Pengembangan Budidaya Laut di Pulau-Pulau Kecil Budidaya Rumput Laut

sumberdaya manusia yang handal yang mau bekerja di pulau-pulau kecil tersebut b. Kesukaran atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi sehingga turut menghambat pembangunan hampir semua pulau-pulau kecil di dunia c. Keterbatasan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir coastal ecosystem dan satwa liar, yang pada gilirannya menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan. d. Produktivitas sumbedaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di setiap unit ruang lokasi di dalam pulau dan terdapat di sekitar pulau seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir saling terkait satu sama lainnya. e. Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan yang ingin dikembangkan.

2.3. Pengembangan Budidaya Laut di Pulau-Pulau Kecil

Pengembangan budidaya laut yang hendak diwujudkan di pulau kecil adalah sistem usaha perikanan yang mampu menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, menguntungkan, berkeadilan, dan berkelanjutan. Untuk dapat merealisasikannya maka pengembangan budidaya perikanan seyogyanya didasarkan pada beberapa hal, yaitu: i potensi dan kesesuaian wilayah untuk jenis budidaya, ii kemampuan dan aspirasi masyarakat setempat dalam mengadopsi dan menerapkan teknologi budidaya, iii pendekatan sistem bisnis perikanan budidaya secara terpadu, dan iv kondisi serta pencapaian hasil pembangunan budidaya perikanan yang menjadi leading sector Dahuri, 2003. Kondisi biofisik wilayah pesisir pulau-pulau kecil di Indonesia berbeda antara satu dengan lainnya, sehingga berimplikasi pada kesesuaian sustability untuk jenis budidaya perikanan yang dikembangkan Dahuri, 2003. Dalam pedoman umum pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat DKP, 2001, bahwa pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2000 km 2 hanya dapat digunakan untuk kepentingan terbatas, dan salah satunya adalah usaha budidaya perikanan laut marine based aquacultur. Jenis-jenis komoditas yang dapat dikembangkan meliputi ikan kerapu, teripang pasir, kerang-kerangan, dan rumput laut. Dahuri 2002 mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil, kegiatan pengembangan budidaya perikanan dapat dilakukan melalui pembenihan, pembudidayaan, penyiapan prasarana, serta pengelolaan kesehatan organisme dan lingkungan. Kegiatan tersebut diharapkan mampu meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan produksi usaha budidaya perikanan.

2.4. Budidaya Rumput Laut

Rumput laut seaweed merupakan nama dalam perdagangan nasional untuk jenis alga yang dipanen dari laut. Dari segi morfologinya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang, dan daun. Secara keseluruhan, tumbuhan ini mempunyai bentuk yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda, yaitu berbentuk thallus. Budidaya rumput laut di Indonesia banyak dilakukan karena memiliki manfaat antara lain: sebagai pupuk organik, bahan baku industri makanan dan kosmetika, sampai obat-obatan. Rumput laut yang banyak dikembangkan yaitu jenis Eucheuma cottonii. Jenis ini banyak digunakan oleh industri makanan, kosmetika dan farmasi di dunia karena banyak mengandung carragenan Nontji, 1993. Jenis-jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini. Tabel 1 Jenis rumput laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi Jenis Rumput Laut Kelompok Penghasil Eucheuma sp Karaginophytes Karaginan Gracillaria sp Agarophytes Agar Gelidium sp Agarophytes Agar Sargasum sp Alginophytes Alginat Sumber : BRKP 2001 Dalam melakukan budidaya rumput laut, pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan berhasil tidaknya usaha budidaya. Untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari usaha rumput laut, hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan persyaratan tumbuh rumput laut Anonim, 1992. Kriteria kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Kriteria yang diinginkan untuk lokasi budidaya rumput laut. No Parameter Sangat Sesuai S1 Sesuai S2 Tidak Sesuai N Sumber 1 Kedalaman m 1,0 – 5,0 0,5 - 1,0 atau 5,0 - 10,0 0,5 atau 10,0 Aslan 1998; Utoyo 2000 2 Kecepatan Arus ms 0,20 – 0,30 0,10 – 0,19 atau 0,30-0,40 0,10 atau 0,40 Aslan 1998; Sulistijo 1996 3 Nitrat mgl 0,90 – 3,00 0,10 - 0,90 atau 3,00 – 3,50 0,10 atau 3,50 Sulistijo 1996 4 Fosfat mgl 0,02 – 1,00 0,01 - 0,02 atau 1,00 – 2,00 0,01 atau 2,00 Sulistijo 1996 5 Kecerahan 80 - 100 60 - 80 60 Aslan 1998 6 Suhu oC 28 - 30 26 - 27 atau 30 - 33 26 atau 33 Djurjani 1999 7 Salinitas ppt 28 - 32 25 – 27 atau 33 - 35 25 atau 35 Aslan 1998; Djurjani 1999 8 Oksigen terlarut mgl 4,00 2,00 – 4,00 2,00 Djurjani 1999 9 pH 7,00 – 8,50 6,50 - 7,00 6,50 atau 8,50 Djurjani 1999 10 Kekeruhan NTU 10,00 10,00 – 40,00 40,00 Aslan 1998; Hidayat 1994 11 Tinggi Gelombang m 0,20 – 0,30 0,10 – 0,20 atau 0,30 – 0,40 0,10 atau 0,40 Aslan 1998; Hidayat1994 12 Substrat Dasar Pasir, Pecahan Karang Karang, Pasir Berlumpur Lumpur Indriani dan Sumiarsih 1991; Hidayat 1994 13 Keterlindungan Terlindung teluk, selat Cukup terlindung perairan dangkal dengan karang penghalang Terbuka perairan terbuka Efendi 2004 Selain pemilihan lokasi untuk budidaya rumput laut, metode penanaman juga perlu diperhatikan. Menurut Aslan 1998, terdapat tiga metode penanaman rumput laut berdasarkan posisi tanam terhadap dasar perairan, yaitu : i metode dasar bottom method; ii metode lepas dasar off bottom method; dan iii metode apung floating method. Syamsudin 2004, menyatakan bahwa pemilihan metode budidaya rumput laut memiliki korelasi terhadap produktivitas dan pertumbuhan thallus rumput laut yang dibudidayakan. Ini didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan dengan membandingkan produktivitas 3 tiga metode budidaya rumput laut, yaitu metode tali rawaiapung, metode lepas dasar, dan metode dasar. Selanjutnya dikatakan bahwa metode tali rawaiapung merupakan metode budidaya rumput laut yang paling produktif dengan laju pertumbuhan harian thallus rata-rata 7,67 per hari, metode lepas dasar mencapai laju pertumbuhan harian rata-rata 7,54 per hari, dan metode dasar mencapai laju pertumbuhan harian rata-rata sebesar 2,12 perhari. Dengan menggunakan metode tali rawaiapung dan metode lepas dasar pada kedalaman yang sesuai, thallus rumput laut yang dibudidayakan dapat mencapai berat 4 – 5 kali lipat dari berat awal thallus. Dengan demikian disimpulkan bahwa untuk mencapai produktivitas yang tinggi, budidaya rumput laut disarankan untuk dilakukan dengan metode tali rawaiapung dan metode lepas dasar pada kedalaman yang sesuai 2.5. Budidaya Ikan Kerapu Ikan kerapu adalah jenis ikan laut yang banyak dijadikan komoditas budidaya, karena memiliki nilai penting di pasar dalam dan luar negeri Laining et al., 2003. Hal ini disebabkan faktor tingginya harga jual ikan kerapu sebagai ikan konsumsi, terutama harga di pasar eksport seperti di Negara Singapore dan Hongkong Trisakti, 2003. Keramba jaring apung KJA adalah salah satu teknik budidaya ikan kerapu yang cukup produktif dan intensif dengan konstruksi yang tersusun dari karamba- karamba jaring yang dipasang pada rakit terapung di perairan pantai Sunyoto, 1996. Salah satu keuntungan budidaya ikan kerapu dengan KJA dibandingkan dengan teknologi selain KJA yaitu ikan dapat dipelihara dengan kepadatan tinggi tanpa khawatir akan kekurangan oksigen Basyarie, 2001. Sedangkan keuntungan KJA lainnya ialah hemat lahan, tingkat produkivitasnya tinggi, tidak memerlukan pengelolaan air yang khusus sehingga dapat menekan input biaya produksi, mudah dipantau, unit usaha dapat diatur sesuai kemampuan modal, jumlah dan mutu air selalu memadai, tidak perlu pengolahan tanah, pemangsa mudah dikendalikan dan mudah dipanen Sunyoto, 1996. Budidaya ikan kerapu dengan menggunakan KJA terdiri dari serangkaian kegiatan Sunyoto, 1996, yaitu: a. Pemilihan dan penentuan lokasi KJA dengan mempertimbangkan faktor- faktor gangguan alam badai dan gelombang besar, adanya predator, pencemaran, konflik pengguna, faktor kenyamanan dan kondisi hidrografi. b. Pembuatan disain dan konstruksi KJA dengan mempertimbangkan ukuran, disain, bahan baku dan daya tahannya, harga dan faktor lainnya. c. Penentuan Tata letak KJA dengan mempertimbangkan faktor kondisi perairan arus yang terkait dengan sirkulasi air dalam keramba, ukuran keramba luas dan kedalaman, ukuran mata jaring, jumlah keramba yang searah dengan arus, jarak antar ke-ramba dan lama pemeliharaan. d. Pengadaan sarana budidaya, seperti kerangka rakit, jaring kurungan, pelampung, jangkar, keramba, pengadaan benih dan tenaga kerja. Selanjutnya Sunyoto 1996 mengatakan pengelolaan budidaya ikan kerapu terdiri dari kegiatan penebaran benih dengan padat penebarannya, pendederan, pembesaran, pemberian pakan dan pengelolaannya, pencegahan timbulnya penyakit ikan, perawatan sarana budidaya dan pengamatan kualitas air, serta kegiatan panen, penanganan pasca panen dan pemasarannya. Budidaya ikan kerapu telah dikembangkan secara intensif karena dorongan permintaan pasar dan harga jual yang tinggi. Selain itu, pengembangan budidaya ikan kerapu dalam keramba jarung apung diperkirakan mampu mengurangi kerusakan terumbu karang karena teknik penangkapan yang tidak ramah lingkungan Subandar, 2003. Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan demersal yang bernilai ekonomi tinggi dan memiliki prospek pasar yang baik di dalam maupun di luar negeri seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis ikan kerapu yang bernilai ekonomis tinggi untuk dikembangkan Jenis Ikan No Nama Indonesia Nama Latin 1 Kerapu malabar Epinephelus malabaricus 2 Kerapu macan Epinephelus fuscoguttatus 3 Kerapu lumpur Epinephelus suillus 4 Kerapu sunu Plectropomus spp 5 Kerapu bebek Cromileptis altivelis Sumber : Balai Budidaya Laut Lampung, 1998 Berkaitan dengan pengembangan budidaya ikan dalam KJA, pemilihan lokasi merupakan hal yang sangat menentukan dalam kegiatan budidaya. Pemilihan lokasi ideal tidak boleh dilakukan secara gegabah karena menyangkut modal yang tidak sedikit dan kelangsungan usaha. Menurut Anonim 1998, lokasi yang dipilih untuk budidaya ikan dalam KJA harus memenuhi kriteria lingkungan untukbudidaya karena akan menentukan tingkat keberhasilan budidaya tersebut. Pemilihan lokasi yang tepat akan mempengaruhi nilai ekonomis budidaya karena membutuhkan biaya pengelolaan, tingkat produksi ikan dan mortalitas. Apabila di suatu wilayah perairan telah ditetapkan zonasi peruntukannya, maka KJA harus diletakkan pada zona budidaya yang telah ditetapkan. Kriteria budidaya ikan kerapu dalam KJA seperti pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai ideal yang diinginkan dari parameter utama pemilihan lokasi perairan untuk budidaya ikan kerapu dengan sistem KJA No Parameter Sangat Sesuai S1 Cukup Sesuai S2 Tidak Sesuai N Sumber 1 Keterlindungan Terlindung Agak Terlindung Tidak Terlindung Sutrisno et al 2000 2 Kedalaman m 10 – 20 20 - 25 atau 4 - 10 4 atau 25 Sunyoto 1996; Utojo dkk 2000 3 DO mgl 5,00 – 8,00 3,00 - 5,00 3,00 atau 8,00 Djurjani 1999; Sunyoto 1996 4 Salinitas ppt 30,00 – 35,00 25,00 - 30,00 25,00 atau 35,00 Sunyoto 1996 5 Gelombang m 0,20 0,20 – 0,50 0,50 Akbar dan Sudaryanto 2001 6 Arus ms 0,20 – 0,40 0,05 - 0,20 atau 0,40 – 0,50 0,05 atau 0,50 Sunyoto 1996 7 Suhu oC 27,00 – 32,00 20,00 – 26,00 20,00 atau 32,00 Amin 2001; Djurdjani 1999 8 Kecerahan m 5,00 3,00 - 5,00 3,00 Al Qodri et al 1999 9 BOT 21,00 – 25,00 10,00 – 20,00 atau 26,00 – 50,00 10,00 atau 50,00 Akbar dan Sudaryanto 2001; Al Qodri 1999 10 Subtrat Dasar Pasir, Pecahan Karang, Karang Pasir Berlumpur Lumpur

2.6. Budidaya Laut Yang Berkelanjutan