RATNA SUSANTI S841008024

(1)

commit to user

PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI

PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN CERPEN

9 DARI NADIRA

KARYA LEILA S. CHUDORI

TESIS

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia

Oleh

RATNA SUSANTI S841008024

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2012


(2)

commit to user

ii

PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI

PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN CERPEN

9 DARI NADIRA

KARYA LEILA S. CHUDORI

TESIS

Oleh

RATNA SUSANTI S841008024

Komisi Nama Tanda Tangan Tanggal Pembimbing

Pembimbing I Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. ……… …….2012 NIP 196204071987031001

Pembimbing II Dr. Nugraheni Ekowardani, M.Hum. ………. ...2012 NIP 197007162002122001

Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal 10 Februari 2012

Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS

Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. NIP 196204071987031001


(3)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI

PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN CERPEN

9 DARI NADIRA

KARYA LEILA S. CHUDORI

TESIS

Oleh

RATNA SUSANTI S841008024

Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. ………….… .……. 2012

NIP 194403151978011001

Sekretaris Dr. Hj. Andayani, M.Pd. ………. ….…. 2012

NIP 196010301986012001

Anggota Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. ………....… ….…. 2012

Penguji NIP 196204071987031001

Dr. Nugraheni Ekowardani, M.Hum. ………..……. ...….. 2012 NIP 197007162002122001

Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat pada tanggal ………. 2012

Direktur Ketua Program Studi

Program Pascasarjana UNS Pendidikan Bahasa Indonesia

Prof. Dr. Ir.Ahmad Yunus, M.S. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa:

1. Tesis yang berjudul PENDEKATAN SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI

PENDIDIKAN DALAM KUMPULAN CERPEN 9 DARI NADIRA

KARYA LEILA S. CHUDORI ini adalah karya penelitian saya sendiri dan tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan sumber kutipan serta daftar pustaka. Apabila ternyata di dalam naskah Tesis ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, maka saya bersedia Tesis beserta gelar MAGISTER saya dibatalkan serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undagan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70)

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seizin dan menyertakan tim pembimbing sebagai a uthor dan PPs sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester (6 bulan sejak pengesahan Tesis) saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS berhak memublikasikan pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia PPs-UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, 17 Februari 2012 Mahasiswa,

Ratna Susanti S 841008024


(5)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

MOTTO

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan)

tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).” (Q.S. Al-Insyirah: 5-7)

Sukses seringkali datang pada mereka yang berani bertindak dan jarang menghampiri penakut yang tidak berani mengambil konsekuensi.

(Jawaharlal Nehru)

Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang ingin terus belajar, akan menjadi pemilik masa depan.

(Mario Teguh)

Mereka yang membenciku selalu memotivasiku. Mereka yang mencintaiku selalu menginspirasiku.


(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Sebuah karya kecil ini dipersembahkan untuk:

1. Bapak Suramto & Ibu Sri Wartini, kedua orang tuaku yang tak pernah letih berdoa untuk kesuksesan anak-anaknya.

2. Indri Purwanto, S.H., suamiku tercinta. Terima kasih tak terhingga atas segala pintaku dan atas rasa setiamu hingga tahun ke-13 ini kita senantiasa setia melukis bersama dalam kanvas kehidupan yang penuh rona.

3. Aulia Zahra Tasyarasita, gadis kecilku semata wayang yang selalu menumbuhkan selaksa asa dalam hidupku sekaligus menginspirasi dalam segala karyaku.

4. Rekan-rekan Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Angkatan 2010 (Kelas Paralel), yang selalu kompak dan semangat mendukungku serta meniupkan energi yang luar biasa dalam banyak hal.

5. Rekan-rekan Sa ha bat Lovers yang telah memberikan dukungan selama ini.


(7)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa Taala yang telah memberikan limpahan karunia, nikmat, dan hidayah-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini berjudul “Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen 9 da ri Nadira Karya Leila S. Chudori” dengan Komisi Pembimbing I, Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., sedangkan Komisi Pembimbing II, Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum.

Tesis ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2012. Cukup banyak pihak yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam penyusunan tesis ini. Untuk itu, tidaklah berlebihan kiranya dalam tesis ini disampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini.

1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S., Direktur Pascasarjana UNS yang telah memberikan izin penyusunan tesis ini.

2. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. dan Dr. Hj. Andayani, M.Pd., Ketua dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS yang telah membantu proses perkuliahan sehingga dapat berjalan dengan lancar.

3. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Komisi Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran, ketulusan, ketelitian, dan penuh harapan sehingga tesis ini dapat tersusun sistematis.


(8)

commit to user

viii

4. Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum., Komisi Pembimbing II yang telah

memberikan bimbingan, masukan yang sangat berharga, serta memotivasi sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan cepat.

5. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. dan Dr. Hj. Andayani, M.Pd. selaku ketua dan sekretaris dewan Penguji Tesis yang telah memberikan masukan yang luar biasa demi kesempurnaan penyusunan tesis ini.

6. Seluruh Dosen Pascasarjana, ilmu yang diberikan oleh Bapak/Ibu akan menjadi bekal bagi penulis untuk menapaki hidup mengejar asa.

7. Bapak Suramto dan Ibu Sri Wartini, kedua orang tuaku yang tiada letih berdoa untuk kesuksesanku.

8. Indri Purwanto, S.H., suamiku tercinta yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi atas keinginanku untuk mengaktualisasi diri dan merelakan waktu tersita di akhir pekan.

9. Seluruh rekan Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia (Kelas Paralel) atas segala dukungannya.

Kiranya sekeping mutiara yang terpatri dalam penelitian ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pendidikan bahasa Indonesia, khususnya, dan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Surakarta, Februari 2012


(9)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

DAFTAR ISI

JUDUL ………. i

PENGESAHAN PEMBIMBING ………...……… ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ……….………… ix

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

BAB I. PENDAHULUAN……….. 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Perumusan Masalah ………. 8

C. Tujuan Penelitian ………. 8

D. Manfaat Penelitian ……… 8

BAB II. KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA BERPIKIR .………. 10

A. Kajian Teori ……… 10

1. Pengertian Sastra ……… 10

2. Hakikat Cerpen ……….. 13

3. Ciri-ciri Cerpen ………. 16

4. Struktur Cerpen ………. 19


(10)

commit to user

x

6. Konsep Sosial-Budaya di Masyarakat ……….. 39

7. Pengertian Nilai ……… 45

8. Pengertian Pendidikan ……….. 48

9. Konsep Pendidikan Karakter ……… 49

10.Jenis-Jenis Nilai Pendidikan ……… 55

11.Penerapan Nilai Pendidikan dalam Karya Satra ………… 61

B. Penelitian yang Relevan ………. 64

C. Kerangka Berpikir ……….. 70

BAB III. METODE PENELITIAN ……… 72

A. Jenis Penelitian ………... 72

B. Tempat dan Waktu Penelitian ……… 73

C. Bentuk dan Strategi Penelitian ……… 74

D. Data dan Sumber Data ……… 75

E. Teknik Pengumpulan Data ………. 77

F. Validitas Data ………. 78

G. Teknik Analisis Data ……….. 79

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 82

A. Hasil Penelitian ………. 82

1. Latar Belakang Sosial Budaya dalam Kumpulan Cerpen 9 da ri Na dira ………..……… 82

2. Pandangan Pengarang terhadap Tokoh Wanita dalam Kumpulan Cerpen 9 da ri Na dira………..………. 109

3. Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen 9 da ri Nadira….. 116

B. Pembahasan ………. 128

1. Latar Belakang Sosial Budaya dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira ………. 128


(11)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

2. Pandangan Pengarang terhadap Tokoh Wanita

dalam Kumpulan Cerpen 9 da ri Nadira……… 140

3. Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen 9 da ri Nadira … 148 BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ……….. 165

A. Simpulan ……… 165

B. Implikasi ……… 167

C. Saran ……….. 171

Daftar Pustaka ……… 173


(12)

commit to user

xii

ABSTRAK

Ratna Susanti, S 841008024, 2012. Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Kumpulan Cerpen 9 dari Nadira Karya Leila S. Chudori. Komisi Pembimbing Pertama Prof. Dr. Sarwiji Suwandi dan Komisi Pembimbing Kedua Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan latar belakang sosial budaya dalam kumpulan cerpen 9 da ri Na dira; (2) mendeskripsikan pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam kumpulan cerpen 9 da ri Na dira; dan (3) mendeskripsikan nilai pendidikan kumpulan cerpen 9 dari Nadira.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan sosiologi sastra. Sumber data penelitian ini berasal dari sumber data primer, yaitu kumpulan cerpen 9 da ri Nadira dan sumber data sekunder, yaitu buku-buku dan informasi tentang penulis serta sumber dari internet tentang kumpulan cerpen 9

da ri Na dira. Teknik pengumpulan data yang dipakai adalah content ana lysis atau

analisis isi dokumen. Teknik validasi data yang digunakan adalah triangulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan adalah model analisis interaktif dengan tiga komponen analisis, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

Penelitian ini menyimpulkan: (1) latar belakang sosial budaya yang

terdapat dalam kumpulan cerpen 9 da ri Na dira ini meliputi sistem

religi/kepercayaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian, serta sistem teknologi dan peralatan; (2) pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam kumpulan cerpen 9 da ri

Na dira ini adalah tokoh wanita yang maju, berwawasan luas, mempunyai

intelektual dan pendidikan, tingkat sosial ekonomi yang tinggi, dan berperan ganda sebagai ibu rumah tangga dan pekerja di ruang publik; (3) nilai pendidikan yang terkandung dalam kumpulan cerpen 9 dari Nadira meliputi: (a) nilai agama, yaitu nilai pendidikan yang menekankan antara manusia dengan Tuhan, (b) nilai moral, yaitu pendidikan yang berhubungan dengan baik buruk tingkat laku manusia, (c) nilai adat/budaya, yaitu pendidikan yang berhubungan dengan kebiasaan dan tradisi, (d) nilai sosial, yaitu nilai pendidikan yang menekankan pada hubungan manusia dengan sesamanya, dan (e) nilai karakter, yaitu nilai pendidikan yang berkaitan dengan kepribadian seseorang yang digunakan sebagai landasan dalam bersikap dan bertindak.


(13)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xiii

ABSTRACT

Ratna Susanti. S 841008024, 2012. A Literary Sociology and An Educational Value Approach of Short Story Antology 9 dari Nadira by Leila S. Chudori. The First Advisors Commision Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. and The Second Advisors Commision Dr. Nugraheni Eko Wardani, M.Hum. Thesis. The Study Program of Indonesian Language Education, Postgraduate Program, Sebelas Maret University, Surakarta.

The aim of research are: (1) to describe the socio-cultural background of the short story antology entitled 9 da ri Na dira; (2) to describe the writer’s views in her short story antology entitled 9 da ri Nadira; and (3) to describe the educational values of the short story antology entitled 9 da ri Nadira.

This is qualitative descriptive research with a literary sociology approach. Data of research consisted of primary dan secondary data. The primary data were obtained from the short story antology entitled 9 da ri Nadira. The secondary data were obtained from books, comments by other writers on the short story entitled 9

da ri Nadira, and information obtained from internet about short story antology 9

da ri Na dira. The data of research were gathered through a content analysis

technique. They were validated through teory triangulation and were analyzed by means of an interactive analysis technique with three components of analysis, namely: data reduction, data display, and conclusion drawing.

According to the result of the analysis, some conclusions are drawn as follow: (1) the socio-cultural backgrounds of the short story antology of 9 da ri

Na dira are religion system, people organization system, knowledge system,

languages, art, livelihood system, and technology system; (2) the short story antology writer’s views in her short story entitled 9 da ri Na dira in general are sophisticated and intellectually high, and contain high social economy; (3) the educational values that the short story antology of 9 da ri Nadira contains include: (a) religions value, education related to relation between God and human beings, (b) moral value, education related to good and bad attitudes and behaviors of human beings, (c) custom and tradition value, education related to custom and traditions, (d) social value, education related to interrelation among human beings, and (e) character value, education related to persons and attitude.


(14)

commit to user

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Sinopsis 9 da ri Na dira ……… 181

Lampiran 2. Profil Pengarang .……… 189

Lampiran 3. Hasil Wawancara …..……….. 190

1. Wawancara Leila S. Chudori dengan Radio Nederland ... 190

2. Wawancara Leila S. Chudori dengan Tim Kampung Fiksi.. 195

Lampiran 4. Artikel tentang 9 da ri Na dira .……… 201


(15)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni yang meng-gunakan manusia sebagai objeknya dan bahasa sebagai medianya. Karya sastra merupakan bentuk kreativitas dalam bahasa yang indah serta berisi pengalaman batin dan imajinasi pengarangnya yang bersumber dari penghayatan realitas sosial.

Pada hakikatnya karya sastra merupakan gambaran dari suatu masyarakat yang mencerminkan kehidupan sosial dan sisi lainnya dibuat untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra, pada umumnya, berisi tentang permasalahan kehidupan manusia. Permasalahan tersebut dapat berupa segala sesuatu yang terjadi dalam diri pengarang maupun orang lain. Oleh karena itu, sebuah cipta sastra mengungkapkan masalah-masalah manusia dan kema-nusiaan serta tentang makna hidup dan kehidupan. Karya sastra mampu melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangannya, kasih sayang, kebencian, nafsu, dan segala yang dialami oleh manusia. (Mursal Esten, 1990: 8). Bentuk pengungkapan inilah yang merupakan olahan pengarang dalam menggambarkan segala aspek kehidupan manusia melalui ekspresi pengarangnya.

Karya sastra juga merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imaji ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan dengan kenyataan


(16)

commit to user

hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang, dan dapat pula sebagai campuran semuanya itu (Retno Winarni, 2009: 6).

Karya sastra termasuk sebuah karya tulis. Jika dibandingkan dengan jenis karya tulis lainnya, karya sastra memiliki ciri berbagai keunggulan, seperti keorisinilan, keartistikan, dan keindahan dalam isi dan ungkapannya (Dendy Sugono, 2003: 159). Keaslian suatu karya sastra menunjukkan adanya otoritas dari setiap pengarangnya, sedangkan dari sisi keartistikannya, sastra menunjukkan bahwa karya tersebut menyuguhkan karya seni tinggi.

Dengan membaca karya sastra, orang akan tahu atau paling tidak dapat meraba kondisi sosial masyarakat tertentu pada suatu masa, meskipun kondisi sosiokultural masyarakat tadi tidak selalu digambarkan persis apa adanya, mengingat kefiktifan karya sastra. Lebih dari itu, juga harus diingat bahwa pengarang memiliki subjektivitas dalam menilai dan mengamati realita yang disaksikannya. Oleh karena itu, subjektivitas inilah yang memengaruhi suatu karya sastra.

Karya sastra menampilkan gambaran kehidupan. Kehidupan tersebut merupakan pengalaman nyata pengarang yang dicoba dihidupkan melalui karyanya yang bersifat fiktif. Dalam menginterpretasikan kehidupan, pengarang tentu tidak lepas dari akar kebudayaan dan masalah sosial yang melingkupinya. Dalam memahaminya, tidak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial budaya, tetapi juga harus dipahami dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya dari dirinya sendiri. Jadi, pemahaman latar belakang budaya suatu karya sastra sangat diperlukan untuk meraih makna yang utuh dari suatu karya sastra tersebut.


(17)

commit to user

3

Makna yang utuh dari suatu karya sastra dapat pula dicapai melalui berbagai pendekatan karya sastra. Menurut Abrams (dalam Wiyatmi, 2009: 79), ada beberapa pendekatan karya sastra, antara lain, pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik, dan objektif. Pendekatan mimetik menganggap bahwa karya sastra sebagai tiruan alam, kehidupan, atau dunia ide; pendekatan ekspresif menganggap bahwa karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman pengarangnya; pendekatan pragmatik menganggap bahwa karya sastra sebagai alat untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca; dan pendekatan objektif lebih menganggap bahwa karya sastra sebagai sesuatu yang dapat berdiri sendiri dan memfokuskan perhatian pada karya sastra itu sendiri.

Selain berbagai pendekatan yang disebutkan di atas, masih ada pendekatan semiotik, yaitu pendekatan yang memandang karya sastra sebagai sistem tanda; pendekatan sosiologi sastra yaitu pendekatan karya sastra yang dilatarbelakangi oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat; pendekatan resepsi sastra yaitu pendekatan yang menilai karya sastra berdasarkan tanggapan para pembaca terhadap karya sastra tertentu; pendekatan psikologi sastra yaitu pendekatan yang digunakan untuk menginterpretasikan dan menilai karya sastra; serta pendekatan feminisme (kritik sastra feminis), yaitu pendekatan yang mendasarkan pada pandangan feminisme yang menginginkan keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun dalam karya sastra-karya sastranya.

Sebagai karya imajinatif, karya sastra memiliki fungsi sebagai hiburan yang menyenangkan sekaligus berguna menambah pengalaman batin bagi para


(18)

commit to user

pembacanya. Membicarakan karya sastra yang bersifat imajinatif, ada tiga jenis karya sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama.

Salah satu jenis prosa adalan cerita pendek (cerpen). Berbagai permasalahan yang ada di sekitar kehidupan individu dapat menjadi bahan penciptaan karya sastra (cerpen). Tema seperti kritik sosial, perbedaan pandangan masyarakat, kejiwaan seseorang dalam menghadapi suatu masalah, dan masih banyak tema lain yang menjadi pokok pemikiran para cerpenis.

Seorang cerpenis dapat menciptakan berbagai tema yang dirangkum dalam suatu tema utama. Semakin banyak permasalahan yang dimunculkan, semakin menarik karya sastra tersebut. Jadi, tidaklah mengherankan jika seseorang membaca cerpen, seperti sedang melihat miniatur kehidupan manusia dan sangat dekat dengan permasalahan yang ada di dalamnya. Akibatnya, pembaca ikut larut dalam alur dan permasalahan cerita. Bahkan sering pula perasaan dan pikirannya dipermainkan oleh permasalahan cerita yang dibacanya itu. Ketika itulah si pembacanya akan tertawa, sedih, bahagia, kecewa, marah, haru, dan mungkin saja akan memuja sang tokoh atau membencinya. Oleh karena itu, jika cerpen dijadikan bahan bacaan dan dinikmati, ada kecenderungan dapat dijadikan bahan renungan yang menarik dan banyak manfaat yang diperoleh melalui pesan positif yang disampaikan pengarangnya.

Tidak hanya itu, dengan segala permasalahannya yang universal, cerpen juga menarik untuk dikaji. Bahkan tidak pernah berhenti orang yang akan mengkajinya. Apalagi jika cerpen itu dikaitkan dengan pembelajaran di kelas. Cerpen yang akan dikaji ini adalah cerpen-cerpen karangan Leila S. Chudori yang


(19)

commit to user

5

dibukukan menjadi buku kumpulan cerpen dengan judul 9 dari Na dira yang selanjutnya disingkat 9dN. Buku ini memuat 9 judul cerpen, yaitu (1) Menca ri

Seikat Seruni, (2) Nina da n Na dira, (3) Melukis La ngit, (4) Ta sbih, (5) Ciuman

Terpanjang, (6) Kirana, (7) Sebila h Pisa u, (8) Uta ra Ba yu, dan (9) At Pedder

Ba y.

Kumpulan cerpen dengan judul 9 dari Na dira (selanjutnya disebut 9dN) merupakan karya fiksi terbaru Leila S. Chudori. Buku ini terdiri atas sembilan cerita pendek dengan tema kehilangan yang kuat dan karakter Nadira sebagai pemersatunya. Cerita-cerita pendek tersebut ditulis dengan rentang waktu yang lama dan banyak di antaranya yang bisa berdiri sendiri. Menyimak 9dN, akan disuguhi kompleksitas tema dan karakter. Dunia reportase, tradisi, cinta, harga diri, dan masih banyak lagi bercampur dengan efektif tanpa membuatnya jatuh ke dalam formula sinetron. Buku ini mampu menyedot pembacanya ke dalam alur yang tidak linear. Dengan nyaman penulisnya melompat-lompat ke berbagai

highlights dalam kehidupan Nadira. Tidak semua jawaban dari pertanyaan yang

ada di dalam buku ini disimpan di cerita pendek yang terakhir. Bisa juga di cerpen-cerpen awal karena formatnya yang berupa kumpulan cerita pendek memungkinkan hal itu.

Kesembilan kisah yang disodorkan Leila, bagai kepingan-kepingan kisah, yang memiliki awal dan akhir. Namun tetap memiliki benang merah cerita yaitu tokoh-tokohnya, terutama Nadira sebagai tokoh sentral. Dengan mengambil

setting cerita di beberapa kota di Indonesia, Amsterdam-Belanda, Victoria, B.C.,


(20)

commit to user

tidak membosankan. Meskipun dalam balutan kisah-kisah yang cenderung kelam, dengan beragam tokoh yang memiliki karakter masing-masing, namun Nadira berusaha untuk tetap tegar menghadapi segala hal dalam hidupnya. Dia tetap untuk berusaha survive dan terus hidup. Inilah esensi yang bisa ditangkap dari kumpulan cerpen 9 da ri Na dira karya Leila S. Chudori ini.

Kesembilan cerpen dalam buku ini fiksi, jika ada persamaan cerita atau karakter, maka itu kebetulan semata. Namun bukan hal mengherankan apabila ternyata Leila membangun karakter Nadira dengan kehidupan pribadinya sebagai landasan. Keduanya sama-sama berayahkan wartawan, bungsu dari tiga bersaudara, dan menjadi wartawan di majalah berita. Alhasil sosok Nadira menjadi begitu nyatanya, sampai-sampai cerpen yang langsung berfokus pada dirinya terasa lebih menonjol daripada yang tidak. Seperti dalam Melukis Langit,

Ta sbih, dan Kirana. Walaupun demikian, cerpen-cerpen dengan sudut pandang

karakter selain Nadira—misalnya Nina dan Nadira atau Sebila h Pisau—tidak bisa dipandang sebelah mata. Selain membuktikan kepedulian Leila pada pengembangan karakter yang lain, cerpen-cerpen tersebut juga memberikan pembaca kesempatan mengenali Nadira melalui interaksinya dengan orang-orang di sekitarnya.

Sementara itu, tujuan umum pengajaran sastra seperti yang tercantum dalam pendidikan di Indonesia, yaitu agar siswa mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Selanjutnya, di dalam rambu-rambunya ditegaskan pula bahwa pembelajaran


(21)

commit to user

7

sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam meng-apresiasikan karya sastra. Kegiatan mengapresiasi nalar, daya khayal, dan kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian, peran pelajaran sastra menjadi sangat penting.

Hal yang menarik dari kumpulan cerpen 9dN ini adalah karena sebagai pengarang, Leila menyajikan narasi dengan tidak lazim dan unik. Penguatan tokoh dan konflik batin yang terjadi dibangun seiring dnegan rangkaian bab demi bab. Sekalipun penuturannya tidak linear, kedalaman karakter tokohnya tertuang dengan sempurna.

Adapun alasan peneliti memilih kumpulan cerpen 9dN ini adalah sebagai berikut. Pertama, sejauh ini belum ada yang meneliti karya tersebut. Kedua, kumpulan cerpen 9dN ini menampilkan gambaran representasi problematika sosial di Indonesia modern dengan cita rasa yang berbeda. Ketiga, kumpulan cerpen 9dN sarat dengan nilai pendidikan (agama, sosial, adat-istiadat, dan moral). Oleh karenanya, kumpulan cerpen 9dN ini dijadikan objek penelitian dengan judul

Tinjauan Sosiologi Sa stra da n Nilai Pendidika n da la m Kumpula n Cerpen 9 da ri Na dira ka rya Leila S. Chudori.

Kumpulan cerpen 9dN ini menggambarkan keberadaan manusia dalam menghadapi masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan yang melingkupinya. Permasalahan yang diangkat dalam kumpulan cerpen 9dN merupakan refleksi dari kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial, terutama kehidupan di kota-kota besar (Jakarta, Amsterdam, New York, Kanada, dan Victoria) yang merupakan tempat yang sebagian besar melatari cerita.


(22)

commit to user

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.

1. Bagaimana latar belakang sosial budaya dalam kumpulan cerpen 9dN?

2. Bagaimana pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam kumpulan

cerpen 9dN?

3. Bagaimana makna nilai pendidikan dengan tinjauan sosiologi sastra dalam kumpulan cerpen 9dN?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. mendeskripsikan dan menjelaskan latar belakang sosial budaya dalam kumpulan cerpen 9dN;

2. mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan pengarang terhadap tokoh wanita dalam kumpulan cerpen 9dN; serta

3. mendeskripsikan dan menjelaskan makna nilai pendidikan dengan tinjauan

sosiologi sastra dalam kumpulan cerpen 9dN.

D. Manfaat Penelitian

Bukti-bukti yang akan diperoleh melalui penelitian ini, yaitu mengenai analisis kumpulan cerpen 9 dari Nadira karya Leila S. Chudori ini diharapkan dapat diambil manfaatnya sebagai berikut.


(23)

commit to user

9

1. Manfaat Teoretis

a. Mampu memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan menambah

wawasan di bidang sastra.

b. Mampu menambah khazanah pustaka Indonesia agar dapat

digunakan sebagai penunjang dalam kajian sastra dan bahan pijakan dalam penelitian berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi guru, khususnya guru mata pelajaran Bahasa Indonesia, hasil penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang nilai-nilai pendidikan dalam kumpulan cerpen 9dN sehingga guru dapat meningkatkan kreativitas pembelajaran yang inovatif dan tidak menimbulkan kebosanan pada peserta didik dalam kegiatan belajar-mengajar, khususnya pembelajaran sastra.

b. Bagi peserta didik, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan dan informasi tentang materi sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia yang ditinjau secara sosiologis untuk dapat diimplementasikan dalam kehidupan sosial di masyarakat.

c. Bagi pembaca sastra, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi tentang nilai-nilai pendidikan dalam kumpulan cerpen 9dN karya Leila S. Chudori.


(24)

(25)

commit to user

BAB II

KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN,

DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Kajian Teori 1. Pengertian Sastra

Dalam bahasa Indonesia, kata sa stra berasal dari bahasa Sanskerta. Akar kata sa s dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra menunjukkan alat atau sarana. Dengan demikian, sastra diartikan sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi, atau buku pengajaran (Teeuw, 2003: 23). Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa sastra merupakan alat atau sarana komunikasi dan interaksi antarpengarang dan masyarakat yang menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya.

Lebih lanjut Teeuw (2003: 21) juga mendefinisikan sastra dengan makna yang terkandung dalam kata ”sastra” tersebut dengan membandingkan nama dan pengertian tersebut dari beberapa negara. Dalam bahasa Barat, sastra disebut dengan sebutan literature (Inggris), literatur (Jerman), litterature (Prancis), semua kata tersebut berasal dari bahasa Latin litteratura. Kata litteratura

sebenarnya diciptakan sebagai terjemahan dari kata Yunani gramatika; litteratura

dan gra matika yang keduanya berdasarkan kata litera dan gra mma yang berarti

”huruf” atau ”tulisan”. Menurut asalnya, litteratura dipakai untuk tata bahasa dan puisi, dalam bahasa Prancis masih dipakai kata letter. Dalam bahasa Belanda yaitu


(26)

commit to user

geletterd, yang artinya orang beradab dengan kemahiran khusus di bidang sastra.

Kata litterature dan seterusnya dalam bahasa Barat Modern berarti segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis. Dalam bahasa Jerman, yang selalu aktif mencari kata Jerman asli untuk konsep asing, dipakai dua kata Jerman asli, yaitu schrifftum, yang artinya segala sesuatu yang tertulis, sedangkan

dichtung, yang artinya terbatas pada tulisan yang tidak langsung berkaitan dengan

kenyataan. Jadi, yang bersifat rekaan dan secara implisit maupun eksplisit dianggap mempunyai nilai estetis.

Atar Semi (1993: 8) mendefinisikan sastra sebagai suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dengan kehidupannya dan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Menurut Gazali (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 2002: 32) sastra adalah tulisan atau bahasa yang indah, yakni hasil ciptaan bahasa yang indah dan perwujudan getaran jiwa dalam bentuk tulisan. Indah, artinya sesuatu yang menimbulkan orang yang melihat dan mendengarkan dapat tergetar jiwanya, sehingga melahirkan keharuan, kemesraan, kebencian, kecemasan, dendam, dan sebagainya. Senada dengan pendapat Gazali, Slamet Muljana (dalam Wiyatmi, 2009: 19) menyebut sastra dengan ”seni kata”, yaitu penjelmaan ilham dengan kata yang tepat.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, terdapat kesamaan bahwa sastra merupakan hasil seni bahasa yang indah yang dapat menimbulkan keindahan, tetapi belum menunjukkan sifat khusus dari tulisan yang berupa karya sastra yang indah, baik bahasa maupun isinya.


(27)

commit to user

12

Pada dasarnya karya sastra merupakan penyajian gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terdiri atas kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Oleh karenanya, memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh pengarang atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu. (1993: 109)

Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada di sekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu, karya sastra yang lahir di tengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya. Dengan demikian, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya. Melalui karya sastra, sering dapat diketahui kedaaan


(28)

commit to user

dan cuplikan-cuplikan kehidupan masyarakat, seperti dialami, dicermati, ditangkap, dan direka oleh pengarang.

Senada dengan pernyataan di atas, Sapardi Djoko Damono (2003: 2) mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimana pun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

2. Hakikat Cerpen

Fiksi merupakan salah satu karya sastra yang kian berkembang dan banyak digemari masyarakat. Hal ini disebabkan dalam karya fiksi disuguhkan berbagai masalah kehidupan dalam hubungannya dengan sesama dan lingkungan. Sebagaimana dikatakan Burhan Nurgiyantoro, karya fiksi merupakan karya suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi sungguh-sungguh, sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata (2002: 2-3). Selain itu, ia juga berpendapat bahwa menulis fiksi sama dengan menafsir kehidupan. Oleh karena itu, sastra membuat model dengan kehidupan. Sastra tidak menawarkan analisis yang cerdas, tetapi pilihan-pilihan yang mungkin terhadap struktur kompleks kehidupan (2002: 12).


(29)

commit to user

14

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa pada hakikatnya cerpen merupakan karya fiksi. Sebagai karya fiksi, cerpen bersifat imajiner. Untuk menentukan sebuah karya dapat dikategorikan cerpen, bisa dilihat dari sisi panjang-pendeknya, sifat, waktu bacanya, dan pola penyajiannya. Pokok permasalahan dalam cerpen adalah pokok permasalahan manusia pada umumnya.

Sekalipun dikatakan bahwa cerpen merupakan karya imajiner, pada kenyataannya banyak cerpen yang isinya justru sama dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, seolah-olah cerita dalam cerpen itu benar-benar menceritakan peristiwa yang terjadi pada saat cerpen tersebut sampai di tangan pembaca. Hal ini bisa saja terjadi karena meskipun cerpen merupakan karya imajiner, tetapi bukan berarti merupakan karya hasil lamunan. Cerpen disusun berdasarkan perenungan, penghayatan, pengalaman, dan pengamatan seorang pengarang. Hal lain yang menyebabkan terjadinya kasus tersebut muncul adalah karena objek kajian. Objek kajian cerpen adalah manusia yang hidup dalam suatu komunitas. Pengarang juga hidup dalam komunitas yang sama. Persoalan satu manusia juga akan menjadi persoalan manusia lain. Karena, pada dasarnya, masyarakat memiliki dimensi ruang dan waktu. Sebuah masyarakat jelas memiliki dimensi ruang dan waktu, tetapi peranan seorang tokoh dalam masyarakat akan terus berubah dan berkembang dalam waktu yang tidak terbatas.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, karya sastra terdiri atas tiga jenis, yaitu prosa, puisi, dan drama. Karya sastra prosa sering diungkapkan dalam bentuk fiksi atau cerita rekaan. Istilah fiksi (selanjutnya disebut cerita rekaan) sering dijumpai hanya untuk menyebut karya sastra jenis prosa. Sebenarnya, hal ini kurang tepat


(30)

commit to user

karena pernyataan tersebut memberi kesan bahwa karya sastra jenis puisi maupun drama bukanlah cerita rekaan. Padahal, ketiganya merupakan cerita rekaan yang hanya memiliki batasan (pengertian) yang agak berbeda.

Cerpen (Inggris: short story) merupakan salah satu jenis karya yang sekaligus disebut fiksi. Dick Hartoko (1986: 132) menyebutkan bahwa cerpen pertama kali muncul di Amerika Serikat pada abad XIX, kemudian dipopulerkan oleh Edgar Allan Poe dan Nathaniel Howthorne.

Edger yang dikutip W.H. Hudson (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 34), menyatakan sebagai berikut.

A short strory is a prose na rrative requiring from ha lf a n hour to one or two hours in its perusel. Putting the sa me idea into different phra seology, we ma y sa y that a short story is a story that can be ea sily read a single sitting. Yet while the brevity this specified is the most a bvious chara cteristics of the kind of narrative in question, the eva luation of the story into a definite types ha s been a ccompanied by the development a lso of some fairly well-ma rked cha rsla ve, or a digest in thorty pages of matter which would ha ve been quite a s effectively, or even more effectively ha ndled in three hundred.

Berdasarkan pendapat Edgar Allan Poe, cerita pendek adalah sebuah proses narasi yang dalam proses membacanya memerlukan setengah jam hingga satu atau dua jam. Penempatan beberapa ide dalam setiap tahap berbeda-beda. Cerita pendek dapat dibaca dengan mudah sekali. Kecepatan waktu dalam pembacaannya merupakan kekhususan cerita pendek karena merupakan sebagian besar karakteristik cerita pendek. Allan Poe juga menekankan bahwa cerita pendek harus dapat dibaca dalam waktu singkat dalam sekali duduk. Bahkan ia menandaskan bahwa sebuah cerita pendek yang benar tidak hanya pengurangan


(31)

commit to user

16

skala sebuah novel atau sebuah penyingkatan cerita dari sebuah novel. Cerita pendek merupakan perpaduan beberapa peristiwa yang sangat efektif.

Mengenai panjangnya suatu cerita pendek, Ian Ried (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 32) menyebutkan antara 1.600 kata hingga 20.000 kata. Sementara itu, Henry Guntur Tarigan (2000: 17) menyatakan bahwa panjang cerita pendek kurang lebih 10.000 kata, 30 halaman kertas folio, dibaca 10-30 menit, mempunyai impresi tunggal, seleksi sangat ketat, dan kelanjutan cerita sangat cepat.

Penulisan cerpen yang tidak terlalu panjang menjadikan cerpen tidak bertele-tele dalam mengungkapkan berbagai macam hal. Edgar Alan Poe (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 10) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, berkisar antara setengah hingga dua jam, satu hal yang kiranya tidak mungkin dilakukan terhadap sebuah novel.

Mengacu pada beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita pendek adalah karangan prosa fiksi yang memadukan beberapa peristiwa yang sangat efektif dengan panjang cerita kurang lebih 10.000 kata. Cerpen juga merupakan sebuah karangan fiksi yang singkat, dalam pengungkapannya tidak bertele-tele, ceritanya berpusat pada satu peristiwa, dan dalam pembacaannya tidak membutuhkan waktu yang lama.

3. Ciri-ciri Cerpen

Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah salah satu jenis karya prosa fiksi dengan panjang cerita yang cukupan, tidak terlalu panjang, namun juga tidak


(32)

commit to user

terlalu pendek. Ukuran panjang dan pendeknya cerita ini tidak ada aturannya, tak ada satu pun kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Edgar Allan Poe (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 10) menyatakan, cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam –suatu hal yang kiranya tak mungkin dilakukan untuk sebuah novel. Walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerita yang pendek (short short strory), bahkan mungkin pendek sekali; berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (midle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri atas puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata.

Menurut Stanton (dalam Nani Tuloli: 2000: 82), tipikal pada cerpen adalah: (1) cerpen haruslah berbentuk padat; (2) realistik; (3) alur yang mengalir dalam cerita-cerita ini bersifat fragmentasi dan cenderung inklusif. Berkenaan dengan ciri-ciri cerpen, Henry Guntur Tarigan memberikan penjelasan, antara lain: (1) singkat, padu, dan intensif (brevity, unity, a nd intensity); (2) memiliki unsur utama berupa adegan, tokoh, dan gerak (scene, cha ra cter, and a ction); (3) bahasanya tajam, sugestif, dan menarik perhatian (incisive, sugestive, a nd a lert); (4) mengandung impresi pengarang tentang konsepsi kehidupan; (5) menimbulkan efek tunggal dalam pikiran pembaca; (6) mengandung detail dan insiden yang bernar-benar terpilih; (7) memiliki pelaku utama yang menonjol dalam cerita; (8) menyajikan kebulatan efek dan kesatuan emosi (2000: 177).

Senada dengan beberapa pendapat di atas, Richard Summer (dalam Atmazaki, 2005: 78) menjelaskan bahwa suatu cerpen harus mencakup beberapa


(33)

commit to user

18

hal, yaitu: (1) mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai penghidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung; (2) menimbulkan suatu hempasan dalam pikiran pembaca; (3) merangsang pembaca terbawa oleh jalan cerita; dan (4) mengandung perincian dan insiden yang dipilih dengan sengaja.

Berdasarkan pengertian cerita pendek yang telah dijelaskan bebarapa ahli di atas, ciri utama cerita pendek adalah singkat, padu, dan intensif. Cerpen biasanya memiliki plot tunggal, hanya terdiri atas satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir. Selain itu, tema dalam cerpen hanya berisi satu tema. Hal ini berkaitan dengan keadaan plot yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas, meski tetap bertujuan untuk mencapai efek kepaduan. Cerpen yang baik haruslah memenuhi kriteria kepaduan, unity. Artinya, segala sesuatu yang diceritakan bersifat dan berfungsi mendukung tema. (Burhan Nurgiyantoro, 2010: 14).

Ciri-ciri lain sebuah cerpen adalah jumlah kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah 10.000 kata, tidak boleh lebih dari 10.000 kata, kira-kira 3 halaman kuarto spasi rangkap (Tarigan dalam Antilan Purba, 2010: 52). Berkaitan dengan jumlah kata sebagaimana disebutkan di atas, maka pilihan kata dalam cerpen pun harus tajam, sugestif, dan menarik perhatian.

Lebih lanjut Tarigan (dalam Antilan Purba, 2010: 52) menjelaskan tentang ciri-ciri cerpen sebagai berikut. (a) Unsur utama cerpen adalah adegan, tokoh, dan gerak. Adegan merupakan unsur dalam cerpen yang menghendaki suatu insiden yang menguasai jalan cerita, tokoh hendaknya mampu menyajikan satu emosi tertentu, dan gerak yang menimbulkan kesan atau efek yang menarik. (b) Cerita


(34)

commit to user

pendek harus mengandung interpretasi pengarang tentang konsepsinya mengenai kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung. (c) Sebuah cerita pendek harus menimbulkan perasaan pada pembaca bahwa jalan ceritalah yang pertama-tama menarik perasaan, kemudian menarik pikiran. (d) Cerita pendek mengandung detail-detail dan insiden-insiden yang dipilih dengan sengaja dan yang bisa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.

4. Struktur Cerpen

Kata struktur berasal dari kata struktur, yang mempunyai arti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang hanya bermakna dalam totalitas. Sebuah struktur karya sastra harus dilihat sebagai suatu totalitas karena sebuah struktur terbentuk dari serangkaian unsur-unsurnya (Piaget, 1995: viii). Artinya, teori strukturalisme ini memberikan porsi perhatian yang cukup besar terhadap analisis unsur-unsur karya. Analisis unsur-unsur tersebut diberlakukan pada setiap karya sastra, baik karya sastra pada jenis yang sama maupun yang berbeda.

Sebagaimana dikatakan oleh Teeuw, analisis struktural dilakukan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat, teliti, semendetail, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.

Secara definitif, strukturalisme berarti paham mengenai unsur-unsur, yaitu struktur itu sendiri dengan mencari antarhubungannya dari tiap-tiap unsur struktural. Di pihak satu, antarhubungan unsur dengan unsur yang lain, sedangkan di pihak lain, hubungan antarunsur dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman,


(35)

commit to user

20

tetapi juga bersifat negatif, seperti konflik dan pertentangan (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 91). Karya sastra merupakan unsur-unsur yang bersistem, antara unsur-unsurnya terjadi hubungan timbal balik yang saling menentukan. Artinya, struktur yang digunakan untuk menunjuk unsur-unsur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan sistem.

Sebuah struktur mempunyai tiga sifat, yaitu totalitas, transformasi, dan pengaturan diri. Totalitas ini dimaksudkan bahwa struktur terbentuk dari serangkaian unsur, tetapi unsur-unsur itu harus tunduk pada kaidah-kaidah yang mencirikan sistem sebagai suatu sistem. Transformasi, dimaksudkan bahwa

perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan

mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah pula. Pengaturan diri dimaksudkan bahwa struktur itu dibentuk oleh kaidah-kaidah intrinsik dari hubungan antarunsur yang akan mengatur sendiri apabila ada unsur yang berubah atau hilang (Piaget dalam Sangidu, 2004: 16).

Unsur pembangun struktur ini, menurut Stanton (dalam Retno Winarni, 2009: 12) adalah sebagai berikut.

”Unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. (1) Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana. (2) Fakta cerita terdiri atas alur, tokoh, dan latar, sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan suasana, simbol-simbol, imajinasi, serta cara-cara pemilihan judul di dalam karya sastra. (3) Sarana sastra adalah memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat dipahami dengan jelas terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa, suasana, simbol-simbol, imajinasi, dan cara-cara pemilihan judul dalam karya sastra.”


(36)

commit to user

Berkaitan dengan unsur pembangun struktur cerpen di atas, Abrams (dalam Siswantoro, 2010: 64) mengatakan secara jelas sebagai berikut.

”Masih ada lagi studi lain, yaitu studi objektif, yang pada dasarnya memandang karya sastra adalah karya yang mencakup diri sendiri, terbebaskan dari faktor-faktor eksternal sebagai rujukan. Sebagai karya yang mencakupi diri sendiri, karya sastra dibangun oleh bagian-bagiannya dan relasi internalnya, sehingga memberi penilaian terhadap karya sastra adalah berdasar kriteria intrinsiknya sebagai unsur-unsur pembentuk struktur.”

Sebagai cerita rekaan, cerpen merupakan sebuah struktur yang diorganisasikan oleh unsur-unsur fungsional yang membangun totalitas karya,

work of a rt, dari gagasan-gagasan pengarang. Cerpen juga memiliki konvensinya

sendiri, yaitu konvensi sastra sesuai ”watak otonom” karya sastra. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Teeuw (2003: 11), bahwa ”Karya sastra merupakan keseluruhan yang bulat, yang berdiri sendiri, yang otonom, serta yang boleh dan yang harus kita pahami dan tafsirkan pada sendirinya, sebuah dunia rekaan yang tugasnya hanya satu saja: patuh-setia pada dirinya sendiri.”

Unsur-unsur pembangun cerita rekaan ini memiliki banyak aspek, menurut Hudson (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 137), bahwa unsur-unsur tersebut meliputi: (1) plot, (2) pelaku, (3) dialog dan karakteristik, (4) setting yang meliputi timing dan a ction, (5) gaya penceritaan (style), dan (6) filsafat hidup pengarang. Oleh karenanya, pemahaman terhadap cerita rakaan (cerpen) sudah seharusnya mempertimbangkan keutuhan struktur karya yang merupakan keutuhan konstruksi ”bangunan karya” dalam jaringan interaksi unsur-unsur naratif sebagai elemen fiksional; yang membangun totalitas karya, pada genrenya,


(37)

commit to user

22

berdasarkan konvensi sastranya. Demikian pula Jakob Sumardjo (1982: 11) mencantumkan unsur-unsur fiksi (cerpen) sebagai berikut: (1) plot atau alur, (2) karakter atau penokohan, (3) tema, (4) setting atau latar, (5) suasana, (6) gaya, dan (7) sudut pandang penceritaan. Unsur-unsur tersebut saling terkait, jalin-menjalin, keseluruhan memberi makna pada bagian, serta antara dan keseluruhan juga saling memberi makna. Makna keseluruhan ditentukan oleh bagian-bagian, sebaliknya makna bagian ditentukan oleh keseluruhan.

Hal ini senada dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2002: 68), bahwa unsur-unsur intrinsik dalam karya sastra (cerpen) meliputi berikut ini.

a. Tema

Hutagalung dalam Wiyatmi (2009: 18) mengatakan bahwa tema adalah persoalan yang berhasil menduduki tempat dalam cerita dan bukan pikiran pengarang. Penelaah atau pembaca bukan memahami pengarangnya, melainkan karya sastranya. Panuti Sudjiman (1991: 50) juga menyatakan bahwa tema adalah gagasan, ide, atau pikiran yang mendasari suatu karya sastra. Tema kadang-kadang didukung oleh pelukisan data di dalam penokohan. Tema bahkan dapat menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa di dalam alur. Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum sebuah karya sastra (cerpen). Pengertian tema, menurut Stanton (dalam Wiyatmi, 2009: 10) adalah makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian besar unsur-unsurnya dengan cara yang sederhana, yang dapat bersinonim dengan ide cerita

(centra l idea) dan tujuan utama (centra l purpose). Lebih lanjut Stanton


(38)

commit to user

didukung oleh penceritaan yang dihasilkannya, sehingga peristiwa konflik, pemikiran, dan unsur-unsur lainnya diusahakan mampu mencerminkan dasar utama dalam membangun karya sastra.

Gagasan dasar umum inilah yang telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita sehingga berbagai peristiwa konflik dan pemilihan berbagai unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran, dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan dasar umum tersebut (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 70).

b. Plot

Plot merupakan suatu rangkaian cerita yang dijalin untuk menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan penyelesaian (Panuti Sudjiman, 1991: 21). Plot sebuah cerita haruslah bersifat padu, antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, peristiwa yang diceritakan lebih dahulu, kemudian terdapat hubungan sifat yang berkaitan. Rangkaian itu dapat diwujudkan oleh adanya hubungan sebab-akibat. Lebih lanjut, William Kenney (1966: 13-14) menyatakan sebagai berikut.

Plot revea ls event to us, not only in their tempora l, but a lso in rela tionships. Plot ma kes us a wa re of events not merely a s elements in tempora l series, but a lso as an intricate pattern of ca use and effect” . “ The structure of plot to recognize this much, however. Is only a beginning. We must consider in more specific terms the form this “ a rra ngement” we ca ll plot is likely to ta ke. For, underlying the evident diversity of fiction, we ma y discern certain recurring patterns.

Beberapa tahapan mengenai plot menurut Saad Saleh (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 149-150) sebagai berikut.


(39)

commit to user

24

(1) Tahap penyituasian (situation). Pada tahap pertama ini berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh cerita. Pemberian informasi awal dan berfungsi untuk melandastumpui cerita yang dikisah pada tahap berikutnya. (2) Tahap pemunculan konflik (genera ting circumta nces). Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik dan konflik itu sendiri akan berkembang atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya. (3) Tahap peningkatan konflik (rising a ction). Konflik yang dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi internal, eksternal, ataupun keduanya, pertentangan-pertentangan, benturan-benturan antarkepentingan, masalah, dan tokoh yang mengarah ke klimaks semakin tak dapat dihindari. (4) Tahap klimaks (clima x). Konflik atau pertentangan yang terjadi yang ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak. Klimaks sebuah cerita akan dialami oleh tokoh utama yang berperan sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik utama. (5) Tahap penyelesaian (denouement). Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian dan ketegangan dikendorkan.

Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 110), plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 113), mengemukakan bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa sebagaimana yang terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebut untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Dengan demikian, plot merupakan perpaduan unsur-unsur yang membangun cerita sehingga merupakan kerangka utama cerita.

Pengarang memiliki kebebasan untuk memilih cara dalam


(40)

commit to user

sebagainya sesuai dengan selera estetisnya. Dalam usaha pengembangan plot, pengarang memiliki aturan atau kaidah yang perlu dipertimbangkan. Hal ini sebagaimana dikatakan Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro (2010: 135-138) berikut ini.

(1) Plausibilitas (pla usibility), yaitu plot sebuah cerita haruslah dapat dipercaya oleh pembaca. Plausibilitas bisa saja dikaitkan dengan realitas kehidupan, sesuatu yang ada dan terjadi di dunia nyata. (2) Suspense, artinya mampu membangkitkan rasa ingin tahu di hati pembaca. Unsur suspense, akan mendorong, menggelitik, dan memotivasi pembaca untuk setia mengikuti cerita, mencari jawab rasa ingin tahu terhadap kelanjutan dan akhir cerita. (3) Surprise, sesuatu yang bersifat mengejutkan. Plot sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang atau bahkan bertentangan dengan harapan kita sebagai pembaca. (4) Kesatupaduan, keutuhan, unity. Artinya, unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan, yang mengandung, atau seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan, memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa plot merupakan jalinan urutan peristiwa yang membentuk cerita, sehingga cerita dapat berjalan beruntun, dari awal hingga akhir, dan pesan-pesan pengarang dapat diungkap oleh pembaca. Plot juga sebagai suatu jalur lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik di dalamnya.

c. Tokoh dan Penokohan

Penokohan adalah salah satu unsur terpenting, sebab keberhasilan suatu karya sastra banyak ditentukan oleh penokohan. Tokoh dalam cerita


(41)

commit to user

26

diperkenalkan dengan jelas. Istilah tokoh menunjukkan pula penempatan tokoh tertentu, karakter-karakter tertentu dalam sebuah cerita (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 165). Setiap tokoh yang hadir dalam cerita memiliki unsur fisiologis yang berkaitan dengan fisik, unsur psikologis yang menyangkut psikis tokoh, serta unsur sosiologis yang berkaitan dengan lingkungan sosial tokoh.

Tokoh cerita berdasarkan perwatakannya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tokoh pipih (datar) dan tokoh bulat. Tokoh pipih adalah tokoh yang disoroti dari wataknya saja, sikap, atau observasi tertentu saja. Tokoh pipih bersifat statis, di dalam perkembangannya watak itu sedikit sekali berubah, bahkan ada kalanya tidak berubah sama sekali. Tokoh bulat adalah tokoh yang ditampilkan lebih dari satu segi watak yang digarap dalam cerita sehingga tokoh itu dapat dibedakan dari tokoh yang lain. Watak yang disandang tokoh tersebut sangat kompleks (Panuti Sudjiman, 1991: 21).

Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 165), tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu, seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Kehadiran unsur penokohan ini selanjutnya sangat berarti dalam sebuah cerita, mengingat semua peristiwa dan berbagai masalah yang muncul digambarkan melalui tokoh-tokoh cerita. Pengarang dalam ceritanya menciptakan tokoh tertentu dengan kekhasan karakternya tidak sebagai pelengkap, tetapi lebih dari itu sebagai alat untuk melukiskan persoalan-persoalan yang dilihat dalam kehidupan masyarakat atau bahkan pernah terjadi di lingkungan pembaca.


(42)

commit to user

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah penyajian watak dan penciptaan citra tentang seseorang (tokoh) yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Kriteria yang digunakan untuk menentukan tokoh utama tidak terletak pada frekuensi kemunculan tokoh tersebut, tetapi berdasarkan intensitas keterlibatan tokoh di dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita (Panuti Sudjiman, 1991: 18).

d. Latar (Setting)

Latar adalah tempat suasana atau lingkungan yang mewarnai peristiwa, tercakup pula lokasi atau tempat peristiwa, suasana sosial budaya maupun suasana tokoh cerita (Atmazaki, 1990: 62). Hal ini senada dengan ungkapan Panuti Sudjiman (1991: 46), bahwa latar adalah segala keterangan mengenai watak, ruang, dan suasana terjadinya dalam kenyataan. Latar adalah segala ketentuan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.

Latar yang baik dapat dapat dideskripsikan secara lebih jelas, peristiwa-peristiwa, perwatakan tokoh, dan konflik yang dihadapi tokoh cerita sehingga cerita tersebut terasa sungguh-sungguh terjadi (Sugihastuti, 2007: 168). Latar juga dapat diartikan sebagai keterangan tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 216).

Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro (2002: 227) memberikan deskripsi latar karya sastra yang dapat dibedakan dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat adalah penggambaran lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa


(43)

commit to user

28

tempat-tempat dan nama-nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Latar waktu berhubungan dengan masalah-masalah ”kapan” terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyaraat mencakup berbagai masalah yang kompleks, misalnya dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, dan bersikap.

5. Pengertian Sosiologi Sastra

Secara etimologi, kata sosiologi berasal dari bahasa Latin, socius, yang artinya kawan dan logos, yang berasal dari bahasa Yunani, yang artinya ilmu. Soejono Soekanto (1996: 4) menjelaskan sebagai berikut.

”Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di sekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat, seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan kebudayaan, serta perwujudannya. Selain itu, sosiologi juga mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial.”

Menurut Sapardi Djoko Damono (1993: 11), sosiologi adalah suatu cabang ilmu yang menelaah secara ilmiah dan objektif tentang manusia dalam masyarakat dan menelaah lembaga dan proses sosial.

Senada dengan pendapat di atas, Soedjono (1990: 2) menyatakan bahwa sosiologi adalah suatu telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam


(44)

commit to user

masyarakat dan tentang sosial maupun proses sosial. Sosiologi menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang, dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan sebagainya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat serta gejala-gejala sosial yang terdapat di dalamnya.

Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat, usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Sastra diciptakan oleh anggota masyarakat (pengarang) untuk dinikmati dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Oleh karena itu, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama.

Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, kawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sa s (Sanskerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, serta memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran

tra (Sanskerta) berarti alat, sarana. Merujuk dari definisi tersebut, keduanya memiliki objek yang sama yaitu manusia dan masyarakat. Meskipun demikian, hakikat sosiologi dan sastra sangat berbeda bahkan bertentangan secara dianetral. Sosiologi adalah ilmu objektif kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (da s sain) dan bukan apa yang seharusnya terjadi (da s solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif.


(45)

commit to user

30

Perbedaan antara sosiologi dan sastra adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan sastra menyusup dan menembus permukaan kehidupan sosial serta menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya. Akibatnya, hasil penelitian bidang sosiologi cenderung sama, sedangkan penelitian terhadap sastra cenderung berbeda sebab cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya itu berbeda-beda menurut pandangan orang-seorang. Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra (Sapardi, 2003: 7).

Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra. Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.


(46)

commit to user

Lebih lanjut Sapardi (2003: 17) menyatakan bahwa pendekatan sosiologi sastra adalah pendekatan telaah sastra berdasarkan sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra. Sementara itu, Wellek dan Warren (1993: 111) membagi sosiolgi sastra menjadi tiga bagian, yaitu: (1) sosiologi pengarang, pendekatan ini terutama membicarakan tentang status sosial ideologi sosial pengarang sebagai penghasil karya sastra, (2) sosiologi karya sastra, membicarakan tentang masalah sosial yang terdapat dalam karya sastra, (3) sosiologi sastra yang membicarakan tentang suatu penerimaan masyarakat terhadap karya sastra.

Wellek dan Warren (dalam Sapardi, 2003: 94) membahas hubungan sastra dan masyarakat sebagai berikut:

Literature is a socia l institution, using a s its medium la nguage, a socia l creation. They a re conventions and norm which could ha ve a risen only in society. But, furthermore, literature ‘represent’ ‘life’; a nd ‘life’ is, in la rge mea sure, a socia l rea lity, eventhough the natura l world a nd the inner or subjective world of the individua l ha ve a lso been objects of litera ry ‘imitation’. The poet himself is a member of society, possesed of a specific socia l status; he recieves some degree of socia l recognition and rewa rd; he a ddresses a n audience, however hypothetica l.

Karya sastra diciptakan sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat oleh status sosial tertentu. Sastra dan nilai kehidupan adalah dua fenomena sosial yang saling melengkapi. Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, moral, budaya, dan sebagainya.


(47)

commit to user

32

Sebuah karya fiksi, walaupun memiliki daya khayal yang tinggi, tetap tidak pernah terlepas dari realitas kehidupan, sebab seorang pengarang adalah anggota masyarakat yang terlibat dengan realitas kehidupan di sekitarnya. Kehidupan adalah suatu kenyataan sosial, sebagaimana dijelaskan Sapardi (2003: 1), bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antarmasyarakat, antarmasyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang.

Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 3) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut.

(1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat. (2). Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. (3) Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan. (4) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut. (5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Tujuan penelitian sosiologi sastra ini adalah untuk mendapatkan gambaran yang lengkap, utuh, dan menyeluruh tentang hubungan timbal balik antara


(48)

commit to user

sastrawan, karya sastra, dan masyarakat. Gambaran yang jelas tentang hubungan timbal balik antara ketiga anasir tersebut sangat penting artinya bagi peningkatan pemahaman dan penghargaan terhadap sastra.

Lebih lanjut Nyoman Kutha Ratna (2011: 2) mengatakan bahwa ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain sebagai berikut.

(a) Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangan aspek kemasyarakatannya; (b) Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya; (c) Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi; (d) Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat, dan (e) Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang bertumpu pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial.

Wellek dan Warren (1993: 111-1112) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.

(a) Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan ideologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. Setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan


(49)

commit to user

34

tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang. (b) Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (c) Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. (Wellek dan Warren, 1993:122).

Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Sapardi Djoko Damono, 2003: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut.

(a) Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya; (b) Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap carmin keadaan masyarakat. (c) Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Grebsten (dalam Sapardi Djoko Damono, 2003: 13) mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra dengan kesimpulan sebagai berikut.

(a) Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. (b) Gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. (c) Setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang per orang. (d) Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa. Kedua,


(50)

commit to user

sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. (e) Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan estetis yang tanpa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. (f) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini.

Lebih lanjut Sapardi Djoko Damono (2003: 14) mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan. Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw (2003: 220) mengatakan bahwa dunia empiri tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataan itu. Oleh karena itu, seni yang baik harus truthful berani dan seniman harus bersifat modest, rendah hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal.

Suwardi Endraswara (2003: 79) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Sementara itu, Faruk (1994: 1) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga dan proses-proses sosial. Selanjutnya, dikatakan bahwa sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Melalui penelitian mengenai


(51)

lembaga-commit to user

36

lembaga sosial, agama, ekonomi, politik dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial. Sosiologi dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara menyesuaikan dirinya dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialitas, proses belajar secara kultural yang dengannya, individu-individu dialokasikannya dan menerima peranan tertentu dalam struktur sosial itu.

Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan.

Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai berikut.

(a) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat. (b) Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat. (c) Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan. (d) Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika,


(1)

commit to user

(Jakarta) maupun di luar negeri (Amerika Serikat dan Belanda). Dengan berbagai latar belakang kehidupan beberapa tokohnya yang mengenyam pendidikan dan tinggal di luar negeri, diperoleh gambaran tentang pergaulan yang bebas di antara mereka. Mulai dari kebiasaan merokok, minum minuman beralkohol, sering mengunjungi bar di malam hari, atau pergaulan bebas yang dilakukan meski belum terikat pernikahan. Pergaulan modern sudah menjadi tren bagi mereka karena hidup di kota metropolis, meskipun masih ada yang tetap memegah teguh adat ketimurannya, terutama adat Jawa, dan masih memegang teguh norma-norma agama.

Berdasarkan pada permasalahan tersebut di atas, diharapkan siswa dapat memilah dan memilih sekaligus menentukan bagian yang akan dijadikan panutan dan teladan dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini tentu saja para siswa sudah dapat memper-timbangkan sisi baik dan buruknya, sisi untung dan ruginya, serta akibat perbuatan yang dilakukannya.

Sejalan dengan fenomena di atas, maka implikasi selanjutnya dari penelitian ini adalah bahwa kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini perlu untuk diajarkan di sekolah (dalam hal ini paling untuk peserta didik tingkat atas/SMA) karena selain berfungsi sebagai bacaan yang menghibur, juga memberi manfaat kepada pembacanya. Hal ini penting agar peserta didik dapat mengetahui pernak-pernik kehidupan modern serta penyimpangan-penyimpangan terhadap norma dan nilai yang terjadi di masyarakat. Selanjutnya diharapkan peserta didik dapat mengambil ajaran-ajaran yang baik dari berbagai peristiwa tersebut untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.


(2)

commit to user

Kompleksitas kehidupan modern tampak dalam pergaulan sosial. Hadirnya berbagai komunitas (pergaulan antarbangsa) dalam satu kehidupan kampus mencerminkan kehetogenan budaya mereka. Penelitian ini mengungkapkan cara pengarang memotret dan menyajikan sebuah kehidupan komunitas yang kompleks yang dialami oleh tokoh utama hingga akhirnya ia dapat eksis di tengah-tengah gejolak kehidupan metropolis dengan segala permasalahannya.

Sikap tokoh wanita dalam menghadapi persoalan hidup yang mendera menunjukkan bahwa wanita harus mandiri, tegas bersikap, mampu bangkit dari keterpurukan, dan ceria menghadapi hidup. Selain itu, juga menunjukkan bahwa wanita harus mampu menerjemahkan dirinya sebagai individu yang mempunyai pilihan hidup sendiri.

Sebagai imbangan, pengarang juga menampilkan nilai-nilai budaya atau adat orang Timur dalam hubungannya dengan menata kehidupan yang selaras antara urusan duniawi dan akhirat, yaitu menjalankan perintah agama dengan taat. Peserta didik dapat mengetahui sifat-sifat khas dari komunitas orang-orang yang hidup dalam lingkungan kampus, khususnya di luar negeri. Sifat-sifat khas tersebut terlihat dari gaya hidup, kebiasaan, dan ideologi yang mereka anut. Peserta didik dapat memilah dan memilih hal yang pantas dan yang tidak pantas untuk ditiru dari cerita yang dibacanya.

Masalah hubungan bebas laki-laki dan perempuan serta perselingkungan juga menjadi bagian isi cerita. Masyarakat umum, khususnya di Indonesia, sebagian besar belum dapat menerima hal-hal yang demikian. Meskipun jika diteliti banyak terjadi pergaulan bebas di antara para remaja dan perselingkuhan di


(3)

commit to user

masyarakat, tetapi hal itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Masyarakat, dengan membaca kumpulan cerpen 9 dari Nadira ini, seolah-olah diingatkan untuk tidak menutup mata bahwa ada gejala (meskipun tidak semua) dalam masyarakat yang mempunyai perilaku menyimpang dari norma susila tersebut. Penyimpangan dan pelanggaran norma susila itu dapat menimbulkan dampak buruk, yaitu hubungan seks yang bebas pada remaja, meningkatnya angka perceraian, serta meningkatnya kasus kriminalitas di masyarakat. Pengetahuan tentang dampak buruk dari hubungan seks bebas laki-laki dan perempuan serta perselingkuhan tersebut diharapkan dapat membuat peserta didik menahan diri jangan sampai terjebak dan terjerumus dalam perbuatan tersebut.

Pada bagian lain dalam buku kumpulan cerpen ini juga bercerita tentang nilai agama. Meskipun belum sepenuhnya menjalankan semua perintah dalam agama, namun agama sudah menjadi keyakinan mereka. Pelaksanaan beragama baru dalam taraf melakukan ritual wajib, yaitu salat lima waktu, mengaji dan mengerti isi Al-Quran, dan melaksanakan kewajiban agama tersebut. Peserta didik diharapkan dapat mencontoh dan meneladani tentang penerapan kehidupan beragama dalam cerpen yang dibacanya, kemudian menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Pada akhirnya, peserta didik dapat mengetahui hal-hal yang positif maupun negatif, baik maupun buruk, benar maupun salah, serta memahami berbagai persoalan sosial budaya yang ada dalam masyarakat. Pemahaman tersebut semoga dapat menumbuhkan sikap empati dalam diri peserta didik sebagai bagian dari masyarakat.


(4)

commit to user

Permasalahan sosial yang muncul dalam kaitannya dengan hidup bermasyarakat dan berteman juga dijelaskan dan dicontohkan dalam kumpulan cerpen ini. Melalui tokoh utama maupun tokoh lainnya dalam cerpen, pengarang secara tersirat maupun tersurat memberikan gambaran betapa kompleksnya permasalahan sosial yang muncul dalam kehidupan manusia dalam hubungannya dengan orang lain, terutama di kota besar. Pembaca dan peserta didik khususnya dapat menilai, kemudian mengambil pelajaran yang positif dari gambaran kehidupan sosial yang ada dalam cerpen-cerpen tersebut, yang tentunya disesuaikan dengan lingkungan sosial mereka.

C. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan dan implikasi di atas, maka dapat diajukan saran-saran sebagai berikut.

1. Pembaca kumpulan cerpen 9 dari Nadira, khususnya para peserta didik, hendaknya dapat mengambil nilai positif dan dapat menghindari nilai-nilai negatif, baik yang tersirat maupun yang tersurat daam cerita. Dengan pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam kesembilan cerpen tersebut, ajaran kebaikan dapat diambil sebagai cermin bagi kehidupan. Nilai negatif seperti yang ditunjukkan tokoh Nadira maupun Nina yang mudah memutuskan bercerai dan melakukan hubungan seks di luar nikah, tokoh Gilang Sukma yang mudah bermain selingkuh dan gemar kawin-cerai, para mahasiswa yang gemar minum minuman beralkohol,


(5)

commit to user

sedapat mungkin dihindari karena bertentangan dengan norma agama maupun moral.

2. Kepada para peserta didik, khususnya kaun wanita, sikap dan watak Nadira yang cerdas, mandiri, konsisten dalam berpendapat/bersikap, berpendirian kuat, serta tetap tegar dan eksis dalam menghadapi berbagai persoalan dan kemelut hidup patut dijadikan bahan perenungan agar kaum wanita tidak mudah pasrah dan menyerah pada persoalan yang sedang menerpa. Kaum wanita harus dapat menunjukkan pada dunia bahwa wanita tidak selemah dan selalu tidak berdaya, sebagaimana anggapan yang ada selama ini. Wanita mampu eksis dan tampil sejajar dengan kaum pria.

3. Kepada pengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia, kumpulan cerpen 9 dari

Nadira karya Leila S. Chudori ini merupakan antologi cerpen yang baik untuk

dijadikan alternatif sebagai bahan pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah. Selain memuat dan sarat dengan nilai pendidikan, kumpulan cerpen ini sangat enak dibaca, meski alurnya agak sulit dipahami karena susunan ceritanya bak sebuah puzzle, namun tetap mampu memberikan hiburan bagi pembacanya. Oleh karena itu, sudah saatnya di sekolah dihadirkan cerpen-cerpen modern untuk melengkapi koleksi yang ada di perpustakaan sekolah maupun untuk pembelajaran sastra Indonesia.


(6)