Tingkat Pendidikan Tinjauan Penelitian Terdahulu

a. Umur Harapan Hidup

Angka harapan hidup dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan tak langsung indirect estimation. Ada dua jenis data masukan yang digunakan untuk menghitung angka umur harapan hidup yaitu Anak Lahir Hidup ALH dan Anak Masih Hidup AMH. Paket program Mortpack digunakan untuk menghitung angka harapan hidup dengan input data ALH dan AMH. Selanjutnya menggunakan program Mortpack ini, dipilih metode Trussel dengan model West, yang sesuai dengan dengan histori kependudukan dan kondisi Indonesia dan Negara-negara Asia Tenggara umumnya. Besarnya nilai maksimum dan nilai minimum untuk masing-masing komponen ini merupakan nilai besaran yang telah disepakati oleh semua negara 175 negara didunia. Pada komponen angka umur harapan hidup, angka tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. Angka ini merupakan angka rata-rata umur terpanjang penduduk Swedia dan terpendek dari negara Siera Leon di Afrika.

b. Tingkat Pendidikan

Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan dua indikator, yaitu rata-rata lama sekolah mean of years schooling dan angka melek huruf. Selanjutnya rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Sedangkan angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Proses penghitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-masing diberikan bobot. Rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga dan angka melek huruf diberi bobot dua pertiga. Untuk penghitungan indeks pendidikan, dua batasan dipakai sesuai kesepakatan beberapa negara saat pertama kali penghitungan IPM dilakukan. Batas atas untuk angka melek huruf, dipakai maksimum 100 dan minimum 0 nol, yang menggambarkan kondisi 100 atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai nol mencerminkan kondisi sebaliknya.

c. Standar Hidup Layak

Selanjutnya dimensi ketiga dari ukuran kualitas hidup manusia adalah standar hidup layak. Dalam cakupan lebih luas standar hidup layak menggambarkan tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi. UNDP mengukur standar hidup layak menggunakan GDP riil yang disesuaikan, sedangkan BPS dalam menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson. C I = C i Jika C i Z = Z + 2C i` -`Z 12 Jika Z C i 2Z = Z + 2Z 12 + 3C i` -`2Z 13 Jika 2Z C i 3Z = Z + 2Z 12 +3Z 13 +4C i -3Z 14 Jika 3Z Ci 4Z..................2.3 Keterangan : C i = PPP dari nilai riil pengeluaran per kapita Z = Batas tingkat pengeluaran yang ditetapkan secara arbiter sebesar Rp 549 500.00 per kapita per tahun atau Rp1 500.00 per kapita per hari Penghitungan indeks daya beli, seperti terlihat pada uraian sebelumnya dan diagram penghitungan IPM, terlihat bahwa batas atas penghitungan digunakan batas masksimum dan minimum adalah sebesar Rp732 720.00 dan Rp300 000.00 ini merupakan batas sampai dengan tahun 1996. Pada tahun 2002, batas bawah penghitungan PPP dirubah dan disepakati menjadi Rp360 000.00 mengikuti kondisi pasca krisis ekonomi. Penyusunan Indeks Sebelum penghitungan IPM, setiap komponen harus dihitung indeksnya. Formula yang digunakan sebagai berikut; ∑ = j j i j X Indeks IPM , 3 1 min min , , − − − − − = i maks i i j i j i X X X X X Indeks .............................. 2.4 keterangan X i,j = Indeks komponen ke-i dari daerah j X i-min = Nilai minimum dari X i X i-maks = Nilai maksimum dari X i Nilai IPM dapat dihitung sebagai: ……………………………………2.5 keterangan : Indeks X i,j = Indeks komponen IPM ke i untuk wilayah ke j; i = 1, 2, 3 j = 1, 2 ……. k wilayah Untuk menghitung indeks rangkuman batas minimun dan maksimum setiap komponen IPM ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPM Komponen IPM Maksimum Minimum Keterangan 1. Angka Harapan Hidup 85 25 Standar UNDP 2. Angka Melek Huruf 100 0 Standar UNDP 3. Rata-rata lama sekolah 15 0 4. Daya beli 732 720 a 300 000 1996 UNDP menggunakan PDB Riil disesuaikan 360 000 b 1999,2002 Keterangan : a Perkiraan maksimum pada akhir PJP II tahun 2018 b Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru Sumber : BPS-Bappenas-UNDP. Dengan menggunakan IPM, UNDP membagi status pembangunan manusia di kabupatenkota ke dalam empat kategori dengan kriteria sebagai berikut : a. Rendah, bila angka IPM 50. b. Menengah Bawah, bila angka 50 ≤ IPM 66. c. Menengah Atas, bila angka 66 ≤ IPM 90. d. Tinggi, bila angka IPM ≥90. Dalam Human Development Reports HDR 2010 yang diterbitkan United Nations For Development Programes UNDP, indikator penyusun IPM mengalami perubahan yaitu pada dimensi pendidikan dan standar hidup. Indikator angka melek huruf pada dimensi pendidikan diganti dengan ekspektasi lama sekolah, sedangkan indikator PDB per kapita pada dimensi standar hidup diganti dengan indikator pendapatan nasional bruto per kapita. Begitu juga dengan penghitungan IPM yang sebelumnya menggunakan rata-rata sederhana, pada HDR 2010 menggunakan rata-rata geometri.

2.1.10 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal secara tidak langsung mempunyai hubungan terhadap pertumbuhan ekonomi karena dapat meningkatkan efisiensi dalam alokasi sumber daya. Hal ini disebabkan 1 Pemerintah Daerah memiliki keuntungan yang lebih baik dibandingkan Pemerintah Pusat dalam memberikan pelayanan dan penyediaan barang-barang publik yang sesuai dengan preferensi dan kebutuhan-kebutuhan daerah itu sendiri. 2 Menstimulus Pemerintah Daerah untuk lebih kreatif, inovatif dan akuntabilitas terhadap daerahnya dalam upaya merespon kebutuhan masyarakat dan upaya meningkatkan kemakmuran di daerah melalui optimalisasi sumberdaya yang ada secara efisien dan mengurangi pemborosan. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah diharapkan mampu mengembangkan seluruh potensi yang ada, baik sumber daya alam maupun sumberdaya manusia untuk meningkatkan kemakmuran bagi masyarakat daerah itu sendiri yang secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi. 3 Adanya kebijakan desentralisasi akan ditandai dengan penyediaan infrastruktur di daerah yang secara tidak langsung sangat sensitif terhadap kondisi regional atau daerah, dimana lebih efektf dalam mendorong pembangunan ekonomi daripada kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Pusat yang seringkali mengabaikan adanya perbedaan geografis antar daerah. Esensi mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan desentralisasi fiskal setidaknya mempunyai tiga pertimbangan. Pertama, pertumbuhan dilihat sebagai sesuatu yang objektif dari desentralisasi fiskal dan efisiensi dalam alokasi sumberdaya dalam sektor publik. Kedua, secara eksplisit bahwa pemerintah berusaha untuk mengadopsi berbagai kebijakan-kebijakan untuk mendorong ke arah peningkatan dalam pendapatan per kapita. Ketiga, pertumbuhan per kapita relatif lebih mudah untuk diukur dan dinterpretasikan dibanding indikator-indikator ekonomi lainnya.

2.1.11 Hubungan Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi

Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah juga digambarkan oleh kurva Scully yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, porsi pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependen. Dari model yang dapat disimpulkan bahwa : peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi melebihi tingkat optimal maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah bahkan dapat mencapai nol. Secara grafis dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Po rsi p e ng e lua ra n p e me rinta h Ti n g k a t P e rt u m b u h a n g t Sumber: Kharisma, 2006

2.1.12 Pengeluaran Pemerintah dan Kemiskinan

Besarnya pengeluaran pemerintah dalam kerangka makro ekonomi akan mendorong pertumbuhan output ekonomi. Pertumbuhan output ekonomi ini akan diiringi dengan peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan semakin banyaknya tenaga kerja yang terserap dan diikuti tingkat pendapatan yang semakin baik akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga jumlah masyarakat miskin dapat berkurang.

2.1.13 Pengeluaran Pemerintah dan Pembangunan Manusia

Memperhatikan indikator-indikator yang digunakan dalam penghitungan IPM, pemerintah dalam melakukan pengeluaran juga harus memperhatikan aspek- aspek tersebut. Perhatian pemerintah terhadap aspek-aspek pembangunan manusia tercermin dari pengalokasian pengeluaran pemerintah kedalam sektor-sektor yang berpengaruh pada pembangunan manusia. Sektor-sektor dimaksud antara lain sektor pendidikan, kesehatan, kependudukan dan kesejahteraan rakyat.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan Cheminghui 2007 di Yaman, yang bertujuan mengevaluasi dampak dari perbedaan tipe pengeluaran pemerintah dengan sumberdaya yang tersedia untuk mendapat target yang lebih baik sehingga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan lebih cepat dalam pengurangan kemiskinan. Secara empiris menunjukan pentingnya investasi di pelayanan sosial dalam memperbaiki modal manusia dan terutama untuk pengurangan kemiskinan selama beberapa periode ini. Pendidikan yang baik dan pemeliharaan kesehatan menolong orang miskin untuk hidup lebih produktif, meningkatkan return dalam investasi. Dalam melakukan eksperimen tersebut efek dari pengeluaran publik untuk sektor pertanian, pendidikan dan kesehatan. Terlihat bahwa pengeluaran sektor publik di bidang pertanian hanya meningkatkan TFP di sektor tersebut saja. Sementara untuk pengeluaran publik di sektor pendidikan dan kesehatan ternyata mampu meningkatkan TFP untuk semua sektor. Sedangkan dalam jurnal “Fiskal Decentralization and Economic Growth: A Cross-Country Study”, Davoodi dan Zou 1998 menggunakan model pertumbuhan endogenous Simple endogenous growth model yang menunjukkan hubungan derajat desentralisasi fiskal dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan data panel dari 46 negara selama periode 1970-1989 untuk menyelidiki hubungan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi. Pada penelitiannya disimpulkan bahwa adanya hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan desentralisasi fiskal dalam 5 lima sampai 10 sepuluh tahun terutama untuk sampel data dunia dan negara berkembang, sedangkan untuk negara maju berkorelasi positif. Selain itu, penelitiannya menunjukkan bahwa negara-negara maju secara rata-rata cenderung lebih desentralistik dibandingkan negara berkembang dan kecenderungan mempunyai tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita yang tinggi. Namun, setelah melakukan penelitian ternyata di negara berkembang memiliki hubungan negatif antara desentralisasi fiskal dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Studi yang dilakukan oleh Akai dan Sakata 2005 di Amerika Serikat memperlihatkan bukti baru bahwa desentralisasi fiskal mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dengan data cross section dan time series panel data maka terdapat 50 observasi rata-rata tahun 1992-1994 untuk time series dan 50 negara bagian di Amerika Serikat. Penelitian empiris tersebut memperlihatkan desentralisasi fiskal memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Tidak seperti paper-paper sebelumnya, paper ini menemukan bahwa desentralisasi fiskal memainkan peranan utama dalam pertumbuhan ekonomi. Namun penelitian ini juga mengindikasikan bahwa ada faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi selain desentralisasi fiskal. Peranan pengeluaran pemerintah menurut penelitian yang dilakukan oleh Hasibuan 2006 di Provinsi Sumatera Utara, juga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengurangan jumlah penduduk miskin. Namun karena keterbatasan data, maka besarnya pengeluaran pemerintah yang berkaitan dengan masalah kemiskinan diproksi dengan besarnya penerimaan anggaran pendapatan belanja daerah APBD. Besarnya nilai APBD diharapkan mampu meningkatkan peran pemerintah daerah dalam penyediaan fasilitas pelayanan seperti pendidikan dan kesehatan serta penyediaan lapangan pekerjaan terutama untuk penduduk miskin. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Mulyaningsih 2008. Ada empat tujuan dari penelitian ini, pertama melihat apakah ada pengaruh pengeluaran pemerintah di sektor publik terhadap pembangunan manusia, kedua melihat apakah ada pengaruh pengeluaran pemerintah di sector public terhadap kemiskinan, ketiga melihat apakah ada pengaruh pembangunan manusia terhadap kemiskinan, dan keempat mengkaji nilai-nilai Islam dalam mengatasi permasalahan umat yang terkait dengan kemiskinan. Penelititan ini menggunakan metode regresi data panel Pooled Least Square, Fixed effect, dan Random Effect . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah di sektor publik tidak berpengaruh terhadap pembangunan manusia dan kemiskinan. Namun pembangunan manusia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemiskinan. Kharisma 2006 yang melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah provinsi di Indonesia. Penelitian yang menggunakan data sekunder dari 26 provinsi di Indonesia selama periode 1995- 2004 yang diestimasi dengan menggunakan model ekonometrik data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan desentralisasi selama periode 1995-2000, peran anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan berpengaruh negatif, baik di Jawa maupun luar jawa. Sedang kurun waktu 2001-2004, peran anggaran Pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sisi pengeluaran lebih besar dibandingkan sisi penerimaan, baik di Jawa maupun luar Jawa. Di era desentralisasi peran PAD terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, walaupun masih di bawah dana perimbangan. Selain itu selama masa era desentralisasi, peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran pembangunan maupun pengeluaran rutin mengalami peningkatan dibandingkan era sebelumnya. Makrifah 2010 melakukan penelitian dengan tujuan 1 Menganalisis perkembangan kinerja keuangan kabupatenkota di Provinsi Jawa Timur dari sisi penerimaan maupun pengeluaran; 2 Menganalisis perkembangan pertumbuhan ekonomi, IPM, persentase penduduk miskin dan kesenjangan pembangunan kabupatenkota di Provinsi Jawa Timur; 3 Mengidentifikasi pengaruh alokasi belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, IPM, dan jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Timur. Metode analisis deskriptif yang digunakan untuk melihat perkembangan kinerja keuangan daerah, pertumbuhan ekonomi, IPM, persentase penduduk miskin adalah analisis boxplot, analisis GIS dan analisis cluster. Analisis inferensia dengan menggunakan model Vector Autoregressive VAR dalam data panel digunakan untuk mengkaji pengaruh alokasi belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia IPM dan jumlah penduduk miskin. Hasil penelitian menunjukkan alokasi belanja daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan IPM baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini menunjukkan bahwa teori Keynes yang menyatakan belanja pemerintah akan mempengaruhi hasil pembangunan berlaku di Jawa Timur. Suparno 2010 melakukan penelitian dengan tujuan untuk melihat dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketenagakerjaan di Indonesia serta bagaimana kondisi kinerja keuangan pemerintah daerah. Penelitian ini menggunakan data panel berupa data seluruh provinsi di wilayah Indonesia dalam kurun waktu dari tahun 1994 hingga tahun 2008. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan menggunakan metode ekonometrika regresi panel data. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan pemerintah daerah yang diukur dari derajat desentralisasi fiskal dan rasio kemandirian keuangan daerah masih rendah. Justru di era desentralisasi, tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin meningkat. Berdasarkan hasil estimasi regresi data panel terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi output ekonomi daerah di Indonesia adalah modal swasta K, modal pemerintah yang meliputi:dana bagi hasil BH, dana alokasi khusus DAK, pajak daerah PD, retribusi daerah RD, dan laba dari pengelolaan kekayaan daerah LD, tenaga kerja L, tingkat keterbukaan daerah XM dan variabel dummy otonomi daerah. Penelitian yang dilakukan Usman 2006 menghasilkan kesimpulan desentralisasi fiskal menguntungkan kelompok miskin dan dapat mengurangi tingkat kemiskinan. Dalam jangka pendek, pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian terbukti efektif menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Penelitian yang dilakukan Panjaitan 2006 menghasilkan kesimpulan bahwa sumber-sumber kebutuhan fiskal daerah baik sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal didominasi oleh dana perimbangan dari pemerintah pusat. Kemudian peningkatan DAU ke daerah berhasil meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja dan distribusi pendapatan.

2.3 Kerangka Pemikiran