PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE COOPERATIVE SCRIPT PADA SISWA KELAS V SD N KARANGMOJO BANTUL.

(1)

i

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE COOPERATIVE SCRIPT PADA SISWA KELAS V

SD N KARANGMOJO BANTUL

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Dita Rusdia Amalia NIM 12108241168

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v MOTTO

“Dirimu tercermin dari ucapan dan cara berbicaramu, maka berbicaralah dengan baik dimanapun dan dengan siapapun.”


(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Kedua orang tua saya yang telah memberikan dukungan moral maupun materil kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Almamater Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.


(7)

vii

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE COOPERATIVE SCRIPT PADA SISWA KELAS V

SD N KARANGMOJO BANTUL

Oleh

Dita Rusdia Amalia NIM 12108241168

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan proses pembelajaran berbicara dan meningkatkan keterampilan berbicara melalui model pembelajaran kooperatif tipe

cooperative script pada siswa kelas V SD N Karangmojo

Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas kolaboratif, dengan guru sebagai kolaborator. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V SD N Karangmojo yang berjumlah 35. Objek penelitian ini adalah keterampilan berbicara. Desain penelitian menggunakan model Kemmis dan McTaggart. Teknik pengumpulan data adalah observasi, tes, dan dokumentasi. Teknik analisis data yaitu analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Indikator keberhasilan adalah meningkatnya rerata kelas siswa dari pra tindakan, siklus I, ke siklus II.

Hasil penelitian menunjukkan peningkatan keterampilan berbicara siswa kelas V SD N Karangmojo melalui model pembelajaran cooperative script. Siswa menjadi lebih percaya diri dan berani untuk berbicara mengungkapkan pendapatnya. Hal tersebut dapat terlihat dari peningkatan proses pembelajaran dari siklus I ke siklus II. Pada siklus I proses pembelajaran menunjukkan persentase 80,17% kesesuaian pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan pengamatan aktivitas siswa, kemudian meningkat menjadi 86,56% pada siklus II. Hal lain yang menunjukkan peningkatan keterampilan berbicara siswa adalah dengan melihat peningkatan rerata kelas. Pada tes pra tindakan rerata siswa kelas V adalah 55,14, kemudian pada siklus I meningkat menjadi 63,14, dan meningkat lagi pada siklus II menjadi 75,14.


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah membertikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang telah peneliti susun berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Cooperative Script pada Siswa Kelas V SD N Karangmojo Bantul”. Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk jenjang S1. Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terimakasih kepada:

1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian.

2. Dekan FIP UNY yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk melakukan penelitian.

3. Ketua Jurusan Pendidikan Sekolah Dasar FIP UNY yang telah memberikan kemudahan dalam penyusunan proposal skripsi ini.

4. Ibu Dr. Enny Zubaidah, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal skripsi ini.

5. Kepala Sekolah SD N Karangmojo yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian.

6. Ibu Ari, selaku wali kelas V SD N Karangmojo yang telah bekerjasama dan bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini.


(9)

(10)

x DAFTAR ISI

hal

HALAMAN JUDUL………... i

HALAMAN PERSETUJUAN…...………..………. ii

PENGESAHAN………..……..……… iii

HALAMAN PERNYATAAN……….. iv

MOTTO………...………... v

PERSEMBAHAN………..……… vi

ABSTRAK………..……… vii

KATA PENGANTAR……… viii

DAFTAR ISI……….………. x

DAFTAR TABEL.………. xiii

DAFTAR GAMBAR………. xv

DAFTAR LAMPIRAN……….. xvi

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah……….. 1

B. Identifikasi Masalah………..……….. 8

C. Pembatasan Masalah……….... 9

D.Perumusan Masalah………. 9

E. Tujuan Penelitian………. 10

F. Manfaat Penelitian…..………. 10

BAB II KAJIAN TEORI A.Keterampilan Berbicara………. 12

1. Pengertian Keterampilan Berbicara……….. 12

2. Manfaat Keterampilan Berbicara……….. 15

3. Tujuan Keterampilan Berbicara………. 15

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara……… 17

5. Penilaian Keterampilan Berbicara………. 19

B.Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Cooperative Script .………….. 24


(11)

xi

2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Cooperative Script………… 37

C.Karakteristik Siswa Kelas V SD………. 46

1. Karakteristik Fisik Siswa Kelas V SD………... 46

2. Karakteristik Keterampilan Sosial Siswa Kelas V SD………. ……. 47

3. Karakteristik Siswa menurut Sudut Pandang Orang Lain…………. 48

D.Perkembangan Siswa Kelas V SD………..……… 49

1. Perkembangan Fisik Siswa Kelas V SD……… 49

2. Perkembangan Kognitif Siswa Kelas V SD……….……. 49

3. Perkembangan Emosi Siswa Kelas V SD……….. 49

4. Perkembangan Psikososial Siswa Kelas V SD……….……. 50

5. Perkembangan Bahasa Siswa Kelas V SD………. 50

6. Perkembangan Berbicara Siswa Kelas V SD………. 52

E. Penelitian yang Relevan………. 53

F. Kerangka Pikir……… 54

G.Hipotesis Tindakan………. 57

H.Definisi Operasional………... 57

BAB III METODE PENELITIAN A.Jenis Penelitian……….. 59

B.Tempat dan Waktu Penelitian……… 59

1. Tempat Penelitian………. 59

2. Waktu Penelitian……….. 59

C.Subjek dan Objek Penelitian……….. 60

D.Desain Penelitian……… 60

E. Teknik Pengumpulan Data……… 63

1. Tes……… 63

2. Observasi……….. 63

3. Dokumentasi……… 64

F. Instrumen Penelitian……….. 64

1. Lembar Observasi……… 64


(12)

xii

3. Dokumentasi………. 73

G.Teknik Analisis Data……….. 74

1. Analisis Data Observasi………... 74

2. Analisis Data Tes………. 74

H.Indikator Keberhasilan……… 75

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………... 77

A.Hasil Penelitian……… 77

1. Deskripsi Subjek Penelitian………... 77

2. Deskripsi Awal Penelitian………. 78

3. Hasil Pelaksanaan Siklus I……… 83

4. Hasil Pelaksanaan Siklus II……….. 111

B.Pembahasan………. 134

C. Keterbatasan Penelitian………... 139

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 140

A.Kesimpulan……….. 140

B.Saran……… 142


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel 1. Penilaian Berdasarkan Faktor Kebahasaan………... 21

Tabel 2. Penilaian Berdasarkan Faktor Non Kebahasaan………... 21

Tabel 3. Rubrik Penilaian Keterampilan Berbicara……… 23

Tabel 4. Pedoman Observasi Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran... 65

Tabel 5. Lembar Observasi Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran……… 66

Tabel 6. Pedoman Observasi Aktivitas Guru dalam Pembelajaran…….. 67

Tabel 7. Lembar Observasi Kegiatan Guru dalam Pembelajaran……….. 69

Tabel 8. Tabel Rubrik Penilaian Keterampilan Berbicara………. 70

Tabel 9. Tabel Pedoman Penilaian Keterampilan Berbicara………. 71

Tabel 10. Analisis Persentase Hasil Tes Pra Tindakan Keterampilan Berbicara……… 79

Tabel 11. Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa pada Pertemuan 1……….. 94

Tabel 12. Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa pada Pertemuan 2………... 97

Tabel 13. Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa pada Pertemuan 3………… 99

Tabel 14. Hasil Pengamatan Aktivitas Guru pada Siklus 1……… 101

Tabel 15. Analisis Persentase Hasil Tes Siklus I Keterampilan Berbicara 103 Tabel 16. Perbandingan Hasil Skor Keterampilan Berbicara Siswa pada Pra Tindakan dengan Siklus I……….. 104

Tabel 17. Perbandingan Hasil Skor Rata-Rata Aspek Keterampilan Berbicara pra Tindakan dengan Siklus I……….. 105

Tabel 18. Kenaikan Skor Rata-Rata Tes Keterampilan Berbicara antara Tes Pra Tindakan dengan Tes Siklus I……… 109

Tabel 19. Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa pada Siklus II: Pertemuan 1……… 118

Tabel 20. Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa pada Siklus II: Pertemuan 2……… 120

Tabel 21. Hasil Pengamatan Aktivitas Siswa pada Siklus II: Pertemuan 3……… 121

Tabel 22. Hasil Pengamatan Aktivitas Guru pada Siklus II……….. 123


(14)

xiv

Tabel 24. Perbandingan Hasil Skor Keterampilan Berbicara Siswa pada

Siklus I dengan Siklus II……… 127

Tabel 25. Perbandingan Hasil Skor Rata-Rata Aspek Keterampilan

Berbicara Siklus I dengan Siklus II………..………. 128 Tabel 26. Kenaikan Skor Rata-Rata Hasil Penilaian antara Siklus I dan


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan Kerangka Pikir... 57 Gambar 2. Visualisasi Bagan Siklus Penelitian Menurut Kemmis dan

Mc Taggart……… 61

Gambar 3. Diagram Perbandingan Skor Tes Keterampilan Berbicara antara Pra Tindakan dengan Siklus I di Kelas V SD N

Karangmojo………..… 106

Gambar 4. Diagram Perbandingan Skor Tes Keterampilan Berbicara Antara Pra Tindakan dengan Siklus I di Kelas V SD N

Karangmojo……….. 129

Gambar 5. Kenaikan Skor Rata-Rata Siswa dari Pra Siklus. Siklus I,


(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Observasi Pra Penelitian………. 146 Lampiran 2. Hasil Wawancara Pra Penelitian……….. 147 Lampiran 3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Guru

SD N Karangmojo Sebelum Penelitian………149 Lampiran 4. Hasil Tertulis Tes Keterampilan Berbicara Siswa pada

Pra Tindakan……….……. 152

Lampiran 5. Hasil Tertulis Tes Keterampilan Berbicara Siswa pada

Post Test Siklus I………. 153

Lampiran 6. Hasil Tertulis Tes Keterampilan Berbicara Siswa pada

Post Test Siklus II….………. 154

Lampiran 7. Lembar Observasi Siswa dalam Pembelajaran…………. 155 Lampiran 8. Hasil Tes Pra Tindakan Keterampilan Berbicara Siswa

Kelas V SD N Karangmojo……… 158 Lampiran 9. Hasil Post Test Siklus I Keterampilan Berbicara Siswa

Kelas V SD N Karangmojo……...……… 160 Lampiran 10. Hasil Post Test Siklus II Keterampilan Berbicara Siswa

Kelas V SD N Karangmojo………. 162 Lampiran 11. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Siklus I: Pertemuan 1………. 164 Lampiran 12. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Siklus I: Pertemuan 2……… 179 Lampiran 13. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Siklus I: Pertemuan 3……… 194 Lampiran 14. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Siklus II: Pertemuan 1……….. 212 Lampiran 15. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Siklus II: Pertemuan 2……….. 228 Lampiran 16. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

Siklus II: Pertemuan 3……….. 245 Lampiran 17. Surat Izin Penelitian……… 261


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keterampilan berbahasa merupakan salah satu keterampilan yang dipelajari di pendidikan formal. Keterampilan berbahasa dipelajari untuk memberikan bekal siswa dalam menjalani kehidupannya terutama pada aspek komunikasi. Dalam bukunya, Henry G. Tarigan (1985) menjelaskan bahwa terdapat empat komponen pada keterampilan berbahasa. Komponen-komponen tersebut yaitu keterampilan menyimak (listening skill), keterampilan berbicara (speaking skill), keterampilan membaca (reading skill), dan keterampilan menulis (writing skill). Keempat komponen tersebut saling berhubungan satu dengan yang lain. Masing-masing memiliki peran yang sama pentingnya bagi kebutuhan peserta didik.

Berbicara merupakan salah satu komponen keterampilan berbahasa yang juga perlu dikuasai dan dikembangkan secara optimal. Hal ini dikarenakan keterampilan berbicara banyak digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari dalam bentuk komunikasi lisan. Salah satu tujuan dari berbicara sendiri yaitu untuk bertukar informasi. Selain itu komunikasi lisan juga mencakup penggunaan bahasa secara interaksional, yaitu fungsi-fungsi sosial dari berbicara.

Henry G. Tarigan (1985) menjelaskan tentang pengertian dari berbicara yaitu kemampuan mengucapkkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan


(18)

2

perasaan. Perlu digarisbawahi dalam ungkapan tersebut bahwa berbicara bukan hanya sekedar berucap secara lisan saja namun juga terdapat tujuan yang akan disampaikan melalui kegiatan berbicara tersebut. Ide atau gagasan yang dimaksud adalah hasil pemikiran yang dihasilkan pembicara berdasarkan berbagai sumber yang telah ia ketahui sebelumnya. Ketika seseorang berbicara di dalamnya tentu memuat maksud dan tujuan sesuai fungsi dari berbicara itu sendiri.

Berdasarkan hal tersebut agar tujuan atau pun pesan yang akan disampaikan dapat diterima dengan baik, maka dibutuhkan keterampilan berbicara yang baik pula. Keterampilan berbicara bukanlah keterampilan yang dimiliki sejak lahir. Keterampilan ini didapat dari proses belajar dan proses pembiasaan yang diterapkan pada seseorang. Hal ini menegaskan bahwa keterampilan berbicara bukanlah keterampilan yang hanya di dapat dari teori saja namun perlu adanya praktik secara langsung secara rutin dan berkesinambungan.

Pada dasarnya dalam kehidupan secara umum tidak ada kriteria yang mengikat tentang standar berbicara yang baik. Seperti yang pernah dituliskan Glenn R. Capp (1971) pada bukunya yang menyatakan sebagai berikut.

“No absolute rules for good speaking exist which can turn all persons into standard speaker. Would not speaking be tiring if all speakers did everything exactly the same way? All principles must allow for individual differences. We cannot say there is only one way to make speeches. There may be many equally acceptable ways.”


(19)

3

Beliau mengungkapkan bahwa dalam keterampilan berbicara tidak ada suatu aturan yang mengikat. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki cara dan gaya tersendiri dalam berbicara.

Lain ceritanya, ketika berbicara tentang keterampilan berbahasa pada sekolah formal. Di sana akan ditentukan kriteria berbicara yang baik untuk mengeneralisasikan penilaian dalam keterampilan tersebut. Maka dari itu, dibutuhkan keterampilan-keterampilan yang akan menunjang keterampilan berbicara tersebut. Dalam bukunya, Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991) mengungkapkan bahwa terdapat dua faktor yang menunjang keefektifan berbicara, yaitu faktor kebahasaan dan faktor non-kebahasaan. Faktor-faktor kebahasaan yang menunjang keefektifan berbicara yaitu, ketepatan ucapan, penempatan tekanan nada, pilihan kata (diksi), dan ketepatan sasaran pembicaraan. Seperti yang telah disebutkan di atas selain faktor kebahasaan terdapat faktor non-kebahasaan yang menunjang keterampilan berbicara antara lain, sikap wajar, tenang, dan tidak kaku; pandangan harus diarahkan kepada lawan bicara; kesediaan menghargai pendapat orang lain; gerak-gerik dan mimik yang tepat; kenyaringan suara; kelancaran; relevansi/penalaran; dan penguasaan topik.

Pada saat ini di sekolah dasar masih ditemukan kenyataan bahwa pembelajaran keterampilan berbicara masih berjalan kurang optimal. Dalam bukunya, Yunus Abidin (2013) menjelaskan beberapa hal mengenai kondisi pembelajaran berbicara saat ini. Yunus Abidin mengungkapkan bahwa saat ini masih terdapat guru yang masih mengajarkan pembelajaran berbicara


(20)

4

disamakan dengan pembelajaran membaca nyaring. Hal ini disebabkan guru lebih memperhatikan perfomansi siswa tanpa memperhatikan proses siswa dalam membangun ide atau gagasan saat praktik berbicara. Hal yang lebih ironis lagi adalah masih terdapat guru yang fokus terhadap keterampilan berbahasa lain dan tidak melaksanakan pembelajaran berbicara. Lebih lanjut, saat ini siswa lebih banyak dilatih menulis dan membaca sehingga kemampuan berbicaranya menjadi sangat rendah. Hal-hal tersebut dapat disebabkan oleh rendahnya kemampuan guru dalam menguasai strategi pembelajaran berbicara. Rendahnya kemampuan guru mengenai hal tersebut tentunya juga dapat menyebabkan pembelajaran berbicara berlangsung monoton dan kurang merangsang gairah siswa untuk berbicara.

Permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran keterampilan berbicara juga terjadi pada siswa kelas V SD N Karangmojo di kabupaten Bantul. Pada pengamatan peneliti di sekolah dasar tersebut hanya sepertiga dari jumlah siswa kelas V di sekolah dasar tersebut yang berani berbicara aktif dalam pembelajaran. Kepercayaan diri siswa masih kurang untuk mengungkapkan gagasannya secara lisan di dalam kelas. Hal tersebut menandakan bahwa keterampilan berbicara siswa belum berkembang secara optimal.

Berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan guru, keadaan tersebut terjadi karena beberapa faktor yang mempengaruhi. Guru kelas V di sekolah dasar tersebut cenderung lebih sedikit mengajarkan siswa untuk mendalami keterampilan berbicara dibanding keterampilan berbahasa yang lain, seperti menyimak, membaca, dan menulis. Hal ini dapat dilihat dari


(21)

5

sedikitnya porsi pembelajaran keterampilan berbicara daripada pembelajaran keterampilan yang lain. Akibatnya siswa menjadi kurang terbiasa dan tidak dapat mengasah keterampilan berbicaranya dengan optimal.

Faktor lain yang mempengaruhi rendahnya keterampilan berbicara di kelas V SD N Karangmojo ini, adalah penerapan model pembelajaran pada pembelajaran keterampilan berbicara yang masih perlu banyak perbaikan. Guru menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script pada pembelajaran keterampilan berbicara. Seperti yang diungkapkan oleh Zainal Aqib (2013) model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script adalah “model pembelajaran di mana siswa bekerja berpasangan dan bergantian secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.”. Penjelasan tersebut menekankan bahwa seharusnya model pembelajaran tersebut perlu memperhatikan kerja sama antar siswa demi keefektifan proses pembelajaran.

Berdasarkan hasil pengamatan dan melihat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang dibuat guru, dalam model pembelajaran yang diterapkan di sekolah tersebut, langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe

cooperative script belum dilakukan dengan benar. Pengelompokan murid

tidak dilakukan secara berpasangan, namun siswa dikelompokkan dengan anggota kelompok yang berisi empat sampai enam siswa. Hal ini membuat siswa yang kurang menonjol hanya memiliki sedikit kesempatan untuk berlatih berbicara dalam kelompok. Pembagian peran dalam kelompok juga tidak dijelaskan dengan rinci sehingga siswa belum mendapatkan


(22)

6

pengembangan keterampilan berbicara yang sama dan merata. Hal ini juga yang menyebabkan siswa kurang terlatih dalam keterampilan berbicara karena pembelajaran tidak melibatkan seluruh siswa untuk aktif berbicara.

Dalam aktivitas diskusi, guru belum melakukan pengecekan pada catatan pembantu yang disusun siswa sebagai cerminan pembentukan ide masing-masing siswa. Proses kerja sama belum dikontrol secara jeli sehingga masih terdapat siswa yang pasif dan tidak saling memberi masukan selama diskusi berlangsung. Saat praktik berbicara guru lebih cenderung hanya melihat perfomansi siswa dalam berbicara saja tanpa memperhatikan proses pembangunan ide.

Dalam RPP (terlampir) yang dibuat oleh guru, langkah-langkah pembelajaran yang disusun juga belum detail saat menentukan peran siswa dalam pembelajaran secara berpasangan. Langkah-langkah dalam RPP tersebut hanya menunjukan kegiatan siswa tanpa menunjukan kegiatan tersebut dilakukan dalam kelompok atau dilakukan antar kelompok.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pembelajaran keterampilan berbicara perlu dilakukan secara intensif dan merata. Hal tersebut menjadi salah satu acuan untuk memperbaiki model pembelajaran yang telah diterapkan oleh guru pada pembelajaran keterampilan berbicara. Masalah-masalah tersebut terjadi karena penerapan model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script yang masih perlu perbaikan dibeberapa sisi.

Pembelajaran kooperatif tipe cooperative script yang dilakukan dengan benar pada pembelajaran keterampilan berbicara tentunya akan sangat


(23)

7

membantu siswa dalam berlatih berbicara. Pada dasarnya model pembelajaran ini menstimulasi siswa untuk lebih aktif dan juga menimbulkan rasa menyenangkan di saat pembelajaran keterampilan berbicara. Pembelajaran keterampilan berbicara dengan model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script ini akan sangat menunjang siswa karena pada dasarnya dalam kesehariannya siswa juga banyak melakukan komunikasi dengan temannya sehingga siswa akan lebih nyaman dalam berbicara.

Pernyataan yang telah diungkapkan sebelumnya menjelaskan bahwa pembelajaran kooperatif tipe cooperative script merupakan pembelajaran yang pengelompokannya dengan berpasangan. Jumlah anggota kelompok yang dirasa masih terlalu banyak dapat diminimalkan lagi dengan sistem berpasangan. Model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script yang salah satu tipikalnya adalah jumlah anggota yang hanya dua siswa jika diterapkan dengan baik dan benar sesuai dengan prosedur yang ada akan sangat membantu pengembangan keterampilan berbicara karena menurut Sholeh Hamid (2011: 220) siswa akan berbicara dengan lawan bicara secara langsung dan akan mendapatkan respon langsung dari lawannya dalam membahas sebuah tema atau materi pelajaran yang diajukan oleh guru. Pembelajaran dengan model seperti ini tentunya akan membuat siswa lebih aktif berbicara dengan teman sekelompoknya. Selain itu pembelajaran ini juga menuntut siswa untuk saling merespon gagasan satu dengan yang lain. Hal ini akan melatih siswa dalam memproduksi ide atau gagasan sendiri untuk merespon lawan bicaranya dalam satu topik yang sama.


(24)

8

Berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah diungkapkan di atas dan dari hasil pengamatan, peneliti mencoba untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script pada pembelajaran keterampilan berbicara dalam mata pelajaran bahasa Indonesia di kelas V. Penerapan model tersebut akan dilakukan di sekolah dasar yang mempunyai permasalahan dalam meningkatkan keterampilan berbicara. SD N Karangmojo menjadi subjek penelitian tentang penerapan model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script pada keterampilan berbicara siswa di sekolah dasar tersebut. Hal ini dilakukan sebagai peningkatan keterampilan berbicara melalui model pembelajaran kooperatif tipe

cooperative script pada siswa kelas V SD N Karangmojo.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut.

1. Kurangnya kepercayaan diri siswa untuk mengungkapkan gagasannya secara lisan di dalam kelas.

2. Porsi pembelajaran keterampilan berbicara lebih sedikit daripada pembelajaran keterampilan berbahasa yang lain, yaitu menulis, menyimak, dan membaca.

3. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script pada pembelajaran keterampilan berbicara masih kurang optimal karena pengelompokan murid tidak dilakukan secara berpasangan, namun siswa


(25)

9

dikelompokkan dengan anggota kelompok yang berisi empat sampai enam siswa, pembagian peran dalam kelompok tidak dijelaskan dengan rinci, dan proses kerja sama belum dikontrol secara jeli.

4. Masing-masing siswa belum mendapatkan kesempatan berbicara yang sama dan merata.

5. Guru lebih memperhatikan performansi berbicara siswa dan kurang memperhatikan proses pengembangan ide.

6. Pembelajaran keterampilan berbicara tidak melibatkan seluruh siswa untuk aktif berbicara.

C. Pembatasan Masalah

Dari permasalahan yang teridentifikasi di atas tidak semuanya diteliti. Agar terfokus dan mendalam, penilitian ini dibatasi pada permasalahan poin 6 yaitu pembelajaran keterampilan berbicara tidak melibatkan seluruh siswa untuk aktif berbicara.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah peningkatan proses pembelajaran berbicara siswa dengan penerapan model pembelajaran cooperative script pada siswa kelas V SD N Karangmojo Bantul?


(26)

10

2. Seberapa besar peningkatan keterampilan berbicara siswa dengan penerapan model pembelajaran cooperative script di kelas V SD N Karangmojo Bantul?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk meningkatkan proses pembelajaran keterampilan berbicara melalui model pembelajaran cooperative script pada siswa kelas V SD N Karangmojo Bantul.

2. Untuk meningkatkan keterampilan berbicara melalui model pembelajaran

cooperative script pada siswa kelas V SD N Karangmojo Bantul.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait, adapun manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi Siswa

Pembelajaran membuat siswa lebih aktif mengasah keterampilan berbicara secara merata dan lebih menarik minat siswa dalam mempelajari keterampilan berbicara. Hal tersebut akan membuat siswa dapat mempelajari keterampilan berbicara lebih optimal.


(27)

11 2. Bagi Guru

Guru dapat lebih memahami penerapan model pembelajaran cooperative script untuk pengajaran keterampilan berbicara dan dapat menjadi pertimbangan untuk diterapkan pada pembelajaran selanjutnya. 3. Bagi Kepala sekolah

Sebagai bahan pertimbangan kepala sekolah untuk membina guru dalam menerapkan model tersebut demi menunjang pembelajaran keterampilan berbicara pada seluruh siswa di sekolah tersebut.


(28)

12 BAB II KAJIAN TEORI

A. Keterampilan Berbicara

1. Pengertian Keterampilan Berbicara

Berbicara tentang keterampilan, hal tersebut tidak dapat dimiliki seseorang secara instant. Keterampilan yang maksimal dapat kita miliki dengan melalui sebuah proses belajar yang tidak sebentar. Banyak sekali keterampilan yang bisa didapatkan dalam pembelajaran formal. Salah satu dari sekian banyak keterampilan yang didapatkan di kegiatan belajar mengajar formal adalah keterampilan berbicara.

Seorang ahli, Henry G. Tarigan (1985: 15) mendefinisikan berbicara sebagai kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa berbicara adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan yang di susun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan pendengar atau penyimak. Dalam penjelasan-penjelasan yang telah diungkapkan tersebut secara eksplisit mengungkapkan bahwa kegiatan berbicara merupakan cara berkomunikasi manusia menggunakan lisan. Syukur Ghazali (2010 :248) menjelaskan bahwa komunikasi lisan mencakup penggunaan bahasa secara transaksional yang bertujuan untuk mempertukarkan informasi, serta mencakup pula penggunaan bahasa secara interaksional, yaitu fungsi-fungsi sosial dari berbicara.


(29)

13

Keterampilan berbicara tentu saja memiliki keterkaitan antara keterampilan berbahasa yang lain. Dalam bukunya, Hetti Restianti (2010) mengungkapkan bahwa kegiatan berbicara dipengaruhi oleh cara menangkap apa yang disampaikan oleh orang lain. Tidak jarang seseorang memahami sesuatu berdasarkan penjelasan orang lain. Hal tersebut merupakan hubungan berbicara dengan menyimak. Selanjutnya hubungan berbicara dengan membaca yaitu berkaitan dengan konten pembicaraan. Sesuatu yang kita sampaikan akan menjadi lebih berisi jika berdasarkan dari sumber atau referensi yang pernah dibaca sebelumnya. Berbicara dan menulis tentu saja suatu keterampilan yang juga berkaitan. Pertama, menulis sangat membantu untuk menangkap pesan dari seseorang yang melakukan kegiatan berbicara. Contohnya, adalah saat terjadi kegiatan belajar di kelas, guru menjelaskan suatu materi dengan lisan sementara siswa mencatat poin-poin pentingyang disamapaikan guru. Terkadang orang akan menulis terlebih dahulu untuk mempermudah penyampaian pesannya saat berbicara pada situasi tertentu. Kegiatan tersebut akan membuat seseorang dapat menyusun kalimat demi kalimat menjadi lebih efektif dan tentunya akan membuat orang menjadi lebih terbiasa dalam mengembangkan keterampilan berbicara.

Sama seperti pengembangan suatu keterampilan pada umumnya, pengembangan keterampilan berbicara juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Seperti yang telah diungkapkan oleh Hatch (Syukur Ghazali, 2010: 258) bahwa kemampuan berbahasa adalah sesuatu yang tumbuh karena pengalaman sehingga orang bisa belajar bagaimana berinteraksi secara verbal


(30)

14

dengan cara ikut serta secara langsung dalam percakapan. Sependapat dengan ungkapan tersebut, Maidar G Arsjad dan Mukti (1991) mengungkapkan bahwa keterampilan berbicara dalam situasi formal dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar memerlukan latihan dan bimbingan yang intensif.

Pendekatan pengajaran keterampilan berbicara tidak hanya bisa dilakukan melalui kegiatan belajar mengajar secara formal dan terstruktur saja, namun dapat dilakukan melalui pendekatan pengajaran bahasa secara komukatif. Hal tersebut diungkapkan oleh Syukur Ghazali (2010: 273) bahwa pembelajaran keterampilan berbicara dapat dilakukan dengan memberikan siswa kesempatan untuk berinteraksi dengan guru dan teman-teman siswa, seperti memberi salam, memberikan saran, meminta maaf, memberi petunjuk, dan memberikan informasi. Hal tersebut akan membantu siswa terbiasa untuk berbicara.

Sebelum memberikan pelajaran berbicara pada siswa sudah menjadi hal yang wajib dipahami pengajar tentang prinsip-prinsip pembelajaran berbicara. Salah satu penulis yang memaparkan prinsip-prinsip berbicara adalah Abidin (2013: 135). Dijelaskan prinsip yang pertama adalah sebagai berikut.

1) pembelajaran berbicara harus ditujukan untuk membentuk kematangan psikologis anak dalam hal berbicara,

2) harus melibatkan anak secara langsung berbicara dalam berbagai konteks,


(31)

15

4) dilakukan sekaligus dengan membekali strategi berbicara,

5) dilakukan seiring dengan pengukuran kemampuan berbicara secara tepat melalui praktik langsung,

6) diukur dan dipantau secara berkesinambungan, dan

7) diorientasikan pada pembentukan kemahiran berbicara atau membentuk siswa menjadi pembicara yang kreatif.

2. Manfaat Keterampilan Berbicara

Seperti halnya keterampilan-keterampilan lain, keterampilan berbi cara juga memiliki manfaat yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Berbicara merupakan cara berkomunikasi yang paling sering dan paling efektif digunakan manusia dalam mengungkapkan perasaan maupun gagasan-gagasan di kehidupan sehari-harinya.

Menurut fungsinya, kegiatan bahasa lisan atau berbicara dibagi menjadi tiga oleh Rivers dan Temperley (Syukur Ghazali, 2010), yaitu praktik lisan untuk pembelajaran tata bahasa di kelas, interaksi secara terstruktur dengan orang lain, dan interaksi secara otonom atau hanya melibatkan dirinya sendiri. Setiap kegiatan berbicara tersebut memiliki ciri dan strategi tersendiri dalam penyampaiannya.

3. Tujuan Keterampilan Berbicara

Tujuan utama dari keterampilan berbicara menurut Henry G. Tarigan (1985:15) secara sederhana adalah untuk berkomunikasi. Lebih rinci lagi,


(32)

16

Abidin (2013) memaparkan tujuan dari berbicara. Pertama adalah informatif, yaitu menyampaikan gagasan untuk membangun pengetahuan pendengar. Tujuan yang kedua adalah rekreatif untuk menghibur dan memberikan kesan menyenangkan pada pendengarnya. Persuasif merupakan tujuan berbicara yang ketiga yang menekankan pada usaha mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan pembicara melalui penggunaan bahasa yang halus dan menarik. Tujuan berbicara yang terakhir adalah argumentatif. Argumentatif ini memiliki maksud yaitu meyakinkan pendengar atau gagasan yang disampaikan oleh pembicara.

Tujuan berbicara tersebut di atas dinyatakan berhasil apabila kegiatan berbicara yang dilakukan telah memnuhi indikator yang telah ditetapkan. Menurut Yunus Abidin (2013: 130), indikator ketercapaian berbicara yang pertama adalah pemahaman pendengar. Kegiatan berbicara dinyatakan berhasil apabila pendengar mampu menerima dan memahami secara cermat gagasan yag disampaikan oleh pembicara sehingga terdapat kesamaan antara maksud pembicara dengan persepsi pendengar. Perhatian pendengar juga merupakan salah satu indikator ketercapaian berbicara. Pembicara diharapkan mampu menumbuhkan perhatian pendengar untuk menyimak secara sungguh-sungguh segala sesuatu yang disampaikan pembicara. Hal ini dilakukan agar pendengar dapat secara maksimal memahami apa yang disampaikan oleh pembicara. Indikator selanjutnya adalah menyangkut cara pandang pendengar. Hal yang harus dilakukan oleh pembicara adalah mempengaruhi pendengar agar mempunyai cara pandang yang sama dengan


(33)

17

dirinya. Indikator yang terakhir adalah perilaku pedengar. Setelah melakukan kegiatan berbicara tentunya ada sesuatu yang berdampak pada pembicara maupun pendengar. Tujuan berbicara akan tercapai apabila terjadi perubahan perilaku pada pendengar setelah menyimak pemaparan gagasan yang dilakukan pembicara.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Berbicara

Keterampilan berbicara pada tiap orang berbeda-beda. Hal tersebut karena keterampilan tersebut banyak dipengaruhi oleh banyak faktor. Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S. (1991) mengungkapkan faktor kebahasaan dan faktor non kebahasaan yang menunjang keefektifan berbicara siswa. Faktor-faktor kebahasaan yang dimaksud, yaitu ketepatan ucapan, pilihan kata atau diksi, ketepatan sasaran pembicaraan, penempatan tekanan nada, sendi, dan durasi yang sesuai. Dari segi non kebahasaan faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan berbicara antara lain adalah sikap yang wajar, tidak kaku, pandangan mata yang harus diarahkan kepada lawan bicara, gerak-gerik dan mimik yang tepat, kenyaringan suara, kelancaran, penalaran, dan yang tidak kalah penting adalah penguasaan topik yang akan dibicarakan. Menurut beliau agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, sudah sepatutnya seorang pembicara tersebut sudah memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan dan dia harus tahu prinsip-prinsip yang mendasari segala sesuatu pembicaraan, baik secara umum maupun perseorangan.


(34)

18

Keterampilan berbicara merupakan sebuah ilmu yang harus dipelajari. Dalam konteks keilmuan tersebut sudah tentu terdapat acuan-acuan atau hal yang perlu ditelaah. Mulgrave (Henry G. Tarigan, 1985:21) mengungkapkan hal-hal yang perlu ditelaah jika keterampilan berbicara dipandang sebagai ilmu, yaitu mekanisme bicara dan mendengar, latihan dasar bagi ajaran dan suara, bunyi-bunyi bahasa, bunyi-bunyi dalam rangkaian ujaran, vowel-vowel, diftong-diftong, konsonan-konsonan, dan patologi ujaran.

Hampir sama diungkapkan Bygate (Syukur Ghazali, 2010) juga mengungkapkan bahwa “keterampilan berbicara memerlukan pengetahuan bahasa yang harus dikuasai seperti tata bahasa, kosa kata, dan penggunaan susunan kalimat yang tepat untuk fungsi tertentu.” Selain itu ketika mempelajari keterampilan berbicara siswa harus belajar cara untuk memaknai sesuatu yang akan diungkapkan, cara untuk memperkenalkan atau mengubah topik, dan cara untuk membuka dan menutup sebuah percakapan dengan lawan bicara yang berbeda-beda.

Keterampilan berbicara juga membutuhkan strategi dalam pelaksanaan pembelajarannya. Chamot dan Kupper (Syukur Ghazali, 2010:261) berpendapat bahwa ada tiga jenis strategi pembelajaran yang digunakan oleh siswa dalam keterampilan berbicara. Pertama adalah strategi meta-kognitif atau strategi regulasi terhadap diri sendiri. Strategi tersebut mendorong siswa untuk berpikir tentang proses pembelajaran, membuat perencanaan dalam belajar, memantau tugas-tugas pembelajaran yang dilakukannya dan mengevaluasi sejauh mana dirinya telah mengalami kemajuan. Strategi yang


(35)

19

kedua adalah strategi kognitif, yaitu teknik-teknik untuk berinteraksi dengan materi pembelajaran, memanipulasi materi pembelajaran secara mental atau secara fisik atau menerapkan teknik-teknik tertentu di dalam melakukan pembelajaran. Strategi yang terakhir adalah strategi sosial dan afektif. Dalam strategi tersebut ketika siswa berinteraksi dengan orang lain untuk membantu dia belajar, atau ketika siswa menggunakan kendali yang efektif untuk membantu dalam melakukan tugas pembelajaran.

5. Penilaian Keterampilan Berbicara

Dalam pembelajaran keterampilan berbicara di sekolah formal tentu saja seorang guru harus mempunyai acuan-acuan dan standar untuk mengukur keberhasilan suatu pembelajaran yang dilakukan. Dalam kegiatan mengukur sejauh mana siswa dapat mengusai materi pembelajaran atau tidak, maka perlu dilakukan penilaian. Perlu diingat bahwa Maidar G. Arsjad dan Mukti (1991) menegaskan penilaian hendakanya tidak hanya semata-mata untuk mengukur dan memberikan angka pada suatu kegiatan belajar, tetapi hendaknya ditujukan pada usaha perbaikan prestasi siswa, sehingga menumbuhkan motivasi bagi siswa dalam pelajaran berikutnya. Penilaian menjadi hal wajib dalam kegiatan pembelajaran di sekolah formal. Ketika menyusun suatu penilaian sudah tentu harus mengacu pada indikator dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Peniaian tersebut akan mempresentasikan kemampuan siswa terhadap suatu pembelajaran yang telah dipelajari.


(36)

20

Nunan (Syukur Ghazali, 2010) memperhatikan bahwa ada banyak aspek dalam komunikasi lisan yang efektif. Hal ini tentu saja akan menjadi bahan acuan untuk menyusun suatu instrumen penilaian. Beberapa dari aspek ini terkait dengan masalah linguistik yang di antaranya adalah fonologi, pola intonasi, bentuk-bentuk baku yang pantas untuk digunakan percakapan, dan beberapa lainnya terkait dengan aspek interaksional dari percakapan itu sendiri seperti strategi untuk mengosiasikan makna, prosedur pergantian bicara secara efektif, dan keterampilan menyimak percakapan.

Maidar G. Arsjad dan Mukti (1991: 87) mengungkapkan faktor-faktor yang dinilai dalam kegiatan berbicara didasari pada faktor penunjang kegiatan berbicara yaitu kebahasaan dan non kebahasaan. Faktor kebahasaan yang mencakup pengucapan vokal, pengucapan konsonan, penempatan tekanan, penempatan persendian, penggunaan nada atau irama, pilihan kata, pilihan ungkapan, variasi kata, tata bentukan, struktur kalimat, dan ragam kalimat. Pada faktor non kebahasaan meliputi keberanian dan semangat, kelancaran, kenyaringan suara, pandangan mata, gerak-gerik dan mimik wajah, keterbukaan, penalaran, dan penguasaan topik. Maidar G. Arsjad dan Mukti U.S (1991) menuangkan faktor-faktor yang dinilai tersebut dalam tabel penilaian sebagai berikut.


(37)

21

Tabel 1. Penilaian Berdasarkan Faktor Kebahasaan

No Nama

Faktor Kebahasaan Pegucapan Penempatan Nada Pilihan Variasi

kata Tata bahasa Struktur kalimat Ragam kalimat Vo-kal Kon-sonan Tekan-an

Persen-dian Kata

Ungkap-an

Keterangan: A= Sangat Baik B= Baik

C= Cukup D= Kurang

Tabel 2. Penilaian Berdasarkan Faktor Non Kebahasaan No

Na-ma

Faktor non kebahasaan Keberani-an Kelancar-an Kenyaringan suara Pandang -an Gerak/ mimik Keterbuka -an Penalar-an Penguasaan topik Keterangan: A= Sangat Baik B= Baik

C= Cukup D= Kurang

Burhan Nugiyantoro (Diah Wilandari, 2014) mengungkapkan bahwa model penilaian kemampuan berbicara peserta didik dapat saja disusun


(38)

22

sendiri dan disesuaikan dengan kondisi yang ada. Hal ini menjadi acuan peneliti untuk mempertimbangkan penyusunan penilaian dengan aspek dan besar skor tiap aspek yang disesuaikan dengan kondisi siswa.

Berdasarkan referensi dari para ahli dan penjelasan sebelumnya, peneliti menyusun aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam menyusun instrumen penilaian. Penilaian tidak hanya mengacu pada aspek kebahasaan saja namun aspek non kebahasaan juga akan mempengaruhi penilaian keterampilan berbahasa. Aspek kebahasaan yang akan diperhitungkan dalam penilaian keterampilan berbicara adalah sebagai berikut.

1) pengucapan vokal dan konsonan, 2) struktur kalimat,

3) tekanan / intonasi, 4) pilihan kata,

Aspek non kebahasaan yang juga akan menjadi pertimbangan dalam penilaian adalah sebagai berikut.

1) kepercayaan diri siswa dalam melakukan kegiatan berbicara, 2) kelancaran berbicara,

3) gerakan dan mimik wajah, dan 4) penalaran.

Dari penjabaran tersebut kemudian dituangkan dalam tabel sebagai berikut.


(39)

23

Tabel 3. Rubrik Penilaian Keterampilan Berbicara

No. Aspek Kriteria Skor

1. Pengucapan Vokal dan Konsonan

Pengucapan vokal dan konsonan sudah jelas

dan tepat di semua kata atau kalimat. 15 Terdapat pengucapan vokal dan konsonan

yang belum jelas dan belum tepat tidak lebih dari 30% dari keseluruhan praktik berbicara.

10 Terdapat pengucapan vokal dan konsonan

yang belum jelas dan belum tepat tidak lebih dari 50% dari keseluruhan praktik berbicara.

5 Pengucapan vokal dan konsonan belum jelas

dan tepat. 1

2. Struktur Kalimat

Struktur kalimat sudah tepat dan efektif di

keseluruhan praktik berbicara. 15

Terdapat struktur kalimat yang belum tepat dan belum efektif tidak lebih dari 30% dari keseluruhan praktik berbicara

10 Terdapat struktur kalimat yang belum tepat

dan belum efektif tidak lebih dari 50% dari keseluruhan praktik berbicara

5 Struktur kalimat belum tepat dan belum

efektif. 1

3. Tekanan Tekanan berbicara pada semua kata atau

kalimat sudah tepat dan wajar 15

Masih terdapat sebagian kecil tekanan

berbicara yang belum tepat dan wajar. 10 Masih terdapat sebagian besar tekanan

berbicara yang belum tepat dan wajar. 5 Tekanan berbicara belum tepat dan wajar. 1 4. Pilihan Kata Pilihan kata sudah sesuai dan variatif 15

Pilihan kata sudah sesuai namun kurang

variatif 10

Terdapat pilihan kata yang belum sesuai 5

Pilihan kata belum sesuai 1

5. Kepercaya-an Diri

Percaya diri tinggi dan berani

mengungkapkan gagasannya secara lisan 10 Percaya diri dan keberanian masih kurang

dalam mengungkapkan gagasannya di depan kelas

5 Belum percaya diri dan belum berani

mengungkapkan gagasannya di depan kelas 1 6. Kelancaran

Berbicara

Sudah dapat berbicara dengan lancar saat

praktik berbicara 10

Masih terdapat bagian yang kurang lancar


(40)

24

Belum dapat berbicara dengan lancar 1 7. Gerakan

dan Mimik Wajah

Gerakan tubuh dan mimik wajah sudah sesuai

dengan apa yang sedang dibicarakan 10 Gerakan tubuh dan mimik wajah masih belum

sesuai di bagian tertentu 5

Gerakan tubuh dan mimik wajah tidak sesuai

dengan topic yang dibicarakan 1

8. Penalaran Penalaran dalam mengungkapkan gagasan

sudah tepat 10

Penalaran dalam mengungkapkan gagasan

kurang tepat 5

Penalaran dalam mengungkapkan gagasan

belum tepat 1

B. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Cooperative Script 1. Model Pembelajaran

Seperti yang telah diungkapkan dalam penjelasan pembelajaran sebelumnya bahwa kegiatan pembelajaran haruslah dirancang sedemikian rupa disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi suatu kelas. Hal ini ditujukan agar tercipta atmosfer belajar yang tepat sehingga tercipta pembelajaran yang efektif dan efisien. Berdasarkan hal tersebut maka tahap penentuan dan perancangan model pembelajaran merupakan langkah yang penting untuk diperhatikan. Dalam pembelajaran terdapat banyak model-model pembelajaran yang dapat menjadi pilihan guru untuk menentukan model yang dirasa sesuai dengan kondisi dan jenis pembelajaran yang akan dilakukan. Menurut Nunuk & Leo (2012) model pembelajaran dapat diklasifikasikan menjadi empat berikut ini.

a. Model Pembelajaran Kontekstual


(41)

25

Pembelajaran kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) menurut Nurhadi dalam Nunuk & Leo (2012) merupakan model pembelajaran yang mendorong guru untuk mengkaitkan materi pelajaran yang diajarkan dengan keadaan dunia nyata siswa. Zainal Aqib (2013) mengungkapkan hal ini didasari pada pemikiran bahwa “anak akan belajar lebih baik jika berada di lingkungan alamiah dan akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya bukan hanya sekedar mengetahuinya.” Lebih lanjut ia menjelaskan dalam bukunya bahwa model pembelajaran ini digunakan untuk memahami makna materi pelajaran yang dipelajari siswa dengan mengkaitkan materi tesebut dalam konteks kehidupan mereka sehari-hari.

Beberapa penjelasan mengenai pengertian tentang model pembelajaran kontekstual tersebut menekankan bahwa pada hakikatnya siswa akan merasa lebih mudah memahami sesuatu jika hal tersebut berada di lingkungannya sendiri ataupun dia mengalami sendiri.

2) Komponen-Komponen Model Pembelajaran Kontekstual

Menurut Wina Sanjaya dan Agus Suprijono dalam Nunuk & Leo (2012) model pembelajaran kontekstual terdiri dari tujuh komponen utama yaitu contructivism, questioning, inquiry, learning community, modeling, reflection, dan authentic assessment.


(42)

26

Contructivism atau kontruktivisme merupakan proses

membangun pemahaman mereka sendiri berdasarkan pengalaman. Perlu ditekankan pada proses ini bahwa pembelajaran harus dikemas agar siswa mengkontruksikan bukan hanya sekedar menerima pengetahuan.

b) Inquiry

Secara singkat Inquiry dapat diartikan sebagai proses perpindahan dari pengamatan menjadi pemahaman. Hal ini didasarkan pada pencarian dan penemuan secara sistematis.

c) Questioning

Questioning atau bertanya merupakan bagian penting dalam pembelajaran ini karena dengan bertanyalah pengetahuan dapat berkembang dan pengontruksian pengetahuan menjadi lebih baik.

d) Learning Community

Komponen ini menekankan bahwa bekerja sama dengan orang lain dalam kegiatan sharing ataupun memecahkan suatu masalah lebih baik dari pada sendiri. Dengan kegiatan bertukar pengalaman dan berbagi ide tersebut maka pembelajaran diharapkan lebih berkembang dan efektif.

e) Modeling

Permodelan merupakan kegiatan pembelajaran dengan memperagakan sesuatu contoh yang dapat ditiru oleh siswa.


(43)

27

Pada komponen ini merupakan mengevaluasi kembali peristiwa pembelajaran yang telah dilakukan. Dengan adanya proses refleksi ini diharapkan siswa lebih memahami pembelajaran yang telah dipelajari.

g) Authentic Assessment

Penilaian nyata adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.

b. Model Pembelajaran Quantum

Nunuk & Leo (2012) dalam bukunya mengungkapkan bahwa “pembelajaran quantum merupakan campuran dari berbagai teori dan pandangan psikologi kognitif dan temuan-temuan empiris yang diperoleh de Porter.” Teori-teori yang termasuk dalam dasar teori model pembelajaran quantum yaitu: 1) teori otak kiri dan otak kanan, 2) teori kecerdasan ganda, 3) pendidikan holistik, 4) belajar berdasarkan pengalaman, 5) belajar dengan simbol, dan 6) simulasi.

c. Model Cooperative Learning

1) Pengertian Model Cooperative Learning

Model Cooperative Learning adalah satu dari sekian banyak model pembelajaran yang ada dalam proses pembelajaran yang ada sekarang. Cooperative Learning dalam bahasa Indonesia berarti pembelajaran kooperatif, secara harafiah berarti pembelajaran yang


(44)

28

membutuhkan sikap kooperatif atau bekerja sama dalam melakukan kegiatan tertentu. Roger, dalam Miftahul (2014:29) menyatakan

“coopertive learning is group learning activity organized in such

away that learning is based on the socially structured change of information between learn-ers in group in which each learner is held accountable for his or her own learning and is motivated to increase the learning of others

Pernyataan tersebut berarti pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial di antara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap pembelajar bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang lain.

Pembelajaran kooperatif dapat juga diartikan sebagai suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada peserta didik agar bekerjasama selama proses pembelajaran. Hal tersebut dikemukakan oleh Sunal dan Hans dalam Isjoni (2013: 15).

Definisi lain tentang model pembelajaran kooperatif diungkapkan oleh Isjoni (2013) yang mengungkapkan bahwa “pembelajaran kooperatif merupakan salah strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda.” Perlu digarisbawahi bahwa pembelajaran kooperatif tidak hanya sekedar belajar kelompok saja namun juga harus


(45)

29

memperhatikan komposisi siswa yang terdapat dalam kelompok tersebut.

Anita Lie (2004) menegaskan kembali dengan pernyataan bahwa “pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar kelompok.” Dalam pembelajaran tersebut terdapat unsur-unsur yang membedakan sehingga pembagian kelompok tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Tidak dipungkiri memang jika anak lebih nyaman jika bekerja dengan teman yang dekat dengan dia namun hal ini tidaklah baik untuk proses sosial dan perkembangannya juga. Hal tersebut diungkapkan berdasarkan pernyataan Scott Gordon dalam Anita Lie (2004: 41) yang mengungkapkan bahwa “pada dasarnya manusia senang berkumpul dengan yang sepadan dan membuat jarak dengan yang dianggap berbeda.” Hal ini akan menghambat kesempatannya dalam mengembangkan wawasan dan memperkaya diri karena dalam kelompok homogeny tidak banyak perbedaan yang terjadi.

Perlu dipahami kembali bahwa pembelajaran kooperatif tidak sama dengan belajar kelompok tradisional. Jumanta (2014: 64) menjelaskan beberapa perbedaan antara pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran kelompok tradisional. Perbedaan pertama ialah dalam pembelajaran kooperatif terdapat ketergantungan positif, saling membantu, dan saling memotivasi sehingga ada interaksi promotif. Sementara itu pada pembelajaran kelompok tradisional guru sering


(46)

30

membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok. Selain itu bila dilihat dari akuntabilitas individual, pembelajaran kooperatif memuat hal tersebut dalam proses pengerjaan tugasnya yang mengukur penguasaan materi pelajaran tiap kelompok. Dalam pembelajaran kelompok tradisional hal ini sering diabaikan sehingga tugas-tugas sering diborong salah seorang anggota kelompok. Proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar dipantau secara langsung dari awal hingga akhir oleh guru pada model pembelajaran kooperatif. Selain itu dalam model pembelajaran kooperatif penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, maka model pembelajaran tersebut tidak hanya bertujuan untuk kepentingan kelompok saja. Lebih jelas, tujuan dari kelompok pembelajaran kooperatif yang diungkapkan oleh Johnson dan David W. (2012) adalah agar masing-masing anggota kelompok menjadi seorang individu yang lebih kuat. Dalam model pembelajaran ini siswa didorong untuk belajar bersama-sama dan berinteraksi secara maksimal saat bekerja kelompok supaya selanjutnya mereka dapat menunjukkan performa yang lebih baik sebagi individu.

Teori-teori mengenai model pembelajaran kooperatif yang telah diungkapkan di atas memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Merujuk pada hal tersebut model pembelajaran kooperatif dapat


(47)

31

diartikan sebagai sebuah model pembelajaran yang menekankan pada kerja sama antar individu dalam kelompok kecil yang tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan tugas namun juga diperhatikan perilaku siswa selama proses belajar kelompok agar masing-masing anggota memiliki kompetensi yang merata dan lebih berkembang. 2) Komponen-Komponen Model Cooperative Learning

Pada dasarnya pelaksanaan model cooperative learning haruslah memuat unsur-unsur yang terdapat dalam pembelajara tersebut. Model pembelajaran tersebut memiliki empat unsur yang diungkapkan oleh Jumanta (2014) yaitu adanya peserta dalam kelompok, adanya aturan kelompok, upaya belajar, dan tujuan yang harus dicapai. Tanpa adanya keempat unsur tersebut pelaksanaan model cooperative learning akan terganggu dan tidak berjalan optimal.

Model cooperative learning mempunyai komponen-komponen dalam pelaksanaan pembelajarannya. Terdapat dua komponen pembelajaran kooperatif menurut Rusman (2013) yaitu:

a) cooperative task atau tugas kerja sama yang berfokus pada

tanggung jawab pada tugas masing-masing individu, dan

b) cooperative incentive structure atau struktur insentif kerja sama yang melakukan kerja sama dalam rangka mencapai tujuan bersama kelompok tersebut.

Kedua komponen tersebut berkolerasi pada penjelasan pengertian model pembelajaran kooperatif sebelumnya. Komponen tersebut


(48)

32

menekankan pada kerja sama yang perlu diperhatikan pada proses pencapaian tujuan kelompok belajar dan juga cara kerja masing-masing individu dalam menyelesaikan bagiannya dalam kelompok tersebut.

Lebih rinci lagi Johnson dan David W (2012) menjelaskan komponen-komponen esensial pembelajaran kooperatif. Terdapat lima komponen esensial dalam pembelajaran tersebut, yaitu interdependensi positif, interaksi promotif bertatap muka, tanggung jawab personal, keterampilan antar pribadi dan kelompok kecil, dan proses kelompok.

Pertama adalah interdependensi positif yang bisa juga disebut saling ketergantungan positif. Komponen tersebut menegaskan bahwa keberhasilan yang satu tergantung dari keberhasilan yang lain. Kerja sama antar kelompok sangat dibutuhkan dalam model pembelajaran ini agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.

Interaksi promotif bertatap muka merujuk pada para siswa yang saling memfasilitasi keberhasilan satu sama lain. Kelompok diberi kesempatan untuk bertemu dan melakukan sharing atau diskusi yang berkaitan dengan permasalahan atau penyusunan strategi dalam penyelesaian tugas yang diberikan.

Seperti yang telah disinggung dalam penjelasan sebelumnya bahwa setiap individu dalam kelompok mempunyai tugas masing-masing yang harus diselesaikan demi menunjang penyelesaian tugas


(49)

33

kelompok. Hal ini merujuk pada komponen yang ketiga yaitu tanggung jawab personal. Tanggung jawab personal merupakan komponen yang penting untuk diperhatikan karena jika salah satu anggota tidak maksimal dalam mengerjakan tugas individu maka akan mengganggung penyelesaian pada tugas kelompok.

Seperti yang telah diketahui bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang melibatkan beberapa orang dalam kelompok. Hal ini menjadikan proses sosial atau keterampilan bersosialisasi menjadi perlu diperhatikan. Komponen keterampilan antar pribadi dan kelompok kecil sangat berpengaruh dalam kelompok karena semakin tinggi skill sosial para siswa dan semakin besar perhatian guru dalam memberikan reward atas penggunaan keterampilan-keterampilan sosial tersebut, semakin besar pencapaian yang diharapkan di dalam kelompok-kelompok pembelajaran kooperatif.

Komponen yang terakhir adalah proses kelompok. Pemrosesan kelompok didefinisikan sebagai perenungan terhadap sesi kerja kelompok. Dalam kegiatan ini terjadi proses evaluasi untuk menggambarkan tindakan-tindakan anggota manakah yang harus dilanjutkan atau diubah. Hal ini dilakukan untuk perbaikan dan pengoptimalisasian kerja kelompok yang akan dilakukan selanjutnya.

Unsur-unsur atau komponen-komponen yang dijelaskan di atas tentu saja merupakan hal-hal yang harus diperhatikan ketika akan


(50)

34

melaksanakan model pembelajaran kooperatif. Hilangnya salah satu dari komponen tersebut akan membuat pembelajaran model ini akan pincang dan tidak berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.

3) Manfaat Model Cooperative Learning

Model pembelajaran kooperatif tentunya juga mempunyai manfaat jika dilaksanakan dalam pembelajaran. Dalam Miftahul (2014), Sadker dan Sadker menjelaskan bahwa model pembelajaran tersebut mempunyai manfaat yang besar dalam pembelajaran, di antaranya adalah sebagai berikut.

a) siswa yang belajar dengan struktur kooperatif akan memiliki hasil pembelajaran yang lebih tinggi karena ia akan terbantu dengan adanya kerja sama tim,

b) siswa akan memiliki sikap penghargaan diri yang lebih tinggi dan akan termotivasi untuk belajar,

c) dengan diterapkannya model pembelajaran kooperatif, siswa akan lebih peduli dengan temannya dan di antara mereka akan terbangun rasa ketergantungan yang positif, dan

d) dapat meningkatkan rasa penerimaan siswa terhadap teman-temannya yang berasal dari latar belakang ras dan etnik yang berbeda-beda.

Senada dengan penjelasan Sadker dan Sadker, berdasarkan penelitian Slavin dalam Rusman (2013) menyatakan bahwa “penggunaan model pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan


(51)

35

hubungan sosial, menumbuhkan sikap toleransi, dan menghargai pendapat orang lain.” Selain itu pembelajaran kooperatif juga dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengintegrasikan pengetahuan dengan pengalaman.

Dari jabaran tentang manfaat pembelajaran di atas dapat kita pahami bahwa model pembelajaran kooperatif ini sangatlah menguntungkan bila diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di berbagai mata pelajaran. Tidak hanya membantu siswa dalam memahami suatu materi pembelajaran namun juga mengasah soft skill lain yang dapat membuat diri siswa lebih berkembang seperti keterampilan bersosialisasi, berpikir kritis, dan bekerja sama antar anggota.

4) Jenis-Jenis Model Cooperative Learning

Model pembelajaran kooperatif memiliki banyak jenis di dalamnya. Masing-masing model yang terdapat dalam model kooperatif ini memiliki ciri tersendiri yang membedakan antara satu model dengan model yang lain. Struktur atau model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh para ahli dirangkum oleh Warsono dan Hariyanto (2013) dalam bukunya, diantaranya adalah model pembelajaran Jigsaw. Struktur model pembelajaran ini dikembangkan oleh Elliot Aronson yang bertujuan untuk mendorong siswa untuk terbiasa berpikir dari bagian-bagian menuju ke pemikiran


(52)

36

yang bersifat holistik dengan melihat keterpaduan antar bagian yang membentuk suatu bahan ajar secara utuh.

Selain model pembelajaran Jigsaw terdapat pula model pembelajaran student teams-achievement division (STAD) yang dikembangkan oleh Robert Slavin. Dalam model pembelajaran ini siswa dibiasakan untuk bekerja sama dan saling membantu dalam menyelesaikan suatu masalah, tetapi pada akhirnya bertanggung jawab secara mandiri.

Selain mengembangkan model pembelajaran STAD, Robert Slavin juga mengembangkan model pembelajaran teams game

tournament (TGT). Aktivitas dalam model pembelajaran tersebut

mendorong siswa untuk bermain sambil berpikir. Siswa akan bekerja sama dalam suatu kelompok dan berkompetisi dengan kelompok yang lain.

Team accelerated instruction atau team assisted individualization (TAI) merupakan jenis model pembelajaran kooperatif lainnya yang bersifat khusus. Maksud khusus di sini adalah bahwa model pembelajaran ini hanya bisa digunakan untuk mata pelajaran matematika khususnya aritmatika. Struktur model pembelajaran TAI tersebut menggabungkan model pembelajaran kooperatif dan pengajaran klasikal berbasis individual.

Ahli lain, Casal juga mengembangkan model pembelajaran kooperatif yang bersifat khusus yaitu cooperative integrated reading


(53)

37

and composition (CIRC). Model pembelajaran ini dikembangkan

dalam pembelajran bahasa Indonesia teruatama dalam pembelajaran membaca.

Kembali lagi pada model pembelajaran kooperatif yang bersifat fleksibel diterapkan dalam mata pelajaran apapun, terdapat model pembelajaran berpikir-berpasangan-berbagi (think pair share). Siswa didorong untuk terbiasa berpikir mandiri pada awalnya, kemudian bekerja secara berpasangan.

Jenis model pembelajaran kooperatif yang selanjutnya adalah model pembelajaran catatan kooperatif atau cooperative script. Penelitian ini akan berfokus pada model pembelajaran cooperative

script sebagai model pembelajaran yang akan diterapkan. Lebih lanjut

lagi akan dijelaskan seluk beluk model pembelajaran cooperative script pada bahasan selanjutnya sebagai dasar penelitian yang akan dilakukan.

2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Cooperative Script a. Pengertian Model Pembelajaran Cooperative Script

Model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script merupakan salah satu jenis dari model cooperative learning. Sama seperti jenis model pembelajaran kooperatif yang lain, model pembelajaran ini membutuhkan kerja sama tim dalam pelaksanaannya.


(54)

38

Secara teknis model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script seperti yang diungkapkan oleh Zainal Aqib (2013) adalah “model pembelajaran di mana siswa bekerja berpasangan dan bergantian secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.” Seperti yang telah diungkapkan dalam definisi tersebut pada dasarnya model pembelajaran ini hanya membutuhkan dua orang dalam satu kelompok kecil. Dalam kelompok kecil tersebut siswa diharapkan lebih fokus dan lebih optimal pada saat melakukan kegiatan pembelajaran. Hal tersebut didukung oleh pernyataan dari Densereau dalam Shoimin (2014) bahwa skenario dari pembelajaran cooperative script akan membuat setiap siswa mempunyai peran saat diskusi berlangsung. Tentu saja seperti yang telah diungkapkan di atas hal ini akan menunjang siswa dalam mengembangkan keterampilan-keterampilan yang bersangkutan dengan pembelajaran tersebut dengan lebih optimal.

Lebih rinci lagi, Warsono dan Hariyanto (2013) menjelaskan bahwa model pembelajaran tersebut akan membiasakan siswa untuk mendengarkan orang lain yang berbicara dengan penuh perhatian serta terbiasa membuat resume berdasarkan suatu konsep dari gagasannya sendiri yang kemudian diungkapkan secara lisan pada pasangannya dalam kelompok. Aktivitas tersebut membutuhkan fokus yang tinggi dari masing-masing siswa agar tidak terjadi miskonsepsi saat mengungkapkan gagasannya ataupun pada saat memberikan feedback suatu pernyataan teman sekelompoknya.


(55)

39

Model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script adalah pembelajaran yang menggambarkan interaksi siswa seperti ilustrasi kehidupan sosial siswa dengan lingkungannya sebagai individu, dalam keluarga, kelompok masyarakat, dan masyarakat yang lebih luas. Pemikiran yang diungkapkan Aris Shoimin (2014) tersebut mengarah pada kenyataan bahwa model pembelajaran ini juga melibatkan hal hal yang berdekatan dengan siswa. Konsepsi seperti ini tentunya akan memberikan dampak yang bagus karena siswa akan lebih mudah dalam menangkap isi dari sebuah bacaan maupun pernyataan dan juga dalam mengungkapkan pemikiran-pemikirannya terhadap persoalan yang didapatkannya.

Ketertarikan siswa dalam mengikuti pembelajaran diharapkan akan lebih tinggi pada saat diterapkannya model pembelajaran cooperative

script. Sholeh Hamid (2011) berpendapat bahwa model pembelajaran ini

merupakan model pembelajaran yang menarik bagi siswa karena siswa akan berbicara dengan lawan bicaranya secara langsung dan akan mendapatkan respon langsung dari lawan bicaranya ketika membahas sebuah tema maupun materi pembelajaran yang diajukan oleh guru mereka.

Penjelasan-penjelasan dari para ahli di atas tentu saja dapat menjadi acuan dalam praktik pembelajaran model cooperative script dalam suatu pembelajaran. Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran


(56)

40

untuk bekerja sama secara berpasangan dan mengungkapkan gagasan masing-masing secara bergantian secara lisan untuk memahami suatu bacaan atau materi pembelajaran tertentu dalam suatu pembelajaran.

b. Langkah-Langkah Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Cooperative Script

Penerapan model pembelajaran cooperative script dalam suatu pembelajaran sudah barang tentu perlu dirancang sedemikian rupa agar dalam pelaksanaannya lancar dan sesuai yang diharapkan. Densereau (Warsono dan Hariyanto, 2013) “model pembelajaran ini tidak memerlukan pengaturan kelas khusus karena setiap siswa dapat bekerja sama dengan teman sebangukunya atau siswa lain yang berdekatan.”

Sebelum menerapkan model pembelajaran tersebut perlu dipahami tentang seluk beluk dari model pembelajaran kooperatif tipe cooperative

script dan kemudian disusun langkah-langkah dalam penerapannya. Aris

Shoimin (2014) menyusun sintaks atau langkah-langkah penerapan model cooperative script sebagai berikut.

1) Guru meminta siswa untuk berpasangan.

2) Guru membagikan wacana atau materi kepada setiap siswa untuk dibaca kemudian membuat kesimpulan atau ringkasan terhadap materi tersebut.

3) Guru dan siswa menetapkan siswa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siswa yang berperan sebagai pendengar.


(57)

41

4) Sesuai kesepakatan, siswa yang menjadi pembicara membacakan ringkasan atau prosedur pemecahan masalah selengkap mungkin dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya tersebut. 5) Siswa yang bertugas menjadi pendengar menyimak, mengoreksi,

atau menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap. Selain itu, pendengar juga membantu mengingat atau menghafal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.

6) Pasangan tersebut kemudian bertukar peran, yang semula menjadi pembicara ditukar menjadi pendengar, kemudian melakukan hal yang sama seperti langkah sebelumnya.

7) Setelah selesai, siswa bersama dengan guru merumuskan kesimpulan dari materi yang telah dibahas tersebut.

8) Penutup.

Langkah-langkah yang telah dipaparkan tersebut sudah tentu dapat diterapkan diberbagai mata pelajaran. Penyusunan langkah-langkah model pembelajaran cooperative script tersebut memiliki fleksibilitas sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan pada masing-masing pembelajaran.


(58)

42

Sebagaimana model pembelajaran pada umumnya, model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script memiliki keunggulan jika digunakan dalam proses pembelajaran.

Aris Shoimin (2014: 51) menjelaskan beberapa kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script dalam bukunya. Menurutnya kelebihan model pembelajaran tersebut yang pertama adalah melatih pendengaran, ketelitian, dan kecermatan. Kelebihan dalam hal pendengaran didapatkan ketika siswa menjadi pendengar dan menyimak penjelasan yang diungkapkan oleh pembicara. Pendengaran terlatih karena siswa didorong untuk dapat memahami dan memberikan feedback untuk pembicara. Ketelitian dan kecermatan dapat didapatkan ketika siswa menjadi pembicara maupun pendengar. Ketika menjadi pembicara siswa harus teliti dan cermat dalam menemukan pokok-pokok untuk merangkum bacaan dan juga dalam menuangkan gagasan-gagasan yang akan disampaikan secara lisan.

Kelebihan lain dari model pembelajaran ini adalah setiap siswa mendapat peran. Jumlah anggota kelompok yang hanya dua orang atau berpasangan membuat siswa untuk dapat selalu terlibat dalam aktivitas pembelajaran. Siswa akan terus menerus dibiasakan untuk berdiskusi dan mengungkapkan gagasan-gagasannya secara lisan bersama dengan pasangannya. Hal ini akan sangat berguna bagi perkembangan keterampilan anak terutama pada pembelajaran keterampilan berbicara.


(59)

43

Ketika siswa berperan menjadi pendengar atau penyimak siswa akan terlatih dalam mengungkapkan kesalahan orang lain. Mengungkapkan kesalahan orang lain adalah hal yang tidak semua orang yang dapat melakukannya dengan mudah. Hal tersebut perlu pembiasaan agar selanjutnya siswa akan lebih kritis dalam menghadapi situasi apapun..

Kelebihan yang diungkapkan oleh ahli di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu bahwa model pembelajaran cooperative script memiliki kelebihan dalam pelaksanaannya. Kelebihan tersebut antara lain melatih pendengaran, ketelitian, kecermatan, setiap siswa mendapt peran, melatih mengungkapkan kesalahan orang lain.

d. Langkah-Langkah Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

Cooperative Script pada Pembelajaran Keterampilan Berbicara

Seperti yang telah dibahas di atas, pembelajaran keterampilan berbicara merupakan pembelajaran yang lebih banyak melibatkan kegiatan praktik dalam pelaksanaannya. Hal ini disebabkan karena keterampilan berbicara merupakan keterampilan yang diasah dan dikembangkan melalui pembiasaan-pembiasaan yang dilakukan secara praktis oleh seluruh siswa. Perlu ditekankan bahwa pembelajaran berbicara harus melibatkan seluruh siswa dalam pembelajarannya agar kemampuan berbicara siswa merata.

Inovasi dan perbaikan-perbaikan dalam menerapkan model pembelajaran pada pembelajaran berbicara perlu dilakukan agar


(60)

44

pembelajaran tersebut berjalan dengan efektif. Salah satu model pembelajaran yang sesuai jika diterapkan pada pembelajaran keterampilan berbicara adalah model pembelajaran kooperatif tipe

cooperative script yang telah dijabarkan pada poin sebelumnya.

Pembelajaran ini melibatkan seluruh siswa dalam praktik berbicara yang dilakukan secara berpasangan. Aris Shoimin (2014) telah menjabarkan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe cooperative script. Berdasarkan langkah-langkah yang telah dijabarkan ahli di tersebut, peneliti membuat sintaks atau langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe cooperative script yang dapat diterapkan dalam pembelajaran keterampilan berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut.

1) Siswa diberikan apersepsi berupa tanya jawab untuk menggali pengetahuan awal siswa tentang materi yang akan dipelajari hari tersebut dan merangsang siswa untuk berbicara.

2) Siswa diberikan materi dan diberikan contoh cara menyampaikan gagasannya secara lisan dengan benar.

3) Siswa diminta untuk berpasangan dan membentuk kelompok dengan teman sebangkunya atau teman yang berdekatan dengannya.

4) Masing-masing siswa mendapatkan sebuah bacaan tentang permasalahan di lingkungan sekitarnya sebagai topik yang akan dibicarakan masing-masing siswa.


(61)

45

5) Siswa diminta untuk membaca dan memahami isi dari bacaan yang telah diberikan.

6) Siswa diminta untuk membuat sebuah catatan pembantu yang memuat rangkuman berdasarkan bacaan yang telah ia pahami dan menambahkan pendapatnya serta solusi dari permasalahan dalam bacaan tersebut dengan pemikirannya sendiri untuk menjadi acuan saat praktik berbicara mengenai topik dari bacaan tersebut.

7) Siswa diminta untuk berbicara mengenai topik yang sudah dibaca dan dipahami dengan teman kelompoknya masing-masing.

8) Salah satu siswa dalam kelompok berbicara terlebih dahulu dan siswa yang lain dalam kelompok tersebut bertugas menjadi pendengar yang memberikan masukan atau tanggapan secara lisan dari topik yang dibicarakan teman sekelompoknya tersebut.

9) Siswa bertukar peran, yang sebelumnya berbicara menjadi pendengar, begitu sebaliknya. Setelah bertukar peran, kelompok melakukan aktivitas sama seperti sebelumnya.

10) Setiap kelompok merangkum hasil praktik berbicara dan tambahan tanggapan dalam kelompok lalu melakukan praktik berbicara di depan kelas.

11) Siswa bersama dengan guru memberikan tanggapan tentang praktik berbicara siswa di depan kelas dan membahas konten pembicaraan berdasarkan topik yang dibicarakan.


(62)

46

12) Siswa bersama dengan guru membuat kesimpulan dari materi yang dipelajari pada hari tersebut.

Sintaks yang disusun oleh peneliti tersebut sesuai bila digunakan dalam mata pelajaran bahasa Indonesia khususnya pada pembelajaran keterampilan berbicara. Pada langkah-langkah tersebut, pembelajaran banyak menggunakan aktivitas berbicara dalam proses pelaksanaannya.

C. Karakteristik Siswa Kelas V SD 1. Karakteristik Fisik Siswa Kelas V SD

Setiap jenjang kehidupan manusia tentu saja mempunyai ciri yang berbeda-beda. Karakteristik anak dengan karakteristik orang dewasa tentunya sangatlah berbeda karena ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Masa anak-anak adalah masa-masa yang rentan dan butuh perhatian khusus. Jahja (2011: 183) dalam bukunya menjelaskan bahwa “usia anak yang termasuk dalam masa anak-anak adalah usia enam sampai dua belas tahun”. Siswa kelas V SD rata-rata berumur sebelas tahun dan tentu saja siswa kelas SD termasuk dalam masa anak-anak. Berdasarkan hal tersebut tentu saja karakteristik siswa kelas V SD merupakan karakteristik masa anak-anak.

Terdapat berbagai karakteristik siswa kelas V SD yang diungkapkan oleh Jahja (2011). Karakteristik fisik pada akhir masa anak-anak antara lain adalah sebagai berikut.

1) tinggi badan rata-rata anak perempuan adalah 58 inci sementara laki-laki rata-rata 57,5 inci,


(63)

47

2) berat badan perempuan berkisar 88,5 pon dan laki-laki 85,5 pon, 3) perbandingan tubuh berubah,

4) kurangnya perhatian terhadap penampilan, dan 5) gigi berjumlah 22 buah.

2. Karakteristik Keterampilan Sosial Siswa Kelas V SD

Berlanjut pada karakteristik berikutnya yaitu yang bersangkutan dengan keterampilannya dalam kehidupan sehari-hari. Anak usia sekitar 11 tahun telah mempunyai keterampilan menolong diri sendiri, keterampilan menolong orang lain, keterampilan sekolah, dan keterampilan bermain.

Pengelompokan sosial yang terjadi pada masa anak-anak juga mempunyai ciri tersendiri. Dalam usia ini masing-masing siswa membentuk kelompok bermain. Dalam membentuk kelompok siswa lebih cenderung memilih teman dari kelasnya sendiri dan memilih status yang mereka senangi pada kelompok sosial. Akibat adanya kelompok bermain ini, siswa biasanya memperlakukan berbeda pada teman yang bukan termasuk anggota kelompoknya namun karena psikologis siswa masih labil, persahabatan mereka jarang ada yang tetap.

Melihat dari sudut pandang minat dan kegiatan bermain, pada akhir masa anak anak cenderung memilih untuk melakukan permainan olahraga dan bermain konstruktif. Mereka cenderung membuat sesuatu hanya untuk bersenang-senang saja tanpa memikirkan manfaatnya. Selain itu anak menyukai kegiatan menjelajah yang biasanya dilakukan bersama temannya.


(64)

48

Ciri lainnya adalah siswa gemar mengumpulkan benda tertentu yang ia sukai sebagai kepuasan tersendiri.

3. Karakteristik Siswa menurut Sudut Pandang Orang Lain

Selain karakteristik yang disebutkan di atas, Jahja (2011: 203) mengungkapkan karakteristik anak berdasarkan sudut pandang dari orang lain. Label yang digunakan para orang tua pada anak-anak mereka dalam masa akhir anak-anak adalah bahwa mereka menganggap periode ini sebagai usia tidak rapi di mana anak cenderung tidak memperdulikan sekelilingnya dan ceroboh dengan penampilannya sendiri. Menurut pandangan seorang pendidik pada masa ini siswa diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting dan mempelajari berbagai keterampilan penting tertentu baik kurikuler maupun ekstrakurikuler untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan selanjutnya. Para pendidik juga memandang periode ini sebagai periode kritis di mana anak membentuk suatu kebiasaan yang berpengaruh pada prestasinya. Ahli psikologi mengungkapkan bahwa masa ini merupakan suatu masa yang menunjukan perhatian utama anak akan tertuju pada keinginan diterima oleh teman-teman sebayanya sebagai anggota kelompok yang bergengsi dalam pandangan teman-temannya. Usia bermain menjadi alasan periode ini disebut sebagai usia bermain karena luasnya minat dan kegiatan bermain, bukan hanya karena banyak waktu untuk bermain.


(65)

49 D. Perkembangan Siswa Kelas V SD

Pada umumnya, manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan dalam kehidupannya. Sejak manusia dilahirkan, ia berproses sesuai dengan tingkatan usianya. Perkembangan di setiap jenjang usia pun mempunyai ciri tersendiri, begitu pula dengan siswa kelas V SD. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, siswa kelas V SD termasuk dalam masa anak-anak.

Perkembangan anak-anak telah dibagi menjadi empat macam oleh Jahja (2011: 183), yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan emosi dan perkembangan psikososial.

1. Perkembangan Fisik Siswa Kelas V SD

Perkembangan fisik merupakan perkembangan yang ditandai dengan berkembangnya keterampilan motorik kasar dan motorik halus, seperti tinggi badan, berat badan, perkembangan otak, dan perkembangan motorik (berjalan, berlari, menulis, menggambar, dan lain-lain).

2. Perkembangan Kognitif Siswa Kelas V SD

Perkembangan kognitif merupakan perkembangan kemampuan anak untuk mengeksplorasi lingkungan karena bertambah besarnya koordinasi dan pengendalian motorik. Hal ini akan membuat anak berkembang menjadi lebih kreatif dan imajinatif.

3. Perkembangan Emosi Siswa Kelas V SD

Tipe perkembangan selanjutnya adalah perkembangan emosi. Emosi memiliki pengaruh terhadap perilaku dan perubahan fisik anak. Emosi


(1)

256

2. Struktur Kalimat Struktur kalimat sudah tepat dan efektif di keseluruhan praktik berbicara.

15

Terdapat struktur kalimat yang belum tepat dan belum efektif tidak lebih dari 30% dari keseluruhan praktik berbicara

10

Terdapat struktur kalimat yang belum tepat dan belum efektif tidak lebih dari 50% dari keseluruhan praktik berbicara

5

Struktur kalimat belum tepat dan belum efektif.

1

3. Tekanan Tekanan berbicara pada semua kata atau kalimat sudah tepat dan wajar

15

Masih terdapat sebagian kecil tekanan berbicara yang belum tepat dan wajar.

10

Masih terdapat sebagian besar tekanan berbicara yang belum tepat dan wajar.

5

Tekanan berbicara belum tepat dan wajar.

1

4. Pilihan Kata Pilihan kata sudah sesuai dan variatif 15 Pilihan kata sudah sesuai namun

kurang variatif

10

Terdapat pilihan kata yang belum sesuai

5

Pilihan kata belum sesuai 1 5. Kepercayaan Diri Percaya diri tinggi dan berani

mengungkapkan gagasannya secara lisan

10

Percaya diri dan keberanian masih kurang dalam mengungkapkan gagasannya di depan kelas


(2)

257

Belum percaya diri dan belum berani mengungkapkan gagasannya di depan kelas

1

6. Kelancaran Berbicara

Sudah dapat berbicara dengan lancar saat praktik berbicara

10

Masih terdapat bagian yang kurang lancar saat praktik berbicara

5

Belum dapat berbicara dengan lancar 1 7. Gerakan dan

Mimik Wajah

Gerakan tubuh dan mimik wajah sudah sesuai dengan apa yang sedang

dibicarakan

10

Gerakan tubuh dan mimik wajah masih belum sesuai di bagian tertentu

5

Gerakan tubuh dan mimik wajah tidak sesuai dengan topic yang dibicarakan

1

8. Penalaran Penalaran dalam mengungkapkan gagasan sudah tepat

10

Penalaran dalam mengungkapkan gagasan kurang tepat

5

Penalaran dalam mengungkapkan gagasan belum tepat


(3)

258 Lampiran 4. Pedoman Penilaian Sikap

Pedoman Observasi Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran

Aspek Indikator

Perilaku siswa saat kegiatan awal pembelajaran

1. Siswa menjawab salam dari guru 2. Sikap siswa saat berdoa

3. Perhatian siswa terhadap apersepsi yang diberikan

4. Perhatian siswa terhadap tujuan pembelajaran yang dijelaskan. 5. Motivasi siswa untuk mengikuti

pembelajaran Perilaku siswa saat kegiatan

inti

1. Perhatian siswa terhadap penjelasan materi pembelajaran. 2. Keberanian siswa bertanya dan

menanggapi penjelasan guru 3. Kesiapan siswa berkelompok

secara berpasangan

4. Pemahaman siswa terhadap isi bacaan yang dibagikan

5. Pembuatan catatan pembantu yang memuat rangkuman, pendapat, dan solusi berdasarkan isi bacaan 6. Pengungkapan hasil pemikiran

secara lisan dalam kelompok. 7. Pemberian kritik dan saran

terhadap teman sekelompoknya 8. Rangkuman hasil diskusi siswa 9. Perhatian siswa terhadap kelompok

lain yang maju ke depan


(4)

259

diungkapkan kelompok Perilaku siswa saat kegiatan

akhir

1. Penarikan kesimpulan atas materi yang disampaikan pada hari tersebut.

2. Proses siswa dalam mengerjakan soal individu.

Lembar Observasi Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran

Nama Siswa : No. Absen : Kelas :

No. Aspek yang Diamati Skor

1 2 3 4 1. Siswa menjawab salam dari guru dengan benar.

2. Siswa berdoa dengan sikap yang baik.

3. Siswa memperhatikan apersepsi yang diberikan guru dengan penuh perhatian.

4. Siswa mendengarkan tujuan pembelajaran yang dijelaskan guru dengan penuh perhatian.

5. Siswa termotivasi untuk mengikuti pembelajaran pada hari tersebut.

6. Siswa memperhatikan penjelasan materi pada hari tersebut dengan penuh perhatian

7. Siswa berani bertanya tentang hal yang belum ia pahami dari penjelasan guru

8. Siswa bersedia dibagi berpasangan membentuk sebuah kelompok

9. Siswa membaca dan memahami isi dari bacaan yang telah diberikan


(5)

260

10. Siswa membuat catatan pembantu yang memuat rangkuman, pendapat, dan solusi dari

pemikirannya sendiri

11. Siswa mengungkapkan hasil pemikirannya secara lisan dengan teman sekelompoknya secara bergantian

12. Siswa saling memberikan masukan terhadap gagasan teman sekelompoknya

13. Siswa menyiapkan pertanyaan dan tanggapan untuk saling dilemparkan secara bergiliran dalam kelas.

14. Siswa memberikan pertanyaan atau memberi tanggapan dengan baik.

15. Siswa bersama guru membahas gagasan berdasarkan teks bacaan

16. Siswa bersama guru menyimpukan materi yang dipelajari pada hari tersebut


(6)

261 Lampiran 17. Surat Izin Penelitian


Dokumen yang terkait

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TALKING STICK (TS) PADA SISWA KELAS V SD NEGERI I MARON

1 9 185

PENINGKATAN KEAKTIFAN SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD PADA PEMBELAJARAN PKn SISWA KELAS V Peningkatan Keaktifan Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Pada Pembelajaran PKn Siswa Kelas V SD Negeri 03 Wonorejo, Gondan

0 0 15

PENINGKATAN KEAKTIFAN SISWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD PADA PEMBELAJARAN PKn SISWA KELAS V Peningkatan Keaktifan Siswa Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Stad Pada Pembelajaran PKn Siswa Kelas V SD Negeri 03 Wonorejo, Gondan

0 1 16

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA MELALUI PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE THINK PAIR AND SHAREDALAM PEMBELAJARAN IPS.

0 0 55

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE CONCEPT SENTENCE PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI 1 SIDOWAYAH TAHUN AJARAN 2014/2015.

0 0 18

PENINGKATAN MINAT BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD (STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS) PADA SISWA KELAS V SD N 1 SEDAYU BANTUL.

0 1 162

PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEADS TOGETHER PADA SISWA KELAS V SD NEGERI PANGGANG SEDAYU BANTUL.

0 2 229

UPAYA MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA BAHASA JAWA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERMAIN PERAN PADA SISWA KELAS V SD NEGERI SOROBAYAN SANDEN BANTUL.

1 32 197

PENGARUH IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN. docx

0 0 9

PENERAPAN TIPE COOPERATIVE SCRIPT UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR

0 1 11