Bilangan yang menunjukan sukar dan mudahnya suatu soal disebut indeks kesukaran difficulty index. Besarnya indeks kesukaran antara 0,00 sampai
dengan 0,1. Indeks kesukaran ini menunjukkan taraf kesukaran soal. Soal dengan indeks kesukaran 0,00 menunjukkan bahwa soal itu terlau sukar.
Sebaliknya indeks 1,0 menunjukkan bahwa soal terlalu mudah. Indeks kesukaran butir-butir soal ditentukan dengan rumus:
36
P =
JS B
Keterangan: B = Banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan benar
JS = Jumlah seluruh peserta tes P = Indeks kesukaran
Menurut ketentuan yang sering diikuti, indeks kesukaran sering diklasifikasikan sebagai berikut:
4. Daya Pembeda Soal
Daya pembeda soal, adalah kemampuan sesuatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai berkemampuan tinggi dengan
siswa yang bodoh berkemampuan rendah.
36
Ibid. h. 208.
- Soal dengan P 0,00 sampai 0,30 adalah soal sukar
- Soal dengan P 0,30 sampai 0,70 adalah soal sedang
- Soal dengan P 0,70 sampai 1,00 adalah soal mudah
Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut indeks diskriminasi, disingkat D d besar. Seperti halnya indeks kesukaran, indeks
diskriminasi daya pembeda ini berkisar 0,00 samapai 1,00. Soal yang baik adalah soal yang dapat dijawab benar oleh siswa-siswa yang pandai, begitu
juga sebaliknya. Daya pembeda tiap butir soal ditentukan dengan rumus:
37
DP =
JB BB
JA BA
Keterangan: BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal dengan
benar. BB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal
dengan benar. JA = banyaknya peserta kelompok atas.
JB = banyaknya peserta kelompok bawah. DP = daya pembeda.
Klasifikasi daya pembeda:
37
Ibid. h.213 s.d. 214
D : 0,00 – 0,20
: Jelek poor D : 0,20
– 0,40 : Cukup satisfactory
D : 0,40 – 0,70
: Baik good D : 0,70
– 1,00 : Baik sekali excellent
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.
Dokumentasi. Cara pengumpumpulan data ini dengan mengambil data siswa yang terdapat di SMK Grafika Yayasan Lektur Lebak Bulus.
Data yang dimaksud berupa daftar absensi siswa dan hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol.
2. Tes. Pengumpulan data melalui tes dalam penelitian ini menggunakan
tes tertulis jenis pilihan ganda sebanyak 20 soal yang telah diuji validitas, homogenitas, daya beda soal, dan indeks kesukarannya.
3. Observasi. Dalam tahap ini penulis melakukan observasi terhadap kelas-
kelas yang akan dijadikan kelompok kontrol maupun ekperimen. Bentuk observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
melakukan wawancara dengan guru bahasa Indonesia terkait dengan metode pembelajaran yang sering digunakan.
F. Teknik Analisis data
1. Uji Normalitas
Menguji normalitas data kerapkali disertakan dalam suatu analisis statistika inferensial untuk satu arah atau lebih kelompok sampel. Normalitas
sebaran data menjadi sebuah asumsi yang menjadi syarat untuk menentukan jenis statistik apa yang dipakai dalam penganalisisan.
Asumsi normalitas senantiasa disertakan dalam penelitian pendidikan karena erat kaitannya dengan sifat atau objek penelitian pendidikan, yaitu
berkenaan dengan kemampuan seseorang dalam kelompoknya. Galton, seorang ahli dalam teori pembelajaran, mengatakan bahwa apabila sejumlah
anak atau orang dikumpulkan dalam suatu kelas kemudian diukur kemampuaannya kepandaian, kebiasaan, keterampilan, hasil pengkurannya
yang berupa skor kemampuan akan berdistribusi menyerupai kurva normalitas.
38
Tes normalitas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan rumus kai kuadrat chi square dengan cara:
a. Data dikelompokkan ke dalam daftar distribusi frekuensi absolute
dan tentukan batas intervalnya. b.
Tentukan nilai Z, di mana Z =
�−�
c. Hitunglah peluang untuk tiap Z bila Z positf, Maka Fz= 0,5+ Z
tabel,
bila negatif maka Fz = 1-0,5+ Z
tabel
d. Hitunglah selisih luas kelas interval
e. Tentukan Fe untuk tiap kelas interval sebagai hasil kali peluang tiap
kelas dengan n ukuran sampel f.
Gunakan rumus Chi-kuadrat, apabila X
2 hitung
X
2 tabel
maka sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
X
2 tabel
= � = 5,
38
Subana, Moersetyo, Sudrajat, Opcit, h. 123.
2. Uji Homogenitas
Setelah melakukan uji normalitas, selanjutnya yaitu mengetes homogenitas. Adapun prosedur perhitungan uji homogenitas sebagai
berikut a.
Rumuskan hipotesis Ho : sampel berasal dari populasi yang homogen
Ha : sampel berasal dari populasi yang tidak homogen b.
Buat Kriteria pengujian Tolak Ho jika F
hitung
F
tabel
c. Hitung variansi dari tiap kelompok kelompok eksperimen dam
kelompok control dengan rumus
1
2 2
n n
fx fx
n
i i
d. Gunakan rumus Fisher
F =
� � � � � �
�
e. Tenukan Db
f. Bandingkan nilai F
hitung
dengan F
tabel
g. Penarikan kesimpulan
G.
Uji hipotesis
Hipotesis diuji dengan rumus t-tes untuk dua sampel kecil yang tidak ada hubungannya yang satu dengan yang lain, yaitu dengan rumus:
t
hitung
t
table
: Ho diterima t
hitung
t
table
: Ho ditolak Ho
: Tidak Terdapat perbedaan mean yang signifikan pengaruh penggunaan metode diskusi terhadap hasil belajar bahasa Indonesia
kelas XI daripada metode ceramah Ha
: Terdapat perbedaan mean yang signifikan pengaruh penggunaan metode diskusi terhadap hasil belajar siswa kelas XI daripada metode
ceramah X 1: Kelas yang menggunakan metode ceramah
X2 : Kelas yang menggunakan metode diskusi
56
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum SMK Grafika
1. Latar Belakang Sekolah
Lembaga pendidikan Grafika yang bernama “Pusat Latihan Grafika” itu didirikan dan dibiayai sepenuhnya oleh yayasan Lektur, dan
diprakarsai serta disetujui oleh Bapak Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, pada waktu itu Bapak Mr. M. Yamin.
Gedung Pusat Latihan PLG dibangun di Jalan Melawai Raya no. 4 Kebayoran Baru Jakarta Selatan, dan sekarang sudah menjadi kompleks
pertokoan “Melawai Plaza”, semenjak pindah ke Jalan Pasar Jumat, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan.
Pusat Latihan Grafika merupakan suatu lembaga swasta, namun semenjak pendiriannya senantiasa memperoleh perhatian besar dari
Departemen Pendidikandan Kebudayaan yang diwujudkan dengan pemberian bantuan beberapa orang guru. Ijazah yang dikeluarkan oleh
PLG mempunyai efek dan secara resmi diakui setara dengan ijazah Sekolah Teknik Negeri.
Dalam sejarah dan perkembangan industri grafika di negeri kita ini, tercatat perkembangan jumlah perusahaan grafika yang cukup
menggembirakan dari tahun ke tahun, sehingga tidak dapat dihindarkan peningkatan kebutuhan akan tenaga kerja yang bertanggung jawab serta
memiliki keterampilan yang diperlukan guna melayani berbagai mesin dan peralatan yang kian hari bertambah modern dan canggih.
Dengan memperhatikan akan perkembangan dan pertumbuhan industri grafika, maka mulai ajaran 1968, dengan persetujuan Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan, PLG „terpaksa‟ ditingkatkan menjadi Sekolah Teknik Menengah Grafika STM Grafika.
Dengan peningkatan status menjadi STM grafika, juga penerimaan siswasiswi tidak lagi lulusan sekolah dasar, tetapi harus lulusan Sekolah
Menengah Pertama SMP. Perubahan ini sangat besar artinya bagi pendidikan tenaga kerja
grafika untuk kepentingan perkembangan industri grafika, mengingat para lulusan mencapai usia yang lebih tinggi dan dapat dipercayakan untuk
menangani mesin-mesin dan alat perlengkapan dengan penuh tanggung jawab. Kemudian dalam perkembangannya STM Grafika Lektur ini,
terhitung mulai 1 Januari 1976 oleh Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan memperoleh status STM bersubsidi.
Langkah-langkah pembaruan dalam bidang pendidikan yang dilancarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, berdampak
pula bagi lembaga pendidikan Grafika Yayasan Lektur suatu keharusan akan penyesuaian, sehingga sejalan dengan rencana pemerintah. Sejak
tahun 1977 kurikulum baru dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mulai diterapkan. Mulai tahun 1979 kurikulum baru itu diikuti sepenuhnya
oleh STM Grafika Yayasan Lektur. Nama sekolah pun diganti dan
disesuaikan menjadi SEKOLAH MENENGAH TEKNOLOGI GRAFIKA YAYASAN LEKTUR bersubsidi.
Sekolah Grafika Yayasan Lektur, senantiasa diusahakan untuk dapat mempertahankan mutu dan nama baik. Para siswa lulusan, baik PLG
dahulu maupun STM atau SMT umumnya segera mendapatkan lapangan kerja di perusahaan-perusahaan grafika di berbagai daerah. Belum ada
terdengar keluhan-keluhan terhadap siswa lulusan sekolah Grafika Yayasan Lektur.
Adapun hasil-hasil yang cukup baik itu, dapat dicapai, karena ada dua faktor yaitu :
1. Perhatian dan ketekunan para guru dalam melaksanakan tugas sesuai
dengan mata diklat masing-masing. 2.
Latihan yang cukup luas dan terarah yang diberkan kepada para siswa.
Sampai tahun 1990 STM Grafika Yayasan Lektur hanya memiliki peralatan atau mesin cetak letter press cetak tinggi . Untuk
keperluan sarana praktek foto reproduksi dan cetak offset, Yayasan Lektur mohon bantuan Percetakan Negara Republik Indonesia
PNRI, Balai Pustaka, percetakan AKA, dan Pertamina tempat latihan para siswa.
Atas kemurahan dan kebaikan hati para direksi atau pimpinan perusahaan-perusahaan Grafika yang bersangkutan, pada tempatnyalah
pula disampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas
segala bantuannya. Barulah pada akhir tahun 1977 sekolah Grafika Yayasan Lektur dapat membeli dua buah mesin cetak offset baru dan
membangun bagian reproduksi yang agak modern waktu itu. Pada tahun 1982 atau 1983 proyek rehabilitasi Sekolah Menengah
Grafika Jakarta memberi bantuan satu mesin cetak offset solna 154, satu mesin susun huruf foto comugrafik dan satu mesin camera vertikal.
Dalam pengamatan semenjak 5 sampai 10 tahun belakangan ini kita cacat bahwa kemajuan teknologi grafika bergerak cepat sekali,
sehingga peralatan dan mesin-mesin yang ada sekarang ini, hakikatnya sudah sangat ketinggalan sekali, terutama dalam bidang-bidang susunan
huruf. Lebih-lebih lagi dengan sudah masuknya peralatan komputer dalam berbagai bentuk dan kecanggihan yang dipakai dalam industri grafika.
Begitu pula denga bidang reproduksi dan disebut orang sekarang ini bersama-
sama dengan peralatan susunan huruf sebagai bidang “ pra cetak”.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa berbagai kemajuan teknologi, juga dalam mesin-mesin serta peralatan cetak misalnya sudah menjadi
kenyataan sehari-hari untuk mana dunia pendidikan grafika tidak dapat menutup mata. Tidaklah mungkin bagi suatu sekolah untuk tidak
mengidentifikasi segi-segi kemajuan teknologi grafika yang tidak dapat ditahan-tahan munculnya sebagaimana kita tidak dapat menahan terbitnya
matahari.