Urbanisasi dan Suburbanisasi Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

27 prosesnya yang selalu diiringi dengan proses konversi lahan pertanian yang sangat produktif Rustiadi, 1997. Proses suburbanisasi bukanlah fenomena yang relatif baru. Suburbanisasi telah melahirkan fenomena yang kompleks yaitu akulturasi budaya, konversi lahan partanian ke non pertanian yang bersifat irreversible, spekulasi tanah dan lain-lain. Van den Berg et al 1981 dalam Rustiadi 1997 mengidentifikasi empat tahapan proses urbanisasi: 1 tahap urbanisasi, migrasi penduduk dari desa ke kota; 2 tahap Suburbanisasi, tahap dimana kota berkembang dan mempengaruhi daerah – daerah sekitarnya dan menjanjikan kesejahteraan sehingga penduduk daerah pinggiran tertarik ke pusat-pusat kegiatan dan pelayanan kota; 3 tahap disurbanisasi, penurunan jumlah penduduk di daerah perkotaan diikuti oleh penurunan aktifitas ekonomi, disebabkan oleh kehilangan kesempatan kerja dan lapangan usaha; 4 tahap urbanisasi, dibangunnya pusat- pusat kegiatan baru dengan tingkat aglomerasi yang lebih rendah pada beberapa lokasi. Proses suburbanisasi di wilayah sekitar Jakarta yang ditandai dengan perkembangan permukiman dan industri sekala besar di daerah-daerah di sekitar wilayah metropolitan Jakarta pada dasarnya didorong oleh adanya: a. Kebijakan pemerintah, berupa:  Kebijakan membangun Jakarta sebagai pusat pemerintah dan pusat kekuasaan;  Subsidi dalam pembangunan perumahan;  Pemberian fasilitas kepada beberapa konglomerat yang akan menanamkan modalnya;  Pembangunan infrastruktur, yang meningkatkan aksesibilitas ke Jakarta, misalnya: Jalan Tol Jagorawi, Tol Cikampek dan Tol Merak;  Kebijakan pemerintah yang terpusat sentralistik. b. Pengaruh pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di perkotaan menjadi daya tarik yang kuat terhadap urbanisasi, yang berimplikasi terhadap perkembangan jumlah penduduk yang pesat. Sejalan dengan meningkat jumlah tersebut, maka 28 permintaan akan tanah menjadi meningkat pula. Pada kondisi dimana pertumbuhan penduduk telah melampaui kapasitas perkotaan dalam penyediaan fasilitas dan pelayanan sosial, akan mengakibatkan terjadinya daya tarik yang kuat terhadap urbanisasi, yang berimplikasi terhadap perkembangan jumlah penduduk yang pesat. Sejalan dengan peningkatan jumlah tersebut, maka permintaan akan tanah menjadi meningkat pula. Pada kondisi dimana pertumbuhan penduduk telah melampaui kapasitas perkotaan dalam penyediaan fasilitas dan pelayanan sosial, akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan antara permintaan dan penawaran akan tanah tentunya merupakan suatu indikasi bahwa tanah dapat dikategorikan sebagai sumberdaya yang mempunyai sifat kelangkaan scarcity, disamping harga tanah yang semakin meningkat pula. Pertumbuhan penduduk di sekitar Jakarta Bogor, Bekasi dan Tangerang antara tahun 1960 – 1998 menunjukkan bahwa pertumbuhan kota Jakarta cenderung mendekati kurva eksponensial. Pertumbuhan penduduk yang cenderung tinggi tersebut merupakan salah satu ciri telah terjadinya urbanisasi di kota Jakarta Rustiadi, 2007. Studi yang dilakukan Rustiadi et al 1999 di Jakarta dan salah satu wilayah penyangga Jakarta, Kabupaten bekasi, memperlihatkan keterkaitan proses migrasi, pertumbuhan ekonomi dan konversi lahan. Di dalam studinya memperlihatkan bahwa paling sedikit terdapat tiga tahapan proses suburbanisasi di wilayah Bekasi 1 pra-suburbanisasi hingga tahun 1970, 2 suburbanisasi tahap pertama awal tahun 1980-an dan 3 suburbanisasi tahap kedua mulai tahun 1990-an. Tahap pra-suburbanisasi di wilayah bekasi dicirikan dengan rendahnya tingkat kepadatan penduduk dan rendahnya produktivitas lahan sawah dan pertanian pada umumnya, Kota Jakarta merupakan daerah tujuan migrasi yang utama. Suburbanisasi ini menciptakan pola penggunaan lahan yang kompleks sebagaimana ciri konsep desa-kota. Suburbanisasi tahap kedua dicirikan dengan semakin menurunnya luasan lahan sawah seiring dengan semakin pesatnya pertambahan jumlah penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan berareal luas tipe real-estate. Proses suburbanisasi ini juga telah mempercepat proses konversi lahan di Jakarta 29 dan sekitarnya. Konversi penggunaan lahan di dalam proses suburbanisasi umumnya merupakan proses konversi dari lahan-lahan pertanian yang umumnya paling produktif. Laju pertumbuhan ekonomi yang disertai konversi lahan di wilayah Jabotabek merupakan proses yang kontraproduktif dengan upaya mempertahankan sentra-sentra produksi beras utama di sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Fenomena commuting melaju yang sangat besar dapat dijadikan sebagai salah satu indikator pelengkap yang menunjukkan telah terjadinya proses suburbanisasi. Faktor kenyamanan tempat tinggal dan harga lahan yang relatif lebih murah dibandingkan dengan Jakarta menjadi sebagaian alasan dari perpindahan kaum urbanit untuk berpindah dari Jakarta ke pinggiran kota Jakarta. Pada tahun 1991,` rata-rata penduduk sekitar Botabek yang bekerja di Jakarta mencapai lebih dari 50, kecuali Bogor. Sementara itu rata-rata 45 dari penduduk Botabek bersekolah di Jakarta. Laju pertumbuhan penduduk Jakarta dan zone-zone yang melingkarinya lebih banyak ditentukan oleh pertumbuhan alami dari pada migrasi neto. Semakin jauh dari Jakarta, angka pertumbuhan alami makin besar. Sebaliknya pada migrasi neto bervariasi. Apabila dilihat dari wilayahnya, migrasi yang berasal dari Jakarta, zone-zone yang melingkarinya cukup signifikan. Hal ini memberikan gambaran bahwa telah ter-zone-zone yang melingkarinya jadi perpindahan tempat tinggal dari kota ke daerah pinggiran kota suburbanisasi yang keadaannya lebih bersih dan tidak terlalu padat Joewono, 2003 Menunjukkan hubungan kepadatan penduduk dengan rasio lahan urban Jabotabek tahun 1992 sampai dengan tahun 2000. Semakin padat penduduk desa semakin tinggi rasio lahan urban-nya. Desa dengan kepadatan penduduk di bawah 1000 jiwakm 2 mempunyai rasio lahan urban yang relative sama, kisaran ini merupakan desa yang jauh dari pusat kota. Selisih rasio lahan yang besar terdapat pada kepadatan mulai dari 30.000 jiwakm 2 dimana wilayah ini merupakan desa yang berada di pusat kota, sampai pinggiran Jakarta atau jarak 30 km dari Monas. Hal ini mengindikasikan kebutuhan lahan urban yang besar 30 karena adanya kebutuhan ruang untuk perumahan, industri, perdagangan dan jasa Sitorus, 2004

2.1.3. Transformasi Spasial

Transformasi spasial dapat dilihat dari dimensi kepadatan ruang density, jarak ruang distance, dan pembagian fungsi ruang division. Kepadatan ruang yang tinggi terdapat di perkotaan sebagai konsentrasi kegiatan ekonomi, jarak ruang terhadap pusat konsentrasi ekonomi menyebabkan perbedaan kesempatan ekonomi antar tempat, dan kepadatan dan jarak ruang menyebabkan adanya pembagian fungsi ruang dan kegiatan ekonomi yang memiliki skala dan spesialisasi tertentu. Ketiga dimensi tersebut menyebabkan adanya pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang dan kemajuan suatu wilayah yang inklusif yang dapat dianalisis dari adanya aglomerasi, migrasi, dan spesialisasi. Secara empiris, pemerataan kesejahteraan masyarakat antar daerah akan mulai terjadi secara lebih baik jika pendapatan per kapita di suatu negara Wiranto, 2008. Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang. Kota sebagai perwujudan geografis selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Dua faktor utama yang sangat berperan adalah factor penduduk demografis dan aspek-aspek kependudukan. Aspek kependudukan seperti aspek politik, sosial, ekonomi, dan teknologi juga selalu mengalami perubahan. Kuantitas dan kualitas kegiatannya selalu meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk perkotaan, sehingga ruang sebagai wadah kegiatan tersebut selalu meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk perkotaan, sehingga ruang sebagai wadah kegiatan tersebut selalu mengalami peningkatan. Untuk kota yang sudah padat bangunannya, semakin berkembangnya penduduk yang tinggal di daerah perkotaan dengan segala aspek kehidupannya, yang berlangsung secara terus-menerus akan mengakibatkan kota tidak lagi dapat menampung kegiatan penduduk. Oleh karena wilayah kota secara administratif terbatas, maka harus mengalihkan perhatiannya ke daerah pinggiran kota. Selanjutnya akan mengakibatkan terjadinya proses densifikasi permukiman di daerah pinggiran kota dengan berbagai dampaknya. 31 Akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan kota adalah adanya kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah pinggiran kota urban fringe yang disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar urban sprawl. Akibat selanjutnya di daerah pinggiran kota akan mengalami proses transformasi spasial berupa proses densifikasi permukiman dan transformasi sosial ekonomi sebagai dampak lebih lanjut dari proses transformasi spasial. Proses densifikasi permukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan realisasi dari meningkatnya kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan. Berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses ekspansi kota ke wilayah pinggiran yang berakibat pada perubahan fisikal, misal perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi Subroto, 1997. Demikian juga perkembangan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh wilayah sekitarnya, terutama antara wilayah kota dengan wilayah pinggirannya. Manusia sebagai penghuni daerah pinggiran kota selalu mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya. Adaptasi dan aktivitas ini mencerminkan dan juga mengakibatkan adanya perubahan sosial, ekonomi, kultural, dan lain-lain Daldjoeni, 1987. Perluasan kota dan masuknya penduduk kota ke daerah pinggiran telah banyak mengubah tata guna lahan di daerah pinggiran terutama yang langsung berbatasan dengan kota. Banyak daerah hijau yang telah berubah menjadi permukiman dan bangunan lainnya. Hal ini menyebabkan terjadinya proses densifikasi permukiman di daerah pinggiran kota Teori lain adalah Hammond dalam Daldjoeni, 1987 mengemukakan beberapa alasan tumbuhnya daerah pinggiran kota diantaranya: a. Adanya peningkatan pelayanan transportasi kota, memudahkan orang bertempat tinggal pada jarak yang jauh dari tempat tinggalnya. b. Berpindahnya sebagian penduduk dari bagian pusat kota ke bagian tepi- tepinya, dan masuknya penduduk baru yang berasal dari perdesaan. c. Meningkatnya taraf kehidupan masyarakat. Kunci keberhasilan transformasi spasial adalah kemampuan untuk membangun institusi, meningkatkan investasi, dan penyediaan pelayanan