Padanan Ekuivalen dalam Penerjemahan
46
Zgusta membedakan padanan secara khusus menjadi padanan sisipan dan padanan deskriptif. Padanan sisipan mempunyai kelebihan dalam hal kemampuannya
untuk dapat langsung digunakan kedalam kalimat serta dapat juga langsung disisipkan kedalam konteks kalimat bahasa sasaran. Sebaliknya padanan deskriptif mempunyai
kelebihan dalam memberikan penjelasan atau informasi yang lebih lengkap terhadap satuan leksikal bahasa sasaran.
Zgusta juga menerangkan bahwa pada dasarnya terdapat padanan yang dapat dikombinasikan. Padanan kombinasi padanan gabung yang dimaksud adalah
padanan penerjemahan sisipan atau padanan penjelasan Deskriptif yang dapat disertai keterangan penjelas. Padanan gabungan ini timbul akibat kedua padanan
terdahulu terkadang tidak mampu untuk memberikan makna padanan yang jelas. Sehingga untuk mencegah keambiguan makna. Maka muncullah padanan-padanan
yang disertai dengan keterangan penjelas.
59
Dalam bahasa Inggris, padanan berarti equivalent. Ada peneliti yang terkecoh dengan dengan equivalence. Equivalence adalah persamaan. Dia menyebutkan dalam
penelitiannya kalau padanan adalah nama lain dari sinonim. Padahal hal ini adalah hal yang berbeda. Yang berhubungan dengan sinonim adalah equivalence seperti
dijelaskan dalam arti semantik bahwa equivalence corresponds to the conventional truth-functional semantic relation of sinonimy.
60
Sinonim adalah persamaan kata namun dalam bahasa yang sama. Sedangkan padanan adalah persamaan makna
namun dalam bahasa yang berbeda.
59
Zgusta Ladislav, h. 319
60
Hadumon Bussman, Dictionary of Language and Linguistics, New York: Routledge, 1996, h. 151
47
Seperti contoh padanan cerita. Padanan cerita adalah cerita yang mirip atau sejalan dengan cerita yang terdapat dalam bahasa lain. Misalnya cerita sang kancil di
Indonesia mirip dengan cerita Rubah dalam sastra Eropa.
61
Dalam metode padanan para siswa mulai belajar sejumlah kosakata yang sepadan dalam bentuk dan makna dengan bahasa para siswa atau bahasa ibubahasa
kuasa. Semua pengajaran dengan padanan bentuk dan makna antara bahasa ajaran dan bahasa kuasaan langsung dipergunakan dalam komunikasi lisan dan tulis.
62
Nida memberikan dua orientasi dasar atau tipe padanan, yaitu 1 padanan formal, dan 2 padanan dinamis. Padanan formal memfokuskan perhatiannya pada
pesan itu sendiri, baik bentuk maupun isi, pesan dalam bahasa sasaran harus mencocokkan sedekat mungkin unsur-unsur yang berbeda dalam bahasa sumber.
Pemadanan formal telah lama dipertentangkan oleh Nida dengan teori pemadanan dinamis. Parameter pemadanan dinamis menilai terjemahan bukan lagi hanya kriteriaa
padanan formal antarteks, tetapi lebih terfokus pada sudut pandang pembaca sehingga hasil yang dicapai adalah makna tekstual dan kontekstual. Teori pemadanan dinamis
thought for thought translation lebih cenderung mengunglap fenomena sosial dalam meanings potential; terhadap makna sosial what its mean in the text and context yang
terealisasi dalam new information.
63
Padanan dinamis berdasarkan pada prinsip pengaruh padanan hubungan antara penerjemah dan pesan secara substansi sama seperti yang ada antara penulis dengan
pesan.
64
61
Hasanuddin WS, dkk, h. 672
62
Jos Daniel Parera, Linguistik Edukasional, Jakarta: Erlangga, 1997, h. 65-66
63
Frans I Made Brata, Teknik Pergeseran Dalam Penerjemahan Sistem Sapaan Dalam Budaya Religi, Universitas Udayana Bali.
64
Eddy Setia, Terjemahan, Permasalahan, dan Beberapa Pendekatan, Skripsi S1 Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, 2007.
48
Nida mengemukakan teori penerjemahan dynamic-equivalent pada tahun 1964 yang kemudian bersama Jan de Waard direvisi menjadi functional-equivalent pada
tahun 1986. Teori ini mengusung konsep bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan
yang memiliki kesetaraan fungsi baik dalam Bsu maupun dalam Bsa. Kesetaraan fungsi tersebut berarti memiliki makna yang paling mendekati. Proses penerjemahan
menurut teori functional equivalent dijabarkan menjadi sebagai berikut: 1 analisis teks bahasa sumbe berdasarkan tata bahasa dan makna. Kalimat-kalimat Bsu dipecah-
pecah menjadi komponen-komponen bermakna misal menjadi kata atau frase, kemudian komponen-komponen tersebut dicari maknanya dengan menggunakan
teknik analisis komponen makna. 2 pengalihbahasaan dari Bsu menjadi Bsa. Komponen-komponen
tersebut dialihkan
ke bahasa
sasaran dengan
mempertimbangkan kesesuaian makna. 3 penyusunan ulang teks terjemahan. Dalam tahap ini, komponen-komponen tersebut disusun kembali menjadi satu kalimat utuh
dengan catatan harus mempertimbangkan prinsip kewajaran bahasa sasaran. Thobita Shigeo mengembangkan proses penerjemahan dengan basis teori
ekuivalen-fungsional menjadi enam tahap, yaitu 1 membaca materi asli dengan teliti. 2 menganalisis dan mengemukakan isi pesan atau informasi dalam materi asli.
3 mengalihkan materi dari Bsu ke dalam bahasa yang digunakan. 4 menyusun ulang stilistika bahasa yang digunakan. 5 memeriksa ulang dan memoles hasil
terjemahan. 6 melakukan minimal tiga kali revisi. Terjemahan harus menyampaikan pesan yang sama dengan nilai-nilai estetika
yang sama yang disampaikan oleh teks asli.
65
65
Zgusta Ladislav, Translational Equivalence in the Bilingual Dictionary, h. 151
49
Dalam teknik penerjemahan, ada penerjemahan yang tidak diberikan padanan dan ada pula penerjemahan yang diberikan padanan budaya. Penerjemahan yang tidak
diberikan padanan yaitu penerjemahan yang dikutip dari bahasa aslinya, biasanya dilengkapi dengan catatan kaki. Teknik ini digunakan saat penerjemah tidak dapat
menemukan terjemahan dalam Bsa. Padanan budaya yaitu menerjemahkan dengan memberikan padanan dengan unsur budaya yang ada dalam Bsa. Dalam
menerjemahkan peribahasa, kedua teknik seperti di atas bisa dipergunakan.