Komunikasi, Informasi dan Edukasi KIE

Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit HKBP Balige dan Dinas Kesehatan kabupaten Toba Samosir menyatakan bahwa adanya kerjasama diantara keduanya seperti di Rutan Balige. Kegiatannya meliputi penyuluhan tentang HIV dan AIDS dan pengadaan test HIV yang dilakukan dengan sukarela tanpa ada paksaan. Mobile clinic juga dilakukan di cafe-cafe tempat bekerjanya PSK. Kegiatannya meliputi pemberian informasi mengenai HIV dan AIDS melalui brosur, leaflet dan memberikan kondom kepada PSK tersebut untuk mencegah penularan HIV kepada pasangannya. Penelitian Rachmadi 2015 menyatakan bahwa Dinas Kesehatan Kabupaten Kebumen selalu bekerjasama dengan Klinik VCT di RSUD Kebumen. Kegiatannya lebih banyak dilaksanakan pada kegiatan program KIE, penyuluhan ke masyarakat, maupun penjangkauan ke titik tempat kelompok resiko tinggi. 2. Edukasi Edukasi yaitu memberikan informasi mengenai HIV dan AIDS. Kegiatannya dapat berupa penyuluhan. Penyuluhan diberikan tidak hanya kepada ODHA saja tetapi kepada masyarakat secara umum, keluarga ODHA ataupun orang-orang yang beresiko tinggi terkena HIV dan AIDS. Hal ini merupakan salah satu upaya promotif yang dilakukan oleh Rumah Sakit HKBP Balige. Kegiatan ini dapat dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan mobile clinic. Penelitian di Rumah Sakit HKBP Balige dan Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir menyatakan bahwa adanya kerjasama diantara keduanya dalam melaksanakan kegiatan ini. Mereka mengadakan kegiatan ini bersamaan dengan kegiatan mobile clinic. Selain itu, Rumah Sakit HKBP Balige juga bekerja sama dengan gereja untuk mengadakan penyuluhan ini kepada jemaat-jemaat gereja. Upaya promotif lainnya yang dilakukan pada program ini adalah memberikan informasi mengenai HIV dan AIDS melalui radio di Toba Samosir. Hal ini dapat meningkatkan pengetahuan bagi penduduk di Kabupaten Toba Samosir sekaligus memperkenalkan Klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige. Penelitian Sari 2011 menyimpulkan bahwa pemberian penyuluhan tentang HIV dan AIDS efektif dalam meningkatkan pengetahuan. 3. Pelatihan Khusus Anak Sekolah Penelitian di Rumah Sakit HKBP Balige menyatakan bahwa adanya kerjasama dengan lintas sektoral seperti Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, Kepolisian, Dinas Pendidikan, LSM dalam mengadakan pelatihan khusus untuk anak sekolah. Hal ini sejalan dengan penelitian Purwaningtias 2007 yang menyimpulkan bahwa RSUP Dr. Sardjito bekerjasama dengan komite penanggulangan AIDS di pusat maupun daerah, proyek-proyek yang dilakukan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Daerah dan Pemerintah, kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat utnuk menyediakan pelayanan HIV dan AIDS yang komprehensif dan berkesinambungan. Pelatihan ini diadakan guna mendidik anak sekolah dan memberikan pendidikan tentang seks bebas yang dapat beresiko HIV dan AIDS. Hal ini juga berguna agar menambah pengetahuan mereka dan mengurangi stigma terhadap ODHA. Pelatihan ini dilakukan kepada 20-30 orang dalam satu sekolah dan akan diadakan sekali dalam rentang waktu 3 tahun. Teknik yang digunakan yaitu dengan metode Role Play, membuat simulasi ODHA, dengan tujuan membangun kepercayaan diantara mereka dalam menghadapi ODHA. Pelatihan ini bertujuan bukan hanya memberikan informasi tentang HIV dan AIDS saja, tetapi berguna untuk melatih mereka agar mampu berkomunikasi dengan baik dan bekerjasama dengan orang lain, membangun kepercayaan diantara mereka dan bagaimana menyingkirkan stigma atau diskriminasi dalam diri sendiri ketika bertemu dengan ODHA. Penelitian yang dilakukan di Kabupaten Belu-NTT menyimpulkan bahwa kegiatan yang dilakukan dengan metode peer education dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja mengenai HIV dan AIDS Djulianus,2007. 4. Home Visit Home Visit merupakan salah satu kegiatan KIE, dimana tenaga pelaksana mengadakan kunjungan ke rumah ODHA. Kunjungan dilakukan ke rumah ODHA yang tidak pernah mengunjungi VCT-CST lagi, misalnya dengan kondisi ekonomi ODHA yang tidak mencukupi, tidak ada komunikasi lagi antara ODHA dengan tenaga pelaksana, bahkan jika ODHA lupa atau terlambat meminta obat ARV nya. Penelitian di VCT-CST menunjukkan bahwa tidak semua tenaga pelaksana di VCT-CST yang ikut terlibat dalam KIE. Tenaga pelaksana yang mengambil bagian dalam KIE ini hanya dokter, konselor dan manajer kasus, sementara perawat, apoteker dan analis laboratorium tidak pernah mengambil bagian dalam KIE ini. Dokter juga jarang ikut dalam KIE. Misalnya pada saat home visit kepada ODHA. Sementara peran dokter sangat penting dalam pelaksanaan home visit, karena dokter dapat melihat perkembangan ODHA, bagaimana kondisi fisiknya dan lain-lain.

5.2.3 Sistem Pelaporan

Sesuai dengan Diktum Ketiga Kepmenkes no 451MENKESSKIV2012 yang memutuskan bahwa setiap Rumah Sakit yang telah dihunjuk sebagai Rumah Sakit rujukan HIV dan AIDS harus melaporkan setiap pelaksanaan pemberian pelayanan bagi ODHA, maka klinik VCT-CST Rumah Sakit HKBP Balige juga harus melaporkan setiap kegiatan yang dilakukan ke Dinas Kesehatan. Klinik VCT-CST harus melaporkan kasus HIV dan AIDS, pelaksanaan kegiatan, order obat kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir, lalu Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir melaporkan kembali ke Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Penelitian di Klinik VCT-CST menyatakan bahwa tenaga pelaksana di klinik VCT-CST manajer kasus melaporkan setiap kasus HIV DAN AIDS yang ditemukan di Kabupaten Toba Samosir; peralatan yang difasilitasi oleh pemerintah; serta ODHA dengan terapi obat ARV ke Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir. Pelaporan dilakukan secara tertulis dan diberikan langsung ke Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir. Register stok obat ARV dilakukan secara online ke Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Register stok obat ARV harus dikelola oleh apoteker petugas pemberi obat di klinik VCT-CST dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten secara tertulis atau melaporkan langsung secara online ke Dinas Kesehatan Provinsi tetapi didampingi oleh Dinas Kesehatan Kabupaten. Pelaporan ke Dinas Kesehatan Provinsi paling lambat pada minggu pertama bulan berikutnya. Hasil wawancara dengan tenaga pelaksana di klinik VCT-CST menyatakan bahwa obat ARV pernah datang terlambat. Hal ini disebabkan karena keterlambatan dalam register stok obat ke Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara. Sejalan dengan penelitian Purwaningtias 2007 yang menyimpulkan bahwa di RSUP Dr. Sardjito pernah kekurangan obat ARV karena terjadi kesalahan pelaporan, keterlambatan pengiriman dan ketersediaan obat di pusat juga kurang. Tenaga pelaksana di Klinik VCT-CST yang bertugas mengisi formulir register stok ARV adalah manajer kasus. Apoteker hanya menerima stok obat yang dikirim dan memberikannya kepada ODHA yang datang untuk mengambil obatnya. Penelitian yang dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir menyatakan bahwa pelaporan register stok obat seharusnya mereka yang melakukannya ke Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara, bukan tenaga pelaksana di Klinik VCT-CST. Perbedaan persepsi diatas menyatakan bahwa masih kurangnya koordinasi diantara Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir dengan klinik VCT-CST. Sementara Dinas Kesehatan Kabupaten Toba Samosir perlu melakukan pengawasan berkala terhadap pelaksanaan kegiatan di klinik VCT-CST karena yang memegang regulasi adalah Dinas Kesehatan Kabupaten. Sejalan dengan penelitian Purwaningtias 2007 yang menyimpulkan bahwa pelaporan kasus di RSUP Dr. Sardjito masih belum ada kesesuaian data yang dicatat di rekam medis dengan di Klinik Edelweis.