bahwa degradasi diinduksi dengan pendidihan serat selulosa dalam larutan asam mencapai suatu batas setelah perlakuan dalam waktu tertentu. Gambar
2.5transmission electron microscopy TEM dari suspensi kering menunjukkan adanya partikel berbentuk jarum dan analisis selanjutnya dengan difraksi elektron
menunjukkan adanya kesamaan struktur kristal seperti serat aslinya Habibi, dkk.,, 2010.
Gambar 2.5. Gambar TEM selulosa nanokristal dari sisal Garcia, dkk., 2006 Selulosa nanokristal telah diisolasi dari berbagai sumber selulosa,
termasuk tanaman, selulosa mikrokristal, hewan, bakteri, dan alga. Kapas adalah salah satu sumber selulosa yang memiliki kandungan selulosa tinggi 94
Oksman dan Mathew, 2007; Klemm, dkk., 2011.
2.4.1 Pembuatan dan Karakterisasi Selulosa Nanokristal
Proses utama untuk menghasilkan selulosa nanokristal dari serat selulosa adalah berdasarkan hidrolisis asam. Bagian amorf akan lebih mudah dihidrolisis,
sedangkan bagian kristal yang lebih tahan terhadap serangan asam akan tersisa Habibi, dkk., 2010.
Universitas Sumatera Utara
Prosedur khas yang dilakukan untuk menghasilkan selulosa nanokristal adalah menghidrolisis selulosa murni dengan asam kuat dalam kondisi temperatur,
pengadukan, dan waktu yang terkendali. Proses kimia dimulai dengan penghilangan ikatan antar polisakarida pada permukaan serat selulosa dan diikuti
dengan pecah dan rusaknya bagian amorf sehingga melepaskan bagian kristal selulosa. Setelah hidrolisis dilakukan, suspensi yang dihasilkan diencerkan dengan
air, dan dicuci dengan beberapa kali sentrifugasi. Kemudian dialisis dilakukan untuk menghilangkan molekul asam bebas dari dispersi dan memisahkan partikel
yang berukuran lebih kecil dan lebih besar dari pori-pori membran dialisis yang digunakan. Tahap selanjutnya adalah proses mekanik seperti sonikasi yang akan
menghilangkan pengotor yang masih melekat pada selulosa nanokristal sehingga diperoleh nanokristal yang terdispersi dalam suspensi yang stabil. Struktur, sifat,
dan tahap pemisahan tergantung pada asam mineral dan konsentrasi yang digunakan, temperatur dan waktu hidrolisis, serta intensitas ultrasonikasi Habibi,
dkk., 2010; Klemm, dkk., 2011. Jenis asam mineral yang digunakan dalam tahap hidrolisis memiliki
pengaruh besar pada sifat permukaan nanokristal. Kristal yang dihasilkan dengan menggunakan HCl menunjukkan stabilitas koloid yang rendah dan tidak
bermuatan, sedangkan hidrolisis yang dilakukan dengan asam sulfat akan mengalami sulfasi pada beberapa permukaan dan menghasilkan selulosa yang
bermuatan negatif pada permukaannya Klemm, dkk., 2011. Selulosa nanokristal yang ditritmen dengan HCl kemudian dengan asam sulfat menghasilkan ukuran
partikel yang sama seperti yang diperoleh dengan hidrolisis asam sulfat. Sedangkan proses hidrolisis yang dilakukan dengan menggunakan kombinasi
Universitas Sumatera Utara
asam klorida dan asam sulfat memberikan bentuk sferis pada nanokristal. Bentuk sferis memiliki gugus sulfat yang lebih sedikit pada permukaannya Habibi, dkk.,
2010. Konsentrasi asam sulfat yang digunakan tidak banyak bervariasi dari
konsentrasi 65 bb, temperatur dapat berada pada rentang suhu kamar sampai 70
o
C, waktu hidrolisis dapat berbeda dari 30 menit sampai 1 malam tergantung suhu yang digunakan. Hidrolisis dengan asam klorida dapat dilakukan pada
temperatur refluks dengan konsentrasi asam antara 2,5-4 N dengan variasi suhu tergantung pada sumber selulosa yang digunakan Habibi, dkk., 2010. Bondeson,
dkk. 2006 telah meneliti kondisi optimum hidrolisis dengan menggunakan selulosa mikrokristal dari Norway spruce Picea abies sebagai bahan awal
selulosa. Faktor yang divariasikan selama proses adalah konsentrasi selulosa mikrokristal dan asam sulfat, waktu dan temperatur hidrolisis, dan waktu tritmen
dengan ultrasonik. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi asam sulfat 63,5 bb dengan waktu hidrolisis sekitar 2 jam, telah menghasilkan selulosa
nanokristal dengan rendemen 30 dari berat awal dan memiliki panjang 200-400 nm dan lebar kurang dari 10 nm. Perpanjangan waktu hidrolisis menghasilkan
nanokristal yang lebih pendek dan menambah muatan permukaan. Ukuran dan morfologi nanokristal tergantung pada sumber selulosa: selulosa tunicate dan alga
memiliki panjang beberapa mikron, sedangkan serat kayu menghasilkan nanokristal yang lebih pendek Klemm, dkk., 2011; Frone, dkk., dkk., 2011.
Yu, dkk. 2012 telah membuat selulosa nanokristal dari pulp bambu. Pada proses ini digunakan asam sulfat dengan konsentrasi 46, suhu dan waktu
hidrolisis berturut-turut 55
o
C dan 30 menit. Selulosa nanokristal yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
memiliki panjang 200-500 nm dan diameter kurang dari 20 nm. Hasil uji FTIR menunjukkan spektrum yang sama dengan pulp bambu. Derajat kristalinitas
selulosa nanokristal bambu 71,98. Hal ini dikarenakan bagian amorf telah banyak dihilangkan pada saat hidrolisis dengan asam sulfat. Selulosa nanokristal
yang diperoleh dari hasil hidrolisis Luffa cylindrica dengan asam sulfat 65 memiliki bentuk whisker dengan derajat kristalinitas 96,5.
Chang, dkk. 2010 telah membuat selulosa nanokristal dari cotton linter dengan menggunakan variasi konsentrasi asam sulfat 50-60, temperatur 45–
55
o
C, dan waktu hidrolisis 5-15 menit. Hasil selulosa nanokristal yang terbaik adalah yang diperoleh dari hidrolisis dengan asam sulfat 60, temperatur 45
o
C, dan waktu reaksi 5 menit. Selulosa nanokristal ini memiliki bentuk jarum, gugus
fungsi yang tidak berbeda dengan selulosa kapas, dan temperatur degradasi yang lebih rendah dari kapas dan selulosa nanokristal lain.
Selulosa nanokristal mempunyai rasio luas permukaan dan volume yang sangat besar Habibi, dkk., 2010; Liu, dkk., 2010. Luas permukaan yang sangat
besar ini merupakan suatu keuntungan dari selulosa nanokristal yaitu memungkinkan untuk lebih banyak obat dapat berikatan dan berinteraksi dengan
permukaannya Jackson, dkk., 2011.
2.4.2 Aplikasi Selulosa Nanokristal