1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Proses pendidikan sudah dimulai sejak manusia itu dilahirkan dalam lingkungan keluarga dilanjutkan dengan jenjang pendidikan formal, terstruktur dan
sistematis dalam lingkungan sekolah. Di sekolah terjadi interaksi secara langsung antara siswa sebagai peserta didik dan guru sebagai pendidik dalam suatu proses
pembelajaran. Refleksi keseluruhan dari pembelajaran ditunjukkan oleh prestasi belajar yang dicapai oleh siswa. Namun kenyataanya dalam belajar mengajar sesuai
dengan tujuan tidaklah mudah. Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah sering dijumpai beberapa masalah. Banyak dijumpai siswa dengan nilai rendah dalam
sejumlah mata pelajaran. Prestasi belajar yang dicapai belum memuaskan mengingat masih banyak siswa yang memperoleh nilai dibawah standar yang ditetapkan
khususnya pada mata pelajaran matematika. Menurut Cobb dalam Suherman 2003:76 belajar matematika merupakan proses
dimana siswa secara aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika. Belajar matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan
rumus-rumus saja. Siswa harus dapat menemukan keteraturan dengan cara mengotak-atik bahan-bahan yang berhubungan dengan keteraturan intuitif yang sudah
dimiliki siswa. Dengan demikian dalam belajar siswa haruslah terlibat aktif.
Masalah pendidikan di Indonesia memang selalu menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan, terutama bagi para pakar pendidikan dan masyarakat yang
peduli terhadap perkembangan pendidikan. Pembelajaran matematika merupakan salah satu dari masalah pembelajaran di Indonesia. Sebab dalam pelaksanaan proses
pengembangan sumberdaya manusia, matematika menjadi salah satu unsur yang dibutuhkan. Hal ini didukung oleh Prabowo 2008:2 yang menyatakan bahwa
“matematika sebagai ilmu dasar merupakan sarana berpikir untuk menumbuhkembangkan daya nalar, cara berpikir logis, sistema
tis dan kritis”. Oleh karena itu matematika mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas
pendidikan. Selain itu, matematika merupakan pengetahuan yang mendasar dan hampir
terdapat pada seluruh cabang pengetahuan lain. Seringkali dalam pembelajaran matematika, guru hanya berorientasi pada penguasaan matematika sebagai ilmu
pengetahuan, bukan penguasaan akan kecakapan matematika untuk dapat memahami dunia sekitarnya dan mempergunakan matematika sebagai pola pikirnya dalam
kehidupan sehari-hari. Salah satu aplikasi kecakapan matematika adalah mampu mengembangkan kemampuan untuk memecahkan masalah.
Hal tersebut sejalan dengan tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP mata pelajaran matematika yang menyebutkan bahwa pembelajaran
matematika di sekolah bertujuan agar siswa:
1 Memahami konsep matematika, menjalaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau logaritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah,
2 Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika
dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
3 Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, 4
Menkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
5 Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.
BSNP, 2006:5 Setelah siswa mendapatkan pembelajaran matematika, siswa diharapkan
memiliki kemampuan-kemampuan seperti yang tercantum dalam tujuan pembelajaran matematika di atas. Keterampilan dan kemampuan memecahkan masalah merupakan
hal yang penting dalam pendidikan. Kehidupan yang berkembang juga menghadapkan manusia dengan berbagai masalah yang harus dicari pemecahannya,
oleh karena itu pemecahan masalah merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki manusia Untuk itulah betapa pentingnya kemampuan dan keterampilan memecahkan
masalah matematika. Akan tetapi berdasarkan pengamatan umum, siswa cenderung menghindari belajar pemecahan masalah. Ketika disajikan masalah matematika,
seringkali siswa mengeluh terlebih dahulu sebelum mereka mencobanya. Kalaupun
mereka mencobanya, siswa hanya menerapkan pengetahuan terbatas pada apa yang tersimpan dalam ingatannya, dan sering puas jika pemecahan masalah bersifat parsial.
Kecenderungan siswa yang menghadapi masalah baru lebih suka menghindar, kecuali yang memiliki pengetahuan prosedur dan teknik yang bervariasi Kuswana, 2012:6.
Siswa lebih sering memilih soal objektif untuk dikerjakan dan meninggalkan soal pemecahan masalah karena dianggap sulit. Anggapan mereka mengenai sulitnya
pemecahan masalah dikarenakan kemampuan dan keterampilan dalam memecahkan masalah masih kurang.
Salah satu materi yang dihindari siswa adalah trigonometri. Hal ini dikarenakan materi trigonometri merupakan salah satu materi yang banyak menyajikan masalah.
Berdasarkan data Presentase Penguasaan Soal Matematika Ujian Nasional SMK Tahun Pelajaran 20102011 yang diterbitkan oleh Balitbang, Kemendiknas, Jakarta
menunjukkan bahwa untuk indikator menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan manentukan panjang salah satu sisi segitiga siku-siku menggunakan perbandingan
trigonometri tingkat Jawa Tengah hanya mencapai 55,23. Lebih lanjut untuk indikator menentukan nilai selisih dua sudut, bila diketahui perbandingan
trigonometri sinus dan tengen hanya mencapai 46,61 Balitbang, 2011. Hasil tersebut menunjukkan bahwa siswa masih kesulitan dalam memecahkan soal
trigonometri, dalam hal ini dikhususkan pada materi trigonometri untuk SMK. Masalah lain yang timbul dari bidang pendidikan di Indonesia adalah karakter.
Munculnya kasus contek masal dalam Ujian Nasional menunjukkan bahwa karakter bangsa Indonesia telah luntur. Padahal tujuan pendidikan sebagaimana amanat
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 adalah “mengembangkan kemampuan dan watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam
rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa,
bertujuan mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokratis serta bertanggung jawab.” Selanjutnya
dalam pasal 1 di jelaskan bahwa pendidikan adalah “usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”
Krisis karakter yang dialami bangsa saat ini disebabkan oleh kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga menjadi budaya.
Budaya inilah yang kemudian menginternal dalam sanubari masyarakat indonesia dan menjadi karakter bangsa. Karakter bangsa Indonesia ditentukan oleh ciri manusia
Indonesia itu sendiri. Lubis dalam Fitri 2012: 11 mengemukakan ciri manusia Indonesia antara lain: 1 munafik, 2 segan dan enggan bertanggung jawab, 3
berjiwa feodal, 4 percaya takhayul, 5 artistik, 6 berwatak lemah cengeng; 7 tidak hemat; 8 kurang gigih; 9 tidak terbiasa bekerja keras. Pernyataan tersebut
tidak sepenuhnya dapat kita benarkan karena sejarah mencatat pengorbanan bangsa indonesia dalam merebut kemerdekaannya, yang menunjukkan tingginya tingkat
nasionalisme masyarakat Indonesia saat itu. Namun, jujur kita akui bahwa ciri yang dikemukakan diatas merupakan kecenderungan umum masyarakat Indonesia saat ini.
Ironis, jika pendidikan yang memiliki tujuan mulia justru menghasilkan output yang tidak diharapkan. Hal inilah yang menguatkan pendapat bahwa
pendidikan merupakan salah satu jalan keluar untuk memperbaiki karakter bangsa saat ini. Sudah saatnya pendidikan tidak hanya mengembangkan aspek kognitif saja
dan membuat anak teraliensi dari lingkungannya. Apalagi di Indonesia terdapat sekolah kejuruan yang siswa-siswinya telah dipersiapkan untuk memasuki dunia
kerja. Hasil penelitian Goerge Boggs dalam Fitri 2012: 16 juga menunjukkan ada 13 penunjang keberhasilan seseorang dalam dunia kerja. Dari 13 faktor tersebut 10
diantaranya hampir 80 adalah kualitas karakter seseorang, dan hanya 3 hal yang berkaitan dengan faktor kecerdasan IQ. Oleh karena itu, sekolah dan dunia
pendidikan harus menanamkan karakter bangsa, diantaranya melalui pembelajaran karakter.
SMK Negeri 10 Semarang merupakan salah satu sekolah kejuruan yang ada di Semarang. Berdasarkan observasi di sekolah dan wawancara peneliti, diketahui
bahwa siswa SMK cenderung menganggap remeh pelajaran matematika, karena mereka beranggapan setelah terjun di dunia kerjanya mereka tak membutuhkan
matematika seperti yang dipelajari di sekolah lagi. Mereka menganggap jika sudah bekerja yang dibutuhkan adalah skill bukan kecerdasan otak. Hal ini di dukung oleh
pernyataan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMK N 10 Semarang yang menyatakan bahwa, mata pelajaran adaptif seperti matematika, kimia, fisika
merupakan mata pelajaran pelengkap penderita saja. Pembelajaran matematika juga lebih sering menggunakan pembelajaran langsung. Guru juga lebih suka memberikan
soal-soal rutin, seperti yang ada dalam buku dan jarang memberikan pemecahan masalah. Materi trigonometri juga diakui sebagai salah satu materi yang dianggap
sulit oleh siswa. Banyak siswa yang belum mencapai KKM pada materi ini. Dalam perencanaan pembelajaran, guru telah menyiapkan rencana pelaksanaan pembelajaran
yang bermuatan pendidikan karakter dan sudah melaksanakannya, namun dalam pelaksanaannya terbentuknya karakter siswa belum diamati dan dinilai. Padahal
karakter siswa tersebut tercakup dalam aspek afektif dan psikomotorik. Dalam proses belajar mengajar tipe hasil belajar kognitif lebih dominan jika dibandingkan dengan
afektif dan psikomotorik. Sekalipun demikian tidak berarti bidang afektif dan psikomotorik diabaikan sehingga tak perlu dilakukan penilaian.
Kenyataan di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian pendidikan yang dapat membentuk ketiga aspek hasil belajar, yaitu aspek afektif melalui karakter
rasa ingin tahu dan aspek psikomotorik melalui keterampilan pemecahan masalah. Dengan terbentuknya kedua aspek tersebut, maka perubahan sikap dan tingkah laku
siswa akan mempengaruhi aspek kognitinya melalui kemampuan pemecahan masalah. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu dengan inovasi pendekatan atau
model pembelajarannya. Model pembelajaran yang dapat menunjang peningkatan kemampuan dan
keterampilan pemecahan masalah adalah model pembelajaran Superitem. Superitem adalah sebuah teknis pemberian tugas kepada siswa oleh guru, yang dimulai dari
tugas yang sederhana meningkat pada yang lebih kompleks dengan memperhatikan tahap SOLO siswa. Dalam pembelajaran tersebut digunakan soal-soal bentuk
superitem yang dapat membentuk karakter rasa ingin tahu dan keterampilan pemecahan masalah siswa. Alternatif pembelajaran tersebut, dirancang agar dapat
membantu siswa dalam memahami hubungan antar konsep. Juga membantu dalam memacu kematangan penalaran siswa. Hal itu dilakukan agar siswa dapat
memecahkan masalah matematika dengan baik. Selain itu guru melakukan kegiatan diagnostik terhadap respon siswa, sehingga dapat dengan segera menentukan
langkah-langkah yang diperlukan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Hasil studi Biggs dan Collis dalam Alagmulai 2006 tentang struktur hasil belajar dengan tes
yang disusun dengan bentuk superitem, dalam temuannya mengemukakan bahwa pada tiap tahap atau level kognitif terdapat struktur respons yang sama dan makin
meningkat dari yang sederhana sampai abstrak. Struktur tersebut dinamakan Taksonomi SOLO Stuctured of Observed Learning Outcomes. Menurut Biggs dan
Collis dalam Alagmulai 2006, berdasarkan kualitas model respons siswa, tahap SOLO siswa diklasifikasikan kedalam empat tahap atau level. Empat tahap tersebut
adalah unistructural, multistructural, relasional, dan abstract. Pembelajaran matematika dengan menggunakan tugas bentuk superitem dapat
memberikan kesempatan kepada siswa untuk memahami persoalan matematika secara bertahap sesuai kesiapannya, dan guru dapat memberikan bantuan yang tepat
kepada siswa berdasarkan respon dari siswa. Selain itu, soal bentuk superitam lebih menantang dan mendorong keterlibatan siswa dalam pembelajaran. Penelitian yang
terkait pembelaran Superitem adalah studi yang dilakukan oleh Lim Hooi Lian dan Wun Thiam Yew dari Universiti Sains Malaysia yang berjudul “Superitem Test: An
Alternative Assessment Tool to Assess Students’ Algebraic Solving Ability“ yang menunjukkan bahwa siswa yang berada pada tahap-tahap dalam Taksonomi SOLO
mampu memecahkan masalah dengan baik sesuai dengan tingkatannya. Selain itu, penggunaan tes Superitem berdasarkan Taksonomi SOLO tidak hanya menyarankan
menulis beberapa item pada format tes Superitem tetapi juga dapat digunakan oleh guru dalam menilai kemampuan siswa memecahkan masalah matematika.
Agar proses pembelajaran matematika pada siswa juga dapat berjalan lebih optimal dengan bantuan orang dewasa yang sesuai dengan masa perkembangannya
atau zone proximal development-nya. Maka siswa perlu diberikan bantuan yang tepat, yaitu dengan menggunakan scaffolding. Scaffolding adalah salah satu teori belajar
Vigotsky yang memberikan bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dengan segera setelah ia
mampu mengerjakan sendiri, untuk memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar. Jadi dalam penelitian ini,
dipilihlah scaffolding dalam penerapan model Superitem sebagai bantuan untuk membentuk karakter rasa ingin tahu dan keterampilan pemecahan masalah sehingga
dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa. Desain rancangan penelitian tersebut di atas akan memberikan perlakuan
pembelajaran pada satu kelas. Hal ini dimaksudkan agar perubahan aspek afektif, aspek psikomotorik, dan aspek kognitif siswa dapat diamati secara cermat dan teliti.
Oleh karena itu dari satu kelas sebagai populasi penelitian akan diambil beberapa siswa secara purposive pertimbangan sebagai sampel atau subjek penelitian. Jadi
penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan prosedur panalitian kualitatif.
1.2 Rumusan Masalah