Penelitian Mengenai Usahatani dan Pendapatan Jamur Tiram Putih

17 Tabel 9. Kelas Awet Kayu No. Keadaan Kelas Awet I II III IV V 1 Selalu berhubungan dengan tanah lembab. 8 tahun 5 tahun 3 tahun Sangat Pendek Sangat pendek 2 Hanya dipengaruhi cuaca, tetapi dijaga supaya tidak terendam air dan kekurangan udara. 20 tahun 15 tahun 10 tahun Beberapa tahun Sangat pendek 3 Di bawah atap, tidak berhubungan dengan tanah lembab dan tidak kekurangan udara. Tidak terbatas Tidak terbatas Sangat lama Beberapa tahun Pendek 4 Seperti diatas tetapi dipelihara dengan baik dan di cat dengan teratur Tidak terbatas Tidak terbatas Tidak terbatas 20 tahun 20 tahun 5 Serangan rayap tanah. Tidak Jarang Cepat Sangat cepat Sangat cepat 6 Serangan bubuk kayu kering. Tidak Tidak Hampir tidak Tidak berarti Sangat cepat Sumber : Oey Djoen Seng, 1964 dalam Zibua, 2008

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai jamur tiram putih sampai saat ini sudah banyak dilakukan, penelitian tersebut baik dari segi budidaya maupun ekonominya. Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya terdiri dari : analisis usahatani dan pendapatan jamur tiram putih, analisis risiko produksi jamur tiram putih, serta analisis kelayakan usahatani jamur tiram putih.

2.5.1 Penelitian Mengenai Usahatani dan Pendapatan Jamur Tiram Putih

Usahatani dapat diartikan kombinasi yang tersusun organisasi dari alam, kerja dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Dalam usahatani, pelaku usaha harus memperhatikan proses produksi dan saluran pemasaran yang yang dapat memberikan informasi dalam peningkatan produksi dan pendapatan. Pentingnya untuk memperhatikan usahatani dari segi produksi dimanfaatkan oleh Sari 2008 untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi usahatani jamur tiram putih di Kelompok Tani Kaliwung Kalimuncar Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor. 18 Berdasarkan analisis yang dilakukan, faktor-faktor produksi yang berpengaruh langsung terhadap produksi jamur tiram putih yaitu faktor produksi serbuk kayu, bekatul, kapur, plastik, dan cincin paralon. Connie 2008, melakukan penelitian yang berhubungan dengan proses produksi dengan melihat titik impas yang nantinya bertujuan untuk melihat pendapatan usahatani jamur tiram putih. Penelitian yang berjudul “Analisis Pendapatan dan Titik Impas Usahatani Jamur Tiram Putih pada Perusahaan Trisno Insan Mandiri Mushroom TIMMUSH Desa Cibuntu, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat” membandingkan alat yang digunakan dalam proses sterilisasi berupa kompor semawar ke kayu bakar. Hasil analisis titik impas baik pada saat penelitian maupun setelah penelitian dilakukan menunjukkan bahwa pergantian alat sterilisasi dari kompor semawar ke kayu bakar membuat volume minimum penjualan jamur tiram putih menjadi lebih rendah dibandingkan menggunakan kompor semawar. Alat sterilisasi kayu bakar memberikan pendapatan atas biaya tunai lebih besar dibandingkan kompor semawar, selain itu penggunaan kayu bakar juga dapat mengatasi terjadinya kelangkaan dan kenaikan harga minyak tanah. Pentingnya menganalisis saluran tataniaga pemasaran bertujuan untuk membandingkan saluran tataniaga mana yang memberikan pendapatan yang lebih besar, hal ini diperkuat oleh Sitanggang 2008 yang menganalisis usahatani dan tataniaga Jamur Tiram Putih Pleurotus ostreatus di Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor, dimana di perusahaan tersebut terdapat tiga saluran tataniaga jamur tiram putih, saluran I dan saluran II jamur yang dihasilkan petani dijual di wilayah Bogor, sedangkan saluran III dijual di wilayah luar Bogor. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui bahwa RC atas biaya total lebih besar pada saluran III dibandingkan dengan saluran I dan II. Ginting 2009 melakukan penelitian mengenai pengaruh risiko dalam kegiatan budidaya jamur tiram putih yang dapat berpengaruh terhadap pendapatan dan alternatif strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi risiko produksi yang terjadi. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor menunjukan bahwa Cempaka Baru menghadapi risiko produksi sebesar 0,32 yang bersumber dari perubahan cuaca, serangan hama dan penyakit, ketersediaan 19 tenaga kerja terampil, dan teknologi pengukusan yang digunakan. Strategi yang diperlukan untuk penanganan risiko adalah strategi preventif, yaitu strategi yang bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko. Adapun tindakan preventif yang dapat dilakukan yaitu, pertama meningkatkan kualitas perawatan dengan meningkatkan intensitas penyiraman, membersihkan area yang dijadikan kumbung untuk mencegah datangnya hama dan penyalit, mengembangkan sumberdaya manusia dengan mengikuti pelatihan maupun penyuluhan mengenai jamur tiram putih, dan menggunakan peralatan yang steril dalam melakukan penyuntikan bibit murni ke dalam media tanam.

2.5.2 Penelitian Mengenai Kelayakan Usaha Jamur Tiram Putih