komprehensif dan sistematik serta mampu berkoordinasi dengan seluruh stakeholders tuna nasional. Lembaga ini bersifat non struktural dan
bertanggung jawab kepada Menteri Kelautan dan Perikanan serta beranggotakan seluruh stakeholders yang memahami kebijakan pengelolaan
sumber daya perikanan tuna secara global. Lembaga ini mempunyai visi sebagai institusi yang efisisen dan efektif dalam
mendorong pengembangan industri tuna nasional yang berbasis pada konsep kemitraan antara seluruh stakeholders industri tuna sehingga dapat bersaing
dalam industri tuna secara global. Misinya adalah mengembangkan sistim industri perikanan tuna melalui perumusan kebijakan produksi dan kebijakan
riset serta pengembangan yang terkait dengan industri tuna, meningkatkan daya saing industri tuna nasional dalam kontek tidak hanya sebagai pemiliki
saja, tetapi juga mampu menjadi pemanfaat dan pengolah yang memiliki daya saing secara global.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI juga memiliki bagian Lembaga Penelitian Bidang Ilmu Kelautan LIPI Puslit Oseanografi yang bertugas
melakukan penelitian dan pengembangan terhadap kelautan Indonesia. Keberadaan jasa pendidikan, penelitian, dan pengembangan perikanan di
Indonesia sudah cukup baik, sehingga mampu mendukung peningkatan ikan tuna nasional.
6.3.4. Struktur, Persaingan, dan Strategi Industri Ikan Tuna
Struktur, persaingan dan strategi bersaing komoditas ikan tuna nasional dianalisis dengan menggunakan analisis industri yang biasa disebut dengan “The
Five Competitive Forces”. Analisis industri tersebut terdiri dari lima kekuatan atau faktor persaingan yang dicetuskan oleh Porter. Kelima faktor persaingan
tersebut adalah ancaman pendatang baru, ancaman produk subtitusi, posisi tawar pembeli, posisi tawar pemasok, dan persaingan dari perusahaan sejenis. Berikut
ini uraian mengenai kelima faktor persaingan tersebut: 1
Ancaman Pendatang Baru Kegiatan ekspor ikan tuna ini termasuk sektor yang cukup berpotensial
karena termasuk bahan makanan utama, terutama untuk negara yang makanan utamanya adalah ikan seperti Jepang. Namun, tidak semua negara yang
memiliki laut dapat melakukan kegiatan ekspor ikan tuna karena ikan tuna hanya terdapat di perairan tropis dan sub-tropis dan memiliki sifat yang aktif
bergerak. Ancaman adanya pendatang baru dalam perdagangan ikan tuna mungkin saja terjadi terutama dari negara di kawasan Asia yang termasuk
dalam perairan tropis dan sub-tropis. Malaysia sudah mengalokasikan dana untuk perikanan tuna dan bahkan berani menarik industri tuna nasional
dengan subsidi BBM jika bersedia pindah ke Malaysia. Ancaman pendatang baru juga dapat berasal dari negara yang akan
menerapkan teknologi budidaya ikan tuna. Negara seperti Perancis, Italia, Kroasia, Aljazair, Tunisia, Maroko, Lybia, Malta, Siprus, Yunani, Turki,
Libanon, Syria, Amerika Serikat di pantai Barat California, Meksiko dan Kanada juga mulai aktif mengembangkan budidaya tuna. Negara ini sangat
berpeluang menjadi ancaman bagi Indonesia, sebab jika mereka berhasil melakukan budidaya ikan tuna akan mempengaruhi jumlah ekspor ikan tuna
nasional. Teknik budidaya ini memungkinan dihasilkan ikan dengan berat yang hampir seragam dan kontinuitas dapat terjaga, sedangkan Indonesia
sangat bergantung kepada kondisi alam yang hasilnya sangat beragam. 2
Ancaman Produk Subtitusi Ancaman akan produk subtitusi ikan tuna dapat dapat berasal dari komoditas
perikanan lain yang memiliki kandungan gizi yang hampir sama atau memiliki tingkat permintaan yang besar. Ikan ini merupakan sumber omega-
3 terbaik. Sumber omega-3 dapat berasal dari ikan tuna, ikan salmon, ikan hering, ikan sarden, udang dan kerang. Kesamaan kandungan omega-3
terhadap hasil perikanan ini dapat berfungsi sebagai produk subtittusi. Ikan salmon menjadi ancaman utama produk subtitutisi ikan tuna sebab memiliki
rasa yang hampir sama dan sering diolah menjadi sashimi oleh masyarakat Jepang. Ikan salmon juga memiliki tren permintaan yang meningkatkan dan
disukai oleh masyarakat Barat untuk dijadikan steak karena rasanya yang enak. Produk ancaman ikan tuna olahan dapat berasal dari ikan makarel dan
sarden. Kedua ikan ini banyak yang diolah dalam bentuk kaleng sebagai makanan cepat saji. Ikan makarel memiliki rasa dan kandungan gizi yang
hampir sama dengan ikan tuna seperti yang terlihat dalam Tabel 25.
Tabel 25. Komposisi Nilai Gizi Ikan Tuna dan Makarel
Komposisi Jenis Ikan Tuna dan Tuna like species
Blue fin Southtern blue fin
Yellow fin
Skipjack Mackerel
Daging merah
akami Daging
perut toro
Daging merah
akami Daging
perut toro
Daging merah
akami Air
68,7 52,6
5,6 63,9
74,2 70,4
62,5 Protein
gram 18,3
21,4 23,6
23,1 22,2
25,8 19,8
Lemak gram
1,4 24,6
9,3 11,6
2,1 2,0
16,5 Karbohidrat
kal 0,1
0,1 0,1
0,1 0,1
0,4 0,1
Abu gram 1,5
1,3 1,4
0,3 1,4
1,4 1,1
Sumber: Infofish 2002
3 Posisi Tawar Pembeli
Peningkatan posisi tawar pembeli untuk komoditas ikan tuna, terjadi jika negara eksportir memiliki kekuatan lebih besar untuk mementukan
perdagangan. Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa sebagai pembeli sangat mempunyai kekuatan untuk mengatur perdagangan komoditas ikan
tuna nasional. Ketiga negara tersebut melalui departemen masing-masing menetapkan standar tertentu untuk komoditas yang diimpor. Jepang juga
sebagai salah satu anggota Commission for Conservation of Southern Bluefin Tuna CCSBT, pernah melakukan penolakan ikan tuna Indonesia, sebab
Indonesia tidak termasuk ke dalam organisasi tersebut. Ketatnya peraturan menuntut Indonesia harus mengikuti semua peraturan yang ada untuk
melakukan ekspor. Negara tersebut termasuk penguasa pasar yang berhak dalam menetapkan harga ikan, sedangkan sebagai pengikut pasar Indonesia
tidak dapat menentukan harga. Keaktifan dalam organisasi manajemen perikanan juga menjadi kekuatan negara tujuan ekspor, jika Indonesia tidak
termasuk dalam daftar anggota, negara tersebut cenderung akan melakukan penolakan terhadap ikan tuna nasional.
4
Posisi Tawar Pemasok Peningkatan posisi tawar pemasok untuk komoditas ikan tuna segar, beku,
dan olahan terjadi ketika nelayan memiliki kekuatan untuk memilih menjual hasil tangkapannya, namun di tempat pelelangan ikan posisi tawar nelayan
menjadi rendah. Nelayan terpaksa menjual hasil tangkapnya dengan harga
lebih murah untuk menghindari ikan membusuk dan tidak laku dijual. Pedangang pengumpul yang memiliki cold storage selanjutnya menjadi
pemasok bagi industri ikan tuna segar, beku, dan olahan. Pedagang pengumpul ini yang menentukkan kepada siapa ikan tersebut akan dijual
apakah terhadap perusahaan ikan tuna segar, beku atau olahan. Industri ikan tuna olahan nasional memiliki posisi tawar yang rendah terhadap pedagang
pengumpul ataupun perusahaan penangkapan ikan tuna. Industri ikan tuna olahan nasional belum memiliki kemampuan untuk membeli ikan tuna
dengan harga yang bersaing terhadap ikan tuna segar. Perusahaan penangkapan atau pedagang pengumpul lebih memelih untuk mengekspor
ikan tuna dalam bentuk segar dibandingkan dijual kepada industri tuna olahan, selain karena daya beli rendah dan adanya peraturan dari pemerintah
yang mengenakan pajak sepuluh persen untuk pengangkutan ikan tuna gelondongan antar pulau di dalam negeri. Industri ikan tuna olahan
umumnya hanya bisa mendapatkan ikan tuna kualitas grade C dan D. Ikan tuna grade C dan D biasanya diolah terlebih dahulu untuk dijual, namun
masih ada negara seperti Thailand yang menerima ikan grade C dan D ini dalam bentuk segar. Para nelayan lebih menyenangi menjual ikan tersebut
untuk diekspor daripada dijual ke dalam negeri. Industri ikan tuna olahan nasional tidak memiliki posisi tawar yang baik, sehingga sering mengalami
kekurangan bahan baku karena ikan dijual kepada negara lain dan terpaksa harus melakukan impor untuk mencukupi kekurangan tersebut.
Faktor lain yang membuat posisi tawar industri ikan tuna olahan nasional rendah karena adanya ketergantungan terhadap impor untuk bahan pengemas
kaleng tin-plate. Impor pengemas kaleng ini berdampak kepada tidak bersaingnya harga jual ikan tuna kaleng nasional, sebab harganya akan lebih
mahal untuk menutupi biaya impor. Posisi tawar pemasok yang lebih dominan ini menyebabkan rendahnya ekspor ikan tuna olahan nasional.
5 Persaingan Negara Lain.
Kondisi ikan tuna yang semakin menurun membuat beberapa negara melakukan budidaya tuna tuna farming or tuna sea ranching seperti Jepang,
Austalia, Afrika Selatan dan Spanyol .
Australia dan Afrika Selatan
merupakan negara yang menguasi pasar Jepang karena mampu menghasilkan mutu ikan dengan “grade sashimi”, ikan ini merupakan hasil dari budidaya
ikan tuna. Negara Afrika Selatan, Australia, dan Spanyol terus meningkatkan budidaya ikan tuna, hal ini sangat berbahaya bagi industri ikan tuna nasional.
Ketiga negara tersebut dapat mengontrol kualitas dan kuantitas ikan tuna, sedangkan Indonesia masih menghadapi masalah untuk hal tersebut.
Negara pesaing pengekspor ikan tuna khususnya di Asia Tenggara adalah Thailand. Thailand menguasai pasar untuk ikan tuna olahan kaleng,
sedangkan Indonesia hanya menguasai pasar ikan tuna segar. Indonesia sebenarnya memiliki potensi ikan tuna yang lebih besar ketimbang Thailand,
tetapi nilai ekspor Indonesia dibawah Thailand. Hal ini disebabkan Indonesia juga melakukan ekspor ikan tuna segar ke Thailand, hal ini sangat
disayangkan karena Indonesia menjadi penyuplai bahan baku bagi Industri pengolahan Thailand. Thailand mengemas ikan tuna segar Indonesia ke
dalam kalengan dan mengekspornya ke negara lain terutama ke kawasan Uni Eropa dan Amerika yang menyenangi produk tuna olahan. Industri
pengolahan ikan tuna nasional banyak yang tidak beroperasi , sebab kekurangan bahan baku akibat penjualan hasil tangkapan ikan tuna lebih
banyak dalam bentuk segar dan adanya ketergantungan terhadap kemasan kaleng yang harus di impor serta munculnya produk tuna dalam kemasan
plastik yang hingga saat ini masih belum mampu dilakukan oleh Indonesia. Industri pengolahan belum mampu mendukung dalam peningkatan daya saing
komoditas ikan tuna nasional sehingga perlu untuk dibenahi terkait masalah kekurangan bahan baku, SDM yang kurang memdai, dan keterbatasan modal
agar dapat bersaing dengan negara lain. Struktur persaingan, perusahaan dan strategi persaingan untuk komoditas
ikan tuna sangat ketat. Kemungkinan munculnya pesaing baru dalam industri ini sangat besar dengan penerapan teknologi budidaya, sedangkan Indonesia sendiri
belum mampu untuk menerapkannya karena membutuhkan biaya cukup besar dan tenaga ahli yang memadai. Kekuatan tawar pembeli juga sangat besar dalam
menentukan perdagangan ikan tuna, persaingan dari negara lain sangat kuat dan negara tersebut didukung oleh teknologi dan modal yang cukup. Ancaman untuk
produk subtitusi cenderung lemah dan tingkat kekuatan pemasok cukup berpotensi meningkat. Keadaan struktur persaingan, perusahaan, dan strategi
perusahaan ini dapat memperlemah daya saing komoditas ikan tuna nasional.
6.3.5. Peran Pemerintah