentralisasi, sejak tahun 1986 sampai tahun
1996 pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil antara 7 sampai 10 Usman. Pada medio 1997 pondasi perekonomian Indonesia yang sudah
terbangun sekian lama mengalami guncangan hebat, krisis ekonomi yang di awali krisis moneter telah meluluh lantakkan perekonomian Indonesia. Dari
pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengalami kontraksi dan melonjak turun hingga mencapai angka 4.7 pada tahun 1997, kemudian merosot tajam menjadi
sekitar minus 13.2 pada tahun 1998. Kondisi perekonomian seperti diatas dialami hampir di semua wilayah di Indonesia.
Secara perlahan, Indonesia mulai bangkit dari keterpurukan, pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali ke tingkat pertumbuhan positif
sebesar 0.79 dan terus meningkat lagi pada tahun selanjutnya. Pada periode 1996-2000 rata-rata pertumbuhan ekonomi tercatat sekitar 2.55. Selanjutnya
pada periode 2001-2009 angka pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata mencapai 4.76.
Selain perkembangan pertumbuhan secara nasional dapat dilihat pula perkembangan pertumbuhan ekonomi pada masing-masing provinsi, sehingga
distribusi pertumbuhan ekonomi masing-masing provinsi dapat tergambarkan. Jika pertumbuhan ekonomi terdistribusi secara merata dalam arti bahwa
pertumbuhan ekonomi satu provinsi relatif tidak berbeda dengan provinsi lainnya maka hal ini dapat memberikan indikasi bahwa kebijakan desentralisasi berpotensi
memiliki dampak positif. Hal ini dikarenakan tujuan dari desentralisasi fiskal ialah diantaranya pemerataan dan keadilan.
Sumber : BPS, diolah. Gambar 9 Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1995-2009.
Menjelang desentralisasi dilaksanakan, rata-rata pertumbuhan ekonomi
provinsi mengalami penurunan. Dari tahun 1997 hingga tahun 1999 pertumbuhannya berturut-turut 5, -6.34, dan 1.19, namun di tahun 2000
meningkat menjadi 5.27. Penurunan ini disebabkan oleh krisis ekonomi yang melanda hampir seluruh kawasan Asia Tenggara. Variasi pertumbuhan ekonomi
yang digambarkan oleh nilai standar deviasi semakin meningkat, disetiap provinsi mulai mengalami ketidakstabilan yang dipicu oleh krisis ekonomi dan berbagai
sebab lainnya seperti kondisi politik nasional, ketidaksiapan politik, ekonomi dan sosial di masing-masing provinsi. Terlihat pada tahun 2000 meskipun rata-rata
pertumbuhan ekonomi provinsi mulai meningkat, namun perbedaan pertumbuhan ekonomi antar daerah cukup besar. Hal ini memperlihatkan menjelang
desentralisasi persoalan yang dihadapi adalah ketimpangan pertumbuhan antar daerah yang cukup besar.
Sejak tahun 2001 dimana kebijakan desentralisasi mulai diterapkan, perekonomian di setiap provinsi tampak mulai stabil dengan rata-rata
pertumbuhan ekonomi sebesar 3.44, serta ketimpangan pertumbuhan antar provinsi mulai membaik dengan semakin menurunnya nilai standar deviasi.
Tabel 9 Rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi di Indonesia sebelum desentralisasi dan di era desentralisasi
Provinsi Sebelum Desentralisasi
1996-2000 Era Desentralisasi
2001-2009 NAD -5.62
-1.84 Sumatera Utara
1.87 5.46
Sumatera Barat 2.08
5.31 Riau 2.30
3.38 Jambi 3.64
6.08 Sumatera Selatan
-1.06 4.32
Bengkulu 1.90 5.20
Lampung 2.33 5.03
DKI Jakarta 0.08
5.58 Jawa Barat
-1.63 4.95
Jawa Tengah 1.11
4.85 Yogyakarta 1.06
4.51 Jawa Timur
0.90 5.21
Bali 2.70 4.76
Nusa Tenggara Barat 8.88
4.65 Nusa Tenggara Timur
3.48 4.74
Kalimantan Barat 3.66
4.59 Kalimantan Selatan
3.89 5.02
Kalimantan Tengah 2.34
5.35 Kalimantan Timur
4.24 2.78
Sulawesi Utara 6.84
5.30 Sulawesi Tengah
7.12 6.98
Sulawesi Selatan 7.48
5.88 Sulawesi Tenggara
2.47 7.17
Maluku -8.97 4.33
Papua 13.12 4.04
Rata-rata 2.55 4.76
Standar Deviasi 6.40
3.46
Sumber : BPS, diolah
Pada tahun 2009 kinerja perekonomian di sebagian besar provinsi mengalami sedikit perlambatan dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 2008.
Perlambatan pertumbuhan terjadi pada provinsi-provinsi yang memiliki kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional seperti provinsi DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Bahkan terdapat provinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi negatif yaitu provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Perlambatan perekonomian yang terjadi di sebagian besar provinsi menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara nasional
ikut melambat
menjadi 4.55. Melihat perkembangan pertumbuhan antar provinsi serta ketimpangan
pertumbuhan sejak sebelum desentralisasi dan sesudah desentralisasi, tampak bahwa ada suatu indikasi yang membaik sejak diterapkannya desentralisasi. Hal
ini terutama ditandai dengan meningkatnya rata-rata pertumbuhan ekonomi serta semakin kecilnya jarak ketimpangan pertumbuhan antar provinsi.
4.4 Pembangunan Manusia