Perjumpaan dengan Allah Pembangunan Jemaat

31 Dilema-dilema di atas mempunyai hubungan dengan model etis. Manusia menentang model etis pertama dan ke dua. Sebabnya adalah kedua model itu dapat menampilkan diri dengan wajah seorang dewa dan dipakai untuk menginterpretasikan pengalaman keharusan sebagai pengalaman tentang Keterakhiran. Gereja mengambil reaksi terhadap proses sekularisasi, yaitu tetap berpegang pada kedua model etis itu untuk menginterpretasikan Injil. Dengan demikian, proses sekularisasi semakin ditampilkan sebagai proses ateistis yang menyangkal Allah.

4. Perjumpaan dengan Allah

Secara nyata, dilema-dilema itu baru dapat diatasi setelah makna perjumpaan dengan Allah dialami dengan jelas. Mengapa kita menganggap bahwa menyambah Allah bermakna? Ini tidak dapat dibuktikan secara teori. Dapat dijelaskan, bahwa manusia dan kelompok manusia dari dirinya sendiri tidak pernah dapat mencapai Allah, apalagi membuat Allah atau mereka-reka Allah. Iman akan Allah terletak di luar lingkup keharusan yang alamiah. Maka, iman akan Allah mengatasi, mentransendensikan semua definisi makna yang dapat diverifikasikan. Maka iman akan Allah seakan-akan hilang ditelan oleh pandangan Keterakhiran yang tidak dapat diungkap. Mereka menggambarkan pengalaman perjumpaan, melewati bentuk, ruang dan waktu. Di dalam pengalaman perjumpaan itu, orang sampai pada penyerahan diri yang utuh kepada Allah. Oleh karena itu, melalui pengalaman perjumpaan terjadilah pembalikan dari yang semu menjadi yang nyata. Pengalaman yang mistik itu secara etis membawa kepada pengakuan bahwa dalam kisah peyaliban 32 terletak kebenaran, yaitu hak penuh atas orang lemah atas yang kuat dan pembalikan hukum alam secara radikal. Maka, dua hambatan bagi penyembahan Allah menghilang, yaitu dilema Allah sebagai Penyaing manusia dan Alah sebagai penyebab penderitaan. Betapa pun tidak logis dan tidak praktis, banyak orang beriman mengalami pengalaman dan berpegang pada sejak masih muda. Terkadang perjumpaan dengan Allah terulang dan terjadi di dalam situasi yang biasa saja. Mereka yang belajar berdoa, selalu rindu kepada jemaat beriman yang berdoa, seperti orang yang merindukan rumahnya.

5. Pembangunan Jemaat

Yang menjadi masalah dalam pengbangunan jemaat adalah bagaimana orang dapat dan harus berdoa. Simbol serta semua sarana komunikasi lain dalam mana bisa terjadi perjumpaan dengan Allah bagi orang beriman. Ada doa permohonan, keluhan, kegembiraan, ucapan syukur, pujian dan penyembahan. Semua bentuk doa mempunyai ciri masing-masing dalam hal berbicara dengan Allah. Kelebihan doa permohonan yang sering disebabkan oleh karena manusia tidak berdaya untuk mengungkapkan kebutuhan, kesediaan, dan kemarahan secara terus terang. Membentuk budaya doa merupakan kejadian yang menyeluruh dalam semua aktivitas gereja. Pembentukan budaya ini tidak dapat dilakukan hanya dalam liturgi dan dalam praktek doa jemaat saja, tetapi memerlukan belajar dan perwujudan dalam pelayanan kepada kehidupan. Dan juga ditemukan metode baru melalui workshop doa dan pelatihan doa untuk meditasi. Yang paling penting adalah menolong anggota Gereja yang bertanya bagaimana mereka dapat berdoa 33 dalam lingkup hidup mereka dalam berelasi di masyarakt dan keluarga. Di dalam penelitian ini yang belum diberi perhatian adalah bahwa di dalam masyarakat modern yang terpengaruh oleh proses sekularisasi, pengakuan akan Allah bisa bergeser dari relasional ke objektif. Kemudian dari kebimbangan menuju ke panyangkalan.

B. Pewahyuan dan Komunikasi Iman