Metode Jaringan Syaraf Tiruan JST Konsep Penanggulangan Bencana

Gambar 12 Jaringan Syaraf Tiruan sederhana. Jaringan Syaraf Tiruan pada Gambar 12 diatas terdiri atas tiga simpul awal X 1 , X 2 , dan X 3 dengan nilai x 1 , x 2 , dan x 3 yang disebut unit masukan, satu simpul tengah Y dengan nilai y yang disebut unit tersembunyi hidden, dan dua simpul akhir Z 1 dan Z 2 dengan nilai z 1 dan z 2 yang disebut unit keluaran. Masing- masing unit masukan X 1 , X 2 , dan X 3 yang terhubung ke unit tersembunyi Y memiliki bobot w 1 , w 2 , dan w 3 . Masukan jaringan y_net pada unit tersembunyi Y adalah jumlah terbobot dari nilai unit-unit masukan x 1 , x 2 , dan x 3 . Input jaringan y_net ditunjukkan pada persamaan 4 . 3 3 2 2 1 1 _ x w x w x w net y    4 Aktivasi y pada unit tersembunyi Y dihasilkan dari input jaringan y_net dengan _ net y f y  . Fungsi aktivasi y dapat berupa fungsi sigmoid   x f seperti ditunjukkan pada persamaan 5 . net y e net y f y _ 1 1 _     5 Sinyal aktivasi y pada unit tersembunyi Y dikirimkan ke unit keluaran Z 1 dan Z 2 . Unit tersembunyi Y yang terhubung ke unit keluaran Z 1 dan Z 2 memiliki bobot-bobot v 1 dan v 2 . Masukan jaringan z_net 1 dan z_net 2 pada masing-masing unit keluaran Z 1 dan Z 2 adalah jumlah terbobot dari sinyal aktivasi y terhadap bobot-bobot v 1 dan v 2 yang ditunjukkan pada persamaan 6 dan 7 . 1 1 . _ v y net z  6 2 2 . _ v y net z  7 Aktivasi z 1 dan z 2 dihasilkan dari masukan jaringan _ net z f z  dan ditunjukkan pada persamaan 8 dan 9 di bawah ini. 1 _ 1 1 1 1 _ net z e net z f z     8 2 _ 2 2 1 1 _ net z e net z f z     9 Hasil akhir dari jaringan adalah sinyal aktivasi z 1 dan z 2 yang merupakan keluaran dari Z 1 dan Z 2 . Jaringan Syaraf Tiruan memiliki arsitektur paralel dengan sejumlah besar simpul dan penghubung. Tiap penghubung menghubungkan satu simpul ke simpul lain dan memiliki bobot. Konstruksi Jaringan Syaraf Tiruan meliputi hal– hal sebagai berikut:  Menentukan kebutuhan jaringan meliputi topologi jaringan, tipe sambungan, proses pada sambungan, dan rentang bobot.  Menentukan kebutuhan simpul meliputi rentang aktivasi dan fungsi aktivasi.  Menentukan kebutuhan sistem meliputi pola inisialisasi bobot, rumus perhitungan aktivasi, dan aturan pembelajaran.

2.6.1. Pelatihan

Metode penyesuaian bobot merupakan hal yang sangat penting. Untuk memudahkan dalam penyesuaian bobot, maka perlu dibedakan dua jenis pelatihan untuk Jaringa syaraf tiruan, yakni supervised training pelatihan dengan pengawasan dan unsupervised training pelatihan tanpa pengawasan.

1. Supervised Training Pelatihan dengan Pengawasan

Metode pelatihan pada jaringan syaraf disebut terawasi jika keluaran yang diharapkan telah diketahui sebelumnya. Pada proses pelatihan, satu pola input akan diberikan ke satu neuron pada lapis masukan. Pola ini akan dirambatkan di sepanjang jaringan syaraf hingga sampai ke neuron pada lapis keluaran. Lapis keluaran ini akan membangkitkan pola keluaran yang nantinya akan dicocokkan dengan pola keluaran targetnya. Apabila terjadi perbedaan antara pola keluaran hasil pelatihan dengan pola target, maka akan dihasilkan galat. Apabila nilai galat ini masih cukup besar, mengindikasikan bahwa masih perlu dilakukan lebih banyak pelatihan lagi.

2. Unsupervised Training Pelatihan tanpa Pengawasan

Pada metode pelatihan yang tidak terawasi ini tidak memerlukan target keluaran. Pada metode ini, tidak dapat ditentukan hasil yang seperti apakah yang diharapkan selama proses pelatihan. Selama proses pelatihan, nilai bobot disusun dalam suatu rentang tertentu bergantung pada nilai masukan yang diberikan. Tujuan pelatihan ini adalah mengelompakkan unit-unit yang hampir sama dalam suatu area tertentu. Pelatihan ini biasanya sangat cocok untuk pengelompokan klasifikasi pola.

2.6.2. Jaringan Syaraf Tiruan dengan Perambatan-balik Backpropagation

Jaringan syaraf yang luas digunakan dan mudah dipelajari adalah jaringan perambatan-balik. Dari beberapa perkiraan, hampir 90 aplikasi berbasis Jaringan Syaraf Tiruan menerapkan metode perambatan-balik. Jaringan ini juga dikenal dengan sebutan Jaringan Syaraf Umpan-maju Feedforward Neural Network. Pada perambatan-balik selama pelatihan, dilakukan proses perhitungan nilai galat keluaran. Galat pada keluaran menentukan perhitungan nilai galat pada lapis tersembunyi, yang digunakan sebagai dasar penyesuaian bobot. Proses iterasi untuk menyesuaikan bobot akan berhenti setelah galat mencapai nilai minimum nilai toleransi.

1. Arsitektur Perambatan-balik

Arsitektur perambatan-balik diperlihatkan pada Gambar 13 dimana jaringan memiliki satu lapis tersembunyi hidden, meskipun pada dasarnya perambatan-balik dapat memiliki lebih dari satu lapis tersembunyi sesuai kebutuhan sistem. Jumlah simpul terhubung pada lapis masukan dan lapis keluaran ditentukan dari jumlah pola-pola masukan dan pola-pola keluaran. Unit-unit keluaran dan unit-unit masukan masing-masing memiliki bias. Bias pada unit keluaran Y k dinotasikan sebagai W k0, dan bias pada unit tersembunyi Z j dilambangkan dengan V j0 . Sumber: Kusumadewi S2004 Gambar 13 Arsitektur Jaringan Syarat Tiruan dengan perambatan balik.

2. Pelatihan

Pelatihan dalam jaringan syaraf adalah menemukan nilai bobot yang sesuai. Pelatihan pada Jaringan Syaraf Tiruan Perambatan-balik meliputi tiga tahap, yaitu: a. Pelatihan umpan-maju Feedforward pola-pola masukan. Selama proses umpan maju setiap unit masukan X n menerima sebuah sinyal masukan dan memancarkan sinyal ini ke unit-unit tersembunyi Z 1 ,…, Zj. Setiap unit tersembunyi melakukan perhitungan terhadap fungsi aktivasinya dan mengirimkan sinyal-sinyalnya ke setiap unit keluaran. Setiap unit keluaran Y k melakukan perhitungan terhadap fungsi aktivasinya dan memberikan sinyal keluaran yang merupakan tanggapan jaringan tersebut dari setiap pola masukan yang telah diberikan. b. Perhitungan galat. Selama pelatihan, pada setiap unit keluaran, dibandingkan aktivasi keluaran yang dihasilkan Y k dengan nilai target T k untuk menentukan galat yang berhubungan dengan pola-pola pada unit tersebut. Berdasar pada galat ini, besaran koreksi galat  k k = 1, 2, …, m dapat dihitung dan digunakan untuk mendistribusi-balikkan galat yang terdapat pada unit keluaran Y k ke semua unit pada lapis sebelumnya unit-unit tersembunyi yang berhubungan dengan unit keluaran Y k . Koreksi galat  k digunakan untuk memperbaiki bobot-bobot antara lapisan keluaran dan lapisan tersembunyi. Dengan cara 1 X 1 X n X i 1 Z 1 Z p Z j Y 1 Y m Y k V 10 V j0 V p0 V 11 V j1 V p1 V 1i V ji V pi V 10 V j0 V p0 W 10 W j0 W p0 W 11 W j1 W p1 W 1i W ji W pi W 10 W j0 W p0 yang sama, besaran  h h = 1, 2, …, h dihitung pada setiap unit tersembunyi Z j . Koreksi galat  h tidak digunakan untuk merambat-balikkan galat ke lapis masukan, tetapi digunakan untuk memperbaiki bobot-bobot antara lapis tersembunyi dan lapis masukan. c. Penyesuaian bobot. Setelah semua besaran koreksi galat  ditentukan, secara serentak bobot-bobot untuk semua lapis disesuaikan. Penyesuaian terhadap bobot W kh dari unit tersembunyi Z j terhadap unit keluaran Y k berdasar pada besaran  k dan aktivasi Y k dari unit tersembunyi Z j Penyesuaian terhadap bobot W hn dari unit masukan X n terhadap unit tersembunyi Zj berdasar pada besaran  h dan aktivasi Zj dari unit masukan X n . Setelah pelatihan selesai, aplikasi dari jaringan hanya membutuhkan proses umpan maju untuk menghasilkan keluaran. Secara lengkap proses perhitungan dengan perambatan balik dapat dilihat pada Lampiran 1.

2.7. Konsep Penanggulangan Bencana

Saat ini konsep penanganan bencana mengalami pergeseran paradigma dari konvensional menuju ke holistik. Pandangan konvensional menganggap bencana itu suatu peristiwa atau kejadian yang tak terelakkan dan korban harus segera mendapatkan pertolongan. Sehingga fokus pada penanganan bencana lebih bersifat bantuan relief dan kedaruratan emergency. Oleh karena itu pandangan semacam ini disebut dengan paradigma relief atau bantuan darurat yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan darurat berupa pangan, penampungan darurat dan kesehatan kesehatan. Tujuan penanganan bencana pandangan ini adalah menekan kerugian, kerusakan dan cepat memulihkan keadaan SET BAKORNAS PBP, 2005 dan Yulaelawati dan Syihab, 2008. Paradigma yang berkembang berikutnya adalah paradigma mitigasi, yang tujuannya lebih diarahkan identifikasi daerah-daerah rawan bencana, mengenali pola-pola yang dapat menimbulkan kerawanan, dan melakukan mitigasi yang bersifat struktur seperti membangun konstruksi maupun non struktural seperti penataan ruang, building code dan sebagainya. Selanjutnya paradigma penanganan bencana berkembang lagi mengarah kepada faktor-faktor kerentanan di dalam masyarakat yang ini disebut paradigma pembangunan. Upaya-upaya yang dilakukan lebih bersifat mengintegrasikan upaya penanganan bencana dengan program pembangunan. Misalnya melalui peningkatan ekonomi, penerapan teknologi, pengentasan kemiskinan dan sebagainya. Paradigma yang terakhir adalah paradigma pengurangan resiko. Pendekatan ini merupakan perpaduan dari sudut pandang teknis dan ilmiah dengan perhatian kepada faktor-faktor sosial, ekonomi, dan politik dalam perencanaan pengurangan bencana. Dalam hal ini penanganan bencana bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan menekankan resiko tejadinya bencana. Hal penting dalam pendekatan ini adalah memandang masyarakat sebagai subyek dan bukan sebagai obyek penanganan bencana dalam proses pembangunan. Gambar 14 memperlihatkan siklus pengelolaan bencana dari proses bencana ke tanggap darurat hingga proses persiapan jika terjadi bencana. Sumber : Kementerian Ristek 2006 Gambar 14 Siklus pengelolaan bencana. Dalam penanggulangan bencana, saat ini pola pemikiran telah bergeser dari yang dahulu pada penekanan pasca bencana ke penekanan sebelum bencana. Gambar 15 memperlihatkan alur pemikiran yang dalam penanganan bencana ditekankan pada saat sebelum kejadian bencana bukan penanganan setelah kejadian bencana. Sumber : Kementerian Ristek 2006 Gambar 15 Siklus penanganan bencana.

2.8. Penanggulangan Bencana Menurut UU N0 24 Tahun 2007

Berdasarkan UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan PP No 08 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penaggulangan Bencana, saat ini badan yang menangani penaggulangan bencana untuk tingkat nasional adalah Badan Nasional Penaggulangan Bencana BNPB dan Badan Penaggulangan Bencana Daerah BPBD Tingkat III untuk Propinsi KabupatenKota. Perbedaan yang mendasar dalam penanggulangan bencana saat ini dengan yang sebelumnya BAKORNAS PBN adalah bahwa BNPB bukan lagi sebagai badan koordinasi, melainkan suatu badan non departemen yang setingkat menteri. Selain itu, menurut UU No 24 Tahun 2007 dinyatakan bahwa BNPB mempunyai kemudahan akses antara lain: a. Pengerahan sumber daya manusia. b. Pengerahan peralatan. c. Pengerahan logistic. d. Imigrasi, cukai dan karantina, e. Perizinan. f. Pengadaan barangJasa. g. Pengelolaan pertanggung jawaban uang dan atau barang. h. Penyelamatan. i. Komando untuk memerintahkan sektorlembaga. Dalam uraian diatas terlihat bahwa BNPB mempunyai akses yang lebih besar dalam penanganan bencana dibandingkan BAKORNAS. Saat ini untuk tingkat propinsi atau kabupatenkota BPBD untuk Propinsi Jawa Tengah ataupun Kota Semarang belum terbentuk. Hal ini disebabkan peraturan daerah tentang pembentukan BPBD belum terbentuk. Untuk itu dalam penanganan bencana untuk tingkat Propinsi Jawa Tengah masih dilakukan oleh Satkorlak Satuan Koordinasi Pelaksanaan Penaggulangan Bencana dan untuk Kota Semarang dilakukan oleh Satlak Satuan Pelaksanaan Penaggulanagn Bencana. Menurut UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan bahwa penanggulangan bencana dapat dilakukan dalam situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi terjadinya bencana. Penyelenggaraan penaggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana antara lain: a. Kesiapsiagaan. b. Peringatan dini. c. Mitigasi bencana. Kesiapsiagaan adalah upaya untuk memastikan upaya yang cepat dan tepat dalam menghadapai kejadian bencana. Dalam kesiapsiagaan yang dimaksud di atas dilakukan antara lain melalui: a. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan bencana. b. Pengorganiasian, pemasangan dan pengujian sistem peringatan dini. c. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar. d. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat. e. Penyiapan lokasi evakuasi. f. Penyusunan data akurat, iformasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat. g. Penyediaan dan penyiapan bahan, baran dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana. Dalam pelaksanaan sistem peringatan dini disebutkan dalam pasal 16 UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana bahwa sistem peringatan dini bencana dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang, baik secara teknis maupun administratip dan dikoordinasikan oleh BNPBBPBD dalam bentuk pengorganisasisan, pemasangan dan pengujian sistem peringatan dini. Dari uraian diatas jelas terlihat bahwa untuk penangananpemasangan peralatan peringatan dini jelas harus dikoordinasikan dengan BNPBBPBD sehingga jika BPBD untuk tingkat Kota Semarang terbentuk, maka pemasangan sistem peringatan dini banjir kota semarang harus dikoordinasikan dengan BPBD Kota Semarang termasuk dalam hal pengujian sistem peringatan dini banjir. Selain itu BPBD inilah yang mempunyai kewenanangan dalam penyampaian informasi bencana termasuk informasi bencana harus dikirim ke masyarakat.