Kelayakan Usaha Ikan Asin dan Pindang Berdasarkan BC Ratio

52 Berdasarkan Tabel 10 tersebut, maka dari ROI, usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang layak dilanjutkan di sentra perikanan DKI Jakarta karena mempunyai nilai ROI 1. Secara umum, nilai ROI kedelapan usaha tersebut termasuk sangat tinggi. Hal ini terjadi karena biaya investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha ikan asin dan ikan teri ini sangat rendah, sehingga dengan penerimaan darai beberapa kali produksi sebenarnya sudah dapat ditutupi. Menurut Hanley and Spash 1993 dan Muslich 1993, nilai ROI suatu usaha ekonomi menunjukkan kelipatan jumlah investasi yang bisa dikembalikan bila usaha ekonomi tersebut dijalankan. Usaha ikan tongkol pindang misalnya hanya membutuhkan biaya investasi sekitar Rp 7.100.000, padahal penerimaan usaha mencapai Rp 273.750.000 per tahun, sehingga hanya dalam beberapa saja, karena biaya investasi sudah bisa dikembalikan. Oleh karena kedelapan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang tersebut, mempunyai nilai ROI yang lebih dari yang dipersyaratkan, maka usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang tidak akan bermasalah dalam pengembalian investasinya, bila dikembangkan lanjut di DKI Jakarta. Namun demikian, nilai ROI harus diperiksa dengan hasil analisis paramteer lainnya, sehingga keputusan kelayakan pengembangan lanjut usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang lebih tepat, memberi kesejahteraan bagi pelakunya, dan menjamin keberlanjutan usaha di masa mendatang.

4. Kelayakan Usaha Ikan Asin dan Pindang Berdasarkan BC Ratio

Hasil analisis parameter BC Ratio ini penting untuk melihat perimbangan antara penerimaan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang tersebut dengan pembiayaan yang dikeluarkan untuk mengoperasikan usaha tersebut. Nilai BC Ratio ini diharapkan lebih besar dari 1 satu, yang berarti penerimaan usaha pengolahan dan 53 pemasaran ikan asin dan pindang dapat menutupi pembiayaan. Tabel 11 menyajikan hasil analisis kelayakan usaha ikan teri, ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, ikan layang pindang, dan ikan etem pindang di DKI Jakarta berdasarkan parameter BC Ratio. Tabel 11 Kelayakan usaha ikan asin dan ikan pindang berdasarkan BC Ratio Jenis Usaha Pengolahan dan Pemasaran Standar BC Nilai BC Keterangan Usaha ikan teri 1 1,00 Tidak Layak Usaha ikan japuh asin 1,01 Layak Usaha ikan pari asin 1,01 Layak Usaha ikan jambal asin 1,02 Layak Usaha ikan selar pindang 1.02 Layak Usaha ikan tongkol pindang 1,04 Layak Usaha ikan layang pindang 1,00 Tidak Layak Usaha ikan etem pindang 1,02 Layak Berdasarkan Tabel 11, usaha ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang dan ikan etem pindang di DKI Jakarta, karena mempunyai nilai BC Ratio yang lebih dari 1 satu. Untuk usaha ikan tongkol pindang misalnya, setiap 1 satu satuan biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan usaha pengolahan dan pemasaran ikan tongkol pindang di DKI Jakarta, maka akan mendatangkan penerimaan bersih sekitar 1,04 satuan. Hal yang sama juga untuk usaha ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, dan ikan etem pindang, dimana setiap 1 satuan biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan usaha, maka akan mendatangkan penerimaan bersih masing-masing 1,01 satuan, 1,01 satuan, 1,02 satuan, 1,02 satuan dan 1,02 satuan. Secara sepintas, jumlah penerimaan bersih berdasarkan analisis BC Ratio ini tidak terlalu besar. Hal ini karena pembandingnya merupakan 54 akumulasi biaya yang dikeluarkan selama menjalankan usaha pengolahan dan pemasaran produk olahan tersebut 8 tahun. Setiap rumah tangga nelayan RTN yang melakukan usaha ikan asin dan pindang, maka sebagian dari penerimaan yang didapat, digunakan kembali menjadi biaya operasional dan diawal operasi, mereka juga sudah mengeluarkan biaya untuk investasi. Oleh karena semua biaya tersebut diperhitungkan, maka sangat wajar bila rasio penerimaan dikatakan baik dengan hanya lebih beberapa satuan dari akumulasi biaya tersebut. Menurut Safi ’i 2007, bila rasio penerimaan dengan biaya dikonversi kepada nilai riil satuan mata uang yang digunakan dalam operasional usaha satuan rupiah, maka nilai kelebihan penerimaan akan terlihat jelas, dan kelebihan tersebut menjadi keuntungan bagi pemilik usaha. Usaha ikan teri dan ikan layang pindang mempunyai nilai BC ratio 1,00, yang berarti bahwa penerimaan bersih kedua usaha ikan asin dan pindang tersebut sama dengan biaya yang dikeluarkan tidak ada keuntungan. Dengan demikian, usaha ikan teri dan ikan layang pindang tidak layak dikembangkan lanjut di sentra perikanan DKI Jakarta. Bila mengacu kepada semua parameter finansial yang digunakan, maka hanya ada enam usaha pengelolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang yang layak dikembangkan lanjut diteruskan di DKI Jakarta, yaitu usaha ikan japuh asin, ikan pari asin, dan ikan jambal asin, ikan selar pindang, ikan tongkol pindang, dan ikan etem pindang. Sedangkan usaha ikan teri dan ikan layang pindang tidak layak dikembangkan lanjut karena mempunyai nilai IRR dan BC ratio yang lebih rendah dari standar yang dipersyaratkan. Menurut Cahyono 1997 dan Yusron, et. al 2001, penggabungan analisis parameter finansial ini dapat membantu menetapkan keputusan pengembangan yang lebih tepat pada suatu proyek atau kegiatan ekonomi, karena diantara parameter finansial tersebut dapat saling cek silang. Suatu proyek atau kegiatan ekonomi dikatakan layak dikembangkan bila standar yang dipersyaratkan oleh setiap paramater tersebut dapat dipenuhi dengan baik, dan ini mengindikasikan bahwa proyek atau kegiatan ekonomi 55 tersebut akan memberi manfaat nyata pelakunya, baik ditunjau dari penerimaan bersih, kemampuan pengembalian investasi, maupun kewajaran keuntungan yang didapat pelakunya. Pengembangan usaha pengolahan dan pemasaran ikan asin dan pindang di DKI Jakarta harus dilakukan dengan konsep ini, sehingga keberadaannya dapat secara nyata meningkatkan kesejahteraan rumah tangga nelayan dan masyarakat pesisir, serta percepatan pembangunan ekonomi perikanan di DKI Jakarta.

4.4 Perumusan Strategi Pengembangan Produk Olahan Hasil Perikanan