22
cenderung menyepelekan dimensi pembebasan ketiga yaitu hidup berbagi dalam pesekutuan yang solider. Kelompok basis itu kaya akan kelompok ketiga,
keterkaitan solider, sedangkan orang kaya justru miskin dalam dimensi ini. Berhubungan dengan vitalitas gerejawi, pertimbangan di atas tampaknya
membenarkan tiga kesimpulan. Kesimpulan pertama, dimensi pembebasan serta hidup yang wajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Berarti bahwa perpisahan
antara gereja dan masyarakat atau negara dunia tidak dapat dipikirkan dengan sederhana. Gereja yang hidup tidak boleh menutup mata dan telinga serta matanya
akan penindasan sesama manusia. Karena orang miskin adalah orang yang pertama masuk surga Mat. 5:3. Kesimpulan ke dua, gereja tanpa kultur
pembebasan adalah gereja yang tidak memiliki kredibilitas. Dalam hal ini ada ketergantungan dari dari orang yang tertindas terhadap sesuatu hal yang lebih
kuat, disini yang lebih kuat adalah gereja. Dalam pengertian sebagai umat Allah ketergantungan adalah ketergantungan dalam kasih dimana yang kuat
mengulurkan tanggan kepada yang lemah. Kesimpulan ketiga, Gereja menjadi sumber hidup dan pelayanan terhadap hidup. Setiap proses pembebasan dimulai
dengan pembentukan persekutuan yang solider, kelompok manusia yang saling bertemu dalam arti yang benar, dan bersedia untuk berkorban demi kepentingan
bersama. Hal ini lahir dari kesadaran mistik akan kehadiran Allah dalam Yesus yang tersalib demi penghapusan dosa.
3. Ibadat – Liturgi
Dalam gereja yang dimaksud dengan liturgi adalah perayaan dan kenangan akan misteri Kristus, yaitu tentang Allah yang menyelamatkan manusia. Pesta
23
Paskah sebagai kenangan akan kematian dan kebangkitan Yesus secara kristiani yang mengulang kembali kisah perpindahan dari hidup yang tidak benar berubah
menjadi umat Allah. Dimana peralihan akan hidup itu semuanya berarti hidup yang lebih baik. Hari minggu bagi orang kristiani tidak hanya diartikan sebagai
hari istirahat, tetapi juga sebagai hari Sabat, pesta Taurat, hukum roh, dan pesta yang merayakan hidup baru bersama-Nya. Dalam perayaan paham akan kenangan
kembali, dimana beriman berati tidak melupakan, tidak membiarkan hidup mengalir kedalam dunia semu yang penuh dengan kepalsuan, melainkan kembali
mengenangkan kebaikan Allah yang berarti berani kehilangan hidup lama demi hudup baru yang lebih baik.
Orang kristiani dalam pertemuannya untuk merayakan perjamuan senantiasa mengadakan anamnese, yaitu kenangan akan hidup, kematian, dan
kebangkitan yang tersalib. Kenangan akan pembebasan itulah yang menjadi fokus dalam pertemuan umat. Akan tetapi kenangan ini harus di olah dengan baik,
karena akan mengambil diri kita dari cara hidup yang mudah. Kenangan ini akan menimbulkan konflik antara kita dan kuasa-kuasa yang memerintah dan dengan
pendapat serta tindakan murahan yang bisa kita lakukan di dalam maupun di luar diri kita.
4. Pelayanan Pemeliharaan, Perjuangan, dan Pengampunan
Masih ada tuntutan lain terhadap liturgi, ibadat yang benar hanya mungkin terjadi sebagai pangan dan ekspresi serta penegasan dari sebuah spiritualitas.
Dimana dalam arti fisik, kematian ada dimana saja manakala manusia tidak dapat mengembangkan keberadaanya secara penuh karena penderitaan, kemiskinan, dan
24
ketidakberdayaan. Di saat manusia mengalamai kesusahan seperti itu, disana tumbuh iman, harapan dan kasih yang akan berbuah pada pelayanan. Pelayanan
itu disebut sebagai diakonia, pemberian pertolongan demi pemeliharaan manusia. Pelayanan ini disebut inti vitalitas Gereja.
Kematian yang terus menerus ada juga yang dalam arti eksistensial, dimana manusia tidak hanya menderita begitu saja, melainkan oleh karena
penderitaan itu
yang disebabkan
oleh kemiskinan,
penyakit, serta
ketidakberdayaan yang membuat orang menjadi ragu akan makna hidupnya. Dalam arti itu kematian ada sejak permulaan keberadaan kita. Kematian itu
dialami dimana saja kita terbentur pada ketidakmampuan, kemustahilan, perpisahan. Dalam semua bentuk itu, kematian ditentukan terlebih dahulu dan kita
tidak dapat mengalahkannya. Saat ada kehidupan tentu akan ada masa peralihan yang disebut dengan kematian. Disaat masa peralihan akan hidup ini kematian
menjadi syarat utama untuk hidup, sebagai syarat pertumbuhan dan perkembangan menurut perumpamaan benih yang harus mati demi menghasilkan
buah. Karenanya kita mengenal rahasia kasih yang juga mengenal kematian,
namun sebagai jalan menuju hidup dan dalam iklim kebebasan. Dalam kitab suci, kasih lebih kuat daripada kematian maka kemudian kasih itu disebut hidup kekal.
Kekal karena dalam penderitaan yang tidak dapat kita kalahkan itu kita masih tetap membuka hari depan yang positif, yaitu kemungkinan untuk hidup terus
secara bermakna. Menjadi bermakna apabila kita melakukan perjuangan untuk tetap dapat melakukannya. Perjuangan itu pertama-tama mengenai kekurangan
akan kebutuhan yang paling penting bagi orang banyak. Kedua ialah perang dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
persenjataan yang semakin membunuh dan menghancurkan kesejahteraan. Ketiga adalah pengrusakan lingkungan dan pengurasan yang memiskinkan dan
mengancam masa depan umat manusia. Ketiga hal ini menjadi perhatian dalam proses konsilier demi keadilan, perdamaian, dan keutuhan cipta.
Ketidakbebasan dan ketidaksamaan yang dipertahankan kelompok penguasa yang memiliki kepentingan tertentu sehingga orang lain dirugikan.
Pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang terjadi juga di sekeliling kita dalam bentuk kemiskinan dan diskriminasi. Orang miskin bukanlah orang yang lemah,
tetapi orang yang selalu dibuat miskin, dimana ada orang yang kaya dan kuat yang memanfaatkan itu semua. Dimana tugas gereja? Hal ini banyak dipertanyakan,
tugas gereja adalah terletak pada kehadiran gereja sebagai inti vitalitas yang mengalahkan kematian, yaitu dengan pelayanaan kepada perjuangan demi
keadilan. Di kalangan Katolik, pelayanan kepada hidup ini mengalami impase. Termasuk hidup gerejawi dulu yang praksis pengakuan dosa, dimana sekarang
praksis ini sedang menghilang.
5. Pembangunan Jemaat