1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keterampilan berbahasa merupakan salah satu keterampilan yang dipelajari di pendidikan formal. Keterampilan berbahasa dipelajari untuk
memberikan bekal siswa dalam menjalani kehidupannya terutama pada aspek komunikasi. Dalam bukunya, Henry G. Tarigan 1985 menjelaskan bahwa
terdapat empat komponen pada keterampilan berbahasa. Komponen- komponen tersebut yaitu keterampilan menyimak listening skill,
keterampilan berbicara speaking skill, keterampilan membaca reading skill, dan keterampilan menulis writing skill. Keempat komponen tersebut
saling berhubungan satu dengan yang lain. Masing-masing memiliki peran yang sama pentingnya bagi kebutuhan peserta didik.
Berbicara merupakan salah satu komponen keterampilan berbahasa yang juga perlu dikuasai dan dikembangkan secara optimal. Hal ini dikarenakan
keterampilan berbicara banyak digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari dalam bentuk komunikasi lisan. Salah satu tujuan dari berbicara sendiri yaitu
untuk bertukar informasi. Selain itu komunikasi lisan juga mencakup penggunaan bahasa secara interaksional, yaitu fungsi-fungsi sosial dari
berbicara. Henry G. Tarigan 1985 menjelaskan tentang pengertian dari berbicara
yaitu kemampuan mengucapkkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan
2
perasaan. Perlu digarisbawahi dalam ungkapan tersebut bahwa berbicara bukan hanya sekedar berucap secara lisan saja namun juga terdapat tujuan
yang akan disampaikan melalui kegiatan berbicara tersebut. Ide atau gagasan yang dimaksud adalah hasil pemikiran yang dihasilkan pembicara
berdasarkan berbagai sumber yang telah ia ketahui sebelumnya. Ketika seseorang berbicara di dalamnya tentu memuat maksud dan tujuan sesuai
fungsi dari berbicara itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut agar tujuan atau pun pesan yang akan
disampaikan dapat diterima dengan baik, maka dibutuhkan keterampilan berbicara yang baik pula. Keterampilan berbicara bukanlah keterampilan
yang dimiliki sejak lahir. Keterampilan ini didapat dari proses belajar dan proses pembiasaan yang diterapkan pada seseorang. Hal ini menegaskan
bahwa keterampilan berbicara bukanlah keterampilan yang hanya di dapat dari teori saja namun perlu adanya praktik secara langsung secara rutin dan
berkesinambungan. Pada dasarnya dalam kehidupan secara umum tidak ada kriteria yang
mengikat tentang standar berbicara yang baik. Seperti yang pernah dituliskan Glenn R. Capp 1971 pada bukunya yang menyatakan sebagai berikut.
“No absolute rules for good speaking exist which can turn all persons into standard speaker. Would not speaking be tiring if all speakers did
everything exactly the same way? All principles must allow for individual differences. We cannot say there is only one way to make speeches. There
may be many equally acceptable ways.”
3
Beliau mengungkapkan bahwa dalam keterampilan berbicara tidak ada suatu aturan yang mengikat. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki cara
dan gaya tersendiri dalam berbicara. Lain ceritanya, ketika berbicara tentang keterampilan berbahasa pada
sekolah formal. Di sana akan ditentukan kriteria berbicara yang baik untuk mengeneralisasikan penilaian dalam keterampilan tersebut. Maka dari itu,
dibutuhkan keterampilan-keterampilan yang akan menunjang keterampilan berbicara tersebut. Dalam bukunya, Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. 1991
mengungkapkan bahwa terdapat dua faktor yang menunjang keefektifan berbicara, yaitu faktor kebahasaan dan faktor non-kebahasaan. Faktor-faktor
kebahasaan yang menunjang keefektifan berbicara yaitu, ketepatan ucapan, penempatan tekanan nada, pilihan kata diksi, dan ketepatan sasaran
pembicaraan. Seperti yang telah disebutkan di atas selain faktor kebahasaan terdapat faktor non-kebahasaan yang menunjang keterampilan berbicara
antara lain, sikap wajar, tenang, dan tidak kaku; pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara; kesediaan menghargai pendapat orang lain; gerak-gerik
dan mimik yang tepat; kenyaringan suara; kelancaran; relevansipenalaran; dan penguasaan topik.
Pada saat ini di sekolah dasar masih ditemukan kenyataan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara masih berjalan kurang optimal. Dalam
bukunya, Yunus Abidin 2013 menjelaskan beberapa hal mengenai kondisi pembelajaran berbicara saat ini. Yunus Abidin mengungkapkan bahwa saat
ini masih terdapat guru yang masih mengajarkan pembelajaran berbicara
4
disamakan dengan pembelajaran membaca nyaring. Hal ini disebabkan guru lebih memperhatikan perfomansi siswa tanpa memperhatikan proses siswa
dalam membangun ide atau gagasan saat praktik berbicara. Hal yang lebih ironis lagi adalah masih terdapat guru yang fokus terhadap keterampilan
berbahasa lain dan tidak melaksanakan pembelajaran berbicara. Lebih lanjut, saat ini siswa lebih banyak dilatih menulis dan membaca sehingga
kemampuan berbicaranya menjadi sangat rendah. Hal-hal tersebut dapat disebabkan oleh rendahnya kemampuan guru dalam menguasai strategi
pembelajaran berbicara. Rendahnya kemampuan guru mengenai hal tersebut tentunya juga dapat menyebabkan pembelajaran berbicara berlangsung
monoton dan kurang merangsang gairah siswa untuk berbicara. Permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran keterampilan berbicara
juga terjadi pada siswa kelas V SD N Karangmojo di kabupaten Bantul. Pada pengamatan peneliti di sekolah dasar tersebut hanya sepertiga dari jumlah
siswa kelas V di sekolah dasar tersebut yang berani berbicara aktif dalam pembelajaran. Kepercayaan diri siswa masih kurang untuk mengungkapkan
gagasannya secara lisan di dalam kelas. Hal tersebut menandakan bahwa
keterampilan berbicara siswa belum berkembang secara optimal. Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan guru, keadaan
tersebut terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi. Guru kelas V di sekolah dasar tersebut cenderung lebih sedikit mengajarkan siswa untuk
mendalami keterampilan berbicara dibanding keterampilan berbahasa yang lain, seperti menyimak, membaca, dan menulis. Hal ini dapat dilihat dari
5
sedikitnya porsi pembelajaran keterampilan berbicara daripada pembelajaran keterampilan yang lain. Akibatnya siswa menjadi kurang terbiasa dan tidak
dapat mengasah keterampilan berbicaranya dengan optimal. Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya keterampilan berbicara di
kelas V SD N Karangmojo ini, adalah penerapan model pembelajaran pada pembelajaran keterampilan berbicara yang masih perlu banyak perbaikan.
Guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script pada pembelajaran keterampilan berbicara. Seperti yang diungkapkan oleh
Zainal Aqib 2013 model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script adalah “model pembelajaran di mana siswa bekerja berpasangan dan
bergantian secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.”. Penjelasan tersebut menekankan bahwa seharusnya model
pembelajaran tersebut perlu memperhatikan kerja sama antar siswa demi keefektifan proses pembelajaran.
Berdasarkan hasil pengamatan dan melihat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang dibuat guru, dalam model pembelajaran yang diterapkan
di sekolah tersebut, langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script belum dilakukan dengan benar. Pengelompokan murid
tidak dilakukan secara berpasangan, namun siswa dikelompokkan dengan anggota kelompok yang berisi empat sampai enam siswa. Hal ini membuat
siswa yang kurang menonjol hanya memiliki sedikit kesempatan untuk berlatih berbicara dalam kelompok. Pembagian peran dalam kelompok juga
tidak dijelaskan dengan rinci sehingga siswa belum mendapatkan
6
pengembangan keterampilan berbicara yang sama dan merata. Hal ini juga yang menyebabkan siswa kurang terlatih dalam keterampilan berbicara
karena pembelajaran tidak melibatkan seluruh siswa untuk aktif berbicara. Dalam aktivitas diskusi, guru belum melakukan pengecekan pada catatan
pembantu yang disusun siswa sebagai cerminan pembentukan ide masing- masing siswa. Proses kerja sama belum dikontrol secara jeli sehingga masih
terdapat siswa yang pasif dan tidak saling memberi masukan selama diskusi berlangsung. Saat praktik berbicara guru lebih cenderung hanya melihat
perfomansi siswa dalam berbicara saja tanpa memperhatikan proses pembangunan ide.
Dalam RPP terlampir yang dibuat oleh guru, langkah-langkah pembelajaran yang disusun juga belum detail saat menentukan peran siswa
dalam pembelajaran secara berpasangan. Langkah-langkah dalam RPP tersebut hanya menunjukan kegiatan siswa tanpa menunjukan kegiatan
tersebut dilakukan dalam kelompok atau dilakukan antar kelompok. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pembelajaran
keterampilan berbicara perlu dilakukan secara intensif dan merata. Hal tersebut menjadi salah satu acuan untuk memperbaiki model pembelajaran
yang telah diterapkan oleh guru pada pembelajaran keterampilan berbicara. Masalah-masalah tersebut terjadi karena penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe cooperative script yang masih perlu perbaikan dibeberapa sisi. Pembelajaran kooperatif tipe cooperative script yang dilakukan dengan
benar pada pembelajaran keterampilan berbicara tentunya akan sangat
7
membantu siswa dalam berlatih berbicara. Pada dasarnya model pembelajaran ini menstimulasi siswa untuk lebih aktif dan juga menimbulkan rasa
menyenangkan di saat pembelajaran keterampilan berbicara. Pembelajaran keterampilan berbicara dengan model pembelajaran kooperatif tipe
cooperative script ini akan sangat menunjang siswa karena pada dasarnya dalam kesehariannya siswa juga banyak melakukan komunikasi dengan
temannya sehingga siswa akan lebih nyaman dalam berbicara. Pernyataan yang telah diungkapkan sebelumnya menjelaskan bahwa
pembelajaran kooperatif tipe cooperative script merupakan pembelajaran yang pengelompokannya dengan berpasangan. Jumlah anggota kelompok
yang dirasa masih terlalu banyak dapat diminimalkan lagi dengan sistem berpasangan. Model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script yang
salah satu tipikalnya adalah jumlah anggota yang hanya dua siswa jika diterapkan dengan baik dan benar sesuai dengan prosedur yang ada akan
sangat membantu pengembangan keterampilan berbicara karena menurut Sholeh Hamid 2011: 220 siswa akan berbicara dengan lawan bicara secara
langsung dan akan mendapatkan respon langsung dari lawannya dalam membahas sebuah tema atau materi pelajaran yang diajukan oleh guru.
Pembelajaran dengan model seperti ini tentunya akan membuat siswa lebih aktif berbicara dengan teman sekelompoknya. Selain itu pembelajaran ini
juga menuntut siswa untuk saling merespon gagasan satu dengan yang lain. Hal ini akan melatih siswa dalam memproduksi ide atau gagasan sendiri
untuk merespon lawan bicaranya dalam satu topik yang sama.
8
Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diungkapkan di atas dan dari hasil pengamatan, peneliti mencoba untuk menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe cooperative script pada pembelajaran keterampilan berbicara dalam mata pelajaran bahasa Indonesia di kelas V.
Penerapan model tersebut akan dilakukan di sekolah dasar yang mempunyai permasalahan dalam meningkatkan keterampilan berbicara. SD N
Karangmojo menjadi
subjek penelitian
tentang penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script pada keterampilan berbicara
siswa di sekolah dasar tersebut. Hal ini dilakukan sebagai peningkatan keterampilan berbicara melalui model pembelajaran kooperatif tipe
cooperative script pada siswa kelas V SD N Karangmojo.
B. Identifikasi Masalah