Pandangan Gereja tentang bunuh diri 1 Kitab Suci:

146 Kelas XI Bagi manusia, hidup biologis adalah ‘masa hidup’, dan tak ada sesuatu ‘yang dapat diberikan sebagai ganti nyawanya’ lih. Mrk 8:37. Dengan usaha dan rasa, dengan kerja dan kasih, orang mengisi masa hidupnya, dan bersyukur kepada Tuhan, bahwa ia ‘boleh berjalan di hadapan Allah dalam cahaya kehidupan’ lih. Mzm. 56:14. Memang, ‘masa hidup kita hanya tujuh puluh tahun’ lih. Mzm. 90:10 dan ‘di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap’ lih. Ibr. 13:14. Namun, hidup fana merupakan titik pangkal bagi kehidupan yang diharapkan pada masa mendatang. - Hidup fana menunjuk pada hidup dalam perjumpaan dengan Tuhan, sesudah hidup yang fana ini dilewati. Kesatuan dengan Allah dalam perjumpaan pribadi memberikan kepada manusia suatu martabat yang membuat masa hidup seka- rang ini sangat berharga dan suci. Hidup manusia di dunia ini sangat berharga. Oleh sebab itu, manusia tidak boleh menghilangkan nyawanya sendiri, misalnya dengan melakukan bunuh diri. Hanya Tuhan yang boleh mengambil kembali hidup manusia. 2 Katekismus Gereja Katolik. Tentang “bunuh diri” secara khusus dibahas dalam bahasan Kehidupan dalam Kris- tus, seksi dua tentang Sepuluh Perintah Allah yang kelima. • 2280“Tiap orang bertanggung jawab atas kehidupannya. Allah memberikan hidup kepadanya. Allah ada dan tetap merupakan Tuhan kehidupan yang tertinggi. Kita berkewajiban untuk berterima kasih, karena itu mempertahankan hidup demi kehormatan-Nya dan demi keselamatan jiwa kita. Kita hanya pengurus, bukan pemilik kehidupan, dan Allah mempercayakan itu kepada kita. Kita tidak mempunyai kuasa apa pun atasnya”. • Gereja katolik tidak merestui bunuh diri dengan alasan pertama yang sangat masuk akal. Ini alasan adikodrati istilah kerennya, atau gampangnya dalam kaitannya manusia dengan penciptanya. Hidup yang mengalir di diri kita ini bukanlah milik kita sendiri, tetapi hanya titipan dari Tuhan sang pencipta dan pemilik sejati. Oleh karenanya manusia, saya dan kamu, tidak berhak untuk memusnahkannya. Bunuh diri sama beratnya dengan membunuh orang lain. • -2281 Bunuh diri bertentangan dengan kecondongan kodrati manusia supaya memelihara dan mempertahankan kehidupan. Itu adalah pelanggaran berat terhadap cinta diri yang benar. Bunuh diri juga melanggar cinta kepada sesama, karena merusak ikatan solidaritas dengan keluarga, dengan bangsa dan dengan umat manusia, kepada siapa kita selalu mempunyai kewajiban. Akhirnya bunuh diri bertentangan dengan cinta kepada Allah yang hidup. Alasan kedua bersifat: kodrati, alamiah, dan sosial. Bunuh diri melawan dorongan kodrat “mempertahankan hidup” dan melanggar hukum cinta kepada diri sendiri 147 Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti dan sesama. Dorongan naluriah setiap orang adalah agar terus hidup dorongan ini asli, terbawa sejak lahir, ada pada setiap pribadi, ditanam oleh Tuhan sendiri. Orang normal akan sekuat tenaga mempertahankan hidup. Sakit diobati, kalau ada bahaya menghindar atau membela diri. Maka bunuh diri jelas-jelas mengabaikan keinginan itu. Secara sosial, juga sangat jelas. Bunuh diri mempunyai akibat lanjutan yang tidak baik bagi orang-orang lain di sekitarnya terutama keluarga. Ingatlah, keluarga selain berduka juga akan menanggung malu. • 2282 “Kalau bunuh diri dilakukan dengan tujuan untuk memakainya sebagai contoh -terutama bagi orang-orang muda- maka itu pun merupakan satu skandal yang besar. Bantuan secara sukarela dalam hal bunuh diri, melawan hukum moral. Gangguan psikis yang berat, ketakutan besar atau kekhawatiran akan suatu musibah, akan suatu kesusahan atau suatu penganiayaan, dapat mengurangi tanggung jawab pelaku bunuh diri”. • Bunuh diri dengan alasan yang sangat mulia sekalipun tidak dianggap benar. Di sini berlaku prinsip moral “tujuan tidak dapat menghalalkan cara”. Sebaik apapun tujuan hidup manusia tidak bisa digunakan sebagai sarana untuk mencapainya. Prinsip ini juga berlaku terhadap hidup manusia lain. Kita tidak boleh mempermainkan hidup orang lain untuk tujuan kita semulia apapun. Kemudian ditegaskan juga, yang membantu orang untuk bunuh diri juga ikut bersalah. Hal yang dapat dianggap meringankan “dosa” bunuh diri hanyalah beberapa kondisi nyata seperti: gangguan psikis berat, ketakutan atau kekhawatiran besar, kesusahan atau penganiayaan serius. • 2283 “Orang tidak boleh kehilangan harapan akan keselamatan abadi bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya. Dengan cara yang diketahui Allah, Ia masih dapat memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat supaya diselamatkan. Gereja berdoa bagi mereka yang telah mengakhiri kehidupannya”. • Walaupun demikian, kita tetap diajak mengimani 100 pada kerahiman Tuhan. Kita didorong untuk meyakini bahwa “rahmat-Nya tetap bekerja” sampai detik terakhir hidup semua orang. Dengan cara-Nya sendiri, Tuhan pasti mendorong orang yang bunuh diri untuk bertobat, sampai detik dimana dia sudah tidak bisa kembali lagi. Tuhan yang maharahim pasti akan menyelamatkan orang yang bertobat itu. b. Pandangan Gereja tentang Euthanasia • Katekismus Gereja Katolik, 1997 No 2276-2279 dan 2324 memberikan ikhtisar penjelasan ajaran Gereja Katolik yang menolak dengan tegas euthanasia aktif. • Kongregasi untuk Ajaran Iman; dalam, Deklarasi Mengenai Euthanasia, 5 Mei, 1980. Pendapat Gereja Katolik mengenai euthanasia aktif sangat jelas, bahwa tidak seorang pun diperkenankan meminta perbuatan pembunuhan, entah untuk dirinya sendiri, entah untuk orang lain yang dipercayakan kepadanya. Penderitaan harus diringankan bukan dengan pembunuhan, melainkan dengan pendampingan 148 Kelas XI oleh seorang teman. Demi salib Kristus dan demi kebangkitan-Nya, Gereja mengakui adanya makna dalam penderitaan, sebab Allah tidak meninggalkan orang yang menderita. Dan dengan memikul penderitaan dan solidaritas, kita ikut menebus penderitaan. • Ensiklik Evengelium Vitae oleh Yohanes Paulus II pada tanggal 25 Maret 1995. Secara khusus, ensiklik ini membahas euthanasia pada artikel nomor 64-67. Paus Yohanes Paulus II, yang prihatin dengan semakin meningkatnya praktik euthanasia, memperingatkan kita untuk melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari ‘budaya kematian’ …. Jumlah orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang mengganggu”. Euthanasia yang “mengendalikan maut dan mendatangkannya sebelum waktunya, dengan secara “halus” mengakhiri hidupnya sendiri atau hidup orang lain ….. tampak tidak masuk akal dan melawan perikemanusiaan“. Euthanasia merupakan “pelanggaran berat terhadap hukum Allah, karena itu berarti pembunuhan manusia yang disengaja dan dari sudut moral tidak dapat diterima”. Sebagai pendasaran, teks tersebut menunjuk pada hukum kodrati, Sabda Allah, tradisi dan ajaran umum Gereja Katolik.

4. Menghayati Ajaran Gereja tentang Bunuh Diri dan Euthanasia

Hidup manusia harus dihormati karena pada dirinya terkandung nilai rohani, bahwa penciptaan Allah dan relasinya dengan Allah. Hidup manusia berasal dari Allah, maka urusan memberi dan mengakhiri hidup manusia adalah wewenang Allah. Tidak ada hak siapa pun juga untuk mengakhiri hidup seseorang. Hidup manusia ada di tangan Allah dan Allahl ah yang berkuasa untuk membuat hidup dan mengakhirinya dengan kematian. Karena itu para medis tidak diperbolehkan melakukan tindakan eutanasia karena tindakan itu kontra hukum Allah. Hidup manusia tidak dapat diganggu pada tahap dan dalam situasi apapun juga. Setiap suara hati mesti diarahkan untuk menjunjung tinggi nilai kehidupan manusia. Semoga budaya kehidupan terpatri dalam diri setiap orang dan senantiasa menentang budaya kematian Releksi : Berdasarkan tulisan tersebut, buatlah sebuah releksi tertulis tentang bunuh diri dan euthanasia dari sudut pandang ajaran kristiani. Doa: Bapa yang Maharahim, Kami telah belajar tentang bagaimana menghargai hidup sesuai pengajaran dan teladan Putra-Mu, Yesus Kristus. Semoga dalam hidup sehari-hari, kami mampu menghargai hidup itu baik dalam hidup kami sendiri maupun hidup sesama. Amin. 149 Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti

F. Hukuman Mati

Yohanes Paulus II menegaskan bahwa status sah yang memungkinkan pelak- sanaan hukuman mati ini tidak terletak lagi pada pertimbangan berat ringannya suatu tindak kejahatan yang dilakukan, tetapi pada ketidakmampuan masyarakat di dalam mempertahankan dirinya dengan cara-cara lain. Menurutnya, status keti- dakmampuan masyarakat melindungi dan mempertahankan dirinya dengan cara- cara lain adalah faktor yang menentukan di dalam memutuskan apakah hukuman mati diperbolehkan atau tidak bagi seseorang yang melakukan kejahatan. Doa: Ya Bapa, Berkatilah kami dalam pelajaran ini, agar memahami ajaran Gereja tentang hukuman mati, dan ikut berusaha untuk terlibat aktif dalam memperjuangkan budaya kehidu- pan, dan menghindari budaya kematian. Demi Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat kami. Amin.

1. Makna Hukuman Mati

a. Melihat kasus Indonesia termasuk negara yang masih melakukan hukuman mati. Sudah ratusan orang meregang nyawa di hadapan regu tembak kepolisian Indonesia. Salah satu ka- sus hukuman mati yang pernah menghebohkan masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri, bahkan hingga Paus Yohanes Paulus II alm mengirimkan surat kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, adalah kasus yang menimpa bapa Fabianus Tibo, dan kawan-kawan di Poso. Berkaitan dengan hal tersebut, cobalah menyimak artikel berikut ini, kemudian berikan analisis pandanganan tentang hukuman mati. Lonceng Kematian Rasa Keadilan Fabianus Tibo 60, Dominggus da Silva 42, dan Marinus Riwu 52 akhirnya dieksekusi juga di hadapan tiga regu tembak pasukan Brimob Polda Sulawesi Tengah. Prosesi penembakan yang berlangsung secara serentak mulai pukul 01.10 sampai dengan pukul 01.15 Wita itu dilaksanakan di sebuah tempat rahasia di pinggiran Kota Palu Kompas Cyber Media, 2292006. Puluhan tahun kehidupan yang dianugerahkan Tuhan lenyap hanya dalam lima menit di tangan eksekutor. Melayang sudah nyawa ketiga warga bangsa itu, bukan