Gambaran pelayanan informasi obat oleh apoteker di-25 apotek di Kota Yogyakarta periode Juli-September 2004.

(1)

INTISARI

Apoteker khususnya melakukan pelayanan di apotek sering dipandang tidak lebih dari penjual obat saja, yang seolah-olah tidak memerlukan pendidikan khusus. Pandangan masyarakat ini timbul karena kenyataannya pelayanan yang mereka dapatkan di apotek ternyata tidak seperti yang diharapkan. Salah satu kasus yang terjadi adalah ketiadaan pelayanan informasi obat di apotek karena ketidakhadiran apoteker. Di samping itu pada umumnya apoteker sampai saat ini terkesan belum sepenuhnya mempunyai kemauan untuk melayani pasien dan melakukan konsultasi secara langsung (Suksmaningsih,2002). Mereka menyerahkan begitu saja hampir semua urusan kepada asisten apoteker Berdasarkan hal-hal di atas maka penting dilakukan penelitian gambaran pelayanan informasi obat oleh apoteker kepada pengunjung di-25 apotek di Kota Yogyakarta periode Juli-September 2004.

Jenis penelitian yang digunakan adalah non eksperimental deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sampel apoteker diambil secara tehnik non-random quota sampling.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa 96% apoteker terlibat aktif dalam pelayanan resep. 88% apoteker tidak terlibat secara aktif saat penyerahan obat dan digantikan oleh asisten apoteker. 56% apoteker tidak memberikan informasi obat dengan 16% alasan bahwa pembeli dianggap sudah tau dari package insert/kemasan/brosur. Jumlah cakupan informasi obat yang diberikan apoteker pada waktu menyerahkan obat lebih dari 3 cakupan informasi obat. 88% apoteker melakukan lebih dari 3 cakupan upaya. 80% apoteker beranggapan bahwa jam konsultasi perlu diadakan. 76% apoteker hadir pada jam konsultasi. 64% apoteker menyatakan jam konsultasi ada manfaatnya. Selain memberi informasi obat pada jam konsultasi, apoteker (100%) juga melayani konsultasi obat diluar jam konsultasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi apoteker dalam memberikan informasi obat salah satunya adalah karena apoteker memperoleh keuntungan-keuntungan yaitu dapat meningkatkan kepuasan kerja dan sebagai salah satu “professional” dalam team perawatan kesehatan (80%) selain itu faktor lain adalah apoteker (56%) bukan merupakan pemilik sarana apotek


(2)

ABSTRACT

A pharmacist, especially who works in a pharmacy is often considered as no more than just a medicine seller who does not need a special education. This perspective arises because the people who come to a pharmacy are not being served as they expect to. One of the examples is the lack of the information about medicine because of the absence of the pharmacist in the pharmacy. Besides, it seems as until this time, a pharmacist does not have any willingness to serve the patient and give a direct consultation. The pharmacist gives almost all tasks to the assistant. Based on the above discussion, it is necessary to conduct research about the description of Giving Information about medicine by Pharmacist to the Customers in 25 Pharmacies in Yogyakarta during July-September 2004

The kind of experiment that the writer uses is the non experimental descriptive using the qualitative approach. The samples are taken using non random quota sampling.

Based on the result of the experiment, it is found that 96% of the pharmacist are actively involve in making the prescription medicine, while 88% of them are not involved in directly serving the costumer and are replaced by their assistant. 56% of them do not give any information about medicine, 16% reason that the costumers are considered to already know the information from the package insert. The amount of the information given by the pharmacist when they give the medicine are more than 3 information.88% give more than 3 efforts to increase their doing in giving the information. 76% of them are there during the consultation hours. 64% of them state that there are some advantages of doing the consultation. Beside, giving the information about medicine during the information hours, the pharmacists (100%) also do the consultation out of the consultation hours. One of the factors that influence the pharmacist in giving the information about medicine is that they get some advantages, for examples, they can increase their satisfaction in their work and also as a “professional” in their team (80%). Another factor is that they are (56%) not the owners of the pharmacies.

The keywords: pharmacist, the serving of the information about medicine and the consultation about medicine.


(3)

PERIODE JULI-SEPTEMBER 2004

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Roulina Sihombing

Nim :008114068

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2007


(4)

(5)

(6)

PERSEMBAHAN

Setiap tempat yang akan diinjak oleh telapak kakimu

Kuberikan kepada kamu, seperti yang telah Kujanjikan kepada Musa.

Seorangpun tidak akan dapat bertahan menghadapi engkau

seumur hidupmu;

Seperti aku menyertai Musa, demikianlah aku akan menyertai Engkau;

Aku tidak akan membiarkan engkau

Dan tidak akan meninggalkan engkau.

Yosua 1: 3 dan 5

Skripsi ini kupersembahkan kepada :

Tuhan Yesus yang selalu menyertai setiap langkah dalam kehidupanku

Kedua orangtuaku yang luar biasa

Adik-adikku tersayang “Ronald” dan “Ruben”


(7)

PRAKATA

Puji syukur dan terima kasih kepada Allah Bapa di Surga atas kasih

karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul

Gambaran Pelayanan Informasi Obat Oleh Apoteker Kepada Pengunjung di-25

Apotek Di kota Yogyakarta Periode Juli-September 2004.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

Farmasi (S.Farm) di fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.Dalam penyusunan

skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan

ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1.

Rita Suhadi, M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi

2.

Aris Widayati, M.Si.,Apt. selaku dosen pembimbing yang telah memberi

masukan, saran, dorongan dan semangat dalam penyusunan skripsi ini.

3.

Drs.Sulasmono, Apt. yang telah memberikan banyak masukan, saran dan

perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.

4.

Ipang Djunarko, S.Si., Apt. yang telah memberikan banyak masukan, saran dan

perbaikan dalam penyusunan skripsi ini.

5.

Kedua orangtuaku yang selalu menguatkan dan mendukung dalam doa serta

kesabaran yang tiada habisnya.

6.

Ronald dan Ruben yang selalu memberi keceriaan selama penulis menyusun

skripsi.


(8)

7.

Dewi, Martha, Diah, mbak Sari yang selalu mendukung dan sangat membantu

penulis dalam menyusun skripsi.

8.

Vivi dan Ibeng atas kesediaannya membantu penulis mencari data di apotek.

9.

May dan bang Sam yang sudah banyak membantu penulis dalam menyusun

skripsi

10.

Pemimpin rohaniku di gereja Generasi Baru khususnya bang Sam, bang Eko,

Irma, bang Natar, bang Siswo, Okto, Lia, bang Hendro, May dan Ibeng yang

selalu mendukung dalam doa dan membuatku bertumbuh.

11.

Keluarga Jesus Freaks tercinta, Ibeng, Ade “Dozen’, Dina, Diana, Irine, Anita,

Fitri, Grace, Ira, Lia, Lolly, Vonny, Wasti, Wei dan Yuyun yang telah

meninggalkan jejak yang baik dalam hidupku.

12.

Keluarga History Maker tercinta yang turut mendoakan penulis.

13.

Keluarga El Simchat Gili special Bang Eko, Mba Isti, Irma, Vivi, Merry, Merlyn,

Herry, Agus dan Ko Willy kalian akan selalu di hatiku.

14.

Victory in Jesus spesial Bang Natar, Bang Siswo, Ce Lia, John, Robby, Ana,

K’Edi, Yanti dan Yuki yang selalu memberi semangat dan dukungan selama ini.

15.

God Chicks center, May, Alana, Fera, Yose, K’Melly atas kehangatan dan kasih

sayang yang membuat penulis merasa berada di rumah sendiri, juga atas

dukungan saat ujian skripsi.

16.

Jemaatku GBI Generasi Baru khususnya zona 2 yang telah mengajarkan banyak

hal kepada penulis


(9)

17.

Seluruh keluarga dan teman-teman terkasih yang selalu menjadi pembangkit

semangat bagi penulis

18.

Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu yang turut membantu dalam

penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dalam

penyusunannya, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik demi sempurnanya

skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca.

Yogyakarta, Agustus 2007


(10)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar

pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Agustus 2007

Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………..ii

HALAMAN PENGESAHAN………...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN………...iv

PRAKATA………...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………...………..viii

DAFTAR ISI………...ix

DAFTAR LAMPIRAN………...xiii

DAFTAR TABEL………...xiv

DAFTAR GAMBAR………...xvi

INTISARI………xvi

ABSTRACT...xvii

BAB I PENGANTAR……….1

A. Latar Belakang………1

1. Perumusan masalah………4

2. Keaslian penelitian..………4

3. Manfaat penelitian………..5

B. Tujuan Penelitian……….5

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA………....7

A. Tinjauan Umum Tentang Apotek………...7


(12)

C. Tinjauan Umum Tentang Informasi Obat………10

D. Tinjauan Umum Tentang Konsultasi obat……….………...14

F. Keterangan Empiris………...15

BAB III METODOLOGI PENELITIAN………..16

A. Jenis dan Rancangan Penelitian………16

C. Definisi Operasional Penelitian………16

D. Subjek Penelitian………..16

E. Alat Pengumpulan Data………17

F. Jalannya Penelitian………17

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………22

A. Karakteristik Responden dan Apotek………...22

1. Karakteristik responden………...22

a. Umur………...22

b. Jenis kelamin………..23

c. Tingkat pendidikan……….24

d. Lama masa kerja di apotek……….25

e. Pekerjaan lain……….27

f. Penghasilan perbulan………..28

2.Karakteristik apotek………..29

a. Jam buka dalam satu hari………...29

b. Jam sibuk………30

c. Jam konsultasi………31


(13)

e. Lama pelaksanaan jam konsultasi………..33

B. Profil kehadiran responden di apotek.………..33

a. Jam kehadiran………33

b. Lama waktu keberadaan di apotek………35

c. Frekuensi rata-rata kehadiran di apotek dalam seminggu………..35

d. Alasan tidak bisa hadir di apotek………...36

e. Yang menggantikan apabila tidak bisa hadir di apotek………..37

C. Profil responden dalam memberikan informasi obat………...38

1. Jenis pelayanan yang diberikan responden………38

2. Keterlibatan responden secara aktif dalam pelayanan resep obat…………..39

3. Keterlibatan responden dalam penyerahan obat………40

4. Alasan responden tidak memberikan informasi obat pada saat menyerahkan obat………42

5. Jenis informasi yang diberikan responden……….44

6. Sumber informasi obat yang tersedia di apotek……….45

7. Upaya pribadi responden untuk meningkatkan kualitas informasi obat……45

D. Profil responden dalam memberikan pelayanan informasi obat pada jam konsultasi………...47

1. Perlunya jam konsultasi di apotek……….47

2. Kehadiran responden pada jam konsultasi………48

3. Adakah manfaat membuka jam konsultasi………...49


(14)

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi antusiasme apoteker dalam memberikan

informasi obat………51

1. Posisi apoteker di apotek berdasarkan status kepemilikan apotek………...51

2. keuntungan-keuntungan yang diperoleh pada saat memberikan informasi obat..………..52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………..55

Kesimpulan………55

B. Saran………..56

DAFTAR PUSTAKA………..57

LAMPIRAN……….60


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1

Surat ijin dari BAPPEDA Kota Yogyakarta..………..60

Lampiran 2

Surat penelitian untuk responden Apoteker……….61

Lampiran 3

Angket penelitian untuk responden Apoteker……….62


(16)

DAFTAR TABEL DAN BAGAN

Halaman

Bagan I Pengambilan sampel……….……… 21

Tabel I Jam sibuk……….………...31

Tabel II Jam pelaksanaan konsultasi...……….32

Tabel III Jam kehadiran responden PSA selam satu hari………...34

Tabel IV Jam kehadiran responden bukan PSA selama satu hari………….34

Tabel V Lama waktu keberadaan responden...…...…………35

Tabel VI Frekuensi kehadiran responden PSA dalam satu minggu.…………...36

Tabel VII Frekuensi kehadiran responden PSA dalam satu minggu.…………...36

Tabel VIII Alasan responden tidak bisa hadir ke apotek.………37

Tabel IX Jenis pelayanan yang diberikan responden………....…...39

Tabel X Alasan responden tidak memberikan informasi obat pada saat menyerahkan obat kepada pasien ………..43

Tabel XI Informasi yang biasa diberikan kepada pasien pada waktu responden menyerahkan obat………...44

Tabel XII Sumber informasi yang tersedia di apotek……….45

Tabel XIII Upaya pribadi responden untuk meningkatkan kualitas informasi obat………...46

Tabel XIV Kehadiran responden selama jam konsultasi………...49


(17)

Tabel XVI Responden memberi pelayanan konsultasi obat diluar jam konsultasi………...51 Tabel XVII Keuntungan-keuntungan yang diperoleh pada saat memberikan


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar I Umur…..……..……… 23

Gambar II Jenis kelamin……….……….24

Gambar III Tingkat pendidikan……….25

Gambar IV Lama masa kerja di apotek……….26

Gambar V Pekerjaan lain……….28

Gambar VI Tingkat penghasilan………...…………29

Gambar VII Jam buka apotek………...…………..29

Gambar VIII Jam konsultasi………..………..31

Gambar IX Lama pelaksanaan jam konsultasi………..………33

Gambar X Yang menggantikan apabila berhalangan hadir………....…...37

Gambar XI Keterlibatan responden dalam pelayanan resep obat……….39

Gambar XII Keterlibatan responden dalam penyerahan obat kepada pasien selama berada di apotek……….40

Tabel XIII Apakah responden selalu memberikan informasi obat kepada pasien atau tidak……….41

Tabel XIV Perlunya jam konsultasi……….47

Tabel XV Adakah manfaat membuka jam konsultasi……….48


(19)

INTISARI

Apoteker khususnya melakukan pelayanan di apotek sering dipandang tidak lebih dari penjual obat saja, yang seolah-olah tidak memerlukan pendidikan khusus. Pandangan masyarakat ini timbul karena kenyataannya pelayanan yang mereka dapatkan di apotek ternyata tidak seperti yang diharapkan. Salah satu kasus yang terjadi adalah ketiadaan pelayanan informasi obat di apotek karena ketidakhadiran apoteker. Di samping itu pada umumnya apoteker sampai saat ini terkesan belum sepenuhnya mempunyai kemauan untuk melayani pasien dan melakukan konsultasi secara langsung (Suksmaningsih,2002). Mereka menyerahkan begitu saja hampir semua urusan kepada asisten apoteker Berdasarkan hal-hal di atas maka penting dilakukan penelitian gambaran pelayanan informasi obat oleh apoteker kepada pengunjung di-25 apotek di Kota Yogyakarta periode Juli-September 2004.

Jenis penelitian yang digunakan adalah non eksperimental deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sampel apoteker diambil secara tehnik non-random quota sampling.

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa 96% apoteker terlibat aktif dalam pelayanan resep. 88% apoteker tidak terlibat secara aktif saat penyerahan obat dan digantikan oleh asisten apoteker. 56% apoteker tidak memberikan informasi obat dengan 16% alasan bahwa pembeli dianggap sudah tau dari package insert/kemasan/brosur. Jumlah cakupan informasi obat yang diberikan apoteker pada waktu menyerahkan obat lebih dari 3 cakupan informasi obat. 88% apoteker melakukan lebih dari 3 cakupan upaya. 80% apoteker beranggapan bahwa jam konsultasi perlu diadakan. 76% apoteker hadir pada jam konsultasi. 64% apoteker menyatakan jam konsultasi ada manfaatnya. Selain memberi informasi obat pada jam konsultasi, apoteker (100%) juga melayani konsultasi obat diluar jam konsultasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi apoteker dalam memberikan informasi obat salah satunya adalah karena apoteker memperoleh keuntungan-keuntungan yaitu dapat meningkatkan kepuasan kerja dan sebagai salah satu “professional” dalam team perawatan kesehatan (80%) selain itu faktor lain adalah apoteker (56%) bukan merupakan pemilik sarana apotek


(20)

ABSTRACT

A pharmacist, especially who works in a pharmacy is often considered as no more than just a medicine seller who does not need a special education. This perspective arises because the people who come to a pharmacy are not being served as they expect to. One of the examples is the lack of the information about medicine because of the absence of the pharmacist in the pharmacy. Besides, it seems as until this time, a pharmacist does not have any willingness to serve the patient and give a direct consultation. The pharmacist gives almost all tasks to the assistant. Based on the above discussion, it is necessary to conduct research about the description of Giving Information about medicine by Pharmacist to the Customers in 25 Pharmacies in Yogyakarta during July-September 2004

The kind of experiment that the writer uses is the non experimental descriptive using the qualitative approach. The samples are taken using non random quota sampling.

Based on the result of the experiment, it is found that 96% of the pharmacist are actively involve in making the prescription medicine, while 88% of them are not involved in directly serving the costumer and are replaced by their assistant. 56% of them do not give any information about medicine, 16% reason that the costumers are considered to already know the information from the package insert. The amount of the information given by the pharmacist when they give the medicine are more than 3 information.88% give more than 3 efforts to increase their doing in giving the information. 76% of them are there during the consultation hours. 64% of them state that there are some advantages of doing the consultation. Beside, giving the information about medicine during the information hours, the pharmacists (100%) also do the consultation out of the consultation hours. One of the factors that influence the pharmacist in giving the information about medicine is that they get some advantages, for examples, they can increase their satisfaction in their work and also as a “professional” in their team (80%). Another factor is that they are (56%) not the owners of the pharmacies.

The keywords: pharmacist, the serving of the information about medicine and the consultation about medicine.


(21)

1 BAB I PENGANTAR A. Latar belakang

Apoteker khususnya yang melakukan pelayanan di apotek sering kali dipandang tidak lebih dari penjual obat saja, yang seolah-olah tidak memerlukan pendidikan khusus. Pandangan masyarakat ini timbul karena kenyataannya pelayanan yang mereka dapatkan di apotek ternyata tidak seperti yang diharapkan. Salah satu kasus yang terjadi adalah ketiadaan pelayanan informasi obat di apotek karena ketidakhadiran apoteker. Hal ini menyebabkan tidak terjadi pelayanan informasi obat dalam bentuk komunikasi, informasi, edukasi obat yang merupakan salah satu fungsi pekerjaan kefarmasian yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Tentunya hal ini sangat merugikan konsumen (masyarakat) karena tidak adanya jaminan terhadap ketepatan, keamanan, dan kerasionalan obat yang diberikan (Suksmaningsih, 2002 ).

Di samping itu pada umumnya apoteker sampai saat ini terkesan belum sepenuhnya mempunyai kemauan untuk melayani pasien dan melakukan konsultasi dengan dokter secara langsung. Mereka menyerahkan begitu saja hampir semua urusan kepada Asisten Apoteker. Apoteker sebenarnya menyadari kewajiban untuk memberikan informasi berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien serta informasi penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat, namun mereka jarang melakukan kewajiban tersebut. Pada umumnya kecenderungan tersebut tejadi karena mereka seolah-olah tidak yakin akan kemampuan sendiri. Mereka bahkan kurang bersikap proaktif


(22)

untuk menambah kemampuannya dalam KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi), yang sebenarnya akan sangat bermanfaat dalam pelaksanaan pengabdian profesinya untuk melayani masyarakat di apotek (Anonim, 2000).

Berdasarkan hasil wawancara Sudarwanto (1996) di 19 apotek di Pulau Jawa terungkap bahwa sekitar 50% pengunjung belum pernah bertemu dengan apotekernya dan hanya sekitar 5,3% profesi apoteker yang memberi informasi obat kepada pengunjung yang membeli obat. Disisi lain kesadaran masyarakat akan pentingnya informasi obat ternyata cukup tinggi, yakni 75% pengunjung apotek aktif bertanya tentang obat yang dibelinya baik dengan resep dokter maupun yang dibeli tanpa resep dokter Disini terlihat bahwa salah satu masalah penting yang harus diperhatikan dan ditangani oleh apoteker adalah kesenjangan dalam pelayanan informasi obat.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922/MENKES/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotek pasal 15 (4) yang berisi apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien serta penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat. Hal ini berarti apoteker harus ada ditempat ketika apotek buka untuk melakukan kewajiban tersebut. Menurut Kepmenkes no.1332//MENKES/SK/X/2002 apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker Pendamping. Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena hal-hal


(23)

tertentu berhalangan melakukan tugasnya Apoteker Pengelola Apotek dapat menunjuk Apoteker Pengganti.

Menurut Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta nomor: PO.00.02.VI.3.590 tanggal 1 Pebruari 1999 tentang perijinan dan pengelolaan apotek di Daerah Istimewa Yogyakarta menjelaskan bahwa apoteker mencantumkan jam konsultasi dan dengan memasang papan jam konsultasi, serta melaksanakan pelayanan kefarmasian secara professional dan sebelum dikeluarkannya SK tersebut mengadakan penyesuaian dalam waktu maksimal 3 tahun. Cara penyesuaian dapat dilakukan sebagai berikut: tahun pertama: kehadiran apoteker setiap hari pada jam-jam sibuk apotek, tahun kedua penentuan dan pelaksanaan jam konsultasi pada jam sibuk apotek dengan memasang papan jam konsultasi, tahun ketiga pelaksanaan dan pelayanan konsultasi di apotek secara kualitatif dan kuantitatif, baik secara langsung ataupun tidak langsung (melalui brosur, leaflet dan lain-lain) serta melaksanakan pelayanan kefarmasian secara professional (Anonim, 1999).

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan peraturan tersebut namun kehadiran APA pada jam sibuk apotek belum berjalan sebagaimana mestinya. Akibatnya, peran apoteker sebagai drug informer belum dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Oleh sebab itu Kakanwil Depkes Propinsi DIY mengeluarkan instruksi nomor PO.00.03.VIII.1.053 tanggal 5 Januari 2000 guna memperbaiki kinerja apoteker di apotek dan juga mengembalikan profesionalisme apoteker di apotek menjelang era pasar bebas di milinium ke tiga yang menyebutkan agar


(24)

apoteker meningkatkan kehadirannya di apotek pada jam buka apotek dan memasang jam konsultasi (Anonim, 2000).

Berdasarkan hal-hal diatas maka penting dilakukan penelitian mengenai gambaran pelayanan informasi obat oleh apoteker kepada pengunjung di-25 apotek di Kota Yogyakarta periode Juli-September 2004.

1. Rumusan masalah

Melihat latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut ini.

a seperti apakah karakteristik apoteker dan apotek di Kota Yogyakarta? b seperti apakah profil kehadiran apoteker di apotek?

c seperti apakah profil apoteker dalam memberikan informasi obat?

d seperti apakah profil apoteker dalam memberikan informasi obat pada jam konsultasi?

e faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi apoteker dalam memberikan informasi obat?

2. Keaslian penelitian

Penelitian sebelumnya adalah: Animo Masyarakat Untuk Melakukan Konsultasi Obat Kepada Apoteker Di Lima Apotek Kotamadya Yogyakarta (Ciptaningrum, 2001) penelitian tersebut menitikberatkan pada animo masyarakat untuk memperoleh informasi dan konsultasi mengenai obat dari apoteker pengelola apotek. Penelitian lainnya berjudul Kredibilitas Profesi Apoteker di Apotek Kotamadya Yogyakarta (Merita, 2003) menitikberatkan pada pengenalan, kepercayaan dan keinginan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan langsung


(25)

dari apoteker. Penelitian Erlan (2004) berjudul Persepsi Pasien Terhadap Peran Apoteker Pengelola Apotek (APA) Sebagai Pemberi Informasi Obat Di Apotek Kota Yogyakarta membahas tentang persepsi pasien terhadap APA sebagai pemberi informasi obat di apotek.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu ingin mengetahui gambaran pelayanan informasi obat oleh apoteker kepada pengunjung di-25 apotek di Kota Yogyakarta periode Juli-September 2004.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Memberikan gambaran mengenai pelayanan informasi obat oleh apoteker kepada pengunjung di-25 apotek di kota Yogyakarta periode Juli-September tahun 2004.

b. Manfaat praktis

1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan evaluasi bagi kinerja profesi apoteker di apotek dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan terutama dalam pelayanan informasi obat.

2. Bagi mahasiswa farmasi atau para calon apoteker yang tertarik mengenai pelayanan perapotekan serta pelayanan farmasi klinik, penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam mempersiapkan diri sebelum terjun ke masyarakat.

B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:


(26)

2. mengetahui profil kehadiran apoteker.

3. mengetahui profil apoteker dalam memberikan informasi obat.

4. mengetahui profil apoteker dalam memberikan informasi obat pada jam konsultasi.

5. mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi apoteker dalam memberikan informasi obat


(27)

7 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA A. Apotek

Peraturan pemerintah RI No. 25 tahun 1980 tentang perubahan atas peraturan No.26 tahun 1965 Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran obat kepada masyarakat. Pasal 2 mengatur tugas dan fungsi apotek adalah :

a. tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.

b. sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, perubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat

c. sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

Permenkes No.26 tahun 1965 Pasal 3 menyebutkan bahwa apotek tidak lagi sebagai badan usaha yang hanya dapat diusahakan oleh lembaga pemerintahan atau perusahaan negara saja, namun ijin apotek diberikan pada apoteker yang telah mengucapkan sumpah dan telah memperoleh izin kerja dari menteri kesehatan.

Permenkes RI No.922/MENKES/PER/1993 pasal 10 menyebutkan yang dimaksud dengan pengelolaan apotek adalah meliputi:

a. pembuatan, pengolahan, peracikan pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. b. pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan

farmasi lainnya.


(28)

Lebih lanjut dalam permenkes No. 922/MENKES/PER/1993 pasal 10 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan pelayanan informasi adalah meliputi :

a. pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.

b. pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat, dan perbekalan farmasi lainnya.

B. Apoteker

Berdasarkan permenkes RI No.1332/MENKES/SK/X/1993 tentang perubahan atas permenkes RI No.922/MENKES/PER/X/1993 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek pasal 1 menyebutkan bahwa apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker.

Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek harus menunjuk apoteker pendamping. Apabila apoteker pengelola apotek dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, apoteker pengelola apotek menunjuk apoteker pengganti. Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus menerus surat izin apoteker atas nama apoteker bersangkutan dicabut (Anonim, 2002).

Permenkes tersebut juga menyebutkan bahwa apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat, aman, rasional, atas permintaan masyarakat (Anonim, 2002). Hal ini juga didukung oleh kode etik apoteker


(29)

Indonesia bab I pasal 7 yaitu seorang apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesi bagi masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan, dan juga permenkes RI No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standart pelayanan kefarmasian di apotek bab III No. 1.2.5 menyebutkan bahwa apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat kepada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi (Anonim, 2004).

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 53 menyebutkan bahwa:

1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.

3) Tenaga kesehatan, untuk kepentingan pembuktian, dapat melakukan tindakan medis terhadap seseorang dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan.

4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi obat, untuk itu apotek harus memiliki tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi dan ruangan tertutup untuk konsultasi bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan dan lain-lainnya (Anonim 2004).


(30)

Menurut Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1996 pasal 22 tentang tenaga kesehatan menyebutkan bahwa:

1) Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk:

a. menghormati hak pasien;

b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien; c. memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan

yang akan dilakukan;

d. meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan; e. membuat dan memelihara rekam medis;

2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Di kalangan masyarakat seorang clinical pharmacist yang bekerja di community pharmacy, bukan saja partner yang berharga bagi dokter dalam prakteknya (private practice) tetapi juga sangat bermanfaat sebagai seorang ahli yang mampu untuk menasihati dan membimbing masyarakat sekitarnya dalam hal pemakaian obat (Lembong, 1999).

Menurut Kode Etik Apoteker pasal 6 menyebutkan bahwa seorang Apoteker/ Farmasis harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain dan pasal 7 menyebutkan bahwa seorang Apoteker/ Farmasis harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.

C. Informasi Obat

Informasi obat adalah keterangan hal ikhwal obat terutama yang dapat mendukung tercapainya tujuan pengobatan/terapi berbentuk data terdokumentasi yang bersifat objektif, diturunkan secara ilmiah yang menyangkut farmakologi, toksikologi, beserta penggunaan obat dalam terapi ( Mulyono,1996).

Informasi obat dan informasi proses terapi yang objektif selalu diperlukan dari waktu ke waktu dalam sistem pelayanan kesehatan baik oleh


(31)

kebijakan, pengelolaan pelayanan, pelaku pelayanan, atau bahkan oleh pasien dan masyarakat pada umumnya. Sistem pelayanan informasi obat dan pengobatan seharusnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan itu sendiri (Suryawati, 1997). Salah satu wujud pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan obat. Tujuan utamanya adalah agar masyarakat mendapatkan obat bermutu baik, dengan informasi selengkap-lengkapnya (Sudarwanto, 1996).

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain: dengan penyebarab lefleat/brosur, poster, penyuluhan dan lain-lainnya (Anonim 2004).

Tujuan edukasi terhadap pasien adalah penyediaan informasi kesehatan terutama yang menyangkut OTR (Obat Tanpa Resep). Informasi ini haruslah yang tepat, dapat dimengerti, dan praktis. Tepat berarti ada dasar teorinya dan sesuai dengan kebutuhan pemakai, dapat dimengerti berarti disampaikan dalam bahasa sehari-hari dan diusahakan jangan menggunakan istilah medis sedangkan praktis berarti singkat dan mudah dimengerti segera, jumlah informasi sesuai/spesifik untuk pemakai. Tujuan edukasi pasien lainnya adalah untuk mengubah sikap atau permasalahan kesehatan, sehingga mencapai pola hidup yang lebih baik dengan usaha sendiri (Suhadi, 1997).

Apoteker wajib dan bertanggungjawab untuk memberikan informasi obat baik dengan resep ataupun tanpa resep dokter dan apoteker harus memberikan informasi mengenai resiko penggunaan obat tanpa pengawasan dokter. Dalam hal ini apoteker perlu mengambil sikap yang lebih profesional.


(32)

Apabila dalam penggunaan obat tanpa resep tidak segera meringankan penyakit, apoteker dapat menyarankan penderita untuk segera periksa kepada dokter (Anief, 1997).

Berdasarkan pada UU Kesehatan No.23 Th 1992 pasal 53 (2), tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. Dalam penjelasan pasal tersebut hak pasien antara lain adalah hak mendapatkan informasi obat. Permenkes No.922/Menkes/Per/X/1993 Pasal 10 (c) menyebutkan bahwa pengelolaan apotek meliputi pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi. Pasal 15 (2) Apoteker wajib memberikan informasi :

a) yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien. b) penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.

UU perlindungan konsumen No.8 Th.1999 Bab III Pasal 4 meliputi :

a. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

b. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.

c. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Kewajiban apoteker terhadap masyarakat :

(2)seorang apoteker dalam rangka pengabdian profesinya harus bersedia menyumbang keahlian dan pengetahuannya.

(5) seorang apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesi bagi masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan.

(Anonim, 1999a) Berdasarkan inisiatif apoteker, jenis-jenis informasi obat terdiri dari :

1) informasi bersifat pasif, yaitu apoteker menjawab atau memberi respon pada pertanyaan pasien,dokter dan lainnya.


(33)

2) informasi bersifat aktif, hal ini dapat berlangsung dengan memberikan ceramah kesehatan bagi masyarakat umum, menerbitkan bulletin dan surat menyurat yang terseleksi.

3) informasi obat untuk aspek yang lebih luas, misalnya Review (penilaian) pemakaian obat dan audit medis untuk memperbaiki kebiasaan peresepan yang salah.

(Anonim, 1999a) Berdasarkan jenisnya informasi obat dapat dibagi menjadi informasi lisan dan informasi tertulis. informasi lisan adalah informasi yang diberikan secara lisan kepada masyarakat pada saat proses penyerahan obat sedangkan informasi tertulis adalah informasi yang diberikan secara tertulis pada etiket, leaflet atau brosur. Dalam memberikan informasi obat kepada pasien/pemakai obat apoteker dapat menggunakan bantuan dari berbagai buku atau referensi, atau yang lebih canggih lagi yaitu dengan menggunakan internet. Kemampuan mencari informasi dengan cepat mendukung kualitas pelayanan seorang apoteker terhadap masyarakat /pasien (Arthur dan Christopher, 1982).

Sumber mengenai informasi obat dapat diambil dari formularium (misalnya British National Formulary) atau dapat juga diambil dari AMA Drug Evaluation, United State Pharmacopeia dan Drug Information Health Professional. Sumber-sumber informasi tersebut dipilih dan didokumentasikan secara rapi dan sistematis sebagai dasar pemberian pelayanan obat. Tercakup didalamnya informasi mengenai sifat-sifat farmakologis, farmakokinetik, kewaspadaan, efek samping, serta kontraindikasi. Informasi tersebut mencakup pula informasi yang relevan, misalnya alasan pemberian obat, tujuan pemberian obat, bagaimana menyimpan, menggunakan dan hal-hal lain yang diperlukan pada waktu menggunakan obat (Budiono, 1999).


(34)

D. Konsultasi obat

Definisi konsultasi menurut kamus bahasa Indonesia adalah usaha untuk meminta nasehat. Konsultasi adalah hubungan timbal balik antara dua orang individu di mana yang seorang (konsultan) berusaha membantu yang lain (klien) baik individual maupun masyarakat untuk mencapai pengertian mengenai dirinya sendiri dalam hubungannya dengan masalah – masalah yang dihadapi pada saat ini dan pada waktu yang akan datang (Wijaya, 1998). Dalam hal ini sebagai konsultan adalah apoteker dan klien adalah masyarakat. Untuk dapat menimbulkan hubungan yang baik hendaknya apoteker memulai proses konsultasi dengan sebaik–baiknya sehingga tujuan utama untuk dapat mengembangkan perannya sebagai drug informer dapat berjalan dengan baik.

Peran pemerintah dalam mendukung peran apoteker cukup besar, yaitu dengan mengeluarkan peraturan yang diharapkan dapat lebih mendukung peran apoteker. Langkah awal dari pengembangan peran apoteker adalah dengan adanya peraturan jam konsultasi yang diatur dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kesehatan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta nomor :PO.00.02.VI.3.590 tanggal 1 Pebruari 1999 tentang perijinan dan pengelolaan apotek di Daerah Istimewa Yogyakarta (Anonim, 1999b).

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan peraturan tersebut namun kehadiran APA pada jam sibuk apotek belum berjalan sebagaimana mestinya oleh sebab itu Kakanwil Depkes Propinsi DIY mengeluarkan instruksi nomor PO.00.03.VIII.1.053 tanggal 5 Januari 2000 untuk lebih lagi mendukung peran apoteker sebagai drug informer (Anonim, 2000).


(35)

E. Keterangan empiris

Penggunaan obat yang tepat, aman dan efektif selain ditentukan oleh kualitas obat itu sendiri, juga dipengaruhi oleh informasi yang diberikan dalam penyerahan obat tersebut. Informasi obat diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat tersebut. Oleh karena itu informasi obat dan konsultasi yang diberikan profesi apoteker di apotek sangat dibutuhkan guna mencapai tujuan tersebut.

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diperoleh gambaran mengenai pelayanan informasi obat oleh apoteker kepada pengunjung di-25 apotek di Kota Yogyakarta periode Juli-September 2004.


(36)

16 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian non eksperimental deskriptif dengan pendekatan kualitatif karena dalam penelitian ini tidak dilakukan pemberian perlakuan atau manipulasi terhadap subyek uji

B. Definisi Operasional Penelitian

1. Pelayanan informasi obat adalah pelayanan yang diberikan apoteker kepada pasien berupa pemberian keterangan-keterangan mengenai obat-obatan.

2. Apoteker adalah Apoteker Pengelola Apotek, Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti di apotek yang berada di Kota Yogyakarta.

3. Apotek adalah apotek yang berada di Kota Yogyakarta.

4. Kehadiran adalah keberadaan apoteker di apotek di Kota Yogyakarta. 5. Jam konsultasi adalah jam yang disediakan oleh apoteker untuk melakukan

konsultasi obat.

C. Subyek Penelitian

Adalah apoteker di apotek Kota Yogyakarta. Bahan penelitian adalah data yang terkumpul dari pengisian kuisioner oleh subjek penelitian. Subyek penelitian selanjutnya disebut responden.


(37)

D. Alat Pengumpulan Data

Berupa kuisioner. Prawitasari (1998) mendefinisikan kuisioner sebagai kelompok atau urutan pertanyaan yang dibuat untuk memperoleh informasi dari responden.

E. Jalannya Penelitian 1. Analisis situasi

Dilakukan dengan cara survey ke apotek-apotek. Hal ini dilakukan untuk mengetahui situasi subyek penelitian dan memastikan bahwa masalah-masalah layak untuk diteliti dan penelitian dapat dilakukan.

2. Menentukan subyek penelitian a Populasi.

Adalah keseluruhan penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, tumbuhan, gejala atau peristiwa sebagai sumber data yang mempunyai karakteristik tertentu dalam suatu penelitian (Nawawi, 1995). Populasi pada penelitian ini adalah Apoteker Pengelola Apotek, Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti di Kota Yogyakarta. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta diketahui bahwa jumlah apotek di Kota Yogyakarta adalah sebanyak 107 apotek (periode Juli-September 2004). Diantara 107 apotek tersebut, sebanyak 103 apotek yang masih aktif dan terdapat 119 apoteker.

b Sampel.

Adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam penelitian. Sampel apoteker diambil secara non-random quota sampling.


(38)

Tidak ada aturan yang tegas tentang jumlah sampel yang dipersyaratkan untuk suatu penelitian dari populasi yang tersedia. Tidak ada batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan sampel yang besar atau yang kecil. Menurut Gay (1976), cit Sevilla dkk, 1993 untuk penelitian yang bersifat deskriptif sampel yang diperlukan adalah 10% dari populasi atau minimal 20% sampel untuk populasi yang sangat kecil. Jumlah sampel yang akan terkumpul nantinya juga bergantung pada faktor-faktor lain seperti biaya, fasilitas, waktu yang tersedia, dan juga populasi yang ada atau kebersediaan untuk dijadikan sampel (Nasution, 2003). Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan di Kota Yogyakarta sebanyak 103 apotek yang tersebar di 14 kecamatan. Selanjutnya apoteker dikelompokkan berdasarkan kecamatan sehingga diperoleh jumlah apoteker tiap kecamatan, yaitu: Kecamatan Gondokusuman 14 apoteker, Kecamatan Jetis 14 apoteker, Kecamatan Tegalrejo 5 apoteker, Kecamatan Danurejan 8 apoteker, Kecamatan Pakualaman 5 apoteker, Kecamatan Gedongtengen 4 apoteker, Kecamatan Ngampilan 7 apoteker, Kecamatan Kraton 4 apoteker, Kecamatan Gondomanan 3 apoteker, Kecamatan Wirobrajan 5 apoteker, Kecamatan Kecamatan Matrijeron 22 apoteker, Kecamatan Mergangsan 6 apoteker, Kecamatan Umbulharjo 13 apoteker dan Kecamatan Kotagede 9 apoteker. Sampel diambil 20 % dari masing-masing jumlah apoteker di setiap Kecamatan sehingga diperoleh sampel yaitu : Kecamatan Gondokusuman 3 apoteker, Kecamatan Jetis 3 apoteker, Kecamatan Tegalrejo 1 apoteker, Kecamatan Danurejan 1 apoteker, Kecamatan Pakualaman 1 apoteker, Kecamatan Gedongtengen 1 apoteker, Kecamatan Ngampilan 1 apoteker, Kecamatan Kraton 1 apoteker, Kecamatan Gondomanan 1 apoteker,


(39)

Kecamatan Wirobrajan 2 apoteker, Kecamatan Matrijeron 4 apoteker, Kecamatan Mergangsan 1 apoteker, Kecamatan Umbulharjo 3 apoteker dan Kecamatan Kotagede 2 apoteker. Jumlah keseluruhan sampel adalah 25. Data pengambilan sampel dapat dilihat pada bagan 1.

3. Membuat kuisioner

Dalam penelitian ini digunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data, di dalamnya memuat sejumlah pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis oleh responden dengan pertanyaan semi terbuka dan pertanyaan tertutup. Untuk pertanyaan tertutup, dalam setiap item kuisioner disediakan sejumlah alternatif jawaban yang dapat dipilih oleh responden, sedangkan untuk pertanyaan semi terbuka, disamping alternatif jawaban juga disediakan tempat untuk memberikan jawaban secara bebas, apabila menurut responden diantara alternatif jawaban yang dapat dipilihnya tidak terdapat jawaban yang dianggap tepat.

Kuisioner perlu diuji validitasnya terlebih dahulu untuk mengetahui kejelasan tujuan dan lingkup informasi yang hendak diungkap, yaitu sejauh mana item-item pertanyaan dalam angket mencakup seluruh kawasan isi objek yang hendak diukur (Azwar,2003).

Uji validitas isi kuisioner dilakukan berdasarkan analisis rasional atau lewat professional judgment dimana estimasi validitas ini tidak melibatkan perhitungan statistik apapun melainkan hanya analisis rasional oleh ahli.

Tahap pengujian isi kuisioner adalah sebagai berikut: tahap pertama, pembuatan item-item pertanyaan. Tahap kedua, setelah pembuatan item-item selesai, penulis meneruskan analisis rasional kepada P2TKP Fakultas Psikologi


(40)

Universitas Sanata Dharma. Disini banyak mendapat saran dan perbaikan pada item-item pertanyaan utamanya penyusunan kalimat isi kuisioner sehingga diharapkan lebih mudah dipahami. Dan tahap ketiga melanjutkan analisis validitas isi kuisioner kepada dosen pembimbing.

4. Penyebaran Kuisioner

Dilakukan dengan memberikan kuisioner kepada apoteker di apotek. Pengisian kuisioner oleh responden, beberapa didampingi oleh peneliti untuk dapat menjelaskan kepada responden maksud dari kuisioner dan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalamnya. kuisioner yang disebarkan sebanyak 25 kuisioner.

5. Kesulitan penelitian

Dalam penelitian ini kendala yang paling sering terjadi adalah peneliti tidak dapat setiap saat bertemu dengan responden karena tidak setiap hari responden berada di apotek. Penelitian dilakukan setiap hari disesuaikan dengan kehadiran apoteker di apotek. Karena cakupan lokasi apotek yang sangat luas, maka peneliti memerlukan waktu yang lama untuk pengambilan data.

6. Pengumpulan kuisioner

Pada tahap ini memerlukan waktu yang lama dikarenakan tidak setiap responden dapat langsung menyerahkan kuisioner sehingga perlu diberi waktu. Jumlah kuisioner yang dikembalikan sama dengan jumlah kuisioner yang disebarkan, jumlah kuisioner adalah sebanyak 25 kuisioner.


(41)

Tabulasi data dilakukan dengan cara melakukan perhitungan jawaban kuisioner dari responden yang telah mengisinya, kemudian mengelompokkan masing-masing jawaban tersebut dan menghitung persentasinya.

Bagan 1. Pengambilan sampel

Keterangan :

I. Jumlah apoteker dalam setiap kecamatan.

A : Kecamatan Gondokusuman. H: Kecamatan Wirobrajan. B : Kecamatan Kotagede. I: Kecamatan Pakualaman. C : Kecamatan Jetis. J: Kecamatan Matrijeron. D : Kecamatan Kraton. K: Kecamatan Gedongtengen. E : Kecamatan Tegalrejo. L: Kecamatan Mergangsan. F : Kecamatan Gondomanan. M: Kecamatan Ngampilan. G : Kecamatan Danurejan. N: Kecamatan Umbulharjo

II. Sampel apoteker diambil minimal 20 % dari masing-masing jumlah apoteker di setiap kecamatan secara non proporsional.

populasi apoteker di kota yogyakarta 119 apoteker A 14 B 9 C 14 D 4 E 5 F 3 G 8 H 5 I 5 J 22 K 4 L 6 M 7 N 13 I.

3 2 3 1 1 1 1 2 1 4 1 1 1 3


(42)

22 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden dan Apotek

Keputusan Menkes RI No.1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Permenkes No.922/MENKES/PER/X/1993, apoteker ada yang disebut Apoteker Pengelola Apotek, Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti. Responden dalam penelitian ini 100% adalah Apoteker Pengelola Apotek (APA).

1. Karakteristik responden

Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama masa kerja, pekerjaan lain dan penghasilan perbulan.

a. Umur

Umur berpengaruh terhadap kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menyikapi masalah yang ada disekitarnya. Penelitian yang dilakukan Havard Growth Study menunjukkan bahwa proses pertumbuhan dan perkembangan inteligensia diawali pada umur remaja dan mencapai puncak pada umur 30 tahun. Pada umur tersebut seseorang mampu berpikir hipotetik dan dapat menguji secara sistematik berbagai penjelasan mengenai kejadian-kejadian tertentu dan dapat memahami prinsip-prinsip abstrak yang berlaku (Azwar, 1995).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 8% responden yang berumur kurang dari 25 tahun, 60% responden berumur antara 25 tahun sampai dengan kurang dari 35 tahun, 8% responden berumur antara 35 tahun sampai


(43)

dengan kurang dari 45 tahun, 16% responden berumur antara 45 tahun sampai dengan kurang dari 55 tahun, 8% berumur lebih dari 55 tahun.

Umur sebagian responden (60%) berada pada umur produktif di mana pada umur tersebut responden mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan inteligensia sehingga mampu berpikir kritis dalam menghadapi masalah yang dialami responden sebagai drug informer dan responden diharapkan mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada pengunjung apotek dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya serta dapat membina hubungan yang baik dengan rekan sejawat dan tenaga kesehatan lainnya.

8%

60% 8%

16%

8%

kurang dari 25 thn 25 sampai kurang dari 35 tahun

35 sampai kurang dari 45 tahun

45 sampai kurang dari 55 tahun

lebih dari 55 tahun

Gambar 1. Umur responden yang memberikan pelayanan informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 76% responden adalah wanita dan 24% pria. Data tersebut dapat dilihat pada gambar 2.


(44)

76% 24%

wanita pria

Gambar 2. Jenis Kelamin responden yang memberikan pelayanan informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta

c. Tingkat Pendidikan

Pendidikan yang lebih tinggi walaupun sifatnya tidak mutlak diasumsikan dapat mempengaruhi inteligensi atau pola pikir seseorang mengenai masalah kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin luas juga wawasan atau pengetahuan yang dimilikinya bila dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah. Beberapa penelitian menyatakan bahwa inteligensi berbanding lurus dengan tingkat pendidikan (Azwar, 2003a).

Di kalangan apoteker, selalu ada program peningkatan pengetahuan yang dikenal dengan istilah pendidikan berkelanjutan. Badan kesehatan dunia menyatakan peran farmasis dalam istilah 7 bintang (seven star pharmacist) salah satunya adalah life-long learner yaitu farmasis harus senang belajar dan semangat belajar harus selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan keterampilannya selalu baru dalam melakukan praktek profesi. Dalam pengelolaan apotek, apoteker selalu belajar sepanjang kariernya, membantu memberikan pendidikan dan memberikan peluang untuk meningkatkan


(45)

pengetahuan, keterampilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien (Anonim, 2004). Dalam hal ini membantu memberikan pendidikan dapat juga berarti memberikan pengetahuan mengenai obat kepada pasien sebatas informasi obat yang diperlukan seperti: cara pakai, dosis, efek samping, aturan pakai, indikasi, kontraindikasi, interaksi obat, upaya-upaya tambahan dalam rangka mempercepat penyembuhan, pilihan lain yang lebih murah dan cara penyimpanan. Meningkatkan pengetahuan dapat membantu meningkatkan pelayanan informasi obat kepada pengunjung apotek.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa persentasi tertinggi sebesar 84% responden berpendidikan apoteker, kemudian secara berturut-turut adalah S2 Apoteker sebesar 12% dan S3 Apoteker sebesar 4%. Data tersebut dapat dilihat pada gambar 3.

84%

12% 4%

Profesi apoteker S2 S3

Gambar 3. Tingkat pendidikan responden yang memberikan pelayanan informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta

d. Lama masa kerja di apotek

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persentasi terbesar lama masa kerja responden adalah antara 1 sampai dengan kurang dari 5 tahun


(46)

sebanyak 40%, kemudian secara berturut-turut 20% responden bekerja selama lebih dari 15 tahun, selanjutnya responden bekerja antara 5 sampai dengan kurang dari 10 tahun dan antara 10 sampai dengan kurang dari 15 tahun mempunyai persentasi yang sama yaitu 16% dan urutan terakhir responden bekerja selama kurang dari 1 tahun sebanyak 8%.

8%

40% 16%

16%

20%

<1 th 1-<5 th 5-<10 th 10-<15 th >15 th

Gambar 4. Lama masa kerja responden yang memberikan pelayanan informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta.

Responden yang aktif dalam melakukan pekerjaan kefarmasian dan hadir setiap hari di apotek, kemungkinan semakin lama masa kerja responden maka pelayanan kefarmasian akan semakin meningkat mutunya karena responden semakin tahu jenis pelayanan yang dibutuhkan oleh pasien/penderita. Selain itu semakin lama responden bekerja dalam melakukan pekerjaan kefarmasian juga semakin banyak pengalaman yang dimilikinya dalam hal berinteraksi dan berkomunikasi secara langsung terhadap masyarakat hal ini untuk memudahkan


(47)

responden memberikan pelayanan informasi obat tetapi ini tidak berlaku bagi responden yang tidak aktif dan tidak hadir setiap hari di apotek.

e. Pekerjaan lain

Responden yang bekerja rangkap di dua tempat dapat menyebabkan terlalu lelah, berkurangnya tenaga, maupun konsentrasi sehingga kemungkinan bisa terjadi kekeliruan-kekeliruan terutama dalam pelayanan obat dengan resep dokter (Hartono, 2003). Apabila responden terlalu lelah dan berkurang tenaga serta konsentrasinya berkurang kemungkinan bisa terjadi kekeliruan dalam memberikan informasi obat.

Dari hasil penelitian didapat 52% responden tidak memiliki pekerjaan lain sedangkan sisanya 48% memiliki pekerjaan lain. Pekerjaan lain tersebut antara lain : Dosen (16%), Pegawai Negeri Sipil (20%), dan wiraswasta (12%). Hal ini berarti 48% apoteker tersebut tidak dapat sepenuhnya berada di apotek selama apotek buka dan memberikan pelayanan informasi obat karena apoteker tersebut bekerja pada institusi lain, misalkan : apoteker yang juga bekerja sebagai dosen atau pegawai negeri sipil. Ini tidak sesuai dengan standart prosedur operasional farmasis di apotek yang menyebutkan bahwa farmasis dalam hal ini apoteker harus mudah ditemui, menyediakan waktu, bisa berempati, menunjukkan ketertarikan, perhatian, bersahabat, asertif dan mentaati prosedur yang berlaku (ISFI, 2004).

Permenkes No. 1332/MENKES/X/2002 menyebutkan apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, APA harus menunjuk apoteker pendamping. Hal ini berarti apabila apoteker berhalangan hadir maka


(48)

apoteker harus menunjuk apoteker pendamping yang dapat menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek sehingga tugas apoteker sebagai drug informer tetap berjalan. Meskipun hampir separuh responden memiliki pekerjaan lain diharapkan mereka bisa membagi waktu kerjanya sehingga tugas dan tanggung jawab di apotek tidak terbengkalai atau tidak ditinggalkan.

Gambaran tentang pekerjaan responden selain sebagai apoteker di apotek dapat dilihat pada gambar 5.

52%

16% 20%

12%

tidak ada dosen pegawai negeri sipil

wiraswasta

Gambar 5. Pekerjaan lain responden yang memberikan pelayanan informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta

f. Penghasilan perbulan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa persentasi penghasilan tertinggi responden adalah lebih dari 1 juta sampai dengan kurang dari 2 juta yaitu 56%, kemudian lebih dari 2 juta rupiah.yaitu 36% dan terakhir 501 ribu sampai dengan 1 juta rupiah yaitu 8%.

Dari persentasi penghasilan perbulan dapat terlihat bahwa penghasilan walaupun bukan faktor mutlak, relatif berpengaruh dalam semangat kerja


(49)

responden, serta dapat menentukan besarnya kesempatan yang didapat oleh responden untuk mengembangkan dirinya serta memperoleh wawasan yang lebih luas. Salah satu contoh dalam hal ini, misalnya: meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi hingga ilmu yang didapat dapat disumbangkan kepada masyarakat, memanfaatkan media internet, membeli buku atau media massa sehingga dapat mengetahui perkembangan kefarmasian di era globalisasi, semua hal ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Apoteker yang penghasilannya kurang, kemungkinan agak kesulitan untuk mendapatkan hal-hal tersebut.

0% 8%

56% 36%

< 500 ribu 501 ribu-1 juta >1 juta-2 juta >2 juta

Gambar 6. Tingkat penghasilan responden yang memberikan pelayanan informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta.

2. Karakteristik apotek a. Jam buka dalam satu hari

Setiap apotek memiliki jam buka apotek yang bervariasi tergantung kebijakan dari tiap-tiap apotek. Data mengenai jam buka apotek dalam satu hari dapat dilihat pada gambar 7.


(50)

Dari hasil penelitian diketahui bahwa apotek buka selama 5–9 jam memiliki persentasi yaitu 12% kemudian 76% apotek buka selama 10–14 jam, 8% apotek buka selama 15–19 jam dan 4% apotek buka 24 jam.

12%

76%

8% 4%

(5-9) jam (10-14) jam (15-19)jam 24 jam

Gambar 7. Jam buka di-25 apotek di Kota Yogyakarta

Diharapkan pada jam buka apotek mutu pelayanan apotek berjalan dengan baik dan semakin ditingkatkan setiap harinya. Apoteker juga diharapkan dapat hadir pada setiap jam buka apotek tersebut untuk mengawasi dan bertanggung jawab atas semua kegiatan manajemen dan kefarmasian yang diselenggarakan di apotek dan apabila berhalangan hadir menunjuk apoteker pendamping atau pengganti yang menggantikannya.

b. Jam sibuk.

Adalah jam dimana frekuensi pengunjung apotek relatif lebih banyak daripada jam lainnya dan biasanya pelayanan kefarmasian lebih ditingkatkan pada jam-jam ini. Menurut SK Kanwil Depkes Profinsi DIY No.PO.00.02.VI.3.590 tentang Perizinan dan Pengelolaan Apotek mengharuskan kehadiran apoteker setiap hari pada jam-jam sibuk apotek. Dari hasil penelitian frekuensi dan jumlah pasien yang datang ke apotek relatif lebih banyak terjadi pada jam 18.00-21.00.


(51)

Aktivitas bekerja sebagian besar orang dilakukan pada pagi sampai sore hari sehingga kebanyakan orang membeli obat dari sore sampai malam hari setelah melakukan aktivitas bekerja. Selain itu juga dari hasil pengamatan, sebagian besar dokter melakukan praktek dokter antara jam 17.00-19.00 sehingga umumnya, setelah berobat pasien langsung membeli obat di apotek sehingga pada jam sibuk apotek ini pelayanan kefarmasian harus ditingkatkan dan kehadiran seorang apoteker sangat diperlukan untuk mengawasi jalannya pelayanan kefarmasian, dalam hal ini khususnya memberikan informasi obat kepada pengunjung apotek ataupun yang ingin berkonsultasi kepada apoteker.

Tabel I. Jam sibuk di-25 apotek di Kota Yogyakarta No Jam sibuk Jumlah Prosentase(%)

n = 25

1 Dari jam 09.00-12.00 3 12

2 Dari jam12.00-16.00 5 20

3 Dari jam 16.00-18.00 2 8

4 Dari jam 18.00-21.00 15 60

Total 25 100

c. Jam konsultasi.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa 22 apotek (88%) membuka jam konsultasi sedangkan 3 apotek (12%) tidak membuka jam konsultasi. Alasan yang dikemukakan mengapa apotek tersebut tidak membuka jam konsultasi adalah tidak tersedianya tempat untuk berkonsultasi dan minat konsumen untuk berkonsultasi masih rendah (4%), jam kedatangan apoteker ke apotek tidak menentu sehingga konsultasi dapat dilakukan setiap saat pada jam kedatangan


(52)

apoteker di apotek (4%) dan tanpa harus membuka jam konsultasi pasien dapat berkonsultasi kepada apoteker setiap saat (4%).

88% 12%

ya tidak

Gambar 8. Adanya jam konsultasi di-25 apotek di Kota Yogyakarta d. Jam pelaksanaan konsultasi.

Dari 22 apotek yang membuka jam konsultasi, umumnya dilakukan pada jam tertentu saat apotek buka. Data mengenai jam konsultasi apotek dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Jam pelaksanaan konsultasi oleh apoteker di-25 apotek di Kota Yogyakarta.

No Jam konsultasi Jumlah Persentase(%)

n = 22

1 18.00-20.00 2 8

2 17.00-19.00 2 8

3 18.30-21.00 2 8

4 12.00-14.00 1 4

5 13.00-15.00 1 4

6 19.00-21.00 4 16

7 19.00-22.00 1 4

8 09.00-10.00 1 4

9 17.00-21.00 3 12

10 10.00-12.00 1 4

11 08.00-13.00 1 4

12 Selama jam buka apotek dan Apoteker ada

3 12 Total 22 88


(53)

e. Lama pelaksanaan jam konsultasi

Pelaksanaan jam konsultasi (48%) dilakukan selama 2 jam sesuai dengan surat Kakanwil Depkes Propinsi DIY mengeluarkan instruksi nomor PO.00.03.VIII.1.053 tanggal 5 Januari 2000. Data lama pelaksanaan jam konsultasi dapat dilihat pada Gambar 9.

4%

48% 4%

44%

satu jam dua jam

tiga jam lebih dari tiga jam

Gambar 9. Lama pelaksanaan jam konsultasi oleh responden di-25 apotek di-Kota Yogyakarta.

B. Profil Kehadiran Responden di Apotek a. Jam kehadiran

Seharusnya sepanjang jam buka apotek, harus ada apoteker di apotek sebab apotek bukan hanya sekedar tempat jual beli obat, melainkan tempat melakukan pelayanan kefarmasian dalam hal ini khususnya pelayanan informasi obat dan yang harus melakukan dan bertanggung jawab atas pelayanan di apotek adalah apoteker tersebut.

Jam kehadiran apoteker di apotek terbagi atas dua bagian, yaitu jam kehadiran apoteker dengan status apoteker sebagai PSA dan jam kehadiran


(54)

apoteker dengan status apoteker bukan PSA. Data jam kehadiran apoteker sebagai PSA dan bukan PSA dapat dilihat pada tabel III dan IV.

Tabel III. Jam kehadiran responden PSA selama satu hari di-25 apotek di Kota Yogyakarta

No Jam kehadiran apoteker dalam satu hari (wib)

Jumlah Prosentase (%) N = 25

1 Antara jam 08.00-15.00 1 4

2 Antara jam 09.00-13.00 1 4

3 Antara jam 15.00-22.00 2 8

4 Antara jam 17.00-21.00 4 16 5 Hadir selama jam buka

apotek

2 8

6 Hadir tidak terjadwal. 1 4

Total 11 44

Tabel IV. Jam kehadiran responden bukan PSA selama satu hari di-25 apotek di Kota Yogyakarta

No Jam kehadiran apoteker dalam satu hari (wib)

Jumlah Prosentase (%) N = 25

1 Antara jam 08.00-15.00 2 8

2 Antara jam 09.00-13.00 2 8

3 Antara jam 15.00-22.00 2 8

4 Antara jam 17.00-21.00 5 20 5 Hadir selama jam buka

apotek

1 4

6 Hadir tidak terjadwal. 2 8

Total 14 56

Sesuai dengan SK Kanwil Provinsi DIY No.PO.00.03.VIII.1.053 tentang Jam Konsultasi pasal 1 menyebutkan agar apoteker meningkatkan kehadirannya di apotek pada jam buka apotek, tetapi dari hasil penelitian didapat hanya 12% responden PSA dan Bukan PSA yang hadir pada jam buka apotek sedangkan pasien datang ke apotek pada jam-jam yang tidak tentu selama jam buka apotek sehingga apabila pasien datang serta membutuhkan informasi obat pada jam


(55)

tertentu tersebut apoteker tidak ada di apotek. Hal ini tidak berlaku apabila dalam satu apotek terdapat apoteker pendamping dimana apabila salah satu apoteker tidak dapat hadir apoteker yang lain menggantikannya.

b. Lama waktu keberadaan di apotek.

Berdasarkan data penelitian dapat dilihat bahwa persentasi terbesar lama waktu keberadaan apoteker di apotek adalah 5-7 jam sebesar 40% jika dikaitkan dengan jam buka apotek (gambar 7) 88% diatas 10 jam maka kemungkinan bahwa sebagian besar aktivitas pelayanan apotek dilakukan oleh asisten apoteker dan petugas apotek lainnya atau bisa juga dilakukan oleh apoteker pendamping atau pengganti.

Tabel V. Lama waktu keberadaan responden di-25 apotek di Kota Yogyakarta.

No Lama waktu keberadaan APA

Jumlah Prosentase(%) n = 25

1 Kurang dari 2 jam 0 0

2 2-4 jam 8 32

3 5-7 jam 10 40

4 Selama jam buka apotek 3 12

5 Lainnya 4 16

Total 25 100 Keterangan :

Lainnya : 7-9 jam dan 10 jam dengan persentasi sama yaitu 8%. c. Frekuensi rata-rata kehadiran di apotek dalam seminggu

Apotek-apotek dalam penelitian ini memiliki jam buka apotek yang sama dalam satu minggu, yaitu buka dari Senin sampai Sabtu mulai dari pagi sampai malam hari dan minggu buka dari sore hari sampai malam hari dengan jam buka yang bervariasi.


(56)

Frekuensi kehadiran responden ke apotek dalam seminggu terbagi atas dua bagian, yaitu frekuensi kehadiran responden PSA dan Frekuensi kehadiran responden bukan PSA. Diharapkan apoteker dapat hadir setiap hari pada jam buka apotek untuk dapat melakukan pelayanan farmasi khususnya pelayanan informasi obat. Frekuensi rata-rata kehadiran apoteker dalam satu minggu dapat dilihat pada tabel VI dan tabel VII.

Tabel VI. Frekuensi kehadiran responden PSA dalam seminggu

No Frekuensi kehadiran

responden (dalam seminggu)

Jumlah Prosentase(%)

N = 25

1 1-3 kali 1 4

2 4-6 kali 4 16

3 Setiap hari 6 24

Total 11 44

Tabel VII. Frekuensi kehadiran responden bukan PSA dalam seminggu

No Frekuensi kehadiran

responden (dalam seminggu)

Jumlah Prosentase(%)

N = 25

1 1-3 kali 3 12

2 4-6 kali 3 12

3 Setiap hari 8 32

Total 14 56

d. Alasan responden apabila tidak bisa hadir ke apotek

Dari hasil penelitian didapat beragam alasan dari responden mengapa tidak bisa hadir ke apotek. Alasan yang paling banyak dikemukakan adalah sakit, kemudian alasan selanjutnya adalah tugas atau pekerjaan yang tidak bisa diwakilkan misalnya mengajar di suatu universitas, rapat pekerjaan atau seminar tertentu, undangan-undangan penting, kemudian urusan keluarga, alasan lainnya


(57)

dinas keluar kota, keperluan lain dan capek. Hal ini apabila dihubungkan dengan kehadiran Apoteker di apotek ada yang 1-3 kali seminggu, 4-6 kali seminggu dan setiap hari berarti apabila Apoteker tidak bisa hadir di apotek kemungkinan terjadi alasan-alasan seperti yang dikemukakan di atas. Data tersebut dapat dilihat pada tabel VIII.

Tabel VIII. Alasan responden apabila tidak bisa hadir ke apotek

No Alasan responden tidak

bisa hadir ke apotek

Jumlah Prosentase(%)

N = 25

1 Sakit 10 40

2 Tugas atau pekerjaan yang tidak bisa diwakilkan

9 36

3 Urusan keluarga 4 16

4 Keperluan lain 3 12

5 Dinas keluar kota 2 8

6 Capek 1 4

e. Yang menggantikan responden apabila berhalangan hadir di apotek.

75% 25%

asisten apoteker lainnya

Gambar 10. Yang menggantikan apabila berhalangan hadir Keterangan :

lainnya : pemilik apotek dan apoteker selalu mengusahakan hadir di apotek


(58)

Peraturan Menteri Kesehatan No.922 Tahun 1993 pasal 22 menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan pengelolaan apotek, Apoteker dapat dibantu oleh asisten apoteker. Asisten apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek dibawah pengawasan apoteker, sehingga keberadaan asisten apoteker di apotek bukan untuk menggantikan apoteker melainkan untuk membantu apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian. Dari hasil penelitian didapat bahwa 75% responden memiliki asisten apoteker yang menggantikannya apabila tidak dapat hadir di apotek. Hal ini tidak sesuai dengan Permenkes No.922 tahun 1993 pasal 22 yang menyebutkan apabila asisten apoteker membantu apoteker berarti apoteker tersebut berada ditempat untuk dibantu bukan untuk digantikan. Dari 75% responden menyatakan bahwa tugas asisten apoteker terbatas pada pelayanan resep, penyerahan obat dan konsultasi sederhana serta dipantau atau berkomunikasi bila ada masalah yang sulit diselesaikan oleh asisten apoteker sedangkan 25% responden apabila berhalangan hadir yang menggantikannya adalah pemilik apotek padahal menurut Kepmenkes no.1332/Menkes/SK/X/2002 pasal 1 menyebutkan bahwa Surat Izin Apotek diberikan oleh menteri kepada Apoteker atau Apoteker bekerjasama dengan pemilik sarana untuk menyelenggarakan apotek. Selain itu juga juga responden yang mengusahakan untuk selalu hadir pada jam buka apotek.

C. Profil responden dalam memberikan pelayanan informasi obat 1. Jenis pelayanan yang diberikan responden.

Berdasarkan penelitian, pelayanan yang paling banyak diberikan oleh responden pada saat bertugas adalah membantu memilihkan obat (100%), sebagai


(59)

sumber informasi obat dan melayani resep dokter dengan prosentase yang sama sebesar 84%, membantu menegakkan diagnosis untuk penyakit ringan sebesar 76% dan lainnya yaitu : menemui sales-sales, order obat dan membuat laporan-laporan sebesar 16%. Hal ini menunjukkan bahwa responden mengetahui peran dan kewajibannya sebagai drug informer di dalam masyarakat.

Gambaran mengenai pelayanan yang diberikan responden pada saat bertugas di apotek dapat dilihat pada tabel IX.

Tabel IX. Jenis pelayanan yang diberikan responden di-25 apotek di Kota Yogyakarta

No Jenis pelayanan Jumlah Prosentase(%) n = 25

1 Melayani resep dokter 21 84

2 Membantu menegakkan diagnostik untuk penyakit ringan

19 76

3 Membantu memilihkan obat 25 100

4 Sumber informasi 21 84

5 Lainnya 4 16

keterangan :

Lainnya : Menemui sales-sales, order obat, dan membuat laporan. 2. Keterlibatan responden secara aktif dalam pelayanan resep obat.

Peran nyata apoteker sebagai drug informer dapat terlihat melalui keterlibatan apoteker secara aktif dalam pelayanan resep dan penyerahan obat kepada pasien. Keterlibatan apoteker dalam pelayanan resep pasien dapat dilihat pada Gambar 11.

Proses terakhir dalam suatu rangkaian pelayanan resep pasien adalah proses penyerahan obat dan pada saat penyerahan obat tersebut disertai dengan pemberian informasi obat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa 96% responden menyatakan secara aktif terlibat dalam pelayanan resep pasien


(60)

sedangkan 4% menyatakan tidak selalu dan kadang pelayanan resep pasien dilakukan oleh asisten apoteker.

96% 4%

terlibat aktif tidak terlibat aktif

Gambar 11. keterlibatan responden dalam pelayanan resep obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta

3. Keterlibatan responden dalam penyerahan obat

Pada saat pasien membeli obat baik dengan resep dokter maupun tanpa resep dokter, proses akhir dari pembelian obat tersebut adalah penyerahan obat. Pada saat proses penyerahan obat ini apoteker dapat memberikan informasi obat kepada pasien. Gambaran mengenai keterlibatan apoteker dalam penyerahan obat kepada pasien selama berada di apotek dapat dilihat pada gambar 12.

12%

88%

terlibat aktif tidak terlibat aktif

Gambar 12. Keterlibatan responden dalam penyerahan obat kepada pasien selama berada di apotek


(61)

Berdasarkan data diatas diketahui bahwa hanya 12% responden selalu terlibat aktif dalam proses penyerahan obat sedangkan 88% responden tidak selalu terlibat dalam penyerahan obat kepada pasien dan dari hasil pengamatan selama penelitian berlangsung, dijumpai bahwa yang menyerahkan obat kepada pasien khususnya menyerahkan obat tanpa resep adalah asisten apoteker, padahal dalam proses penyerahan obat kepada pasien, obat diberikan dan disertai dengan pemberian informasi obat. Apabila dibandingkan dengan keterlibatan responden secara aktif dalam pelayanan resep obat sebanyak 96% (gambar 11) berarti ada sekitar 84% responden yang setelah melayani resep tidak menyerahkan obat, selain itu hanya 12% responden yang selalu menyerahan obat kepada pasien baik dengan resep dokter atau tidak.

Pada saat penyerahan obat harus disertai dengan pemberian informasi obat, tetapi ada responden yang pada saat menyerahkan obat tidak memberikan informasi obat yaitu sebesar 44% sedangkan apoteker yang memberikan informasi obat pada saat menyerahkan obat sebesar 56%. Pemberian informasi obat kepada pasien pada saat penyerahan obat sangat penting khususnya pada obat dengan resep dokter untuk menghindari penggunasalahan obat tetapi apabila dilihat sebanyak 44 % apoteker yang tidak memberikan informasi obat kepada pasien Data ini dapat dilihat pada gambar 13.


(62)

44%

56%

tidak ya

Gambar 13. Apakah responden selalu memberikan informasi obat kepada pasien atau tidak

4. Alasan responden tidak memberikan informasi obat pada saat menyerahkan obat

Berdasarkan hasil penelitian diketahui persentasi terbesar alasan responden tidak memberikan informasi obat adalah 12% pembeli dianggap sudah tahu dari package insert/kemasan/brosur, 12% tidak sempat karena banyaknya pembeli, 8% pembeli yang tidak aktif bertanya dan sisanya 12% dengan perincian 8% pembeli tergesa-gesa dan tidak mau diterangkan, dan 4% responden beranggapan bahwa asisten apoteker dipandang sudah mengetahui dan berpengalaman sehingga memberi informasi obat pada saat penyerahan obat adalah asisten apoteker. Menurut undang-undang RI No.23 tahun 1992 tentang kesehatan menyebutkan bahwa pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional. Asisten apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian di bawah pengawasan apoteker.


(63)

Dari 44% responden tidak selalu memberikan informasi obat kepada pasien terutama pada pada pasien yang membeli obat tanpa resep memiliki beberapa alasan mengapa tidak selalu memberikan informasi obat. Alasan-alasan tersebut dapat dilihat pada tabel X.

Tabel X. Alasan responden tidak memberi informasi obat pada saat menyerahkan obat kepada pasien

No Alasan mengapa tidak

memberikan informasi obat

Jumlah Persentase(%)

n = 25 1 Tidak sempat karena banyaknya

pembeli

3 12 2 Kurangnya pengetahuan yang

dimiliki

0 0 3 Pembeli dianggap sudah tahu dari

package insert/kemasan/brosur

3 12 4 Pembeli yang kurang aktif bertanya 2 8

5 Lainnya 3 12

Total 11 44

Keterangan :

Lainnya : 8 % Pembeli tergesa-gesa dan tidak mau diterangkan 4 % Apoteker beranggapan asisten apoteker dipandang

sudah mengetahui dan berpengalaman sehingga memberi informasi obat pada saat penyerahan obat adalah asisten apoteker.

Berdasarkan hasil tersebut berarti pembelian obat tanpa resep di apotek tidak semuanya mendapatkan pelayanan informasi obat di apotek dari responden oleh karena itu diharapkan responden tetap memperhatikan kebutuhan informasi obat dari konsumen obat tanpa resep dimana pengobatannya tidak mendapat pengawasan dokter sehingga perlu adanya informasi obat yang aman dan efektif sehingga terhindar dari penggunasalahan obat. ini berarti responden diharapkan tetap terlibat secara aktif pada saat penyerahan obat walaupun ada asisten apoteker.


(64)

5. Jenis informasi obat yang diberikan responden

Jenis-jenis informasi yang diberikan responden pada waktu menyerahkan obat dapat dilihat pada tabel XI.

Tabel XI. informasi yang biasa diberikan pada pasien pada waktu responden menyerahkan obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta

No Jenis informasi Jumlah Persentase(%)

n = 25

1 A, B, D 2 8

2 A, D, E 2 8

3 A, B, D, E 5 20

4 A, D, E, F 1 4

5 A, B, C, D, E 5 20

6 A, B, C, D, F 2 8

7 A, B, C, D, E, F 2 8

8 A, B, D dan cara penyimpanan 1 4 9 A, B, C, D, E dan cara

penyimpanan

1 4 10 A, C, E, F dan pilihan lain yang

mungkin lebih murah

2 8 11 A, B,D E, F dan optimasi

upaya-upaya tambahan dalam rangka mempercepat penyembuhan

1 4

12 A, B, C, D, E, F dan interaksi dengan makanan/minuman /obat

1 4 Total 25 100

Keterangan:

A : cara pakai B : dosis C : efek samping D : aturan pakai E : indikasi F : kontraindikasi Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa jenis informasi yang diberikan responden pada waktu menyerahkan obat terdiri dari lebih dari 3 cakupan informasi obat. Hal ini sangat baik karena semakin banyak informasi obat yang diberikan responden Apoteker maka kebutuhan pasien akan informasi obat akan terpenuhi.


(65)

6. Sumber informasi obat yang tersedia di apotek

Salah satu bekal kesiapan responden di apotek dalam pemberian informasi obat diperlukan tersedianya koleksi buku-buku pedoman pengobatan dan informasi obat untuk menunjang dalam pengetahuan tentang informasi obat.

Tabel XII. Sumber informasi yang tersedia di apotek di-25 apotek di Kota Yogyakarta

No Sumber informasi obat

yang tersedia di apotek

Jumlah Persentase(%)

n = 25

1 Farmakope Indonesia ed.IV 20 80

2 IONI 9 36

3 DOEN 8 32

4 ISO 21 84

5 MIMS 18 72

6 Textbook farmakoterapi and klinis

10 40

7 Lainnya 6 24

Total 92 368 Keterangan :

Lainnya : Brosur/leaflet/majalah medika, Buku tentang obat, BNF, Data klinik farmakologi, OWA, ESO

Resep-resep yang harus dilayani di apotek, selain berisi obat-obat generik dapat juga berisi obat-obat dengan nama dagang atau bahkan campuran keduanya. Buku-buku seperti ISO (Informasi Spesialite Obat), IONI (Informatorium Obat Nasional Indonesia), DOEN (Daftar Obat Essensial Nasional) dan buku lainnya dapat menunjang dalam pemberian informasi obat. Sumber informasi obat yang tersedia di apotek dapat dilihat pada tabel XII.

7. Upaya pribadi responden untuk meningkatkan kualitas informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta


(66)

Dalam memenuhi pelayanan kefarmasian khususnya pelayanan informasi obat mulai dari filosofi sampai teknis operasional perlu beberapa upaya yaitu penguatan ilmu, kerja sama dengan berbagai pihak, dan berdialog dengan pasien.

Data mengenai upaya-upaya pribadi yang dilakukan apoteker dalam meningkatkan kualitas pelayanan informasi obat dapat dilihat pada tabel XIII.

Tabel XIII. Upaya pribadi responden untuk meningkatkan kualitas informasi obat di-25 apotek di Kota Yogyakarta.

No Upaya-upaya yang dilakukan apoteker

Jumlah Presentase(%) n =25

1 A 1 4

2 E 1 4

3 D, E 1 4

4 A, B, C 1 4

5 A, D, E 1 4

6 C, D, F 1 4

7 A, C, D, E 1 4

8 A, B, C, E 1 4

9 B, C, D, E 4 16

10 A, B, C, D, E 3 12

11 A, B, C, E, F 1 4

12 A, C, D, E, F 1 4

13 A, B, C, D, E, F 6 24

14 A, B, C, D, E, F dan berdialog dengan dokter

1 4 15 A, B, C, D, E, F dan searching

internet

1 4

Total 25 100

Keterangan :

A : menguasai disiplin ilmu farmasi

B : mempelajari ilmu-ilmu yang terkait dengan pelayanan informasi obat C : mempelajari managemen dan komunikasi dalam memberikan pelayanan informasi obat

D : bertukar pikiran dengan kolega apoteker E : berdialog dengan pasien


(1)

Tabel Hasil Penelitian

1 2 3 4 5 6 7

No Kode

responden a b c d e a b a b c a b c d e a b c d a b a b c d 1 Apt 01 v v v v v v v 2 02 v v v v v v v 3 03 v v v v v v v 4 04 v v v v v v v 5 05 v v v v v v v 6 06 v v v v v v v 7 07 v v v v v v v 8 08 v v v v v v v 9 09 v v v v v v v 10 10 v v v v v v v 11 11 v v v v v v v 12 12 v v v v v v v 13 13 v v v v v v v v 14 14 v v v v v v v 15 15 v v v v v v v v 16 16 v v v v v v 17 17 v v v v v v 18 18 v v v v v v 19 19 v v v v v v v 20 20 v v v v v v v 21 21 v v v v v v v 22 22 v v v v v v 23 23 v v v v v v v 24 24 v v v v v v v 25 25 v v v v v v v v


(2)

responden a b c d a b c d e a b a b c d e a b c d a b c d 1 Apt 01 v v v v 18.00-20.00 v v 2 02 v v v 17.00-19.00 v v 3 03 v v v 19.00-21.00 v v 4 04 v v v 09.00-10.00 v v 5 05 v v v 13.00-15.00 v v 6 06 v v v 18.00-20.00 v v 7 07 v v v 17.00-21.00 v v 8 08 v v v 10.00-12.00 v v 9 09 v v v v 19.00-22.00 v v 10 10 v v v 17.00-20.00 v v 11 11 v v v v selama jam

buka apotek

v v 12 12 v v v 18.30-21.00 v v 13 13 v v v 12.00-14.00 v 14 14 v v v 17.00-20.00 v v 15 15 v v v selama jam

buka apotek

v v 16 16 v v v 17.00-21.00 v 17 17 v v v 18.30-21.00 v 18 18 v v v selama jam

buka apotek

v v 19 19 v v v 17.00-20.00 v v 20 20 v v v 08.00-13.00 v v 21 21 v v v 17.00-21.00 v v 22 22 v v v 17.00-19.00 v v 23 23 v v v 19.00-21.00 v v 24 24 v v v v v 25 25 v v v 19.00-21.00 v v


(3)

15 16 17 18 19 20 21 No Kode

responden a b c d e a b c a b c d e a b c d a b c d e a b a b 1 Apt 01 v v v v v v v 2 02 v v v v v v v 3 03 v v v v v v v 4 04 v v v v v v v 5 05 v v v v v v v 6 06 v v v v v v v 7 07 v v v v v v v 8 08 v v v v v v v 9 09 v v v v v v v 10 10 v v v v v v v 11 11 v v v v v v v 12 12 v v v v v v v 13 13 v v v v v v v 14 14 v v v v v v v 15 15 v v v v v v v 16 16 v v v v v v v 17 17 v v v v v v v 18 18 v v v v v v v 19 19 v v v v v v v 20 20 v v v v v v v 21 21 v v v v v v v 22 22 v v v v v v v 23 23 v v v v v v v 24 24 v v v v v v v 25 25 v v v v v v v


(4)

22 23 24 25 26 27 28 No Kode

responden a b a b c d a b c d e f a b c d e f a b c d e f a b a b 1 Apt 01 v v v v v v v v v v v 2 02 v v v v v v v v v v v 3 03 v v v v v v v v v v v v 4 04 v v v v v v v v v v v 5 05 v v v v v v v v v v v v v 6 06 v v v v v v v v v v v v v v v 7 07 v v v v v v v v v v v v 8 08 v v v v v v v v v v v v v v v v v 9 09 v v v v v v v v v v v v v v v 10 10 v v v v v v v v v v v v v 11 11 v v v v v v v v v v v v v v v v 12 12 v v v v v v v v v v v v v 13 13 v v v v v v v v v v v v v v v v v v v 14 14 v v v v v v v v v v v v 15 15 v v v v v v v v v v v v v v v v 16 16 v v v v v v v v v v v v v v v v v v 17 17 v v v v v v v v v v v v v v v v v v 18 18 v v v v v v v v v 19 19 v v v v v v v v v v v v v v v v v 20 20 v v v v v v v v v v v v v v v v 21 21 v v v v v v v v v v v v v v 22 22 v v v v v v v v v v v v v v v v v 23 23 v v v v v v v v v v v v v v v v 24 24 v v v v v v v v v v v v v v v 25 25 v v v v v v v v v v v v v v v v v v v v


(5)

29 30 31 32 33 No Kode

responden a b c d a b a b c d a b a b c d e f 1 Apt 01 v v v v v v v v v 2 02 v v v v v v v v 3 03 v v v v v v v v 4 04 v v v v v v v v 5 05 v v v v v v v 6 06 v v v v v v v 7 07 v v v v v v v 8 08 v v v v v v v 9 09 v v v v v v v v 10 10 v v v v v v 11 11 v v v v v v v v 12 12 v v v v v v 13 13 v v v v v v v v 14 14 v v v v v v v 15 15 v v v v v v v 16 16 v v v v v v v v 17 17 v v v v v v v 18 18 v v v v v v 19 19 v v v v v v v 20 20 v v v v v v v 21 21 v v v v v v 22 22 v v v v v v 23 23 v v v v v v v 24 24 v v v v v v v 25 25 v v v v v v v


(6)

Dokumen yang terkait

Gambaran Peran Apoteker Dalam Pelayanan Konseling di Apotek Wilayah Kota Medan

3 20 124

Gambaran Peran Apoteker Dalam Pelayanan Konseling di Apotek Wilayah Kota Medan

0 25 124

Perbandingan hasil wawancara kegiatan pelayanan informasi obat terhadap apoteker pengelola apotek pada dua apotek swasta di Yogyakarta.

0 0 2

Kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan di apotek berbintang dua di Kecamatan Pakualaman, Umbulharjo, Wirobrajan dan Mantrijeron Kota Yogyakarta periode Juli-September 2012.

2 5 127

Kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan di apotek berbintang satu di Kecamatan Gondokusuman, Tegalrejo, dan Umbulharjo di kota Yogyakarta periode Juli - September 2012.

0 1 122

Persepsi apoteker pengelola apotek di Kota Yogyakarta terhadap perannya dalam pelayanan resep selama di apotek.

5 34 139

Gambaran pelayanan informasi obat oleh apoteker di-25 apotek di Kota Yogyakarta periode Juli-September 2004 - USD Repository

0 0 90

Kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan di apotek berbintang satu di Kecamatan Gondokusuman, Tegalrejo, dan Umbulharjo di kota Yogyakarta periode Juli - September 2012 - USD Repository

0 0 120

Kepuasan pelanggan terhadap kualitas pelayanan di apotek berbintang dua di Kecamatan Pakualaman, Umbulharjo, Wirobrajan dan Mantrijeron Kota Yogyakarta periode Juli-September 2012 - USD Repository

0 0 125

Penerapan standar pelayanan kefarmasian pada pasien asma oleh apoteker pada sepuluh apotek di kota Yogyakarta - USD Repository

0 0 167