Mendalami pembanguan Jemaat dari buku: ``6 Tempayan Air Pokok-Pokok Pembangunan Jemaat`` karya Rob Van Kessel.

(1)

viii ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU : 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT KARYA ROB VAN KESSEL”. Judul ini dipilih oleh penulis bertitik tolak dari pantauan di lapangan bahwa masih banyak para pemuka jemaat kita yang kurang memahami secara utuh dari alur organisasi, hak dan tugas dalam melayani umat. Dengan kurangnya memahami hal tersebut maka pendampingan dan pelayanan terhadap umat juga menjadi kurang maksimal.

Isi dari buku ini mau membantu kita para pemuka jemaat baik itu katekis, prodiakon, serta perangkat pendukung lainnya untuk semakin memahami tugas dalam pendampingan dan pelayanan terhadap umat, baik itu didalam komunitas, kelompok kecil dan pribadi sekalipun. Di dalamnya disajikan enam butir pokok bahasan tentang pembangunan jemaat. Dasarnya adalah mukjizat Yesus yang pertama pada pesta perkawinan di Kana, ketika Ia mengubah air menjadi anggur dalam enam tempayan. Kita sebagai jemaat Allah hanya mampu menyediakan tempayan dan air, sementara yang mampu mengubah menjadi anggur adalah rahmat Allah. Keenam butir berikut melambangkan keenam tempayan itu: Keberadaan manusia dan identitas kristiani; Kehidupan dan kematian dengan penekanan pada arti pelayanan kepada kehidupan; Pertemuan dengan Allah sebagai dasar hidup manusia menjadi masalah bagi manusia dewasa ini; Tindak komunikatif: semua orang terlibat secara bebas dan sederajat; Arti Gereja dan hubungan Gereja dengan negara (Gereja orang miskin dan hak orang miskin); Kegiatan pokok jemaat paroki sebagai perwujudan gereja universal.

Buku ini selain menjadi pegangan para pemuka jemaat dalam menjalankan tugasnya, juga diperuntukkan bagi para mahasiswa dan dosen teologi pastoral. Dengan harapan ini semua akan semakin memperkuat pemahaman dan menjadi pegangan dalam menjalankan tugas pendampingan serta pelayanan.


(2)

ix ABSTRACT

This thesis entitled “FATHOMING COMMUNITY BUILDING FROM THE BOOK: 6 JARS OF WATER CORES OF COMMUNITY BUILDING BY ROB VAN KESSEL”. This title is chosen by the author based on the observation on the field that there are still many of our leaders who less understand the purpose of organizing, also rights and duties in serving people. With of the lack of understanding that the guidance and services to the people become less maximum.

This book’s contents is helping for the leaders, which are catechists, prodeacons, and also any other leaders to be more understanding the duties in guiding and serving people, which in a community, a small group, and personally. This book contains six subject points of community building. It is based on Jesus’ first deed at wedding party in Cana, while He transforming water into wine in 6 jars. We are, as the people of God only be able to provide the jars and water, meanwhile Grace of God is the one which be able to change it into wine. These six points symbolize those six jars: Human existance and christian identity; Life and death with emphasis in the meaning of services for life; Meeting with God as the life principal of human beings become problem on this day; Communicative act: everyone involved equal and free; The meaning of the Church and its relationship with the nations (The Church of the poor and the rights of the poor); Main activity of the parishian as a manifestation of universal church.

This book, beside being a guidance for the leaders in doing the duties, it is also for the students and pastoral theological lecturer. After all, the author hopes that the leaders streghten their understanding and be a guide in duties of guidance and sevices.


(3)

MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU:

" 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT " KARYA ROB VAN KESSEL

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Nyabang Sudaryanto NIM: 101124037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

i

MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU:

" 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT " KARYA ROB VAN KESSEL

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Nyabang Sudaryanto NIM: 101124037

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(5)

ii SKRIPSI

MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU :

" 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT ", KARYA ROB VAN KESSEL

Oleh :

Nyabang Sudaryanto Nim : 101124037

Telah disetujui oleh :

Dosen Pembimbing


(6)

iii SKRIPSI

MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU :

" 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT ", KARYA ROB VAN KESSEL

Dipersiapkan dan ditulis oleh Nyabang Sudaryanto

Nim : 101124037

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Pada tanggal 23 September 2016 dan dinyatakan memenuhi syarat

SUSUNAN PANITIA PENGUJI

Nama Tanda tangan

Ketua : Drs. F. X. Heryatno Wono Wulung, SJ, M.Ed. . . . Sekretaris : Yoseph Kristianto, SFK, M.Pd. . . . Anggota : 1. Dr. C. Putranto, SJ. . . . 2. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ. . . . 3. Drs. F. X. Heryatno Wono Wulung, SJ, M.Ed. . . .

Yogyakarta, 23 September 2016 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sanata Dharma Dekan,


(7)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Sang Juru Selamatku

Kedua orang tuaku tercinta : Bapak Ambrosius Nyurung dan Alm. Ibu Indah Ruminingsih S.Ag

Saudaraku : Agita Ajeng Puspa Ningrum Tanteku : Dwi Conny Setya S.Ag sahabatku : De'Kill dan Angkatan 2010

Kalian adalah alasanku untuk tetap bertahan dan terus berjuang sampai saai ini.

teman-teman seperjuanganku, para pewarta kabar gembira, dan semua pihak yang telah ikut membantu, dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkembang selama menjalani proses pendidikan hingga selesai di Program Studi

Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma


(8)

v MOTTO

" Tidak perlu baik untuk sesuatu yang baik, karena sesuatu yang baik tidak harus berasal dari sesuatu yang baik "

( Dheva )

" Kasih sayang tanpa kekuatan adalah kelemahan, kekuatan tanpa kasih sayang adalah kezaliman "


(9)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 24 Agustus 2016 Penulis


(10)

vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Sanata Dharma : Nama : Nyabang sudaryanto

Nomor Mahasiswa : 101124037

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Unuversitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU : 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT KARYA ROB VAN KESSEL”, beserta perangkat yang diperlukan.

Demikian saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk perangkat data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 24 Agustus 2016 Yang menyatakan


(11)

viii ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah “MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU : 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT KARYA ROB VAN KESSEL”. Judul ini dipilih oleh penulis bertitik tolak dari pantauan di lapangan bahwa masih banyak para pemuka jemaat kita yang kurang memahami secara utuh dari alur organisasi, hak dan tugas dalam melayani umat. Dengan kurangnya memahami hal tersebut maka pendampingan dan pelayanan terhadap umat juga menjadi kurang maksimal.

Isi dari buku ini mau membantu kita para pemuka jemaat baik itu katekis, prodiakon, serta perangkat pendukung lainnya untuk semakin memahami tugas dalam pendampingan dan pelayanan terhadap umat, baik itu didalam komunitas, kelompok kecil dan pribadi sekalipun. Di dalamnya disajikan enam butir pokok bahasan tentang pembangunan jemaat. Dasarnya adalah mukjizat Yesus yang pertama pada pesta perkawinan di Kana, ketika Ia mengubah air menjadi anggur dalam enam tempayan. Kita sebagai jemaat Allah hanya mampu menyediakan tempayan dan air, sementara yang mampu mengubah menjadi anggur adalah rahmat Allah. Keenam butir berikut melambangkan keenam tempayan itu: Keberadaan manusia dan identitas kristiani; Kehidupan dan kematian dengan penekanan pada arti pelayanan kepada kehidupan; Pertemuan dengan Allah sebagai dasar hidup manusia menjadi masalah bagi manusia dewasa ini; Tindak komunikatif: semua orang terlibat secara bebas dan sederajat; Arti Gereja dan hubungan Gereja dengan negara (Gereja orang miskin dan hak orang miskin); Kegiatan pokok jemaat paroki sebagai perwujudan gereja universal.

Buku ini selain menjadi pegangan para pemuka jemaat dalam menjalankan tugasnya, juga diperuntukkan bagi para mahasiswa dan dosen teologi pastoral. Dengan harapan ini semua akan semakin memperkuat pemahaman dan menjadi pegangan dalam menjalankan tugas pendampingan serta pelayanan.


(12)

ix ABSTRACT

This thesis entitled “FATHOMING COMMUNITY BUILDING FROM THE BOOK: 6 JARS OF WATER CORES OF COMMUNITY BUILDING BY ROB VAN KESSEL”. This title is chosen by the author based on the observation on the field that there are still many of our leaders who less understand the purpose of organizing, also rights and duties in serving people. With of the lack of understanding that the guidance and services to the people become less maximum.

This book‟s contents is helping for the leaders, which are catechists, prodeacons, and also any other leaders to be more understanding the duties in guiding and serving people, which in a community, a small group, and personally. This book contains six subject points of community building. It is based on Jesus‟ first deed at wedding party in Cana, while He transforming water into wine in 6 jars. We are, as the people of God only be able to provide the jars and water, meanwhile Grace of God is the one which be able to change it into wine. These six points symbolize those six jars: Human existance and christian identity; Life and death with emphasis in the meaning of services for life; Meeting with God as the life principal of human beings become problem on this day; Communicative act: everyone involved equal and free; The meaning of the Church and its relationship with the nations (The Church of the poor and the rights of the poor); Main activity of the parishian as a manifestation of universal church.

This book, beside being a guidance for the leaders in doing the duties, it is also for the students and pastoral theological lecturer. After all, the author hopes that the leaders streghten their understanding and be a guide in duties of guidance and sevices.


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah karena kasih karunia dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhusan Pendidikan Agama Katolik.

Adapun judul skripsi ini adalah MENDALAMI PEMBANGUNAN JEMAAT DARI BUKU : 6 TEMPAYAN AIR POKOK-POKOK PEMBANGUNAN JEMAAT KARYA ROB VAN KESSEL. Diwarnai dengan berbagai macam hal baik itu yang menghambat maupun yang memperlancar, serta dorongan dari berabagai pihak secara langsung maupun tidak, dengan semua proses ini akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Oleh karena itu atas kerjasama yang baik hingga terselesaikannya penuisan skripsi ini, dengan rendah hati penulis menghaturkan terima kasih kepada :

1. Segenap staf Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan PAK-USD, yang telah mendidik dan mendampingi selama proses belajar, khususnya dalam penyusunan skripsi ini.

2. Dr. C. Putranto, SJ sebagai Pembimbing Akademik dan Dosen Pembimbing Skripsi yang telah mendampingi dan membimbing dengan penuh kesabaran dan ketekunan dalam penuliusan skripsi ini.

3. Dr. B. Agus Rukiyanto, SJ, sebagai dosen penguji II yang telah memberikan perhatian, dukungan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. Serta selalu membantu dalam berbagai kesulitan yang dihadapi oleh penulis.

4. Drs. FX. Heryatno Wonowulung SJ,. M.Ed., sebagai dosen penguji III yang telah memberikan perhatian, dukungan dan bimbingan selama penulisan skripsi ini. Serta memberikan berbagai kemudahan dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(14)

xi

5. Bapak, Alm. Ibu, adikku yag setia dan penuh cinta mendampingi serta memberikan semangat dalam menyelesaikan studi di PAK-USD ini. 6. Veronica Demitia Sandhy Parestu yang selalu mendampingi dan menjadi

penyemangat bagi penulis selama penyelesaian skripsi ini.

7. Anselma Fidelia Aji Susanti Windarwanti yang menjadi penyemangat dan motovasi bagi penulis selama penyelesaian skripsi ini.

8. Teman-teman De‟Kill 2010 yang selalu menjadi motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Teman-teman 2010 yang menjadi keluarga besar bagi penulis dan selalu menjadi penyemangat bagi penulis.

10.Teman-teman Club Petarung Bebas Yogyakarta yang selalu menjadi motivasi dan penyemangat bagi penulis dalam menyelsaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih cukup jauh dari sempurna sehingga masih memerlukan banyak kritik dan saran yang membangun dimasa depan guna perbaikan yang lebih baik bagi skripsi ini. Akhirnya penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pelayan umat dimana pun berada karena kontribusinya sebagai pewarta kabar gembira dan menjadi teladan bagi umat dalam kehidupan sehari-hari.

Yogyakarta, 24 Agustus 2016 Penulis


(15)

xii DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Penulisan ... 1

B. Upaya Menanggulangi ... 6

BAB II. PENGHAYATAN KENYATAAN, PENEBUSAN DAN PEMBEBASAN ... 9

A. Penghayatan Kenyataan ... 9

1. Cara Keberadaan Kita ... 9

2. Proses Sekularisasi ... 10

3. Teologi ... 12

a. Komponen yang Pertama adalah Teologi Dialektis ... 12

b. Komponen yang Kedua adalah Personalitas yang berasal dari Filsafat Eksistensi ... 13

c. Komponen yang Ketiga adalah Teologi Harapan ... 13

4. Etik ... 14

5. Pembangunan Jemaat ... 18

B. Penebusan dan Pembebasan ... 19

1. Hidup dan Kematian ... 19


(16)

xiii

3. Ibadat Liturgi ... 22

4. Pelayan Pemeliharaan, Perjuangan, Pengampunan ... 23

5. Pembangunan Jemaat ... 25

BAB III. ALLAH, PEWAHYUAN DAN KOMUNIKASI IMAN ... 27

A. ALLAH ... 27

1. Gambaran-gambaran Allah ... 27

2. Analisis Penelitian ... 29

3. Dilema ... 29

4. Perjumpaan dengan Allah ... 31

5. Pembangunan Jemaat ... 32

B. Pewahyuan dan Komunikasi Iman ... 33

1. Bertindak Strategis dan Bertindak Komunikatif ... 33

2. Tiga Alur Komunikasi ... 34

3. Iman di Alur Kebenaran ... 37

4. Iman di Alur Etik ... 37

5. Iman di Alur Kesungguhan ... 39

6. Pembangunan Jemaat ... 43

BAB IV. GEREJA DAN MASYARAKAT, FUNGSI DAN JABATAN ... 47

A. Gereja dan Masyarakat ... 47

1. Eklesiologi ... 47

2. Kerajaan Allah dan Umat Allah ... 47

3. Gereja dalam Proses Sekularisasi ... 50

4. Gereja dan Masyarakat Pasar ... 52

5. Gereja Orang Miskin ... 55

B. FUNGSI DAN JABATAN ... 56

1. Kehadiran Kristus ... 56

2. Fungsi dan Jabatan ... 58

3. Motif ... 62

BAB V. USULAN PROGRAM ... 64

A. Pemikiran Dasar Pendampingan ... 64


(17)

xiv

2. Alasan diadakannya Pendampingan ... 65

3. Tujuan Pendampingan ... 66

4. Pemilihan Materi dan Pertimbangannya ... 66

B. Program Pendampingan Prodiakon ... 67

1. Pemikiran Dasar Program ... 67

2. Program Pendampingan Prodiakon ... 69

C. Kumpulan Satuan Pendampingan ... 73

1. Satuan Pendampingan I ... 73

2. Satuan Pendampingan II ... 86

3. Satuan Pendampingan III ... 94

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 109

A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 109


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penulisan

Dalam kehidupan Gereja dan dalam Teologi Praktis istilah Pembangunan Jemaat merupakan pengertian yang isinya padat. Isi itu sendiri berasal dari harapan-harapan jemaat sendiri. Umat Kristiani dewasa ini ditantang serta diancam oleh proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat, seperti modrenisasi dan sekularisasi. Umat kristiani ditantang untuk berpartisipasi kreatif dalam perkembangan zaman, tetapi umat juga mengalami efek-efek negatifnya.

Pembangunan Jemaat menawarkan berbagai macam-macam usaha yang diharapkan dapat menanggani proses tersebut dengan tepat. Pembangunan Jemaat ingin menyediakan program yang menginspirasikan sebuah harapan. Tujuan sentral yang digambarkan dalam penjelasan tentang Pembangunan Jemaat disebut vitalisasi karena fokusnya pada kehidupan yang baru, pemancaran yang baru, dan daya tarik yang baru. Pembangunan Jemaat mau ikut membangun Gereja dimana orang dengan semangat yang baru mau berdiam dan bekerja.

Harapan-harapan itu mempunyai dasar yang dalam. Banyak orang mengalami transisi yang terjadi dalam Gereja dan masyarakat. Mereka merasa gelisah dan kurang aman. Di satu pihak, semakin banyak orang beriman menyadari kesulitan gereja-gereja yang berada dalam situasi di mana rupanya politik lebih penting daripada iman. Dewasa ini sebagian orang mengatakan


(19)

bahwa Gereja tidak perlu sebagai institusi, bahwa cukuplah apabila manusia berpedoman pada iman, harapan dan cinta kasih sebagai anugrah dari Allah.

Tugas dari Pembanguan Jemaat tidak hanya dipegang oleh para klerus, melainkan juga dipegang oleh semua warga Gereja. Warga Gereja merupakan bagian tidak terpisahkan dari keanggotaan gereja. Dimana warga Gereja memiliki ciri, sifat, perkembangan, dan mengalami langsung semua proses yang terjadi sebagai anggota dari warga Gereja. Di mana ada keyakinan bahwa ke depan Gereja dengan anugrah Allah yang terletak pada tangan kita, manusia, dan bahwa Pembanguna Gereja tergantung pada tanggung jawab dan jerih payah kita.

Warga Gereja termasuk di Paroki Santa Perawan Maria diangkat ke Surga Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi pada saat ini sedang masuk kedalam taraf pembenahan dan pendewasaan. Di mana sebagai anggota Gereja yang luas terkadang mengalami krisis atau persoalan-persoalan yang cukup berat. Krisis yang seperti ini biasa terjadi karena adanya sebab akibat yang tentunya fatal bagi warga Gereja itu sendiri.

Warga Gereja di Paroki Santa Perawan Maria dingkat ke Surga juga mengalami banyak krisis dalam pertumbuhan dan perkembangannya sebagai anggota Gereja. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi, antara lain kurangnya perhatian dari Gereja, Pastor Paroki, dan juga masyarakat sekitar. Sedangkan persoalan yang menuntut perhatian lebih saat ini adalah pola berpikir yang masih kaku, pembedaan perlakuan, keinginan untuk mendapatkan yang terbaik, yang terbaik yang dimaksud misalnya, pendapat yang harus didengar, berusaha mendapatkan peluang-peluang dan posisi-posisi yang strategis didalam kepengurusan jemaat. Situasi seperti ini juga semakin berkembang dengan subur


(20)

manakala anggota Gereja sendiri belum memiliki kesadaran untuk berperan secara penuh dalam melaksanakan perannya seebagai anggota Gereja.

Berbagai kegiatan keagamaan yang ada di paroki dan diikuti hanya sebagai tameng dan penunjang aktivitas yang tentunya menjadi kebutuhan sekunder. Dalam berkegiatan juga tidak jarang orang berpikir untuk mempertimbangkan jarak, waktu dan estimasi biaya yang dikeluarkan. hal ini yang sering kali menjadi penghambat dari pembangunan jemaat itu sendiri.

Seperti di Paroki Santa Perawan Maria di Angkat ke Surga, masih sedikit sekali pemahaman akan keanggotaanya dalam Gereja. Bisa dilihat dalam kegiatan yang ada. Misalnya dalam koor, di mana ini menjadi tanggung jawab dari seluruh jemaat stasi, wilayah, ataupun lingkungan. Akan tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak jemaat yang tidak ambil bagian didalamnya. Contoh lainnya adalah kegiatan doa lingkungan, dimana hanya sebagian kecil jemaat yang ambil bagian didalamnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini, biasanya adalah tempat dimana kegiatan doa ini dilaksanakan, konsumsi apa yang akan diberikan, hal mendasar seperti ini yang bisanya terjadi.

Hal lain yang mungkin lebih serius adalah bagaimana perhatian dari pastor di Paroki yang bersangkutan. Terkadang perhatian yang diberikan oleh para klerus dirasakan kurang merasa terhadap seluruh anggota jemaatnya di tempat itu. Membuat jemaat terkadang merasa malas dalam berperan dan ambil bagian dalam berbagai kegiatan yang ada di paroki tersebut. Juga adanya berbagai kesibukan yang dilakukan oleh jemaat membuat hubungan antara jemaat dan para klerus semakin renggang. Ditambah dengan adanya sikap egois yang masih kental, serta


(21)

kebutuhan ekonomi yang cukup tinggi membuat sisi kehidupan rohani jemaat terabaikan.

Dalam sebuah proses memang demikian adanya, hal yang harus diingat dan harus selalu diingat adalah mereka harapan. Harapan Gereja di masa sekarang dan masa depan. Mereka tulang punggung Gereja dan masyarakat, oleh karena itu sangat diperlukan pendampingan terhadap mereka, siapa saja. Pendampingan juga harus sungguh-sungguh agar tercapai suatu pendewasaan iman sehingga mampu bertanggung jawab penuh dalam tugas-tugas dan perutusan Gereja. Salah satu yang bisa ditempuh adalah dengan pendampingan iman yang nantinya akan bermuara pada Pembangunan jemaat yang baik dan berhasil. Pendampingan iman merupakan salah satu bentuk pelayanan bagi perkembangan iman Kristiani, sebagai salah satu usaha untuk menemani orang lain atau kelompok agar iman akan Kristus sungguh-sungguh akan tumbuh. Tidak hanya tumbuh tetapi juga dapat berkembang guna wujud nyata perbuatan dalam rangka menyongsong masa depan. Jemaat harus didampingi dengan cara peningkatan pendampingan, misalnya melalui katekese. Dengan ketekese diharapkan dapat memberikan pengaruh lebih besar kepada jemaat, juga melalui kegiatan katekese semua orang beriman baik secara pribadi maupun bersama dapat menghayati iman dalam situasi konkret. Dan jemaat bisa berkembang menajadi manusia kristiani.

Bertolak dari hal ini penulis ingin mengajukan suatu sumbangan pemikiran bagi usaha peningkatan pendampingan jemaat, yang bertujuan untuk Pembangunan Jemaat. Sebagai upaya menanggulagi saya meringkas sebuah buku dengan maksud mecari inspirasi agar bisa melakukan pendampingan Pembangunan jemaat dari sebuah buku “6 Tempayan Air Pokok-pokok


(22)

Pembangunan Jemaat” karangan karya Rob Van Kessel, demikian buku ini seterusnya menjadi acuan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis mengambil dan menjadikan buku ini menjadi acuan penulis dikarenakan Prof. Dr. Rob Van Kessel adalah orang yang ahli dibidangnya. Prof. Dr. Rob Van Kessel lahir 1929 di Jakarta, menjadi profesor dalam teologi Praktis di Universitas Utrecht. Beliau menuliskan refleksi teologis yang cukup fundamental bagi Pembangunan Jemaat. Sudah ada banyak literatur mengenai iman dan gereja yang juga mengenai problem-problem pastoral. Pembangunan Jemaat pun lama-kelamaan tidak asing lagi sebagai vak yang membekali para petugas pastoral, baik imam, pendeta, maupun awam.

Rob Van Kessel ingin bertolak dari teologi modern dan makin lama mengkhususkan diri pada Pembangunan Jemaat. Beliau mencoba membangun kader serta memberikan perspektif teologis normatif bagi Pembangunan Jemaat dalam konteks masyarakat masa kini. Tidak disangkal lagi bahwa konteks masyarakat di banyak negara dunia ketiga terkena oleh modernitas sebagai kultur baru. Di Indonesia kesadaran akan hal itu semakin kuat.

Mungkin upaya Rob Van Kessel ini bagi kalangan pembaca tertentu terkesan terlalu idealistis, terlalu radikal, atau terlalu abstrak. Namun, Rob Van Kessel mengharapkan supaya buku ini dapat memberi inspirasi untuk bertolak dari iman yang mendalam dan berkerja demi gereja yang vital dan yang betul-betul bersifat kristiani. Demikian sedikit tentang biografi Prof. Dr. Rob Van Kessel yang memang dalam hidupnya mendedikasikan diri untuk pembangunan Jemaat. Oleh dasar itulah penulis menjadikan buku karya Rob Van Kessel ini sebagai buku acuan utama.


(23)

B. Upaya Menanggulagi

Saya meringkas sebuah buku dengan maksud mecari inspirasi agar bisa melakukan pendampingan pembangunan jemaat dari buku berjudul " 6 Tempayan Air Pokok-pokok Pembangunan Jemaat ”.

Buku Rob Van Kessel menunjukkan kepada kita bahwa Pembangunan Jemaat masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Buku ini ditulis khusus bagi para Pembangun Jemaat. Dengan menunjukan dan menjelaskan butir yang penting bagi pembangunan Jemaat.

Pembangunan Jemaat salah satu kunci sukses untuk bisa menyatukan seluruh warga Gereja. Adanya pembanguan jemaat bisa membantu kinerja dari semua pihak, ini juga akan berjalan dengan baik apabila ada dukungan dari semua unsur Gereja yang ada. Pembangunan Jemaat adalah suatu proses dimana ini masa yang menentukan perkembangan hidup manusia dalam berbagai aspek yaitu fisik, intelektual, emosional, sosial dan juga spiritual. Aspek ini harus dikembangkan dengan baik demi terwujudnya Pembangunan Jemaat yang baik.

Berkaitan dengan kehidupan Gereja yang kita bicarakan adalah keberadaan manusia dan menanyakan dimanakah letak identitas kristiani kita didalamnya. Apakah manusia mengalami kehadiran Allah dalam keadaan dunia yang harus diterima saja atau dalam kebebasan yang tentunya bertanggung jawab atas dunia ini. Apakah kita akan akan beranjak dari tanggung jawab itu dan membiarkannya menjadi mati. Buku ini mengajak dan menunjukkan bahwa kita bisa memilih untuk hidup dengan bertanggung jawab penuh atasnya.

Berbagai alasan sering muncul mengapa anggota gereja sekarang ini jarang sekali yang berani ambil bagian di dalam kegiatan mengereja. Pada saat ini


(24)

saya melihat adanya budaya sungkan yang berlebihan dari semua anggota Gereja, dimana orang menjadi tidak peduli karena alasan yang sangat mendasar yaitu tidak enak. Di sisi lain juga ada yang bertabrakan dengan waktu, masih ada pekerjaan, dan masih banyak yang lainnya. Padahal hidup sebagai anggota gereja berarti bisa dan harus ambil bagian didalamnya. Maka dengan demikian baru akan tampaklah iman di dalam kehidupan sehari-hari yang diwujudkan kepada sesama yang berada di sekitar kita.

Melihat banyaknya masalah yang belum terpecahkan dan teratsi maka Rob Van Kessel lewat buku ini berusaha memberikan solusi kepada jemaat dan seluruh anggota Gereja, khususnya para Pembangun Jemaat untuk bisa melakukan pendampingan kepada seluruh anggota Gereja guna terwujudnya Pembangunan Jemaat yang baik. Secara khusus ini terlihat bagaimana maju dan mundurnya Gereja tidak akan terlepas dari kreatifitas dan tanggung jawab warga Gereja dimasa ini.


(25)

BAB II

PENGHAYATAN KENYATAAN, PENEBUSAN DAN PEMBEBASAN

A. Penghayatan Kenyataan 1. Cara Keberadaan Kita

Segala yang hidup ditempatkan dan menempatkan diri dalam ruang dan waktu. Manusia di dalam menempatkan diri terjadi dengan kesadaran, secara berbeda-beda dan dalam hubungan timbal-balik antara pengalaman dan pilihan; antara pengamatan dan penentuan diri. Dengan pasti kita selalu akan ditempatkan, berulang-ulang di tengah-tengah yang sudah ada dan yang tidak kita pilih. Fakta tidak bisa kita lawan dengan berbagai macam cara. Lingkungan yang di dalamnya terdapat fakta yang menentukan kita dan yang tidak kita pilih.

Kita dapat memilih sesuka hati kita, tetapi dengan kebebasan dan kebebasan itu pun bersyarat karena kemungkinan untuk kita memilih juga terbatas dan yang kita pilih itu tidaklah sempurna. Ada batasan yang kita kenal sebagai ruang dan waktu. Ruang mempunyai bermacam-macam wujud. Contoh dari ruang adalah alam, dunia, situasi. Ruang adalah kesatuan dalam keanekaragaman. Dan ruang sendiri mempunyai mempunyai berbagai macam fakta yang saling berkaitan. Semuanya itu kita kenal sebagai hukum dan struktur.

Dimensi ruang sendiri dilintasi oleh dimensi waktu. Waktu ialah aliran perubahan yang terus-menerus terjadi dalam ruang, dari masa lalu melewati masa kini dan akan berjalan menuju masa depan. Fakta selalu berulang di setiap waktu. Keberadaan kita manusia ditentukan secara mendasar oleh perputaran waktu,


(26)

yaitu siang dan malam, musim hujan dan musim kering, dan yang paling utama kelahiran, kedewasaan dan kematian. Meskipun demikian, struktur dalam ruang dan siklus itu tidak bersifat mutlak dan memungkinkan untuk mempengaruhi, dengan cara mengubahnya. Kalau manusia memperoleh pengertian mengenai ruang dan waktu maka ia dapat mengendalikan proses tersebut ke arah tujuan yang ditentukannya. Dengan kata lain manusia membuat dunia kita, situasi kita, dan sejarah diri sendiri. Dan kita juga bertanggungjawab atas perbuatan kita yang baik dan buruk.

Kenyataan oleh orang Kristiani disebut Allah. Dalam pengalaman dan pendapat tentang pengalaman itu, orang beriman berkaitan juga dengan Gereja dan dimotivasikan untuk berpartisipasi dalam kehidupan Gereja.

KEHARUSAN KEBEBASAN

RUANG Tata & tatanan (yang sudah ada/ ditentukan)

Struktur (yang dapat diubah)

WAKTU Perputaran/ siklus (menurut tata alam)

Proses (yang dapat dikendalikan)

Dapat dikatakan bahwa orang yang mengalami bahwa keberadaan mereka akhirnya dikendalikan oleh keharusan, oleh nasib, oleh fakta yang sudah ditentukanterlebih dahulu akan mengalami ruang serta waktu sebagai peraturan/ tatanan dan perputaran/siklus. Sedangkan mereka akhirnya menyadari diri sebagai manusia dalam kebebasan serta tanggungjawab akan memahami ruang serta waktu tertutama sebagai struktur dan proses.


(27)

Dalam kesepakatan biblis kristiani menganai perjanjian, pembebasan, dan harapan akan kedatangan Kerajaan Allah, maka dalam bidang pengalaman kedua (pembebasan) secara tuntas menerangkan siapakah Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Di dalam Kitab Suci pengakuan Allah sebagai pencipta tidak primer. Yang primer adalah pengalaman dengan Allah yang mengasihi manusia dan Allah yang membebaskan dan menyelamatkan. Dalam misteri Kristus, kematian dikalahkan. Jika demikian, makan bukan nasib, bukan pengalaman alamiah, bukan pengalaman perbatasan, serta pengalaman tentang jalan hidup manusialah yang terutama berbicara tentang Allah, melainkan pengalaman tentang harapan dan kasih yang membebaskan.

Tidak mungkin meringkas refleksi dan argumentasi teologis di sini. Tetapi yang mempunyai mata, telinga, dan hati terhadap apa yang dikatakan orang tentang Keterakhiran, mereka akan memahami dan mengenali perbedaan antara keharusan dan kebebasan di dalam banyak pendapat dan pengungkapan yang kadang-kadang sangat nyata. Dalam iman banyak umat, pola keharusan sangat menonjol, namum pola itu ternyata sering disilangkan oleh unsur-unsur dari pola pembebasan. Keterkaitan Allah dengan hati dan suara batin, yaitu dengan kebebasan manusia, sangat berakar dalam tradisi kristiani umat beriman. Menurut Rob Van Kessel proses sekularisasi adalah proses dimana manusia semakin tepat untuk memahami dunia ruang dan waktu mereka sebagai tempat yang ditentukan terlebih dahulu untuk diciptakan kembali. Proses ini sudah dimulai jauh sebelum perhitungan tahun masehi ketika manusia mulai menguasi dunia melalui pertanian, pertukangan dan pembangunan kota. Juga beberapa abad sebelum kristus ada dimana manusia belum berpikir akan dirinya sendiri.


(28)

Akan tetapi terdapat banyak ambiguitas (dua pengertian). Ambiguitas ini terdapat dalam tradisi pewartaan gerejawi dan dalam teologi. Khususnya tampak dalam pewartaan dan teologi mencari makna dan arah kebebasan dan tanggung jawab dan juga sekaligus atas nama Allah untuk mencari makna kejahatan konkret yang tidak dapat dikalahkan dan tidak dapat dihindari. Dalam proses sekularisasi, manusia semakin tetap mulai memahami dunia ruang dan waktu mereka sebagai tempat yang ditentukan terlebih dahulu untuk diciptakan kembali. Ini dapat diartikan kembali, bumi ini sebagai tenpat yang kacau oleh manusia ditata kembali untuk dijadikan alam semesta yang tertata. Maka manusia harus mengubahnya menjadi dunia yang bermakna dan dapat dijadikan tempat tinggal. Proses ini dimulai sejak zaman purba, manusia mulai menguasai dunia melalui pertanian, pertukangan dan sekarang adalah pembangunan kota. Hal ini diwariskan kepada kita, seperti yang terdapat di dalam Kitab Perjanjian Lamatentang manusia sebagai Citra Allah yang dipanggil untuk menaklukkan alam dan membawa kepada tujuan yang diimpikan manusia. Kesadaran ini terus bertumbuh dalam teologi Kristiani abad pertengahan dan merambat ke Renaisans, Humanisme, dan Pencerahan. Namun, manusia tidak mengambil peran utama dalam penghayatan diri, sehingga ambiguitas tetap ada dalam sejarah. Proses sekularisasi dalam arti positif seolah-olah menjadi barang mewah bagi kalangan budayawan yang merupakan golongan orang atas. Tetapi bagi orang yang tertawan oleh perjuangan demi mencari uang untuk hidup sehari-hari. Proses sekularisasi ini membatasi diri pada orang yang mempunyai kuasa untuk mewujudkan masyarakat lewat kepemimpinan, ekonomi, sosial dan politik. Dalam Keterakhiran-Nya, Ia hanya dapat diimani dan dikasihi sebagai Yang


(29)

memanggil kita untuk mengembangkan diri sesuai dengan identitas kita, yaitu sebagai manusia yang bebas dan bertanggungjawab atas hidup dalam ruang dan waktu.

3. Teologi

Kesadaran akan identitas ini menjadi ciri teologi modern, yaitu Allah mau dipahami sebagai Yang imanen (berada dalam kesadaran atau dalam akal budi). Allahlah yang mewajibkan kita secara mutlak dan tanpa syarat untuk memilihi pembebasan dan tanggung jawab atas dunia dan sejarah. Di dalam teologi politis, orang berpikir tentang Allah kita tetapi dengan berbagai macam tekanan. Orang berbicara tentang Allah kita dalam berbagai macam bentuk teologi kemerdekaan. Dalam hal ini pembangunan jemaat mau dilihat dalam konteks teologi yang memerdekakan, dimana orang tidak lagi ingin merasa berada dalam tekanan tetapi merasakan suatu kebebasan.

Komponen-komponen Historisnya ada dua, sebagai berikut: a. Komponen yang pertama adalah teologi dialektis.

Disebut demikian karena mempertemukan antara religi dan agama yang akan diolah. Di dalamnya mempertentangkan pendapat antara ilahi-sakral mengenai fakta-fakta yang seakan-anak ditentukan terlebih dahulu secara alamiah, dengan pengabdian kepada Allah, sebagaimana allah telah mewahyukan diri dalam diri Yesus Kristus. Muncullah peperangan Allah yang benar yang mengasihi manusia melawan ilah-ilah yang membelenggu manusia. Dalam konteks ini, Gereja yang vital adalah Gereja yang dapat menemukan ilah-ilah di zaman sekarang dan membasminya dengan sekuat tenaga.


(30)

b. Komponen yang kedua adalah personalitas yang berasal dari filsafat eksistensi.

Ini merupakan jiwa pembaruan Gereja Katolik sebelum, selama, dan sesudah konsili Vatikan II. Teologi ini lebih menekankan pada arti unik setiap manusia sebagai subjek di hadapan Allah dan dalam relasinya dengan sesama manusia. Menjadi manusia berarti mewujudkan diri sambil memilih yaitu memilih orang yang mengajak dan menantang kita serta mengembalikan kita kepada diri kita sendiri dalam paguyuban, perjanjian, dialog, pertanggungjawaban dan kasih. Gereja yang vital dalam konteks ini adalah jemaat beriman yang terdapat orang, berdasarkan hubungan yang sama dengan Allah yaitu saling memberi diri dan saling menerima. Komunikasi itu terjadi dalam kesetimbalan yang terus-menerus antara kata dan jawaban, antara pelayanan dan balasan.

c. Komponen yang ketiga adalah teologi harapan.

Teologi ini lahir di tahun enam puluhan, ketika orang sadar akan ketidakhadiran Allah dalam kesenangan kesengsaraan di Dunia Ketiga yang semakin bertambah, di dalam ancaman perang, dan pengrusakan lingkungan. Teologi ini mencari jawaban atas hilangnya makna hidup di tengah-tengah keadaan dunia moderan yang tidak jelas. Gereja yang vital adalah jemaat beriman yang dalam masa yang gelap dewasa ini memelihara dan melestarikan makna hidup serta impian kebebasan lewat usaha untuk mewujudkan kemanusiaan yang benar di dunia ini sekarang.

Dapat dikatakan bahwa ketiga pembaruan spiritual yang terjadi dalam penghayatan iman serta kenyataan kristiani menyatu dalam teologi politis dan


(31)

teologi pembebasan. Ketiganya merupakan aliran yang mengkritik kenyataan moderen secara tajam, namun dalam prinsipnya menyetujui inti pokok proses sekularisasi sebagai kristiani. Teologi masa kini cenderung mencoba mengolah kritik itu di dalam pandangan-pandangan tindak-tanduk. Politik di sini berarti bahwa ruang dan waktu, dunia serta sejarah dimengerti sebagai totalitas yang terdiri atas struktur-struktur dan proses yang harus dan dapat diubah secara berulang-ulang menuju janji Allah dan maksud Allah dengan manusia. Gereja yang vital menurut konteks ini adalah, jemaat beriman yang melihat secara nyata, dengan berani, dan dengan memahami kenyataan, tanpa pamrih mengikuti Yesus. Kemudian secara nyata berusaha dan berjuang demi keadilan, demi perdamaian, demi kehidupan manusia dan juga berguna bagi manusia yang lain. Gereja seperti ini dalam berbagai hal dan secara berulang-ulang akan melihat dengan membandingkan dengan slogan murahan dan dengan nilai serta norma yang berlaku dalam bidang ekonomi, politik, dan ideologi masyarakat yang modren.

4. Etik

Yang dimaksud model etis adalah keseluruhan yang konsisten yang terdiri dari norma-norma kelakuan yang oleh masyarakat dijadikan keharusan bagi anggotanya agar mereka sebagai persekutuan bisa bertahan dan berkembang. Pada kenyataannya pewartaan moral Gereja tidak pernah sama maka ada beberapa model pendapat yang pernah diakui. Penyebanya adalah karena Gereja-gereja merupakan bagian dari masyarakat tertentu dan juga selalu juga dalam pewartaannya ikut mengungkapkan kesadaran moral yang berlaku. Dengan


(32)

adanya beberapa model etis yang berlaku bersamaan, kita juga menemukan kembali ambiguitas tentang Keterakhiran bagi manusia.

Model pertama, model ini yang paling tua. Alamlah yang dianggap sebagai keseluruhan yang lebih besar. Dalam model ini, alam atau seluruh kenyataan jagad raya ini yang terdiri dari makhluk hidup dan yang tidak hidup dengan keteraturannya dalam ruang dan waktu dianggap sebagai hal yang diatur dengan baik dan diciptakan serta dikehendaki oleh Allah. Dalam model ini, tugas para penguasa dan pemimpin gerejawi ialah untuk menghormati hukum alam sebagai Sabda Allah Pencipta dalam undang-undang.

Model ke dua, yang menjadi pokok adalah bangsa yang menjadi keseluruhan yang besar dan kudus. Manusia hanya berarti sedikit saja. Keseluruhan bangsa itu dianggap mempunyai asal usul ilahi. Lapisan-lapisan masyarakat yang ada di dalamnya dianggap pula sebagai yang dikehendaki oleh Allah. Sentral dalam model etis ini adalah norma. Manusia harus mengerti tempatnya dan mengabdikan tenaganya kepada kepentingan keseluruhan. Gereja yang menggunakan model ini termasuk Gereja Katolik yang diatur secara Hierarkis. Ada juga Gereja nasional yang memberikan legitimasi religius kepada raja dan perundangan dalam negara yang menggunakan model ini. Di dalam sejarah hal ini dikenal sebagai persekutuan antara tahta dan mezbah.

Dapat diambil kesimpulan bahwa kedua model ini telah kehilangan legitimasinya bagi manusia modern. Model pertama, karena semakin tidak dimutlakkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan alam, medis, dan teknik yang berusaha semakin mengalahkan penderitaan dan kemiskinan manusia melalui penguasaan alam. Jadi secara etis respek terhadap alam dikalahkan oleh respek


(33)

terhadap manusia serta penugasannya untuk berjuang demi keberadaan manusia yang wajar. Untuk model yang ke dua, karena pengalaman yang berabad-abad lamanya dengan peperangan antar bangsa, negara dan agama, dengan kediktatoran dan penindasan bangsa, golongan, suku dan jenis kelamin.

Model ke tiga, ini berpola dua karena di satu pihak, bertolak dari hak dasar bagi setiap individu untuk bertindak sebagai subjek dengan kebebasan penuh. Di lain pihak model itu menekankan kesederajatan semua orang dalam satu kemanusiaan yang universal. Untuk itu umat manusia diwakili oleh pemimpinnya mempunyai kewajiban untuk memungkinkan kebebasan dan kesamaan bagi semua orang lewat mewujudkan hidup manusiawi yang layak. Kekurangan model ketiga yang sesungguhnya ialah ambiguitas mengenai cita-cita kebebasan karena di satu pihak, kebebasan terlalu dimengerti sebagai ruang untuk mengejar kepentingan individual, dan di pihak lain, kebebasan kurang bersifat pribadi dan terlalu bergantung pada struktur sosial ekonomis.

Model keempat, yang menjadi pusat adalah hak orang lemah. Dalam model ini manusia yang menderita mempunyai hak etis akan pembebasan oleh orang lain. Di dalamnya juga ada kenyakinan bahwa dalam ketaatan kepada apel yang datang dari manusia yang menderita terletak jalan kepada kebebasan dan pembebasan yang benar. Ini memberikan bentuk bagi tradisi belas kasihan manusiawi yang mengagumkan. Legitimitas model ini berulang kali dibantah dengan berbagai argumen yaitu bahwa model ini melawan alam, bersifat adikodrati, melarikan diri dari dunia, tidak efisien, tidak sehat, lemah, dan berbahaya. Model ini juga merupakan batu sandungan karena pengakuan bahwa


(34)

Yang tersalib adalah Tuhan dunia ini memang merupakan batu sandungan bagi yang kuat dan yang bijak.

Dibawah ini apakah yang termasuk dalam terang pertimbangan-pertimbangan disebut Gereja yang vital? Pada model yang pertama dan ke dua, Gereja vital ialah Gereja dalam nama para anggotanya harus berpegang teguh pada ketentuan moral yang dirumuskan oleh kuasa ajaran Gereja tentang tindakan alamiah dan tindakan yang melawan alam. Di dalamnya juga terdapat ketentuan tentang apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh para anggota gereja agar disebut Kristiani. Jika diperlukan kesalehan di mana orang mencari kekuatan pada Allah untuk dapat menanggung nasibnya dan untuk memenuhi kewajiban tugasnya seperti yang digariskan oleh moral tersebut.

Pada model ke tiga, Gereja adalah vital jika memperjuangkan hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial-politik, dan kultur. Perjuangan ini dapat dilakukan lewat kegiatan-kegiatan yang sangat sekuler. Akan tetapi, diperlukan kesalehan fundamental di mana hormat terhadap setiap manusia sebagai citra Allah menjadi sentral.

Model ke empat, Gereja adalah vital dan mempunyai identitas kalau anggota dan pemimpin membuka mata, telinga, dan hati terhadap penderitaan di sekelilingnya, konkret dekat dan lebih jauh, dan kalau dalam keikutsertaan pada Nabi mencurahkan kekuatannya untuk membebaskan manusia dari penderitaan. Fokusnya pada pemeliharaan dan perjuangan demi orang yang tidak diberi tempat dan waktu dalam tatanan yang ada. Kesalehan yang diperlukan adalah kesalehan yang melihat, merasakan, dan mengerti kehadiran Allah dalam orang yang mengalami penderitaan dan ketidakadilan; dalam mereka yang walaupun


(35)

menderita mempunyai keberanian dan harga diri untuk tetap mau hidup secara manusiawi. Itulah kesalehan yang mengabdikan dirinya kepada manusia yang tersalib.

5. Pembangunan Jemaat

Pembangunan Jemaat menjalankan dan memprogramkan tindakan-tindakan macam itu mengandaikan pengakuan iman yang tidak ambigu atau mengandung makna lebih dari satu tentang kebebasan dan pembebasan. Pembangunan jemaat bertitik tolak dari tanggung jawab semua orang yang bersangkutan terhadap keberadaan dan pembentukan jemaat kristiani dalam situasi ruang dan waktu mereka. Program ini muncul dari pandangan politis-tologis atas Gereja di dunia masa kini. Dengan demikian, program itu berpartisipasi dalam usaha kebebasan dan kesamaan yang merupakan inti proses sekularisasi. Kiranya sikap berpegang pada cara berpikir teologis dan etis yang tidak lagi dapat dipertahankan dalam Gereja terancam jatuh pada pinggiran dan di luar ruang zaman modern. Mereka yang mengusahakan pembangunan jemaat dapat terbentur pada ketidakpahaman dan penentangan di dalam Gereja-gereja.

Tujuan paling penting dari pembangunan jemaat adalah bagaimana struktur, perubahan struktur, dan perwujudannya dilalui dengan berbagai macam proses. Dimana tentu pembanguan jemaat bertitik tolak dari tanggung jawab semua orang yang bersangkutan terhadap keberadaan dan pembentukan jemaat kristiani dalam situasi ruang dan waktu mereka.

Pembangunan jemaat harus bekerja dengan nilai dan norma model ketiga, maka pembangunan jemaat dengan tetap memperjuangkan demokrasi, dialog dan


(36)

hak untuk ikut berbicara, hak-hak sosial, kesederajatan laki-laki dan wanita, ekumene, dan hormat bagi keyakinan masing-masing orang dalam kebebasan yang pluriformuntuk memiliki pandangan hidupnya sendiri. Namun, legitimitas model ketiga oleh banyak orang kristiani modern dianggap sebagai hal yang begitu biasa sehingga pembangunan jemaat terlalu mudah mencari mitranya. Betapa pun benarnya usaha pembangunan jemaat untuk memperkenalkan nilai-nilai model ketiga, namun bagi pembangunan jemaat, spiritualitas kristiani menurut model keempat perlu, karena merupakan dasar latar belakang. Kalau terlalu mudah mengidentifikasikan dirinya dengan model ketiga maka pembangunan Jemaat dapat terjerat dalam ketegangan antara cara berpikir liberalistis dan sosialistis yang nyata, tanpa kemungkinan untuk memprofilasikandi dalam identitas etis sendiri. Oleh karena itu, kiranya perlu memberikan perhatian mendalam kepada model etis ke empat.

B. Penebusan Dan Pembebasan 1. Hidup dan Kematian

Kata penebusan berasal dari tradisi kristiani, kata ini dianggap sama saja dengan dengan istilahseperti dosa dan rahmat, keselamatan, pertobatan, pengampunan, perdamaian, dan kebangkitan dari antara orang yang mati. Dalam riwayat terjadinya Alkitab, sedikit-sedikit berkembanglah pengertian ganda tentang hidup. Ada paham hidup dalam arti biologis dan psikologis, yaitu hidup alamiah di bumi dengan bentuk serta relasinya. Hidup itu akn berakhir pada kematian, dalam religi dan filsafat, hidup dalam arti ini bermakna ilahi dan


(37)

menentukan hidupnya di akhirat maka tidak ada yang lebih berharga dan suci bagi manusia daripada keberadaannya sebagai makhluk hidup.

Arti hidup ini cocok dengan model etis pertama yaitu hidup ini keramat, tidak boleh disentuh, manusia tidak boleh memperlakukannya dengan cara yang bertentangan dengan alam. Maka kelestarian dan pertumbuhan hidup alamiah merupakan nilai dasar dan persekutuan dasar dari setiap bangsa. Dalam kerangka berpikir itu, kelahiran, kedewasaan, dalam mana perkawinan mengatur kesuburan secara kodrati merupakan puncak. Kematian dianggap suci karena berbicara tentang Allah yang memberikan dan mengambil hidup.

Dalam etik ini diteguhkan hakdasar setiap manusia atas hidup, atas integritas fisik dan psikis, juga atas kesehatan dan pemeliharaan akan kesehatan. Akan tetapi, titik tolaknya tidak lagi kesucian hidup itu sendiri, melainkan respek atau rasa hormat terhadap syarat-syarat yang mutlak perlu bagi manusia agar dapat mengembangkan diri sebagai pribadi bebas. Tanpa hati dan suara batin, manusia bisa hidup namun dalam kenyataan ia mati dan membuat mati. Tanpa hati dan suara hati manusia bisa berada, namun kenyataannya ia bukan manusia. Manusia baru benar-benar menjadi manusia jika dalam dirinya telah berkembang hidup yang lain.

Hidup menurut citra Yahwe yang melihat kesusahan manusia dan mendengar keluhan mereka. Untuk benar-benar menjadi manusia diperlukan kehidupan kembali akan hidup dimana mata benar melihat, telinga benar-benar mendengar, Kelahiran kembali yang mampu berbicara dan bertindak demi pembebasan. Tradisi gerejawi kemudian mengisi paham hidup itu dengan kata hidup dalam rahmat, hidup mamnusia baru, hidup adikodrati, hidup kekal, hidup


(38)

dalam Roh. Dalam tradisi ini, kebangkitan berarti kelahiran kembali menjadi manusia yang benar dan Paskah merupakan pesta besar yang merayakan keluaran menuju kehidupan yang benar dalam kebebasan dan kasih.

2. Proses Penebusan

Betapapun hidup dalam kebebasan dan kasih mempunyai nilai lebih yang ilahi, namun hidup itu mengekpresikan diri dan membenarkan diri terhadap kepribadian terhadap hidup alamiah dan wajar bagi semua orang secara bersama dan perorangan. dalam keseluruhan proses pembebasan manusia memang dapat dan harus dibeda-bedakan macam-macam dimensi, namun tidak boleh dipisahkan yang satu dari yang lainnya.

Dalam proses pembebasan manusia, kelompok, bangsa dan seluruh umat manusia, teologi pembebasan membedakan tiga dimensi. Pertama, pembebasan dari kemiskinan menurut segala segi, ekonomis, sosial, politik, fisik, dan psikologis. singkatnya pembebasan dari hal yang tidak pantas. Kedua, pembebasan dalam arti eksistensial, pembebasan dari perbudakan batiniah, penyadaran akan harkat manusia dan keberanian untuk menentukan nasibnya sendiri. Ketiga, pembebasan manusia untuk saling berbagi hidup dalam hubungan solider sambil mewujudkan persekutuan menurut hukum roh.

Bisa terjadi bahwa manusia mengembangkan arah pemikiran atau strategi mulai dengan dimensi pertama (kemiskinan) melalui dimensi kedua (perbudakan batiniah) ke dimensi ketiga (pembebasan yang satu untuk yang lain). Arah ini terpengaruh oleh pengalaman bahwa kesejahteraan minimal merupakan syarat bagi proses pembebasan manusia selanjutnya. Namun, arah pemikiran ini


(39)

cenderung menyepelekan dimensi pembebasan ketiga yaitu hidup berbagi dalam pesekutuan yang solider. Kelompok basis itu kaya akan kelompok ketiga, keterkaitan solider, sedangkan orang kaya justru miskin dalam dimensi ini.

Berhubungan dengan vitalitas gerejawi, pertimbangan di atas tampaknya membenarkan tiga kesimpulan. Kesimpulan pertama, dimensi pembebasan serta hidup yang wajar tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Berarti bahwa perpisahan antara gereja dan masyarakat atau negara dunia tidak dapat dipikirkan dengan sederhana. Gereja yang hidup tidak boleh menutup mata dan telinga serta matanya akan penindasan sesama manusia. Karena orang miskin adalah orang yang pertama masuk surga (Mat. 5:3). Kesimpulan ke dua, gereja tanpa kultur pembebasan adalah gereja yang tidak memiliki kredibilitas. Dalam hal ini ada ketergantungan dari dari orang yang tertindas terhadap sesuatu hal yang lebih kuat, disini yang lebih kuat adalah gereja. Dalam pengertian sebagai umat Allah ketergantungan adalah ketergantungan dalam kasih dimana yang kuat mengulurkan tanggan kepada yang lemah. Kesimpulan ketiga, Gereja menjadi sumber hidup dan pelayanan terhadap hidup. Setiap proses pembebasan dimulai dengan pembentukan persekutuan yang solider, kelompok manusia yang saling bertemu dalam arti yang benar, dan bersedia untuk berkorban demi kepentingan bersama. Hal ini lahir dari kesadaran mistik akan kehadiran Allah dalam Yesus yang tersalib demi penghapusan dosa.

3. Ibadat – Liturgi

Dalam gereja yang dimaksud dengan liturgi adalah perayaan dan kenangan akan misteri Kristus, yaitu tentang Allah yang menyelamatkan manusia. Pesta


(40)

Paskah sebagai kenangan akan kematian dan kebangkitan Yesus secara kristiani yang mengulang kembali kisah perpindahan dari hidup yang tidak benar berubah menjadi umat Allah. Dimana peralihan akan hidup itu semuanya berarti hidup yang lebih baik. Hari minggu bagi orang kristiani tidak hanya diartikan sebagai hari istirahat, tetapi juga sebagai hari Sabat, pesta Taurat, hukum roh, dan pesta yang merayakan hidup baru bersama-Nya. Dalam perayaan paham akan kenangan kembali, dimana beriman berati tidak melupakan, tidak membiarkan hidup mengalir kedalam dunia semu yang penuh dengan kepalsuan, melainkan kembali mengenangkan kebaikan Allah yang berarti berani kehilangan hidup lama demi hudup baru yang lebih baik.

Orang kristiani dalam pertemuannya untuk merayakan perjamuan senantiasa mengadakan anamnese, yaitu kenangan akan hidup, kematian, dan kebangkitan yang tersalib. Kenangan akan pembebasan itulah yang menjadi fokus dalam pertemuan umat. Akan tetapi kenangan ini harus di olah dengan baik, karena akan mengambil diri kita dari cara hidup yang mudah. Kenangan ini akan menimbulkan konflik antara kita dan kuasa-kuasa yang memerintah dan dengan pendapat serta tindakan murahan yang bisa kita lakukan di dalam maupun di luar diri kita.

4. Pelayanan Pemeliharaan, Perjuangan, dan Pengampunan

Masih ada tuntutan lain terhadap liturgi, ibadat yang benar hanya mungkin terjadi sebagai pangan dan ekspresi serta penegasan dari sebuah spiritualitas. Dimana dalam arti fisik, kematian ada dimana saja manakala manusia tidak dapat mengembangkan keberadaanya secara penuh karena penderitaan, kemiskinan, dan


(41)

ketidakberdayaan. Di saat manusia mengalamai kesusahan seperti itu, disana tumbuh iman, harapan dan kasih yang akan berbuah pada pelayanan. Pelayanan itu disebut sebagai diakonia, pemberian pertolongan demi pemeliharaan manusia. Pelayanan ini disebut inti vitalitas Gereja.

Kematian yang terus menerus ada juga yang dalam arti eksistensial, dimana manusia tidak hanya menderita begitu saja, melainkan oleh karena penderitaan itu yang disebabkan oleh kemiskinan, penyakit, serta ketidakberdayaan yang membuat orang menjadi ragu akan makna hidupnya. Dalam arti itu kematian ada sejak permulaan keberadaan kita. Kematian itu dialami dimana saja kita terbentur pada ketidakmampuan, kemustahilan, perpisahan. Dalam semua bentuk itu, kematian ditentukan terlebih dahulu dan kita tidak dapat mengalahkannya. Saat ada kehidupan tentu akan ada masa peralihan yang disebut dengan kematian. Disaat masa peralihan akan hidup ini kematian menjadi syarat utama untuk hidup, sebagai syarat pertumbuhan dan perkembangan menurut perumpamaan benih yang harus mati demi menghasilkan buah.

Karenanya kita mengenal rahasia kasih yang juga mengenal kematian, namun sebagai jalan menuju hidup dan dalam iklim kebebasan. Dalam kitab suci, kasih lebih kuat daripada kematian maka kemudian kasih itu disebut hidup kekal. Kekal karena dalam penderitaan yang tidak dapat kita kalahkan itu kita masih tetap membuka hari depan yang positif, yaitu kemungkinan untuk hidup terus secara bermakna. Menjadi bermakna apabila kita melakukan perjuangan untuk tetap dapat melakukannya. Perjuangan itu pertama-tama mengenai kekurangan akan kebutuhan yang paling penting bagi orang banyak. Kedua ialah perang dan


(42)

persenjataan yang semakin membunuh dan menghancurkan kesejahteraan. Ketiga adalah pengrusakan lingkungan dan pengurasan yang memiskinkan dan mengancam masa depan umat manusia. Ketiga hal ini menjadi perhatian dalam proses konsilier demi keadilan, perdamaian, dan keutuhan cipta.

Ketidakbebasan dan ketidaksamaan yang dipertahankan kelompok penguasa yang memiliki kepentingan tertentu sehingga orang lain dirugikan. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang terjadi juga di sekeliling kita dalam bentuk kemiskinan dan diskriminasi. Orang miskin bukanlah orang yang lemah, tetapi orang yang selalu dibuat miskin, dimana ada orang yang kaya dan kuat yang memanfaatkan itu semua. Dimana tugas gereja? Hal ini banyak dipertanyakan, tugas gereja adalah terletak pada kehadiran gereja sebagai inti vitalitas yang mengalahkan kematian, yaitu dengan pelayanaan kepada perjuangan demi keadilan. Di kalangan Katolik, pelayanan kepada hidup ini mengalami impase. Termasuk hidup gerejawi dulu yang praksis pengakuan dosa, dimana sekarang praksis ini sedang menghilang.

5. Pembangunan Jemaat

Pelayanan tiga tahap dalam hidup yaitu pemeliharaan, perjuangan, dan pengampunan yang bersifat esensial bagi gereja vital karena merupakan hakikat identitas kristiani. Dalam liturgi jemaat beriman, ketiga aspek itu harus diekspresikan sebagai jawaban akan sabda, sebagai penghayatan kenangan akan yang tersalib dan telah bangkit, sebagai perayaan kehadirannya di tengah-tengah jemaat. Yang menjadi masalah adalah tiga pelayanan tersebut tidak boleh dicampuradukan. Dimana perjuangan diperlukan disitu, pemeliharaan tidak boleh


(43)

menyelimuti problemnya. Pada akhirnya semuanya itu bergantung pada pertanyaan apakah program kristiani ini tentang hidup dan kemenangan akan kematian?, dari situ kita akan masuk pada suatu tujuan bahwa semuanya tentang Allah dan penghayatan kita tentang Allah.


(44)

BAB III

ALLAH, PEWAHYUAN DAN KOMUNIKASI IMAN

A. Allah

1. Gambaran-gambaran Allah

Pertanyaannya adalah dengan pengalaman manakah, dan dengan gambaran manakah orang beriman yang membicarakan tentang Allah. Dengan berbagai macam cara orang memperoleh pengalaman berjumpa dengan Allah. Dapat diartikan bahwa oleh seseorang pengalaman tersebut dianggap berharga walaupun tanpa ada saksi dari orang lain. Faktor yang mempengaruhi orang memperoleh pengalaman yang bermakna adalah bagaimana orang belajar untuk menginterpretasikan pengalamannya menurut sudut pandang yang dalam. Tantangan yang mendasar bagi gereja adalah bagaimana menginterpretasikan pengalaman.

Yang menentukan pembentukan identitas kristiani bukanlah pengalaman-pengalaman yang terjadi, melainkan pengalaman-pengalaman mengenai pembebasan dalam kasih, keadilan dna perdamaian atau pengalaman yang terkait pelayanan kepada hidup. Seperti yang diungkapkan dalam Kitab Suci di mana Allah disebut Allah kasih dan keadilan, Allah murah hati dan perdamaian, Allahnya orang miskin dan tertindas. Hanya gambaran yang sebagai gambaran Keterakhiran ini yang membangkitkan hara pan dan kasih melawan kuasa-kuasa kejahatan yaitu gambaran yang berbicara tentang hidup. Gambaran Allah yang paling nampak adalah dalam Sabda yang telah menjadi Manusia yaitu Yesus Kristus. Pentinglah


(45)

bagi pembangunan jemaat supaya memperhatikan aspek-aspek seperti di atas ini dan memulai proses-proses perbaikan. Memperhatikan dan memperbaiki belum cukup, karena gambaran, bayangan dan pengertian itu hanya menjelaskan bagaimana orang berpikir tentang Allah.

2. Analisis Penelitian

Penelitian empiris yang banyak dipakai akhir-akhir ini menggolongkan jawaban atas pertanyaan bagaimanakah Allah hadir pada manusia. Hasilnya ialah 4 macam jawaban atau pernyataan.

 Ada Allah yang mempedulikan kita masing-masing secara pribadi

 Pasti ada semacam kekuasaan yang lebih tinggi yang menguasai kehidupan

 Saya tidak tahu apakah ada Allah atau kekuasaan yang lebih tinggi  Tidak ada Allah dan tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi

Penggolongan ini dapat dikritik karena bagi orang kristiani keempat pernyataan tersebuat bisa berlaku sama. Namun jawaban atas pertanyaan itu bisa relevan. Di dalam negara modren, semula orang setuju dengan pernyataan a, tetapi semakin lama dapat berubah seiring dia mengenali diri sendiri sesuai dengan ketiga pernyataan tersebut. Pergeseran pernyataan dari a ke b,c dan d terjadi pada orang muda. Ada negara modren di mana persetujuan orang muda dengan pernyataan a sudah minim sekali. Kebanyakan orang yang setuju dengan pernyataan a adalah orang yang aktif dalam kegiatan gereja. Tetapi pendapat ini tidaklah mutlak, karena bisa saja orang yang setuju dengan pernyataan b-d itu orang yang aktif di kegiatan gereja. Akan tetapi gambaran menyeluruh


(46)

menunjukkan bahwa keanggotaan Gereja telah mengalami jatuh bangun dengan adanya pengalaman tentang Allah menurut pernyataan a. Persetujuan dengan pernyataan a berkurang sebanding dengan umur orang yang semakin muda.

Dilihat dari teologis praktis, masalahnya tidak lagi hanya mengenai gambaran-gambaran Allah. Jika kita membayangkan data secara proses maka yang sesungguhnya terjadi adalah pergeseran dalam hal pengakuan akan Allah sendiri dari relasional ke objektif, kemudian dari kebimbangan ke penyangkalan. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa ciri pernyataan a yang berlaku untuk anggota Gereja yang aktif berlaku juga untuk orang beriman tradisional maupun yang beriman modern. Jadi, keakifan dalam Gereja tidak bergantung pada gambaran Allah yang berbeda dalam aliran tradisional dan modern. Kesimpulannya bahwa setiap gereja mempunyai pola masing-masing yang berbeda satu sama lain, sehingga ditemukan gambaran-gambaran Allah tertentu menurut mereka. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keterlibatan. Yang menentukan ialah apakah pergaulan dengan Allah dalam doa dianggap sebagai praktek yang bermakna. Semua ini dapat diambil kesimpulan yaitu Gereja kehilangan inti daya hidup karena proses sekularisasi, sehingga doa menjadi hilang dari hidup orang. Krisis Gereja dewasa ini adalah krisis doa. Jadi, dalam pembangunan jemaat sebagai prioritas utama perlu diusahakan budaya untuk berdoa yang baru yang mempunyai kepercayaan yang besar dari umat.

3. Dilema

Hidup gerejawi menjadi asing bagi mereka yang tidak dapat melihat doa sebagai peristiwa yang bermakna. Mengapa peristiwa doa itu bermakna?


(47)

Berbicara tetang Allah dianggap cocok bagi orang beriman yang fundamentalis, tetapi tidak bagi manusia modern. Ada orang kristiani yang merasa lebih baik kalau tidak berbicara tentang Allah dengan terus terang dan tidak berdoa kepada Allah di muka umum. Situasi ini mengalami kerumitan di mana kaum kristiani merupakan minoritas yang harus toleran dan harus menjaga kerukunan antaragama. Dengan cara ini orang kristiani merahasiakan hubungan intim mereka dengan Allah yang seakan-akan mereka hidupkan kembali. Dari proses perubahan budaya yang disebut sekularisasi, ada dua jalan buntu yang bagi orang kristiani menimbulkan kesulitan untuk berbicara tentang Allah. Kesulitan pertama disebabkan oleh pengalaman penderitaan, ketidakadilan dan kematian. Jika Allah itu mahakuasa, maka Allah yang menyebabkan semua itu. Dilema ini membawa orang ke penyangkalan terhadap Allah. Dilema ini bisa membawa kepada praktek magis. Dalam prakteknya di negara yang modern tidak bisa berjalan. Dalam dilema ini, banyak orang merasa lebih baik tidak bicara tentang Allah atau dengan Allah positivistis.

Yang ke dua, bagi banyak orang tidak mungkin lagi mengalami relasi dengan Allah karena mereka mengalami kebebasan yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh penguasa Gereja atau penguasa lain atas nama Allah. Pengalaman akan Allah sebagai pesaing yang mengakibatkan revolusi dan evolusi selama berabad-abad melawan struktur dan proses yang disanksikan dengan nama Allah. Perjuangan demi pembebasan, maka iman akan Allah ditafsirkan sebagai proyeksi orang dan kelompok orang yaitu sebagai kreasi manusia yang karena alasan tertentu membutuhkan seorang Allah yang tidak membebaskan.


(48)

Dilema-dilema di atas mempunyai hubungan dengan model etis. Manusia menentang model etis pertama dan ke dua. Sebabnya adalah kedua model itu dapat menampilkan diri dengan wajah seorang dewa dan dipakai untuk menginterpretasikan pengalaman keharusan sebagai pengalaman tentang Keterakhiran. Gereja mengambil reaksi terhadap proses sekularisasi, yaitu tetap berpegang pada kedua model etis itu untuk menginterpretasikan Injil. Dengan demikian, proses sekularisasi semakin ditampilkan sebagai proses ateistis yang menyangkal Allah.

4. Perjumpaan dengan Allah

Secara nyata, dilema-dilema itu baru dapat diatasi setelah makna perjumpaan dengan Allah dialami dengan jelas. Mengapa kita menganggap bahwa menyambah Allah bermakna? Ini tidak dapat dibuktikan secara teori. Dapat dijelaskan, bahwa manusia dan kelompok manusia dari dirinya sendiri tidak pernah dapat mencapai Allah, apalagi membuat Allah atau mereka-reka Allah. Iman akan Allah terletak di luar lingkup keharusan yang alamiah. Maka, iman akan Allah mengatasi, mentransendensikan semua definisi makna yang dapat diverifikasikan. Maka iman akan Allah seakan-akan hilang ditelan oleh pandangan Keterakhiran yang tidak dapat diungkap.

Mereka menggambarkan pengalaman perjumpaan, melewati bentuk, ruang dan waktu. Di dalam pengalaman perjumpaan itu, orang sampai pada penyerahan diri yang utuh kepada Allah. Oleh karena itu, melalui pengalaman perjumpaan terjadilah pembalikan dari yang semu menjadi yang nyata. Pengalaman yang mistik itu secara etis membawa kepada pengakuan bahwa dalam kisah peyaliban


(49)

terletak kebenaran, yaitu hak penuh atas orang lemah atas yang kuat dan pembalikan hukum alam secara radikal. Maka, dua hambatan bagi penyembahan Allah menghilang, yaitu dilema Allah sebagai Penyaing manusia dan Alah sebagai penyebab penderitaan. Betapa pun tidak logis dan tidak praktis, banyak orang beriman mengalami pengalaman dan berpegang pada sejak masih muda. Terkadang perjumpaan dengan Allah terulang dan terjadi di dalam situasi yang biasa saja. Mereka yang belajar berdoa, selalu rindu kepada jemaat beriman yang berdoa, seperti orang yang merindukan rumahnya.

5. Pembangunan Jemaat

Yang menjadi masalah dalam pengbangunan jemaat adalah bagaimana orang dapat dan harus berdoa. Simbol serta semua sarana komunikasi lain dalam mana bisa terjadi perjumpaan dengan Allah bagi orang beriman. Ada doa permohonan, keluhan, kegembiraan, ucapan syukur, pujian dan penyembahan. Semua bentuk doa mempunyai ciri masing-masing dalam hal berbicara dengan Allah. Kelebihan doa permohonan yang sering disebabkan oleh karena manusia tidak berdaya untuk mengungkapkan kebutuhan, kesediaan, dan kemarahan secara terus terang.

Membentuk budaya doa merupakan kejadian yang menyeluruh dalam semua aktivitas gereja. Pembentukan budaya ini tidak dapat dilakukan hanya dalam liturgi dan dalam praktek doa jemaat saja, tetapi memerlukan belajar dan perwujudan dalam pelayanan kepada kehidupan. Dan juga ditemukan metode baru melalui workshop doa dan pelatihan doa untuk meditasi. Yang paling penting adalah menolong anggota Gereja yang bertanya bagaimana mereka dapat berdoa


(50)

dalam lingkup hidup mereka dalam berelasi di masyarakt dan keluarga. Di dalam penelitian ini yang belum diberi perhatian adalah bahwa di dalam masyarakat modern yang terpengaruh oleh proses sekularisasi, pengakuan akan Allah bisa bergeser dari relasional ke objektif. Kemudian dari kebimbangan menuju ke panyangkalan.

B. Pewahyuan dan Komunikasi Iman

1. Bertindak Strategis dan Bertindak Komunikatif

Tindakan strategis adalah segala macam praktek dalam nama manusia, kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu dan lembaga-lembaga masyarakat yang ingin mencapai tujuan dengan mengorbankan orang lain. Tindakan strategis di sini berarti tindakan manipulasi dengan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya. Ini biasanya berlaku di dunia politik dan ekonomi. Melalui manipulasi ideologis, sistem-sistem tersebut memiliki kebenarannya sendiri dan memproduksi pengertian tentang kenyataan dan tentang cara bertindak benar dan efektif dengan tidak tepat.

Tindakan strategis adalah tindakan komunikatif, yang dimaksud adalah semua tindakan yang tujuan dan sarananya ditentukan dengan berunding dalam kebebasan dan kesederajatan orang yang bersangkutan. Ciri-cirinya adalah keterbukaan dan kesungguhan, hak berbicara yang sama untuk semua orang yang bersangkutan, dialog, hubungan yang simetris, pengambilan keputusan yang demokratis dan konsensus mengenai motif dan norma bertindak.

Kebenaran dalam tindakan komunikatif ini berlaku karena kebenaran itu dibentuk sesuai dengan hak asasi manusia dengan memperhatikan harkat pribadi


(51)

manusia dan oleh karenanya sah dan efektif dalam proses pembebasan manusia. Terutama pada sektor publik banyak ciri tindakan komunikatif hampir tidak ada secara nyata. Semuanya dikuasi oleh objektifitas tanpa subjek. Syarat mutlak ialah bahwa gereja-gereja memperbaharui di dalam diri mereka sesuai dengan ciri-ciri bertindak komunikatif. Dapat dikatakan bertindak komunikatif merupakan sudut pandang bagi pembangunan jemaat.

Pembangunan jemaat ini ingin mencapai tujuannya lewat cara/metode yang efisien dan oleh karenanya pembangunan jemaat berpikir dan bertindak secara rasional dan berpandangan luas. Jika tidak ada pertanyaan-pertanyaan yang bersangkutan tentang pembangunan jemaat ini, tidak senantiasa ditanyakan maka pembangunan jemaat akan menyimpang/menyeleweng menjadi kolonisasi dan menjadi teknologi kuasa dari pemimpin gereja dan kelompok yang berkepentingan.

2. Tiga Alur Komunikasi

Temanya adalah mengenai pemahaman bahwa kita dalam situasi budaya masa kini tidak lagi dapat berbicara tentang kebenaran secara seragam. Muncul perbedaan dialektis antara objektif dan subjektif. Istilah ini mengungkapkan bahwa manusia menempatkan diri di hadapan fakta yang telah ditentukan terlebih dahulu. Ini menunjukkan jarak kritis antara iklim keharusan dan iklim kebebasan yang berkembang dalam kesadaran manusia.

Dapat dibedakan alur komunikasi menjadi tiga. Pertama, mencari pengetian yang sah mengenai fakta yang ditentukan terlebih dahulu, yakni mengenai objektifitas. Diskusi-diskusi yang diadakan di alur guna menetapkan


(52)

keabsahan pengertian disebut discors teoritis. Ini mempunyai metode dan kriteria sendiri yang dikembangkan dalam ilmu pengetahuan modern. Kedua, komunikasi mengenai nilai dan norma bagi tindakan manusia dan mengenai kenyataan yang harus diwujudkan secara sosial dan atarmanusiawi atau disebut discours praktis. Cirinya adalah dilakukan secara kritis-rasional dan argumentatif. Agar diskusi ini boleh disebut tindakan komunikatif, maka perlu dicapai konsensus melalui argumen yang rasional mengenai struktur dan proses hidup bersama manusia serta mengenai pilihan etis yang harus dibuat. Ketiga, pengertian yang sah mengenai identitas itu berkembang dalam diskusi tersendiri yaitu discours identitas yang terjadi lewat pertukaran ekspresi diri secara terus menerus serta lewat saling mengajukan pertanyaan. Keabsahan ungkapan diuji secara kritis-reflektif. Di sini terjadilah penyadaran manusia akan subjektivitasnya sendiri yang unik. Terjadi juga pertumbuhan hati nurani pribadi sehingga orang mengerti akan kebebasan dan tanggungjawabnya terhadp keberadaan serta pengembangan dirinya.

Paham kebenaran bagi orang modern hanya mengenai keabsahan pernyataan tentang objektivitas yang terjadi dalam discours teoritis. Pada alur kedua, berbicara tentang ketetapan atau nilai dan ketentuan norma. Sedangkan pada alur ketiga, berbicara tentang kesungguhan untuk menyatakan bahwa pemahaman diri serta ekspresi diri tertentu merupakan ungkapan yang sah dari pertanyaan siapakah saya.

Pada alur ketiga, tadi ada pengertian yang dinodai oleh pemikiran dan tindakan strategis. Dan terjadilah kebenaran semu, ketetapan semu, dan kesungguhan semu. Kalau menggabungkan tema kedua dengan tema pertama yaitu tentang tindakan strategis dan komunikatif, tampaklah pentingnya discours


(53)

praktis bagi kedua discours lainya. Di mana komunikasi, hak asasi manusia tidak dihormati secara dasariah maka disitu baik usaha mencari kebenaran objektif maupun usaha mewujudkan identitas pribadi dan kesungguhan akan keluar dari jalurnya.

Perbedaan antara tindakan strategis dan tindakan komunikatif serta pengertian kolonisasi oleh tindakan strategis itu menunjukan hubungan langsung dengan perbedaan teologis-dialektis antara religi dan iman. Pada tema pertama, dikenal kembali penolakan teologi modern terhadap model etis pertama dan kedua. Juga diperoleh penegasan terhadap prioritas proses penebuasan dan pembebasan. Di dalam paguyuban, melalui komunikasi yang terbuka dan sederajat, ditemukan kebebasan yang eksistensial serta kesadaran diri dan dapat dijalankan perang melawan kemiskinan dan ketidakadilan. Akan tetapi, dasar utama bagi kedua tema ini adalah distingsi/ perbedaan antara objek dan subjek. Distingsi merupakan ciri teologi modren dalam perhatiannya terhadap keunikan, keutuhan, dan perwujudan diri setiap orang sebagai subjek di hadapan Allah yang hidup.

Allah tidak memaksa siapapun. Dia bukan Allah yang objektif yang merendahkan manusia. Karena perhatian di teologi modern ini maka dalam hidup Gereja pentingnya discours-identitas, kejujuran, dan kesungguhan di dalamnya sangat menonjol. Karena pertanyaan siapa saya dalam perjanjian dan perjumpaan dengan Allah berhubungan langsung dengan nama yang dipakai Allah untuk menyatakan diri-Nya, yaitu Yahwe, Aku adalah Aku, Aku adalah Yahwe.


(54)

3. Iman di Alur Kebenaran

Di dalam Kiatab Suci, mengenal Allah yang benar berarti juga melakukan kebenaran dalam kemanusiaan yang sungguh-sungguh. Kebenaran dalam Kitab Suci merupakan pengertian menyeluruh yang tidak hanya berkaitan dengan deskripsi objektif yang sah. Paham kebenaran itu sendiri berubah. Di dalam Kitab Suci dan budaya kristiani hanyalah benar sebagaian saja menurut arti modern sebagai ungkapan kenyataan yang objektif sah.

Sudah menjadi pengalaman sehari-hari dalam pewartaan dan katekese bahwa demi pengertian yang benar tentang teks Kitab Suci yang diwahyukan dan tentang tradisi kristiani, maka ketiga alur perlu dibeda-bedakan. Salah satu penyebabnya yang penting adalah bahwa dengan perkembangan ilmu pengatahuan alam yang modern selama berabad-abad akhir-akhir ini dan dengan penaklukan alam yang semakin maju. Pengetahuan itu menjadi jiwa kemajuan teknologi dan dengan demikian juga jiwa kemajuan sistem ekonomi.

Sistem pendidikan dewasa ini mempunyai arah untuk memperoleh pengetahuan objektif. Perkembangan ilmu pengetahuan ini merupakan aspek yang hakiki dari proses sekularisasi oleh karena melalui proses ini sudah dan sedang diperoleh kemajuan yang pesat bagi kebebasan serta hidup manusiawi yang wajar.

4. Iman di Alur Etik

Kegagalan apologetika, hampir spontan namun dengan pengertian yang mendalam, pembaharuan Gereja mengatakan ortopraksis. Adalah melakukan kebenaran sebagai inti iman akan Allah yang sesungguhnya. Pada waktu itu bangkilah perhatian baru terhadap sakramen. Gereja dalam pengakuannya akan


(55)

Allah lebih menekankan alur keduak, yaitu discours-praktis yang berhubungan dengan nilai dan norma. Yang menjadi pokok pertanyaan adalah “apa yang dapat disumbangkan oleh tradisi kristiani secara khas kepada discours ini?”

Dengan terlalu mudah, ilmu pengetahuan dapat disalahgunakan oleh para pemegang ekonomi, sosial, dan politik yang kemudian lebih dari sebelumnya bisa membunuh kebebasan dan kehidupan. Teknologi modern dapat menjadi berkat dan juga bisa menjadi bencana. Di dalam masyarakat yang selalu mengagungkan dunia yang berharap akan kebebasan, keunggulan discours-teoritis sedang bergeser kepada discours-praktis. Kesadaran akan Keterakhiran ikut bergeser. Kemudian, di dalam Gereja arti iman akan Allah bergeser ke pada iklim etik.

Di dalam gereja pergeseran itu berakibat radikal. Pertama, perhatian bergeser dari Allah sebagai pencipta kepada Allah yang menyatakan diri-Nya dalam Israel dan dalam Yesus dari Nazaret sebagai Allah yang mengasihi manusia. Terjadi pembelokan kristosentris, yaitu kepada Yesus dari Nazaret sebagai model untuk hidup, menurut nabi-nabi yang besar. Kedua, tumbuh perhatian bagi tanggung jawab sosial. Muncul juga kekawatiran etis terhadap pewartaan moril Gereja yang didasarkan pada model etis pertama dan kedua. Model-model ini semakin tidak mungkin untuk menggabungkan iman kristiani dengan aspirasi kebebasan modren dalam discours-praktis betapapun objektif tampaknya penentapan norma-normanya.

Orang beriman dan pemimpin Gereja yang karena tindak-tanduknya memperoleh penghargaan etis yang besar dari lapisan yang luas mungkin menimbulkan pengertian tertentu terhadap makna pergaulan dengan Allah itu. Dengan pelayanannya kepada kehidupan, Gereja dapat memperoleh goodwill bagi


(56)

pengakuannya. Akan tetapi kedua hambatan yang berhubungan dengan pengalaman akan Allah itu ternyata begitu besar sehingga pelayanan Gereja juga di dalam Gereja sendiri, belum dapat menyakinkan orang bahwa berdoa merupakan tindakan bermakna.

5. Iman di Alur Kesungguhan

Akhir-akhir ini orang berbicara tentang hipertrofit yaitu hati nurani dan penekanan serta pembebanan kesadaran moril secara berlebihan. Manusia harus sempurna. Dipandang dari model etis yang pertama dan kedua dikatakan bahwa kesusilaan mulai longgar. Dalam perjuangan demi kebebasan dan otoritas, memang bermacam-macam kode kelakuan dan pola peran dari zaman dulu dibongkar. Tetapi, pihak lain didalam proses ini menaruh beban yang tinggi pada hati nurai pribadi.

Pada umumnya harapan akan kualitas moril itu semakin tinggi, baik pada sesama orang maupun pada diri sendiri. Hal itu tampak dalam fakta bahwa relasi yang intim semakin jarang terjadi, seperti pernikahan, keluarga dan sahabat. Discours-praktis pada akhirnya tidak dapat meniadakan ketegangan dan pertentangan antara hukum dan kebebasan. Penderitaan dan ketidakadilan juga tidak dapat diatasi, apalagi penderitaan yang ada karena pertanyaan tentang makna kenyataan hidup.

Tema-tema yang sudah dikemukakan terlebih dahulu adalah politik dan mistik. Tema-tema itu berkaitan dengan diskusi tentang dukungan dan tantangan sebagai polaritas dalam pengembangan diri manusia. Tetapi dalam pengakuan akan Allah sebagai Bapa Yesus Kristus maka kristianitas juga mengenal


(1)

tugas tetapi terutama hati yang suci dan murni melalui doa persiapan yang cukup.

 Tanggap terhadap kebutuhan umat sesuai tuntutan zaman

Seorang prodiakon harus selalu peka terhadap kebutuhan umat beriman sesuai dengan tuntutan zaman terutama segala kejadian yang menuntut spontanitas pelayanan.Kepekaan yang dimaksud adalah adanya keterbukaan untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan dan tantangan umat menurut situasi dan kondisi.Maka diharapkan sikap fleksibel dan luwes dalam menjalankan tugas pelayanannya.

 Semangat keterbukaan dan rendah hati

Prodiakon perlu memiliki semangat keterbukaan diri dan kerendahan hati. Semangat keterbukaan menunjuk kepada kesediaan diri untuk dibentuk, diarahkan dan dipimpin serta belajar terus menerus. Sebab godaan terbesar bagi para petugas adalah sikap berpuas diri sehingga tidak mau belajar lagi.Padahal,liturgi dan pewartaan yang menjadi tugasnya selalu berkembang dan terus memperbaharui diri. Kerendahan hati untuk belajar dan menerima kritik orang lain merupakan keutamaan penting bagi kemajuan pelayanan prodiakon yang berkualitas.

f. Kita menyaksikan sebuah Video “ Pohon Tumbang

 Intisari Film:

Dari film Pohon Tumbang adalah sebuah cerita yang mengisahkan tentang sebuah pohon yang tumbang merintangi jalan raya. Akibatnya,


(2)

kendaraan macet dan pengguna jalan emosi. Pengguna jalan hanya melihat dan tidak bertindak untuk mengatasi situasi. Yang mereka lakukan hanya memaki dan membunyikan klakson. Seorang anak kecil melihat pohon itu dan berinisiatif untuk menyingkirkannya. Dia perlahan-lahan mendorong pohon, namun tidak sanggup. Apa yang diperbuatnya meski tidak berhasil, namun menginspirasi orang lain untuk ikut menyingkirkan pohon tersebut. Beramai-ramai orang-orang mendorong pohon dan akhirnya berhasil

 Cerita didalami dengan pertanyaan sebagai berikut:

- Bagaimana kesan bapak ibu setelah menyaksikan film tadi? - Manfaat apa yang diperoleh setelah menyaksikan film tadi?  Pendamping merangkum jawaban peserta

Dalam film tadi kita melihat bagaimana usaha seseorang untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Berbagai cara dan usaha ditempuh apapun resikonya agar sesuatu yang dicita-citakan dapat terwujud. Melalui film kita diajak untuk melihat bahwa segala sesuatu yang diharapkan dapat tercapai karena bukan hanya mengandalkan kekuatan jasmani melainkan mengerahkan seluruh pikiran dan tidak mudah menyerah terhadap tantangan dan godaan yang dijumpai serta setia kepada komitmen awal. Demikian halnya bagi kita sebagai pemandu, hendaknya semangat dan perjuangan yang dimiliki anak kecil tadi juga menjadi milik kita bersama.


(3)

g. Penutup Peneguhan

Bapak/ibu yang terkasih dalam Kristus, demikianlah beberapa hal yang perlu kita ketahui sehubungan dengan pelayanan kita sebagai pembawa warta gembira di tengah masyarakat, dalam tugas dan pelayanan kita sebagai seorang prodiakon yang mana nantinya bapak/ibu akan menjalankan tugas sebagai pewarta. Dalam sesi ini tadi kita telah belajar dan melihat bersama apa dan bagaimana spirirtualitas kepemimpinan Kristiani hendaknya kita miliki. Kita menyadari bahwa untuk menjadi seorang pemimpin Kristiani yang sejati tidak mudah, untuk itu diperlukan ketekunan dan kesetiaan dalam berproses. Sebagai seorang prodiakon kita terpanggil untuk melayani umat, oleh karena itu hendaknya kita menghidupi gaya kepemimpinan model kepemimpinan Kristus.


(4)

BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan kajian pustaka, dapat disimpulkan bahwa buku "6 Tempayan Air Pokok-Pokok Pembangunan Jemaat" karya Rob Van Kessel ini adalah sebuah sebuah buku yang memang ditujukan dan diperuntukan bagi para pemerhati dan pembangun jemaat dilapangan. Karena isi dari buku ini mengaju pada pemnbangunan jemaat, selain itu juga berisi pokok-pokok yang menjadi inti sari dari pembangunan jemaat.

Buku ini mau mengajarkan banyak hal yang oleh pembangun jemaat terkadang belum terpikirkan. ada banyak proses yang mau mengajarkan kita untuk menjadi paham bagaimana menjadi pembangun jemaat di tengah-tengah tantangan masa kini yang sangat besar. Rob Van Kessel ingin mengajak kita untuk bertolak dari teologi modern dan makin lama mengkhususkan diri pada Pembangunan Jemaat. Beliau mencoba membangun kader serta memberikan perspektif teologis normatif bagi Pembangunan Jemaat dalam konteks masyarakat masa kini.

B. Saran

Berdasarkan saran di atas maka penulis memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna dalam meningkatkan kepekaan dari para pembangun jemaat dilapangan, agar kehidupan mengereja dan karya penyelamatan semakin dapat berkembang dan bertumbuh. beberapa saran dari penulis sebagai berikut: 1. Bagi para mahasiswa ada baiknya buku ini menjadi salah satu buku pegangan


(5)

buku ini sebenarnya sudah tersedia dengan sangat lengkap apa yang bisa menanggulangi kesenjangan dalam pembangunan jemaat di masa depan. 2. Ada baiknya apabila buku ini bahasanya lebih disederhanakan lagi dan di cetak

dam versi kedua yang lebih sederhana, karena penulis yakin apabila bahasa buku ini diosederhanakan lagi makan akan sangat banyak orang yang ingin membacanya, karena mereka bisa memahami isi dari buku ini.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Van Kessel, Rob. (1997). 6 Tempayan Air: Pokok-pokok Pembangunan Jemaat. Yogyakarta. Kanisius

Sumarno Ds., M. (2006). Program Pengalaman Lapangan Pendidikan Agama Katolik Paroki. Diktat Mata Kuliah PPL PAK Paroki IPAAK, USD.