Kesepakatan Kolektif Evaluasi Konteks

“Saya dan suami kan sama-sama kerja mbak, jadi nggak ada waktu untuk ngolah sampah gitu, apalagi bikin kompos, sibuk banget apalagi nggak ada pembantu Akhirnya sampah langsung dibuang gitu ajah nggak dipilah dulu, habisnya mau gimana lagi mbak.” Pernyataan tersebut didukung dengan pernyataan responden di RT 05 Ibu AF yang tidak memiliki lahan untuk Biopori: “Saya kan nggak punya halaman rumah mbak,jadi mau bikin lubang Biopori dimana kan nggak ada lahannya. Tapi biasanya Pak RT suka bikin lubang Biopori di sepanjang jalan kompleks khususnya di RT ini mbak.” Berdasarkan kedua pernyataan responden, maka hasil yang dicapai dari aksi kolektif kerangka acuan ketiga kurang maksimal, karena tidak semua rumah tangga mengelola sampah dengan Keranjang Takakura atau Biopori. Tabel 29. Perbandingan Aksi Kolektif Menurut Kerangka Acuan dan Hasil yang Dicapai di RW 14, Kelurahan Rangkapanjaya Baru, Kota Depok Tahun 2009 Fokus Evaluasi Kerangka Acuan Hasil yang Dicapai Aksi Kolektif Tiap rumah tangga membuang sampah di tempat sampah di rumahnnya masing-masing Sampah sisa dibuang ke tempat sampah yang terletak di depan rumah masing-masing rumah tangga Tiap rumah tangga berupaya mengurangi sampah yang keluar dari persil lahannya masing- masing Sebagian besar rumah tangga sudah berusaha meminimalisir sampah domestik Tiap rumah tangga mengelola sampah organik di rumahnya masing-masing dengan Keranjang Takakura dan komposter resapan Biopori Tidak semua rumah tangga mengelola sampah dengan Keranjang Takakura ataupun Biopori Tiap rumah tangga mengumpulkan sampah anorganik yang masih dapat dijual dan menjualnya secara kolektif ke lapak Hampir setiap rumah tangga mengumpulkan sampah anorganik yang dapat dijual Tiap rumah tangga membuang sampah sisa untuk diangkut oleh gerobak pengangkut sampah Rumah tangga membuang sampah sisa ke bak sampah yang terletak di depan rumah

7.1.3 Kesepakatan Kolektif

Aksi kolektif dilakukan melalui kesepakatan kolektif komunitas di tingkat lokal tentang bagaimana pengelolaan sampah di masing-masing rumah tangga. Tabel 30 menunjukkan perbandingan antara kesepakatan kolektif menurut kerangka acuan dengan hasil yang dicapai. Kesepakatan pertama mengenai pengangkutan sampah dilakukan oleh petugas kebersihan dengan gerobak pengangkut sampah terpilah yang dikoordinir RT atau RW berjalan dengan baik. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pengurus RT mengkoordinir pengangkutan sampah melalui petugas kebersihan yang bertugas untuk mengangkut sampah dari masing-masing rumah tangga dengan gerobak sampah terpilah. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu petugas kebersihan yang mengangkut sampah di RT 03 dan RT 05: “Saya ngangkut sampah di dua RT mbak, RT 03 dan 05. Temen saya juga sama, tapi ada yang megang tiga RT. Petugas kebersihan diurusin sama masing-masing RT, termasuk gaji petugas. Kalau darimana uang gajinya saya kurang tahu mbak, mungkin dari iuran warga di RT yang sampahnya kita ambilin rutin setiap pagi.” Berdasarkan pernyataan petugas kebersihan diatas maka hasil yang dicapai oleh kesepakatan pertama sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan. Kesepakatan kedua mengenai pemanfaatan kompos hasil pengomposan sampah organik secara kolektif tidak tercapai karena hasil pengomposan sampah dimanfaatkan sendiri oleh rumah tangga, belum ada yang mengumpulkan kompos untuk dikelola secara kolektif. Hal ini didukung oleh pernyataan salah satu responden dari RT 01: “Kompos dari Takakura kalau sudah jadi saya pakai sendiri mbak untuk pupuk tanaman hias saya. Sampai saat ini belum ada kader atau Pokja yang mengumpulkan kompos untuk dikelola secara kolektif, jadi ya dipakai sendiri, lumayan kan mbak ngurangin biaya pembelian pupuk.” Berdasarkan pernyataan responden RT 01, maka hasil dari kesepakatan kedua tidak tercapai, karena hasil yang dicapai tidak sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan. Kesepakatan ketiga dan keempat mengenai dana hasil penjualan sampah anorganik secara kolektif dan besar iuran sampah yang harus dibayar tercapai dengan baik yaitu uang hasil penjualan sampah masuk ke kas masing-masing RT dan iuran yang dibayar oleh warga tiap bulan meliputi iuran kebersihan dan keamanan masing-masing RT yakni rata-rata Rp 35.000 setiap bulannya. Hal ini didasarkan pada pernyataan salah satu kader RT 03 Ibu NS: “Sampah yang dijual ke lapak, uangnya masuk ke kas RT mbak, kalau iuran per bulan yang Rp 35.000 itu biasanya juga kader yang narikin ke warga, tapi ada juga sih warga yang inisiatif bayar tanpa perlu ditagih. Laporan keuangan hasil penjualan sampah dan iuran juga ada per bulannya, nanti baru dilaporkan ke RT dan warga biasanya saat arisan, biar transparan gitu, jadi warga nggak curiga dan tahu dikemanakan uangnya.” Pernyataan kader RT 03 menunjukkan bahwa hasil yang dicapai pada kesepakatan ketiga dan keempat sesuai dengan kerangka acuan yang telah ditetapkan Tabel 30. Perbandingan Kesepakatan Kolektif Menurut Kerangka Acuan dan Hasil yang Dicapai di RW 14, Kelurahan Rangkapanjaya Baru, Kota Depok Tahun 2009 Fokus Evaluasi Kerangka Acuan Hasil yang Dicapai Kesepakatan kolektif Pengangkutan sampah dilakukan oleh gerobak pengangkut sampah yang dikoordinir RT atau RW Pengangkutan sampah dikoordinir oleh masing-masing RT melalui petugas kebersihan yang mengangkut sampah sisa dengan gerobak untuk dibawa ke TPS Komunitas RT menyepakati pemanfaatan kompos hasil pengomposan sampah organik secara kolektif Hasil pengomposan sampah organik dimanfaatkan sendiri tidak secara kolektif Komunitas RT menyepakati dana hasil penjualan sampah anorganik secara kolektif. Uang hasil penjualan sampah anorganik masuk ke kas RT Menyepakati besar iuran sampah yang harus dibayar tiap rumah tangga Iuran yang dibayar oleh warga tiap bulan meliputi iuran kebersihan dan keamanan berbeda masing-masing RT yakni rata-rata Rp 35.000bulan

7.2 Evaluasi Input