Risiko Racun Tembaga pada Muara Ajkwa

WALHI Indonesian Forum for Environment - - Environmental Impacts of Freeport-Rio Tinto 94 Sebuah studi mengenai logam berat yang diserap oleh wilayah bakau pada pulau-pulau di sungai Ajkwa dan Kamoro menemukan bahwa pohon-pohon bakau telah menyerap logam berat, walaupun dalam konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan sedimen disekitarnya. Parametrix 2002c mencatat bahwa penemuan ini berbeda dari pengamatan bioakumulasi yang dilakukan dalam suatu studi oleh MacFarlane and Birchett 2000, yang menemukan bahwa tembaga, timbal, dan seng semua logam dengan konsentrasi tinggi yang ditemukan dalam tailings Freeport telah terakumulasi secara biologis pada akar yang mengakibatkan tingkat konsentrasi naik tiga kali lipat dibandingkan dengan sedimen dimana bakau tersebut tumbuh. Perbedaan ini mungkin terjadi karena fakta bahwa tanaman pada studi yang dilakukan oleh MacFarlane dan Birchett tumbuh dalam sedimen yang homogen dimana konsentrasi logam pada akar juga sama. Sementara itu, pada pulau di Sungai Ajkwa, tailings hanya membentuk lapisan permukaan sehingga akar masih bisa tumbuh di sedimen yang tidak terkontaminasi. Hal ini masih memungkinkan mengingat adanya peningkatan kedalaman sedimen yang terkontaminasi tailings pada wilayah bakau Ajkwa yang meningkatkan tingkat bioakumulasi dari logam berat sertarisiko terhadap satwa liar yang hidup di wilayah bakau.

6.6 Risiko Racun Tembaga pada Muara Ajkwa

Figure 45. Peta Risiko Ekologis dari Muara Ajkwa berdasarkan tes racun, dari risiko-risiko yang dirangkum pada tabel ES-1 dalam Parametrix 2002a. Freeport telah mengambil sampel berupa residu tembaga dalam daging urat ikan yang ditangkap di Ajkwa dan beberapa sungai dan muara di daerah sekitarnya sebagai referensi selama dekade terakhir ini. Kumpulan data ini dapat dilihat pada ERA pada gambar 3-11. Grafik menunjukkan bahwa ikan yang tertangkap di muara Ajkwa memiliki konsentrasi minimum dari kontaminasi tembaga yang lebih tinggi pada tubuh mereka dibandingkan dengan ikan-ikan pada tempat lainnya. Sekitar 30 dari ikan sampel di Ajkwa memiliki konsentrasi tembaga yang terendah yaitu antara 0,1 hingga 0,2 mgkg tembaga dalam daging ikan, sedangkan ikan dari tempat lain hanya mengandung 0,007 hingga 0,09 mgkg tembaga dalam daging mereka. Dalam laporannya, RPT WALHI Indonesian Forum for Environment - - Environmental Impacts of Freeport-Rio Tinto 95 memberikan catatan dengan memperhatikan tingkat kontaminasi tembaga yang lebih tinggi pada daging hewan air: Mengingat adanya konsentrasi kandungan tembaga yang cukup tinggi pada daging hewan, terutama pada jaringan halus invertebrata benthic mencapai 1.000 mgkg, maka dengan mudah dapat diduga bahwa risiko ekologis dari racun tembaga pada invertebrata benthic dapat dikategorikan sangat tinggi. Selain itu, invertebrata benthic tertentumemiliki nilai sosial dan ekonomi yang sangat tinggi karena keduanya adalah sumber makanan bagi masyarakat sekitar.” Parametrix telah mengesampingkan kekuatiran ini karena tidak ditemukan hubungan sebab akibat antara dampak biologis dan konsentrasi tembaga pada daging hewan karena banyak spesies mampu menetralisir racun tembaga secara alami dalam tubuh mereka. RPT mencatat bahwa AERA gagal untuk menyediakan estimasi risiko ekologis berdasarkan tembaga terlarut dalam sedimen yang berada dalam daerah muara ERA Review Panel, 2002 hlm.48, walaupun sudah membuat estimasi serupa untuk tembaga terlarut di kolom air, dan disamping kenyataan bahwa data mengenai racun tembaga porewater air pada ruang antara partikel sedimen dan sedimen sudah tersedia dapat dilihat dalam bagian 5.2.4.2 dalam AERA. Parametrix memberikan tanggapan bahwa AERA tidak membuat analisis risiko untuk tembaga dalam sedimen selain pada wilayah bakau karena estimasi risiko untuk benthos akan berdasar kepada hal yang berbeda. Review Panel Team 2002, hlm.48 merasa tidak puas dan menulis hal berikut: “Mengingat bahwa tingkat risiko ekologis untuk kehidupan air pada dasar hutan bakau bisa diperkirakan … RPT yakin bahwa risiko racun tembaga pada sedimen porewater terhadap kehidupan air di muara Ajkwa dan Laut Arafura tentu dapat diperkirakan. Estimasi dari risiko ini sangat penting mengingat kebiasaan masyarakat lokal untuk mengkonsumsi beberapa jenis ikan yang hidup di dasar sungai maupun hewan-hewan invertebrata lainnya.”

6.7 Pengawasan Gangguan Ekologi