Dampak terhadap Tumbuhan Daratan dan Satwa Liar

WALHI Indonesian Forum for Environment - - Environmental Impacts of Freeport-Rio Tinto 82

6.1 Dampak terhadap Tumbuhan Daratan dan Satwa Liar

Salah satu dampak yang paling merusak dari pembuangan tailings oleh Freeport-Rio Tinto ke sungai adalah hilangnya keanekaragaman habitat muara, begitu pula keanekaragaman hayati dari tumbuhan dan hewan dalam area ini. Hal ini diprediksikan akan terjadi karena banyak hewan benthicplankton dan ekosistem bakau yang seimbang dan matang diperkirakan tidak dapat beradaptasi terhadap proses penyumbatan oleh tailings danatau tingkat racun logam berat. Para pengkaji ERA menyatakan bahwa dampak ini akan menjadi lebih signifikan jika dikombinasikan dengan dampak terhadap habitat satwa liar, seperti hilangnya daerah lahan basah dan bakau yang ada dan diperkirakan terjadi pada tahun 2024 ERA Review Panel, 2002. Sebagaimana yang dijelaskan dalam bagian “Dampak Pengendapan” dibawah ini, suatu wilayah bakau yang luas diperkirakan akan terisi oleh tailings menyebabkan kerusakan bakau seluas antara 21-63 km 2 yang diakibatkan oleh proses sedimentasi. Suatu area rawa palem sagu yang luas di daerah hilir ujung ADA akan hancur oleh penyumbatan oleh tailings. Proses ini bisa dilihat dari foto Landsat pada tahun 2005 Figure 7. The Plant and Wildlife ERA Tabel 3-11 pada Parametrix 2002c mencatat bahwa muara yang menerima tailings dari Freeport mengandung konsentrasi racun logam seperti tembaga, arsenik, mangan, timbal, perak dan seng yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan muara lainnya disekitarnya yang tidak menerima tailings. Terdapat bukti bahwa tumbuhan dan invertebrata yang hidup di daerah bakau menyerap logam berat dari sedimen tailings, terutama tembaga contohnya dapat dilihat pada tabel 3-14 dan 3-15 dalam Parametrix 2002c. ERA mengenai Tanaman dan Satwa Liar Parametrix 2002c menyatakan bahwa spesies satwa liar bakau bisa saja terkena dampak langsung dari logam berat yang terdapat dalam tailings jika mereka mengkonsumsi tumbuhan atau hewan benthic yang menyerap logam dalam jumlah lebih tinggi dari ambang batas racun yang wajar. Satwa liar yang hidup di area muara diperkirakan akan menderita karena kekurangan mangsa termasuk moluska bakau. Burung-burung kecil dan mamalia yang secara eksklusif mengkonsumsi invertebrata dari daerah muara berpotensi untuk menderita gangguan reproduksi dan kesehatan Parametrix 2002c. Akibatnya, predator yang lebih besar seperti burung pemakan daging memiliki jumlah mangsa yang lebih sedikit karena jumlah burung-burung kecil dan mamalia di area muara Ajkwa berkurang secara signifikan. Pemilik lahan tradisional daerah pesisir Kamoro, termasuk muara Ajkwa memiliki ketergantungan budaya dan gizi dari moluska yang hidup di wilayah muara. Moluska ini dalam literatur Indonesia disebut sebagai TSK: Tambelo clams, Siput snails and Kerang cockle shellfish. Sebuah studi tentang konsumsi moluska di daerah tersebut untuk pertama kali dilakukan pada tahun 1999 oleh Hardinsyah et al, setelah para ketua komunitas menyampaikan keluhan mereka kepada PTFI dan LBH Timika bahwa mereka telah menemukan beberapa kasus Tambelo yang memiliki daging abnormal dengan ciri-ciri berwarna hitam atau berbintik kehitaman. Mereka juga mengeluhkan kesusahan mereka untuk mencari siput yang merupakan bahan pangan utama untuk komunitas mereka. Studi tersebut menyimpulkan bahwa komunitas pesisir Kamoro mengkonsumsi 168 g sampai 1.560 g moluska per orang setiap minggunya, yang merupakan 25 sampai 50 dari protein yang dikonsumsi mereka mengutip data gizi PTFI’s 1988. Moluska dikonsumsi lebih WALHI Indonesian Forum for Environment - - Environmental Impacts of Freeport-Rio Tinto 83 banyak oleh perempuan selama proses mencari makan untuk keluarga mereka. Hardinsyah et al 1999.

6.2 Analisis Risiko Lingkungan Perairan