variabel, dengan jumlah variabel dalam persamaan M terbanyak adalah 7. Hasil identifikasi terhadap persamaan-persamaan dalam model berdasarkan order
condition menunjukkan bahwa setiap persamaan struktural dalam model yang
digunakan adalah over identified. Dengan model yang over identified maka estimasi model yang dapat digunakan dalam penelitian ini adalah metode 3SLS.
Untuk menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen, maka pada masing-masing persamaan
digunakan uji statistik F. Untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas secara individual berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel endogen pada
masing-masing persamaan digunakan uji statistik t. Selanjutnya karena model mengandung persamaan simultan dan variabel
bedakala lag endogenous variable, maka uji serial korelasi dengan menggunakan statistic d
w
Durbin-Watson Statistics tidak valid untuk digunakan. Sebagai penggantinya untuk mengetahui apakah terdapat serial korelasi
autocorrelation atau tidak dalam setiap persamaan maka digunakan statistic d
h
Durbin-h Statistics, sebagai berikut :
Dimana : d
w
: Durbin-Watson
statistik n :
Jumlah observasi
Var β : Varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable
Apabila h
hitung
lebih kecil dari nilai kritis h dari tabel distribusi normal, maka dalam persamaan tidak mengalami serial korelasi. Menurut Pindyck dan
Rubenfield 1998, masalah serial korelasi hanya mengurangi efisiensi pendugaan parameter dan serial korelasi tidak menimbulkan bias parameter regresi.
3.2.3 Validasi Model
Untuk mengetahui
apakah model
cukup valid digunakan untuk simulasi kebijakan, maka dilakukan validasi model. Dalam validasi model, untuk melihat
keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi dapat menggunakan
[ ]
β
Var n
n dw
h −
⎟ ⎠
⎞ ⎜
⎝ ⎛ −
= 1
2 1
beberapa kriteria statistik yaitu Root Mean Squares Error RMSE, Root Mean Square Percent Error
RMSPE dan Theil’s Inequality Coefficient U-Theils. Nilai RMSE yang kecilrendah adalah ukuran yang diinginkan dari ketelitian
simulasi. Nilai RMSPE merupakan ukuran deviasi dari nilai simulasi suatu variabel endogen terhadap nilai aktualnya dalam persen. Sedangkan koefisien
ketidaksamaan theil digunakan untuk mengevaluasi simulasi historik. Untuk melihat keeratan arah slope antara yang aktual dengan yang
disimulasi digunakan R
2
koefisien determinan. Makin kecil RMSE, RMSPE, U Theils
, serta makin besar R
2
maka model semakin valid untuk disimulasi. Nilai U Theils
berkisar antara 0 dan 1, jika U = 0, maka pendugaan model sempurna. Sebaliknya U = 1, maka pendugaan model naïf.
3.2.4 Simulasi Model
Untuk mengetahui dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, serta pembangunan manusia maka dilakukan
enam skenario simulasi, yaitu tiga skenario dari sisi penerimaan dan tiga skenario dari sisi pengeluaran. Sisi penerimaan, dilakukan simulasi dengan mengasumsikan
adanya kenaikan pada DAU, pajak, serta bagi hasil pajak dan bukan pajak. Sedangkan dari sisi pengeluaran, dilakukan simulasi dengan mengasumsikan
adanya kenaikan pada pengeluaran pembangunan sektor pertanian, sektor kesehatan, serta sektor pendidikan. Mengingat dana alokasi umum, serta bagi hasil
pajak bukan pajak bersifat given, maka besarnya nilai simulasi pada sisi penerimaan didasarkan pada rata-rata peningkatannya selama tahun 2001 hingga
2009. Besarnya kenaikan pada masing-masing skenario selengkapnya adalah sebagai berikut :
1. Skenario 1, Peningkatan Dana Alokasi Umum sebesar 16. Peningkatan
DAU sebesar 16 didasarkan kepada rata-rata peningkatan DAU selama dilaksanakannya desentralisasi fiskal yaitu dari tahun 2001 hingga 2009.
2. Skenario 2, Peningkatan pajak sebesar 20. Sama halnya dengan skenario
peningkatan DAU, peningkatan pajak sebesar 20 juga didasarkan pada rata- rata peningkatan pajak selama periode desentralisasi fiskal dilaksanakan yaitu
dari tahun 2001 hingga 2009.
3. Skenario 3, Peningkatan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak sebesar 20.
Selama pelaksanaan desentralisasi terjadi peningkatan
BHPBP sebesar 19.46 , untuk mempermudah penghitungan maka simulasi kenaikan
BHPBP dibulatkan menjadi 20. 4.
Skenario 4, Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian sebesar 50. Skenario ini didasarkan pada rata-rata peningkatan pengeluaran
pembangunan sektor pertanian pada periode 2001 hingga 2009. 5.
Skenario 5, Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor kesehatan sebesar 30. Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pertanian
sebesar 50 sebanding dengan peningkatan pengeluaran pembangunan sektor kesehatan sebesar 30. Hal ini dilakukan agar dapat dibandingkan sektor
mana yang memiliki dampak paling besar terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah.
6. Skenario 6, Peningkatan pengeluaran pembangunan sektor pendidikan
sebesar 10. Agar dapat dibandingkan pengeluaran pembangunan sektor mana yang memberikan dampak terbesar, maka peningkatan pengeluaran
pembangunan sektor pendidikan harus sebanding dengan peningkatan pengeluaran sektor pertanian serta sektor kesehatan.
Analisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pembangunan sosial ekonomi daerah dibagi menurut pulau. Pembagian menjadi 6 pulau yaitu Sumatera, Jawa-
Bali, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Pulau Lainnya yang terdiri dari Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, serta Maluku. Analisis menurut pulau
didasari dengan memperhatikan perbedaan karakteristik antarwilayah. Pembangunan berbasis kewilayahan merupakan jawaban untuk mendorong
peningkatan produktivitas dan daya saing nasional dengan mengutamakan pengelolaan sumber daya lokal secara lebih efisien dan efektif guna mendorong
keserasian dan keseimbangan pembangunan antarwilayah, serta memperhatikan kaidah pembangunan secara berkelanjutan dan menjaga kesinambungan
pembangunan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RPJPN 2005-2025
menyebutkan bahwa visi pembangunan nasional adalah terwujudnya Indonesia
yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Salah satu misi pembangunan jangka panjang yang terkait dengan pembangunan wilayah adalah mewujudkan
pemerataan pembangunan dan mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional PP No. 5
Tahun 2010. Berdasarkan arah pengembangan wilayah dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional RPJMN 2010-2014, maka strategi pengembangan wilayah adalah sebagai berikut :
1. Mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah potensial di luar Jawa-Bali dan
Sumatera dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan di wilayah Jawa- Bali dan Sumatera.
2. Meningkatkan keterkaitan antarwilayah melalui peningkatan perdagangan
antar pulau untuk mendukung perekonomian domestik 3.
Meningkatkan daya saing daerah melalui pengembangan sektor-sektor unggulan di tiap wilayah
4. Mendorong percepatan pembangunan daerah tertinggal, kawasan strategis dan
cepat tumbuh, kawasan perbatasan, kawasan terdepan, kawasan terluar, dan daerah rawan bencana.
5. Mendorong pengembangan wilayah laut dan sektor-sektor kelautan.
Pengembangan wilayah diarahkan untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional dan sekaligus mengurangi kesenjangan antarwilayah dengan mendorong
percepatan pembangunan Pulau Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, serta Papua dan tetap mempertahankan momentum pembangunan di Jawa-Bali
dan Sumatera. Dalam upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional, berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di Jawa-Bali akan terus
dilakukan. Sementara, untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah ditempuh dengan meningkatkan produksi, investasi, dan perdagangan melalui
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, serta Papua. Kebijakan ini diharapkan akan
mendorong perluasan kesempatan kerja, pengurangan kemiskinan di luar Jawa- Bali, serta mempercepat pemerataan antarwilayah.
IV. GAMBARAN UMUM
4.1 Penerimaan Pemerintah Daerah
Penerimaan daerah merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang digunakan untuk membiayai pemerintahan maupun pembangunan daerah.
Penerimaan daerah provinsikabkota selama periode 1996-2009 selalu mengalami peningkatan. Implementasi kebijakan desentralisasi fiskal, yaitu adanya
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengelola pendapatan daerah, mendorong peningkatan besaran APBD yang
diterima oleh pemerintah daerah. Peningkatan penerimaan daerah ini diharapkan mampu untuk mewujudkan kemandirian daerah, sesuai dengan tujuan pelaksanaan
otonomi daerah. Daerah diharapkan mampu membiayai pembangunan dan menentukan prioritas pembangunan sesuai dengan potensi sumber daya yang
dimilikinya. Pemerintah daerah diharapkan juga mampu mengelola anggaran tersebut secara tepat, karena dalam era desentralisasi fiskal ini, penerimaan daerah
merupakan modal utama dalam melaksanakan pembangunan daerah. Penerimaan daerah terdiri dari beberapa komponen yaitu Pendapatan Asli
daerah PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak BHPBP, Dana Alokasi Umum DAU, Dana Alokasi Khusus DAK dan penerimaan lain yang sah.
Perkembangan penerimaan pemerintah daerah secara umum selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tahun 1996 penerimaan pemerintah daerah
sebesar 25 348.84 milyar rupiah, kemudian meningkat menjadi 115 264.45 milyar pada tahun 2001. Selama Sembilan tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal yaitu
dari tahun 2001 hingga 2009 penerimaan daerah tumbuh sebesar 230.65. Peningkatan penerimaan yang besar ini tidak lain adalah disebabkan
meningkatnya sumber penerimaan daerah dari dana bagi hasil pajak dan bukan pajak BHPBP, serta dana alokasi umum DAU. Bila dilihat menurut komponen
atau sumber penerimaan daerah, maka komponen terbesar dari penerimaan daerah adalah dana perimbangan yang berupa DAU, BHPBP, dan DAK yang memiliki
kontribusi sebesar 75 dari penerimaan daerah. Sedangkan PAD hanya memberikan kontribusi sekitar 15. Rendahnya proporsi penerimaan PAD
dibandingkan dengan DAU mengindikasikan belum optimalnya pemerintah