Perubahan dari Modernisme ke Postmodernisme: Pergeseran Paradigma Eksklusivisme ke Pluralisme.

9 Seorang tokoh lain yang merupakan peletak dasar Pluralisme yaitu John Hick, meletakkan relativisme yang lebih dalam dari Troeltsch. Ia mengatakan iman berpusat pada Allah dan bukan pada kekristenan atau agama lain, yang merefleksikannya dengan cara-cara mereka sendiri secara berbeda. Dalam teori revolusi Copernicus ia menambahkan,”Dan revolusi Copernicus yang dibutuhkan dalam teologi melibatkan sebuah transformasi yang secara radikal setara dalam konsepsi kita mengenai semesta iman dan tempat agama kita sendiri didalamnya. Hal itu melibatkan sebuah transformasi yang secara radikal setara dalam konsepsi kita mengenai semesta iman dan tempat agama kita sendiri didalamnya. Hal itu melibatkan sebuah pergeseran dari dogma bahwa kekristenan berada di pusat kesadaran bahwa Allahlah yang berada dipusat, dan bahwa semua agama manusia, termasuk agama kita, melayani dan berkisar disekelilingnya.” Dibagian lain ia menambahkan dengan membedakan tiga komponen dari persoalan teologis yang muncul. Ia berkata, “Kita dapat membedakan tiga jenis perbedaan dan konflik diantara agama-agama dunia; perbedaan dalam cara mereka mengalami kenyataan ilahi; perbedaan dalam peristiwa-peristiwa kunci atau terwahyukan yang kepadanya aliran pengalaman keagamaan yang berbeda menemukan asal muasal mereka dan dengan memakainya mereka memusatkan ibadah mereka.” Dari pernyataan-pernyataan diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa relativisme adalah salah satu titik tolak yang dipakai oleh kaum Pluralis sebagai salah satu dasar dalam meletakkan pandangan mereka.

D. Perubahan dari Modernisme ke Postmodernisme: Pergeseran Paradigma Eksklusivisme ke Pluralisme.

Masa pencerahan yang terjadi pada abad ketujuhbelas dan kedelapanbelas membawa suatu pemikiran yang menyesatkan bagi kekristenan yang alkitabiah. Masa pencerahan itu disebut sebagai modernisme yang membawa pemikiran ke arah yang berlawanan dengan asas-asas utama orang Kristen. Semangat modernisme mereka menempatkan kemajuan kepada akal budi sebagai tujuan utamanya dan menolak wahyu ilahi sebagai pencerahan yang sejati. Manusia dipandang sebagai mahluk berakal yang menjadi pusat kegiatan hidup dan ilmiah. Rasio kemudian juga dipandang sebagai kata kunci yang senantiasa menjadi pusat dalam percakapan modernisasi. Rasio juga menjadi satu-satunya alat untuk mencapai kemajuan peradaban. Sebagai akibatnya dalam bidang teologia penekanan mereka terhadap rasio membuat mereka memandang Alkitab bukan lagi sebagai wahyu ilahi yang otoritatif. Akhirnya lahirlah paham deisme, naturalisme, dan rasionalisme yang berkembang biak dalam pemikiran cendekiawan yang tidak lahir baru di dunia barat, yang mulai menggerogot seperti kanker terhadap kebenaran kekristenan yang fundamental. Kemunculan teori Evolusi Darwin dalam gelombang pencerahan juga merupakan satu katalisator bagi modernisme dalam menjelaskan eksistensi alam semesta dalam pikiran mereka secara enak dengan penyingkiran kuasa ilahi didalamnya. Dalam masa modernisme ini seorang filsuf Jerman George Hegel, yang merupakan salah satu bapak Liberalisme modern mulai mengemukakan perpaduan teologia dan filosofi, seperti juga halnya agama dan rasio. Konsepnya itu pemikiran dialektis akhirnya membawa perubahan yang besar terhadap para teolog. Menurut Hegel tidak ada kebenaran yang permanen, bahkan Allah sendiri berubah. Pendekatan Hegel membuka jalan yang menggeser habis pemikiran religius dari hal yang absolut menjadi hal yang relatif dan subyektif. Penekanan unsur intelektual di dalam hal religius yang akhirnya merusak prinsip alkitabiah. Seiring dengan itu, seorang rekan Jermannya yang membawa pengaruh yang besar terhadap pemikiran religius adalah Friedrich Schleimarcher. Ia memfokuskan kepada pengakuan religius. Baginya agama yang sejati adalah sebuah perasaan ketergantungan kepada yang Maha kuasa bukan suatu pribadi Allah. Seorang 10 Kristen adalah seorang yang mempunyai suatu “pengalaman” yaitu sebuah intuisi yang dimilikinya sendiri. Jadi, kekristenan bukan berdasarkan pada wahyu Allah yang obyektif, sempurna dan final, tetapi didalam “pengalaman-pengalaman” yang dirasakan dari para pemeluknya. Namun pada akhirnya kerangka pemikiran ini mulai berubah seiring dengan perkembangan peradaban dan pola pikir rasio yang cendrung pragmatis. Konsep pemikiran modernisme ini berubah menjadi postmodernisme. Istilah postmodernisme sendiri muncul pada tahun 1917 yang dikemukakan oleh seorang filsuf Jerman Rudolf Pannwitz, untuk menggambarkan nihilisme menurut terminologi Nietzsche. Dalam bidang teologi istilah ini pertama kali digunakan di Inggris pada tahun 1939 oleh Bernard Iddings Bells, seorang teolog yang mengetengahkan kegagalan modernisme sekuler dan kembalinya agama dalam kehidupan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, semangat postmodernisme merambah hampir keseluruh dimensi keilmuan manusia dan akhirnya memuncak dalam pemikiran filosofi. Friedriech Nietzsche adalah salah satu tokoh yang berperan penting dalam era postmodernisme. Ia adalah orang yang mempunyai sikap sangat kritis terhadap roh Absolut Hegel. Michel Foulcault adalah seorang yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Nietzsche pada akhir 1950-an dan ia mulai bersikap kritis terhadap historisisme dan humanisme. Penulis yang lain yang juga gencar dalam mempromosikan postmodernisme, Jean Francois Lyotard juga beralih ke pemikiran Nietzsche. Jaccques Derrida pun terus-menerus mengutip Nietzsche dalam tulisan-tulisannya. Atau juga seorang pemikir postmodern lainnya, Gilles Deleuze, menyatakan bahwa Nietzsche adalah kritikus utama pemikiran dialektis Hegel. Itulah sebabnya maka Bambang Hardiman menjuluki Nietzsche sebagai bapak postmodernisme. Semangat postmodernisme ini akhirnya merambat kesegala bidang keilmuan dan kehidupan masyarakat, termasuk pula teologi. Teolog-teolog postmodernisme tersebut meliputi; George Lindbeck, Ronald Thieman, Harvey Cook, Thomas Altizer dan Mark C. Taylor. Mereka dipandang telah mampu mengerjakan diskursus teologis dengan cara berpikir postmodernis. Teolog-teolog ini akhirnya melahirkan Teologi Pembebasan. Teologi Religionum dan Etik Global. Dimana konflik universalitas-lokalitas atau kesatuan-kepelbagaian mulai dipercakapkan dengan terbuka dan serius. Akhirnya muncullah pluralisme dan relativisme makna. Dalam konteks teologi Kristiani maka pertanyaannya adalah; apakah masih dimungkinkan untuk meyakini kebenaran universal dari Allah? Apakah kebenaran Allah tersebut tidak menjadi kisah agung yang menindas? Akhirnya ide pluralitas dan relativis makna ini mulai diperluas, bukan hanya dalam diskursus mengenai wacana yang suci namun juga tentang Allah sendiri, yang akhirnya membawa kepada teologis yang lebih besar bagi teologia religionum, yang mengacu kepada relativis. Paul F Knitter seperti yang dikemukakan AK Craggs pun mulai menjelaskan keunikan Kristus tersebut sebagai “sebuah keunikan rasional”. Yang akhirnya mengakui kebenaran yang diyakini orang Kristen bersifat relatif ditengah arena agama-agama lain, yang menurut mereka tidak serta merta berarti mengabaikan keunikan kebenaran tersebut, namun sebaliknya mengakui keunikan tersebut dalam relasi dengan orang lain. Kelompok postmodernisme juga selalu mengemukakan tiga paradigma teologi religionum, yaitu eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Pergeseran itu sendiri adalah akibat pergerakan pemikiran yang menyimpang dari Alkitab. Inklusivisme muncul dengan sebuah penolakan konsep eksklusivisme yang terutama dipegang oleh orang-orang Fundamentalisme yang menekankan tentang keselamatan satu-satunya didalam Kristus Yesus. Inklusivisme muncul dengan ide baru yaitu dengan menawarkan konsep universalitas kasih Allah bagi agama-agama lain. Allah diyakini mengerjakan keselamatan dalam agama-agama lain, walau tidak lengkap dan justru dipenuhi oleh Kristus sendiri. Hal ini dimunculkan oleh para kaum inklusivis karena menurut mereka sikap eksklusivis merupakan hal yang negatif bagi agama lain, karena sikap ini kurang memberi tempat pemahaman aktual agama-agama lain. Namun kehadiran Inklusive ini sendiripun dianggap tidak memadai oleh para Pluralis. Mereka mengatakan bahwa paradigma ini dapat terjebak dalam suatu imperialisme teologis dan 11 menyimpan suatu sikap tak jujur dan tak menghargai entitas agama lain, sebagaimana mereka alami dan hayati. Oleh sebab itu kelompok Pluralis menawarkan sesuatu yang baru. Mereka menawarkan konsep relativitas, yang ditekankan pada universalitas kasih Allah yang lebih luas bagi dunia. Pluralisme menekankan teosentrisme, yaitu menekankan bahwa semua agama-agama memusatkan diri kepada Allah dan Kristus bukanlah satu- satunya jalan keselamatan. Didalam buku Mitos Keunikan Agama Kristen Paul Knitter mengemukakan didalam prakatanya: “ Pemahaman-pemahaman baru digambarkan sebagai setiap upaya untuk melangkah lebih jauh dari dua model umum yang telah mendominasi sikap-sikap Kristen terhadap agama-agam lain sampai kini: pendekatan eksklusivis”konservatif”, yang menemukan keselamatan hanya di dalam Kristus dan yang hanya melihat sedikit, kalaupun ada, nilainya ditempat lainnya, dan sikap inklusiv “liberal” yang mengakui kekayaan yang menyelamatkan dalam iman lain, tetapi kemudian memandang kekayaan ini sebagai hasil karya penebusan Kristus dan sebagai sesuatu yang telah dipenuhi di dalam Kristus. Kami ingin mengumpulkan para teolog yang menjelajah berbagai kemungkinan akan posisi pluralis- suatu upaya melangkah meninggalkan penekanan pada superioritas atau finalitas Kristus dan agama Kristen menuju pengakuan akan validitas mandiri jalan-jalan lain.... Lebih lanjut ia menambahkan: “ Para teolog dalam bagian kedua mengajukan usul mereka bagi teologi pluralis tentang agama-agama, yang didorong oleh pengakuan bahwa bukan saja cara persepsi keagamaan kita yang secara historis relatif, melainkan juga, dan yang lebih penting, bahwa objek atau isi pengalaman keagamaan yang otentik itu tidak terbatas-Misteri yang melampaui segala bentuk, melampaui kemampuan kita untuk menggapainya. Misteri Allah yang tidak terbatas dan tidak tergambarkan itu menuntut pluralisme keagamaan dan melarang agama mana pun untuk memiliki firman “satu-satunya” atau firman “terakhir”

E. Masalah Kemajemukan dan Dialog Agama