Metropolitan Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah

23 dan mempunyai karakter kota yang lebih besar daripada karakter perdesaan, dengan kepadatan secara bruto sebesar 66 jiwa per ha. Sementara itu Blumenfeld 1971 dalam Angotti, 1993 juga mendeskripsikan metropolis sebagai permukiman dengan penduduk paling tidak 50.000 jiwa, namun menurutnya, satu juta adalah kriteria yang cocok untuk ukuran metropolis di Amerika Utara. Angotti 1993 mengatakan bahwa kota metropolis itu berpenduduk satu juta atau lebih. Selain menggambarkan kondisi banyak fungsi sosial ekonomi dan ukuran penduduk dari sebuah kota, istilah metropolis menurut Kamus Geografi dapat ditinjau dari ukuran hirarki, yang mempertimbangkan sebuah metropolis sebagai pusat fungsional. Fungsi-fungsi dari kekuatan yang inheren dalam metropolislah yang kemudian menjadi dasar dari perilaku pertumbuhan kota. Di sini kekuatan finansial dan pertimbangan geopolitiklah yang memainkan peran utama dari sebuah kawasan metropolitan. Dengan demikian, istilah metropolis tidak lagi hanya dipertimbangkan sebagai sebuah ibu kota. Sebuah kota besar atau yang sangat besar pun harus dipertimbangkan sebagai sebuah kota metropolitan. Luasan kota metropolitan pun bervariasi, bergantung pada wilayah. Di Eropa, misalnya, luasan sebuah metropolis adalah antara 25.000 hingga 50.000 km persegi, sementara di Amerika Serikat hingga 200.000 km persegi. Suatu metropolitan bisa saja mempunyai satu pusat monocentric, atau lebih dari satu pusat polycentric. Pada suatu metropolitan yang polycentric, pusat metropolitan tidak harus secara fisik tersambung dalam bentuk kawasan terbangun built-up area,- berbeda dengan pengertian conurbation,- kota-kota yang menjadi pusat metropolitan polycentric terhubung secara ekonomi dan fisik, dan secara keseluruhan menjadi kawasan perkotaan yang besar. Contoh dari bentuk polycentric ini misalnya adalah Tokyo-Kawasaki- Yokohama the Keihin area, atau Osaka-Kobe dan Kyoto sebagai Kehanshin Zone. Jika metropolitan-metropolitan sangat berdekatan, mereka bias membentuk suatu Megalopolis. Metropolitan di dunia terbentuk karena adanya aglomerasi ekonomi yang menyebabkan dominasi ekonomi kota terhadap daerah pinggirannya. Ditemukannya mesin uap yang memicu revolusi industri menyebabkan kota 24 seperti London menjadi tempat berkembangnya industri dan urbanisasi dari desa ke kota meningkat sangat tajam, antara tahun 1821 sampai 1851 atau hanya dalam 30 tahun penduduk London meningkat 4 juta jiwa. Angka tersebut sangat tinggi dalam konteks Eropa pada saat itu. Pertumbuhan tersebut sering juga dilihat sebagai “penjajahan” kota terhadap daerah pinggirannya atau bahkan terhadap kawasan perdesaan. Kota menyerap semuanya dan sering juga dilihat sebagai pusat berkembangnya penyakit dan perbuatan-perbuatan asusila Angotti 1993. Keadaan itu memicu timbulnya aliran anti-urban. London, Machester, New York, Chicago dianggap sebagai tempat yang menyebabkan kemaksiatan yang dipicu oleh perkembangan industri dan modal. Metropolitan di negara-negara maju merupakan akibat dari revolusi industri di abad 19. Walau demikian, beberapa di antara kota-kota tersebut seperti London dan Paris telah tumbuh jauh sebelum masa revolusi industri. Di akhir abad 17, London telah memiliki 670.000 penduduk dan Paris memiliki 500.000 penduduk. London di masa itu telah berfungsi sebagai pusat politik atau kekuasaan dari kerajaan Inggris, dan sekaligus sebagai pusat perdagangan internasional. Sebelum tumbuhnya industri-industri besar, London bahkan telah memiliki penduduk dengan jumlah lebih dari satu juta jiwa dan telah berfungsi sebagai pusat keuangan penting di dunia yang dimulai dengan didirikannya Bursa London di tahun 1773. Dari berbagai kota metropolitan di negara-negara maju, kasus yang agak berbeda adalah Tokyo. Sebagai ibu kota dari ke-shogunan Tokugawa sejak abad 16 hingga abad 18, Tokyo yang pada masa itu bernama Edo, tumbuh melampaui Kyoto, ibu kota resmi kekaisaran. Jumlah penduduk Tokyo telah melampaui satu juta jiwa di akhir abad 18. Namun seiring dengan berkurangnya pengaruh kekuasaan ke-shogunan Tokugawa, terjadi penurunan jumlah penduduk Tokyo di awal paruh abad 19 menjadi sekitar 600.000. Sejak restorasi Meiji, ketika Jepang membuka diri terhadap negara-negara barat, dan Tokyo secara resmi menjadi ibu kota negara, pertumbuhan penduduk Tokyo kembali meningkat sehingga di tahun 1900 penduduknya telah mencapai 1,4 juta jiwa. Di Amerika Latin, kota-kota metropolitan modern umumnya tumbuh sebagai akibat kolonisasi Spanyol maupun Portugis, yakni akibat perdagangan 25 kolonial, terutama pada bagian yang menghadap Samudera Atlantik tempat pendatang-pendatang awal dari Eropa, dan juga tanah yang subur bagi pertanian yang pada masa itu menarik para pendatang tersebut. Sebaliknya di bagian pegunungan serta bagian yang menghadap Pasifik, pertumbuhan kota-kotanya lebih lambat. Kasus yang agak berbeda dalam hal ini adalah Kota Meksiko, yang sejak 1325 telah menjadi ibu kota Kerajaan Aztek Meksiko- Tenochtitlan. Dalam perkembangannya sebagai ibu kota Meksiko, kekuatan politiklah yang menyebabkan kota tersebut tumbuh dengan pesat. Sementara itu, Sao Paulo di Brazil memiliki sejarah pertumbuhan yang berbeda dari Meksiko. Berawal dari lokasi sekolah sekte Jesuit yang berada di persimpangan jalur menuju kawasan pedalaman, Sao Paulo kemudian berkembang pesat akibat perdagangan kopi. Di Asia sendiri perkembangan kota-kota metropolitan awalnya tak lepas dari pengaruh perdagangan kolonial. Manila, misalnya, baru mulai berkembang sejak kolonisasi Spanyol tahun 1565. Demikian pula dengan Jakarta yang dahulu bernama Batavia, juga Mumbai dan Kalkuta. Aktivitas perdagangan di Mumbai berkembang pesat sehingga penduduk kota tersebut yang di tahun 1814 berjumlah 170.000 jiwa menjadi 566.000 di tahun 1845, dan 817.000 jiwa di tahun 1864. Sejarah yang agak berbeda mungkin ditemukan di Bangkok, yang telah merupakan ibu kota kerajaan sebelum orang-orang Eropa datang. Demikian juga Seoul yang telah menjadi ibu kota kekaisaran Dinasti Li sejak abad 14, jauh sebelum pendudukan Jepang di tahun 1910 Direktorat Jenderal Penataan Ruang, 2005 . Salah satu fenomena pertumbuhan metropolitan yang menarik adalah pertumbuhan Shenzhen di Cina. Shenzen di awal tahun 1980 an hanyalah sebuah kota kecil nelayan dengan penduduk 70.000 jiwa. Semuanya berubah ketika Shenzhen terpilih sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Special Economic Zone yang pertama di China. Lokasinya yang strategis, yakni berseberangan dengan Hongkong membuat kawasan tersebut banyak menarik investasi dari Hongkong. Hanya dalam kurun waktu seperempat abad, Shenzhen berubah menjadi metropolitan berpenduduk 7 juta jiwa dengan kekuatan ekonomi nomor empat di Cina. Fenomena unik ini mungkin hanya dapat didekati oleh Chicago yang membutuhkan waktu 50 tahun untuk menjadi kota berpenduduk jutaan. 26

2.1.2. Urbanisasi dan Suburbanisasi

Faktor–faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi sangat beragam dan rumit. Karena migrasi merupakan suatu proses yang secara selektif mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidikan dan demografi tertentu. Persoalan migrasi desa kota rural urban migration merupakan sebuah faktor negatif yang menyebabkan surplus tenaga kerja perkotaan secara berlebihan serta sebagai suatu kekuatan yang secara terus- menerus memperburuk masalah-masalah penganggguran di berbagai daerah perkotaan yang pada awalnya bersumber dari ketidak seimbangan struktural dan ekonomi antara daerah-daerah perkotaan dan perdesaan Todaro, 1994. Urbanisasi mengacu kepada peningkatan proporsi jumlah penduduk perdesaan yang tinggal di pusat-pusat kota dengan ukuran tertentu Abercombie et al, 1988 dalam Rustiadi, 1997. Urbanisasi dapat diartikan sebagai proses yang menyertai transformasi struktural ekonomi pada suatu wilayahdaerah sehingga terjadi perubahan pola hidup akan kebutuhan sarana, prasarana dan jasa pelayanan serta perubahan yang modern. Seiring dengan meluasnya urbanisasi dan pembangunan pemukiman kumuh slum dan kampung-kampung di tengah kota yang serba menyesakkan dan liar shanty town serta semakin banyak penduduk perkotaan yang tinggal berhimpit-himpit di berbagai pusat pemukiman yang sebenarnya tidak pantas dihuni oleh manusia Todaro, 1994. Suburbanisasi adalah proses pengembangan pemukiman dan kadang- kadang disertai dengan pengembangan industri pada wilayah pinggiran kota Mayhew, 1997; Jackson, 1985 dalam Rustiadi, 1997. Perkembangan urbanisasi di wilayah sub urban dipengaruhi oleh factor-faktor penarik dari dalam kota dan juga sistem pengembangan transportasi yang menghubungkan wilayah sub urban dengan wilayah urban. Proses Suburbanisasi adalah salah satu proses pengembangan wilayah yang semakin menonjol dan akan semakin berpengaruh nyata di dalam proses penataan ruang di sekitar wilayah perkotaan. Di satu sisi, proses ini dipandang sebagai perluasan wilayah urban ke wilayah pinggiran kota yang berdampak meluasnya sekala managemen wilayah urban secara real. Di sisi yang lain, proses ini sering dinilai sebagai proses yang kontra produktif mengingat 27 prosesnya yang selalu diiringi dengan proses konversi lahan pertanian yang sangat produktif Rustiadi, 1997. Proses suburbanisasi bukanlah fenomena yang relatif baru. Suburbanisasi telah melahirkan fenomena yang kompleks yaitu akulturasi budaya, konversi lahan partanian ke non pertanian yang bersifat irreversible, spekulasi tanah dan lain-lain. Van den Berg et al 1981 dalam Rustiadi 1997 mengidentifikasi empat tahapan proses urbanisasi: 1 tahap urbanisasi, migrasi penduduk dari desa ke kota; 2 tahap Suburbanisasi, tahap dimana kota berkembang dan mempengaruhi daerah – daerah sekitarnya dan menjanjikan kesejahteraan sehingga penduduk daerah pinggiran tertarik ke pusat-pusat kegiatan dan pelayanan kota; 3 tahap disurbanisasi, penurunan jumlah penduduk di daerah perkotaan diikuti oleh penurunan aktifitas ekonomi, disebabkan oleh kehilangan kesempatan kerja dan lapangan usaha; 4 tahap urbanisasi, dibangunnya pusat- pusat kegiatan baru dengan tingkat aglomerasi yang lebih rendah pada beberapa lokasi. Proses suburbanisasi di wilayah sekitar Jakarta yang ditandai dengan perkembangan permukiman dan industri sekala besar di daerah-daerah di sekitar wilayah metropolitan Jakarta pada dasarnya didorong oleh adanya: a. Kebijakan pemerintah, berupa:  Kebijakan membangun Jakarta sebagai pusat pemerintah dan pusat kekuasaan;  Subsidi dalam pembangunan perumahan;  Pemberian fasilitas kepada beberapa konglomerat yang akan menanamkan modalnya;  Pembangunan infrastruktur, yang meningkatkan aksesibilitas ke Jakarta, misalnya: Jalan Tol Jagorawi, Tol Cikampek dan Tol Merak;  Kebijakan pemerintah yang terpusat sentralistik. b. Pengaruh pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di perkotaan menjadi daya tarik yang kuat terhadap urbanisasi, yang berimplikasi terhadap perkembangan jumlah penduduk yang pesat. Sejalan dengan meningkat jumlah tersebut, maka