Kontribusi sektor perkebunan Manajemen stratejik pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah

Dedi Mulyadi 2001 merancang-bangun model strategi terpadu dengan menggabungkan pendekatan market based, resource based dan teori kelembagaan. Martani Huseini 1999 merancang model ‘Satu Kabupaten Satu Kompetensi Inti’ Saka-Sakti sebagai model pengembangan yang berusaha menyelaraskan kebijakan otonomi daerah dan konsep kompetensi inti dari suatu wilayah kabupaten. Beberapa program lain dari Departemen Pertanian yang sudah berjalan adalah program Kawasan Usaha Peternakan KUNAK, Sentra Pengembangan Agribis Komoditas Unggulan SPAKU dan, Industri Peternakan Rakyat INAYAT. Beragam program pengembangan yang ditawarkan dapat bersifat sinergis karena saling melengkapi tetapi dapat bersifat antagonis karena perbedaan target operasional dan kecenderungan mengidentifikasi faktor-faktor kunci berdasarkan ruang lingkup yang spesifik

II.5. Kontribusi sektor perkebunan

Sektor perkebunan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian nasional. Dilihat dari pendapatan domestik bruto PDB sumbangannya terhadap nilai PDB terus meningkat. Tahun 1997, PDB perkebunan sebesar Rp 10,8 trilyun atau 2,5 persen dari total PDB nasional. Tahun 1998, PDB meningkat menjadi Rp 8,2 trilyun atau 2,9 persen dari total PDB nasional dan tahun 1999 meningkat lagi menjadi Rp 11,1 trilyun atau 3,9 persen dari total PDB nasional. Walaupun terjadi penurunan pada tahun 2003 tapi sektor perkebunan masih menyumbang 1,85 dan sub-sektor peternakan 1,40 per tahun, terhadap PDB nasional Deptan 2003. Permasalahan yang dihadapi bidang agrobisnis perkebunan menurut Pakpahan 2005 adalah permasalahan yang sangat fundamental yaitu aspek struktural dan kultural. Walaupun demikian selama tiga tahun terakhir dunia agrobisnis dari sektor perkebunan mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Kelapa adalah salah satu komoditi unggulan nasional sektor perkebunan. Berdasarkan data produksi kelapa Indonesia sebesar 2,67 juta ton pertahun menempatkan Indonesia pada urutan pertama penghasil kelapa dunia, tetapi perilaku ekspor produk olahan kelapa sebagai indikator nilai tambah ekonomi masih sangat memprihatinkan. Prosentasi pertumbuhan ekspor per tahun minyak kelapa sebagai produk utama tanaman kelapa kurun waktu 1968-1973 sd 1994- 2000 masih sangat berfluktuasi, begitu juga total ekspor ton selama 1994 sd 2001 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6 ket: diolah dari beberapa sumber. Pada Gambar 6 terlihat bahwa peningkatan volume ekspor minyak kelapa masih tertinggal cukup signifikan dibanding minyak sawit. Pada tahun 2001 volume ekspor minyak kelapa baru mencapai 392 ribu ton, dibandingkan volume ekspor minyak sawit yang mencapai 4905 ribu ton. 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 Volume Ekspor 000 ton 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 Gambar 6 Volume ekspor beberapa jenis minyak nabati dan ikutannya mk=minyak kelapa; bk=bungkil kelapa; ms=minyak sawit; bs=bungkil sawit; ma=minyak atsiri mk bk ms bs ma Salah satu upaya yang ditempuh negara-negara produsen minyak kelapa dan hasil ikutan lainnya adalah membentuk wadah yaitu Asian and Pacific Coconut Community APCC yang merupakan organisasi antar negara yang saat ini beranggotakan 15 negara penghasil kelapa dunia Indonesia termasuk didalamnya. Organisasi ini dibentuk dengan misi membantu mendorong anggotanya untuk mengembangkan atau melakukan perubahan teknologi kearah lebih baik dan lebih bersemangat APCC 2005. Peluang peningkatan peran komoditi berbasis bahan baku kelapa diupayakan dengan usaha diversifikasi produk baik untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan. Dalam rangka mengantisipasi persyaratan global APCC juga berupaya merumuskan beberapa standardisasi produk misalnya, standar mutu Virgin Coconut Oil VCO sebagai salah satu jenis produk yng memiliki prospek unggulan. Provinsi Sulawesi Utara sebagai wilayah yang secara tradisional menjadi salah satu sentra produksi kelapa nasional sangat berkepentingan dengan program-program APCC tersebut. II.5. Landasan teori metode analisis II.5.1. Metode Indeks Agroindustri