129 Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti
Uskup Agung Helder Camara
Uskup Agung Helder Camera dari Olinda di Brasilia terkenal sebagai uskup pelayan dan
pengabdi kaum miskin. Ia mempertaruhkan segala- galanya untuk kaum miskin. Uang hadiah Nobel
yang diperolehnya digunakannya untuk membeli tanah bagi kaum miskin. Ia menentang kapitalisme
dan kaum penguasa kaliber internasional. Ia sering dimusuhi oleh orang yang berkuasa dan orang kaya
dan rumahnya sering ditembaki oleh penembak- penembak gelap suruhan para penguasa. Akhirnya,
nyawanya ia pertaruhkan demi kaum miskin. Ia mati ditembak pada saat mempersembahkan Ekaristi
Kudus di gereja persis pada saat mengucapkan kata- kata konsekrasi: “Inilah tubuh-Ku yang dikorbankan
bagimu” dan “Inilah darah-Ku yang ditumpahkan bagimu.”
• Setelah membaca kisah-kisah tersebut, diskusikan pertanyaan-pertanyaan berikut
ini. Anda dapat merumuskan pertanyaan sendiri untuk diskusi ini. a. Apa yang diperjuangkan oleh para tokoh pejuang HAM Katolik itu
b. Mengapa mereka gigih memperjuang HAM di tempat karyanya masing- masing?
d. Upaya Gereja Katolik dalam Memperjuangkan HAM di Indonesia.
Simaklah kisah berikut ini
Romo Mangunwijaya, Pr.
Romo Mangun terlahir dengan nama lengkap Yusuf
Bilyarta Mangunwijaya pada 6 Mei 1929 di Semarang. Ia
pernah mengalami masa re- volusi isik melawan Belanda
untuk membebaskan negeri ini dari belenggu penjajahan yang
menyengsarakan rakyat. Beliau pernah bergabung ke dalam
prajurit Tentara Keamanan
Sumber: Dokumen Gereja Gambar 6.3 Uskup Agung Helder
Camara
Sumber: Buku Kotak Hitam Sang Burung Manyar Gambar 6.4 Romo Mangunwijaya, Pr
130 Kelas XI
Rakyat TKR batalyon X divisi III yang bertugas di Benteng Vrederburg, Yogyakarta. Ia sempat ikut dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Rangkaian
peristiwa hidup tersebut membuat Romo Mangun mengenal arti humanisme. Ia menyaksikan sendiri rakyat Indonesia menderita, kelaparan, terancam jiwanya, dan
bahkan mati sia-sia akibat aksi militer Belanda yang mencaplok wilayah Republik. Berangkat dari pengalaman hidup inilah, Romo Mangun bertekad untuk sepenuhnya
mengabdikan diri pada rakyat. Putu Wijaya, seorang dramawan dan novelis pernah bertutur, “Romo Mangun adalah seorang yang sangat dekat dengan rakyat. Dia selalu
berpihak kepada mereka yang tertindas. Contohnya, kepeduliannya pada warga Kali Code dan Kedung Ombo. Perhatiannya selalu kepada rakyat sederhana, miskin,
disingkirkan, dan tertindas.”
Sumber: Buku “Kotak Hitam Sang Burung Manyar, Kebijaksanaan dan Kisah Hidup Romo Mangunwi- jaya”, oleh Y.Suyatno Hadiatmojo, Pr. Galang Press, Yogyakarta, 2012
• Setelah membaca artikel tersebut, cobalah merumuskan pertanyaan untuk mendis-
kusikan bersama teman kelasmu tentang hidup dan karya Romo Mangun dalam perjuangan HAM di Indonesia.
3. Menghayati HAM sesuai Ajaran Yesus Releksi
Gereja hendaknya mawas diri dan mencoba menegakkan hak-hak asasi manusia di kalangannya sendiri. Kalau tidak ada keadilan dalam lingkungan Gereja sendiri,
maka Gereja baik imam maupun awam tidak berhak berbicara mengenai keadilan. Gereja juga tidak berhak berbicara kalau orang-orang Katolik sendiri tidak sungguh
terlibat dalam perjuangan bangsa di segala bidang pembangunan. Tidak ada keadilan tanpa perjuangan. Dalam usaha memperjuangkan keadilan, kaum beriman dapat
memperoleh pedoman dan dukungan dari ajaran sosial Gereja. Akan tetapi ,pengarahan umum itu belum menjamin, sejauh belum ada kaidah tindakan menanggapi situasi
konkret. Untuk membentuk kaidah-kaidah itu, perlu ada pengamatan cermat atas kehidupan sosial di lingkungan konkret analisis sosial. Jadi, guna membela hak-
hak asasi manusia, masih harus dicari cara-cara rasional, perumusan yang tepat, dan perencanaan bagi tindakan yang efektif. Dalam hal ini Gereja seluruhnya harus
berjuang, tetapi semua anggota, Imam, dan Awam, mengambil bagian menurut tempat dan panggilannya masing-masing.
Gereja harus berjuang bersama antar warga masyarakat. Dalam semua kegiatan konkret itu, perhatian Gereja seharusnya menjadi “tanda dan pelindung martabat
luhur pribadi manusia”GS 76. Hak-hak asasi dan semua tata hukum lainnya hanya akan terlaksana, kalau dalam masyarakat ada kesadaran etis yang mengikat. Maka
tidak cukup bila Gereja hanya menyumbangkan kritik dan celaan. Gereja masih harus