Gereja dalam Proses Sekularisasi

50 esensial sebagai ditentukan terlebih dahulu dan diadakan oleh Kristus. Kemudia ordo rohani yang lebih tinggi ini dalam Gereja Katolik dilengkapi dengan simbol status yang khas bahwa hanya laki-laki yang tidak kawin dapat diangkat ke dalam ordo itu. Oleh teologi, wanita ditunjukkan sebagai makhluk yang lebih rendah. Dengan menghubungkan imamat dengan selibat oleh hukum Gereja maka status tidak kawin demi Kerajaan Surga sebagai karisma pelayanan semakin kurang jelas. Yang lebih penting daripada syarat penerimaan adalah penghayatan kenyataan yang mendasarinya. Dalam penghayatan manusia modern, jabatan dapat dipahami sebagai fungsi khusustetapi tidak sebagai keberadaan yang lebih tinggi. Anggapan tradisional tentang perbedaan antara imam dan awam yang digarisbawahi oleh syarat penerimaannya yang sah semakin berfungsi sebagai penolakan simbolis terhadap proses sekularisasi sendiri dan terhadap perjuangannya agar manusia bebas menjadi subjek.

3. Gereja dalam Proses Sekularisasi

Proses sekularisasi sering dipandang sebagai proses zaman kita karena baru dalam abad ke -20 ini berpengaruh umum pada masyarakat walaupun akarnya sudah sangat tua. Akarnya adalah dari lapisan bawah penduduk yang agraris berkembanglah pertukangan dan perdagangan, dan terjadilah masyarakat kota dengan berbagai macam profesi dan jabatan yang baru. Terbentuk bangsa- bangsa yang saling memerangi untuk mempertahankan diri. Tradisi biblis dan gereja perdana seolah-olah merupakan satu sejarah besar tentang penolakan dan pembebasan dari mitologi berhala ini. Para martir menjadi saksi Allah yang hidup 51 dan yang mengasihi manusia justru dalam perjuangan mereka melawan pendewa- dewaan negara dan kekaisaran. Agaknya setelah peristiwa warga Gereja bisa menjadi pejabat negara, Gereja kurang konsekuen mengenangkan kesaksian para martirnya, apalagi kesaksian Yesus sendiri yang mati di bawah pemerintahan Pontius Pilatus. Sejajar dengan ekonomi pertukangan dan perdagangan yang semakin meluas, berkembanglah perjuangan pembebasan dalam proses sekularisasi. Hal itu harus terjadi pada pasaran politik di mana warga negara memilih penguasa mereka dan melalui kontrak menentukan tugas dan wewenangnya. Kekuasaan politik bergeser dari bawah ke atas. Dalam masyarakat modern, model pasaran bebas menjadi sah baik bagi bidang ekonomis maupun bagi bidang politik yang meliputi kuasa publik dan yuridis. Tidak heran kalau Gereja-gereja akibat ketertarikannya dengan raja-raja dan bangsawan dahulu tidak berhenti menentang sekularisasi dan demokratisasi. Pada perinsipnya berlaku hak dasar politis atas kebebasan, yaitu kebebasan untuk menjalankan ilmu pengetahuan, kebebasan untuk membentuk partai serta hak suara terhadap pembentukan tatanan hukum publik, dan kebebasan untuk membentuk relasi, mengungkapkan pendapat serta pandangan hidup pada level subjektif. Kebebasan-kebebasan ini tidaklah tanpa masalah dan sebagaiannya juga belum terealisasi. Namun, pembentukkan kuasa yang mengkolonisasikan itu juga selalu membawa pemberontakan dan konflik. Di zaman modern, kita menyadari arti positif dari konflik dalam tindakan komunikatif sejauh konflik-konflik itu tidak membawa kepada penindasan yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 52 baru. Kita juga dapat melihat ambiguitas prinsip pasaran bebas, yaitu di satu pihak pasaran bebas mengandaikan dan memberikan kebebasan untuk memilih. Permainan bebas antara kekuatan alam akan selalu berlaku dan juga bertentangan dengan Injil. Dan kemenangan dimiliki oleh orang yang kuat. Di sini muncul kompromi dalam abad terakhir, yaitu di mana kesamaan kekuatan tidak ada maka dalam negara hukum modern diharapkan bahwa pemerintah menciptakan kesamaan itu melalui peraturan hukum. Dalam perkembangan ini, berangsur-angsur menonjol bahwa negara modern sebagai kuasa politik diharapkan bisa mengamankan kebebasan dan kesamaan warga negara disemua bidang kehidupan.

4. Gereja dan Masyarakat Pasar