Pelajaran dari Pengalaman Proyek Pesisir 1997 - 1999
33 wilayah pesisir Lampung. PSC bertanggungjawab kepada Gubernur sebagai
Kepala Daerah Propinsi Lampung. Pendanaan kegiatan PSC dibebankan pada dinas dan instansi terkait serta Pengelola Proyek Pengelolaan Terpadu
Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan CRMP Lampung. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pemerintah Lampung sudah memikirkan dan
mengantisipasi kelanjutan lembaga ini.
4. TIM TEKNIS PROPINSI PTF DAN TIM PENGARAH PROPINSI PSC DI KALIMANTAN TIMUR
Berbeda dengan yang terjadi di Sulawesi Utara dan Lampung, pembentukan lembaga tingkat propinsi yang diharapkan dapat membantu
Proyek Pesisir dan cikal bakal lembaga koordinasi pengelolaan wilayah pesisir di Kalimantan Timur memiliki pola tersendiri. Sebagai salah satu propinsi
lokasi proyek MREP, Propinsi Kalimantan Timur memiliki Provincial Task Force PTF dan Provincial Steering Committee PSC. Pendekatan yang dilakukan
oleh Field Program Manager Proyek Pesisir Kalimantan Timur PP KALTIM dalam memfasilitasi pembentukan lembaga yang dapat membantu kelancaran
kegiatan Proyek Pesisir, berupaya untuk mendapatkan masukan-masukan dari berbagai kalangan terkait Ramli Malik, komunikasi pribadi. Setelah
mengumpulkan berbagai informasi dan pendapat, PP KALTIM memutuskan untuk memberdayakan dan memperkuat PTF dan PSC yang sudah dibentuk
dalam rangka proyek MREP, namun dengan penyesuaian beberapa anggotanya baik dikurangi maupun ditambah dengan memasukan PP KALTIM, kalangan
pengusaha swasta dan lembaga swadaya masyarakat PP KALTIM, 1998.
Susunan PSC dan PTF CRMP Kalimantan Timur dikuatkan dengan surat keputusan Gubernur Propinsi Kalimantan Timur nomor 050SK.312
1998 tertanggal 27 Agustus 1998. Mengingat PSC dan PTF telah menyusun dokumen ‘Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Propinsi Kalimantan
Timur’, program-program PP KALTIM diharapkan menjadi lebih mudah dilaksanakan. Hal ini dapat dimaklumi karena lembaga-lembaga tersebut sudah
memiliki pandangan dan pengalaman dalam merencanakan pembangunan kawasan pesisir di Kalimantan Timur. Namun kenyataannya banyak anggota
PTF MREP tidak lagi bertugas atau telah berpindah tugas ke bagian atau instansi lain. Proses pembentukan lembaga yang terjadi di Kalimantan Timur
ini merupakan suatu upaya yang memprioritaskan pemanfaatan sumberdaya atau lembaga yang tersedia di lokasi proyek dimana Proyek Pesisir memilih
pendekatan untuk menyesuaikan dengan kondisi yang ada. PP KALTIM berupaya memfasilitasi kegiatan-kegiatan dan rencana-rencana pemerintah
daerah serta mencoba bersama-sama untuk melangkah pada tahapan penyusunan rencana pengelolaan management plan bagi kegiatan-kegiatan yang
menjadi prioritas utama, khususnya pengelolaan teluk dan diikuti oleh kegiatan pelaksanaannya. Selain memperkuat dan memberdayakan lembaga resmi PTF
dan PSC, PP KALTIM juga mempunyai rencana untuk membentuk ‘Kelompok Informal Balikpapan’ PP KALTIM, 1998. Kelompok ini
bertujuan untuk menyatukan orang atau lembaga yang memiliki perhatian dan komitmen dalam pengelolaan wilayah Teluk Balikpapan.
5. DISKUSI
Makalah ini menyajikan proses pembentukan suatu lembaga yang diharapkan mampu berperan dalam mengkoordinasikan pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Dalam proses pembentukan kelembagaan ini, proyek pesisir berperan sebagai fasilitator. Dengan adanya
lembaga-lembaga tersebut, Proyek Pesisir juga berharap mendapat manfaat dan mendapat dukungan dari stakeholder di propinsi lokasi Proyek Pesisir bagi
kelancaran pelaksanaan kegiatan-kegiatannya.
Proses pembentukan lembaga tersebut di ketiga propinsi lokasi Proyek Pesisir terlihat cukup berbeda. Perbedaan dapat dilihat dari awal proses
pembentukan, pihak-pihak yang terlibat, komposisi anggota lembaga, peran Proyek Pesisir, dan nama lembaga yang mencerminkan fungsinya. Di Sulawesi
Utara, lembaga tersebut pada mulanya disebut Provincial Working Group PWG. Seiring dengan perkembangan proyek, disadari bahwa keberadaan tim kerja
lebih tepat di kabupaten, sedangkan pada tingkat propinsi tim penasihat yang lebih diperlukan. Oleh karena itu PP SULUT mengusulkan untuk dibentuknya
Kabupaten Task Force KTF di tingkat kabupaten, dan Provincial Advisory Group PAG di tingkat propinsi.
Pelajaran dari Pengalaman Proyek Pesisir 1997 - 1999
34 Di Kalimantan Timur Proyek Pesisir menfasilitasi pembentukan
lembaga dengan mengakomodasi lembaga-lembaga yang sudah ada. Dalam hal ini PP KALTIM berusaha untuk meningkatkan fungsi atau peran mereka,
melalui konsultasi dengan tokoh-tokoh kunci dari BAPPEDA, baik dengan mengurangi ataupun menambah keanggotaan dari lembaga ini. Keunggulan
pendekatan ini adalah proses ‘pembentukan’ yang efisien dan upaya nyata untuk memanfaatkan hasil-hasil yang telah dilakukan oleh proyek terdahulu,
yaitu MREP.
Karena Lampung tidak termasuk dalam program proyek MREP, maka propinsi ini tidak memiliki lembaga Provincial Working Group seperti halnya di
Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara. Dalam hal ini Proyek Pesisir Lampung mencoba memfasilitasi pembentukan lembaga tersebut dengan lebih
mengutamakan keinginan stakeholder pesisir. Setelah melalui suatu proses diskusi-diskusi yang cukup panjang dan memakan waktu yang cukup lama
dengan para stakeholder, akhirnya disepakati suatu tim yang disebut dengan tim pengarah PAC dan tim teknis propinsi PTF.
Peran Proyek Pesisir dalam pelaksanaan tugas-tugas PWG di Sulawesi Utara tampak relatif besar. Peran yang besar ini sekaligus dapat mendukung
efisiensi mekanisme kerja dan kelancaran dari program-program PP SULUT. Dengan mekanisme dimana PWG lebih banyak berfungsi sebagai lembaga
yang membahas konsep-konsep yang diajukan atau disiapkan oleh PP SULUT, kemudian memberi saran, persetujuan atau pengesahan, maka Proyek Pesisir
mendapat manfaat besar karena kemudahan untuk mendapatkan persetujuan kegiatan-kegiatannya dari pemerintah setempat. Dengan mekanisme ini, PP
SULUT diharapkan juga berperan dalam penguatan kelembagaan pengelolaan pesisir di Sulawesi Utara.
Dari sisi Pemerintah Indonesia, pemberdayaan lembaga-lembaga yang sudah ada seperti yang terjadi di Kalimantan Timur tentunya menguntungkan
karena output atau hasil suatu proyek terdahulu dimanfaatkan dan dikembang- kan. Hal ini sangat efektif dan efisien sehingga dapat mendukung upaya
penghematan baik dari waktu dan dana. Lain lagi halnya dengan PP Lampung yang mencoba mengakomodasi kepentingan semua pihaksektor terkait dan
juga meyakinkan para stakeholder di Lampung bahwa pembentukan PAC dan PTF terutama ditujukan untuk membentuk cikal bakal lembaga independen
yang dapat mengkoordinasikan pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu, setelah Proyek Pesisir berakhir di Lampung. Jadi pendiriannya bukan hanya sekedar
membentuk lembaga pendukung atau perpanjangan tangan dari Proyek Pesisir. Dalam proses pembentukan PAC ini, PP Lampung mempelajari pengalaman-
pengalaman PP SULUT dan PP KALTIM serta Proyek MREP, kemudian mengembangkannya dengan beberapa penyesuaian untuk Propinsi Lampung.
Sampai tulisan ini disajikan, kami belum dapat memberikan komentar tentang efisiensi dan efektifitas dari lembaga-lembaga di Kalimantan Timur dan
Lampung.
Dari tiga cara pendekatan pembentukan lembaga-lembaga di atas, terlihat bahwa peran Proyek Pesisir di lokasi proyek sangat menentukan proses
pembentukan dan fungsi lembaga yang diharapkan sebagai lembaga pendukung kelancaran Proyek Pesisir dan sekaligus cikal bakal lembaga koordinasi
pengelola wilayah pesisir. Kajian ini diharapkan dapat membantu para penentu dan pengambil kebijakan mengenai pembentukan kelembagaan serupa di
propinsi-propinsi lain. Komposisi anggota lembaga dapat mencerminkan sejauh mana lembaga tersebut dapat mengakomodasi aspirasi stakeholder.
Pembentukan lembaga tersebut perlu ditunjang oleh kebijakan pemerintah setempat yang bertujuan untuk memperkuat status hukum lembaga tersebut
sehingga lembaga ini efektif sebagai lembaga koordinasi pengelolaan kawasan pesisir di lingkungannya yang menentukan arah, mengendalikan, mengawasi,
mengkoordinasikan atau mengakomodasi kepentingan sektor-sektor dan pro- yek-proyek terkait sekaligus mengurangi terjadinya tumpang tindih kegiatan.
Di Sulawesi Utara, kecenderungan perkembangan kelembagaan ke arah tersebut sudah terlihat dengan adanya usulan agar lembaga ini cukup
independen untuk memberi arahan bagi setiap proyek-proyek ataupun kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir. Pertemuan ru-
tin yang difasilitasi oleh NRM-2 yang melibatkan hampir sebagian besar proyek-proyek yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya alam, seperti
MREP, COREMAP, Proyek Pesisir, Lembaga Swadaya Masyarakat, kalangan pemerintahan NRM-2, 1998 memiliki peluang untuk dapat mengembangkan
dan mewujudkan ide ini.