Pengaruh perkembangan kota Surakarta terhadap permukiman di kawasan Solobaru Cover
1
TUGAS AKHIR
PENGARUH PERKEMBANGAN KOTA SURAKARTA
TERHADAP PERMUKIMAN DI KAWASAN SOLOBARU
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai Jenjang Strata-1 Perencanaan Wilayah dan Kota
Oleh :
Panganti Widi Astuti
NIM. I 0606034PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
(2)
2 BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan kota merupakan perubahan yang dialami oleh daerah perkotaan pada aspek-aspek kehidupan dan penghidupan, seperti kondisi fisik, perekonomian, sosial dan kemasyarakatan. Perkembangan kota didefinisikan sebagai proses perubahan keadaan ke keadaan lain dalam kurun waktu yang berbeda (Yunus, 1978). Perkembangan suatu kota salah satunya ditandai oleh meningkatnya jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang. Oleh karena itu, kota sebagai perwujudan geografis selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu (Yunus, 1987).
Perkembangan kota-kota di Indonesia yang semakin pesat dewasa ini membawa banyak perubahan pada kondisi internal kota. Perkembangan kota di Indonesia mulai dirasakan sejak dekade 1950an yang merupakan masa transisi dari masa penjajahan ke masa kemerdekaan (Sujarto, D, 2005 dalam tesis Ilyas Ali, 2006). Hal-hal yang tampak nyata sebagai dampak dari perkembangan kota adalah pesatnya perkembangan penduduk, tingginya angka kepadatan penduduk, pesatnya perkembangan daerah terbangun, serta tingginya kebutuhan akan fasilitas dan utilitas kota termasuk kebutuhan akan perumahan.
Untuk kota yang sudah padat bangunannya, semakin bertambahnya penduduk dengan segala aspek kehidupannya akan mengakibatkan kota tidak lagi dapat menampung kegiatan penduduk. Oleh karena itu, akan mengakibatkan terjadinya proses densifikasi permukiman di dearah pinggiran kota dengan berbagai dampaknya. Terbatasnya wilayah administrasi kota akan mengakibatkan adanya kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kota ke daerah pinggiran kota (urban fringe) yang disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl) (Kustiwan dan Anugrahani, 2001; Giyarsih, 2001). Akibat selanjutnya di daerah pinggiran kota akan mengalami proses transformasi spasial berupa proses densifikasi permukiman dan transformasi
(3)
3 sosial ekonomi sebagai dampak lebih lanjut dari proses transformasi spasial. Proses densifikasi permukiman yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan realisasi dari meningkatnya kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan.
Dahulu, Kota Surakarta merupakan satu kesatuan wilayah pemerintahan Kasunanan dengan Kabupaten Sukoharjo, Sragen, Boyolali, dan Klaten. Namun,
dengan keluarnya Penetapan Pemerintah Nomor : 16/SD tanggal 15 Juli 1946, maka secara formal wilayah pemerintahan Kasunanan sudah tidak ada lagi, dan wilayah-wilayahnya menjadi wilayah Karesidenan Surakarta. Kemudian Karesidenan Surakarta menjadi Kota Surakarta yang wilayahnya meliputi 5 kecamatan yakni Kecamatan Jebres, Banjarsari, Serengan, Pasar Kliwon, dan Laweyan.
Kota Surakarta merupakan kota menengah yang mengalami perkembangan di seluruh bagian kotanya. Dalam penelitian ini, perkembangan Kota Surakarta yang dimaksud adalah perkembangan fisik, sosial, dan ekonomi. Indikator perkembangan Kota Surakarta salah satunya dapat dilihat dari aspek sosial yakni jumlah penduduknya yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk tahun 1975 yaitu 426.032 jiwa sedangkan tahun 1985 sejumlah 502.150 jiwa, dari data tersebut terlihat bahwa dalam dekade 10 tahun yakni tahun 1975-1985, jumlah penduduk Kota Surakarta mengalami pertambahan sebesar 76.118 jiwa. Sedangkan jumlah penduduk tahun 1995 yaitu 533.628 jiwa sehingga dapat dilihat bahwa tahun 1985-1995 jumlah penduduk Kota Surakarta mengalami peningkatan sebesar 31.478 jiwa. Jumlah penduduk tahun 2005 sejumlah 560.046 jiwa sehingga dapat dilihat peningkatan jumlah penduduk yang terjadi selama kurun waktu 10 tahun (1995-2005) sebesar 26.418 jiwa (Surakarta dalam Angka Tahun 1975-2005).
Pertambahan penduduk dari tahun ke tahun tersebut mempengaruhi adanya perkembangan fisik Kota Surakarta. Perkembangan fisik Kota Surakarta disebabkan karena adanya pertambahan penduduk dan aktivitas sosial ekonomi penduduk. Semakin bertambahnya penduduk Kota Surakarta maka kebutuhan akan ruang semakin bertambah. Kebutuhan ruang ini tidak hanya untuk perluasan permukiman tetapi juga untuk kegiatan perekonomian, sosial dan lingkungan. Hal
(4)
4 tersebut mengakibatkan adanya konversi lahan dari lahan tak terbangun menjadi lahan terbangun. Luas lahan terbangun tahun 1975 di Kota Surakarta adalah 2.868,16 Ha sedangkan luas lahan terbangun tahun 2005 adalah 3.521,85 Ha (Surakarta dalam Angka Tahun 1975-2005). Dari data tersebut dapat dilihat bahwa konversi lahan tak terbangun menjadi terbangun yang terjadi dalam dekade 30 tahun (tahun 1975-2005) di Kota Surakarta adalah sebesar 653,69 Ha Perubahan penggunaan lahan ini menunjukkan adanya indikasi perkembangan fisik Kota Surakarta.
Perkembangan ekonomi Kota Surakarta salah satunya ditunjukkan dengan peningkatan PDRB Kota Surakarta dari tahun ke tahun. Pada tahun 1975 tingkat PDRB Kota Surakarta mencapai 32.547,768 juta. Angka tersebut meningkat pada tahun 1990 hingga mencapai 386.649,904 juta dan tahun 2005 menjadi 3.858.169,670 juta. Hal ini mengindikasikan bahwa perkembangan ekonomi Kota Surakarta semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Sedangkan perkembangan permukiman di Kota Surakarta dapat dilihat dari adanya peningkatan luas lahan permukiman di seluruh wilayah kota. Luas lahan permukiman di Kota Surakarta tahun 1975 yaitu 2.868,16 Ha, sedangkan luas lahan permukiman tahun 1996 meningkat menjadi 3.372,4849 Ha. Namun, pada tahun 2005 luas permukimannya menurun menjadi 2.707,27 Ha (Surakarta dalam Angka Tahun 1975-2005). Sehingga dapat dilihat dalam kurun waktu 30 tahun yakni tahun 1975-2005, luas lahan permukiman di Kota Surakarta mengalami kenaikan namun setelah tahun 1997 luasnya mengalami penurunan. Perkembangan permukiman yang signifikan dalam dekade 30 tahun tersebut terjadi pada tahun 1980 ketika Kota Surakarta mengalami pemekaran fisik kota (perembetan fisik kota) karena dampak dari urbanisasi dan industrialisasi yang terjadi pada tahun 1970an di Kota Surakarta.
Berdasarkan studi tim P2KT (Proyek Pengembangan Kota Terpadu) pada tahun 2000 Kota Surakarta mengalami pemekaran kota seluas ±12000 ha yang terjadi pada hinterlandnya yakni seluas ±7000 ha pada Kabupaten Sukoharjo (Baki, Grogol, dan Kartasura) dan seluas ±5000 ha pada Kabupaten Karanganyar (Ngringo dan Colomadu). Hal ini menunjukkan bahwa pemekaran Kota Surakarta
(5)
5 lebih banyak berkembang mengarah ke bagian selatan yakni Kabupaten Sukoharjo.
Pemekaran kota ini ditandai dengan mulai menjamurnya pembangunan perumahan (real estate, perumnas, komplek hunian baru) di hinterland Kota Surakarta termasuk di Kabupaten Sukoharjo. Pembangunan perumahan di pinggiran Kabupaten Sukoharjo ini merupakan limpahan dari adanya pertambahan lahan permukiman di Kota Surakarta. Pembangunan perumahan di pinggiran Kabupaten Sukoharjo yang paling terlihat adalah di Kawasan Solobaru. Kawasan Solobaru menjadi daerah limpahan pertambahan kebutuhan lahan permukiman Kota Surakarta karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari Kota Surakarta dan topografinya yang cenderung lebih sama dengan Kota Surakarta bila dibandingkan dengan daerah hinterland Kota Surakarta yang lainnya. Berdasarkan sejarah dari Kawasan Solobaru, pembangunan perumahan di Kawasan Solobaru dimulai pada tahun 1987 oleh PT. Pondok Solo Permai (PSP). PT. Pondok Solo Permai (PSP) yang awalnya berencana hanya membangun perumahan, kemudian timbul gagasan baru untuk menciptakan kota baru. Akhirnya rencana pembangunan perumahan dirubah menjadi menciptakan kota baru yang diberi nama kota mandiri Solobaru dengan luas 1.075 Ha. Hingga kini kota mandiri Solobaru terus berkembang dan perkembangan wilayahnya disebut dengan Kawasan Solobaru yang meliputi dua kecamatan yakni kecamatan Baki dan Grogol (RUTRK Solobaru tahun 1990-2010). Perkembangan Kawasan Solobaru tidak hanya dipengaruhi oleh faktor internal di Kawasan Solobaru tetapi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal dari Kawasan Solobaru yakni adanya pembangunan Kota Surakarta yang pesat sebagai akibat dari perkembangan Kota Surakarta.
Adanya perkembangan Kawasan Solobaru merupakan dampak dari perkembangan Kota Surakarta baik secara fisik maupun non fisik. Perkembangan Kota Surakarta menjadikan Kawasan Solobaru sebagai daerah limpahan kebutuhan permukiman Kota Surakarta. Hingga kini permukiman di Kawasan Solobaru terus berkembang seiring dengan perkembangan Kota Surakarta. Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka tujuan umum dari
(6)
6 penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dari penelitian yang dilakukan adalah bagaimana pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru.
1.3 Tujuan dan Sasaran 1.3.1 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Mengetahui variabel perkembangan Kota Surakarta yang mana saja yang dominan berpengaruh terhadap perkembangan permukiman di Kawasan Solobaru.
2. Mengetahui bagaimana pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap fisik, ekonomi, dan sosial permukiman di Kawasan Solobaru.
1.3.2 Sasaran
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan sasaran penelitian sebagai berikut :
1. Mengetahui perkembangan luas permukiman di Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru (tahun 1975-2005).
2. Mengetahui perkembangan jumlah rumah di Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru (tahun 1975-2005).
3. Mengetahui perkembangan jumlah sarana pendidikan, kesehatan, dan perdagangan di Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru (tahun 1975-2005). 4. Mengetahui perkembangan prasarana jalan di Kota Surakarta dan Kawasan
Solobaru (tahun 1975-2005).
5. Mengetahui perkembangan tingkat ekonomi (PDRB) Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru (tahun 1975-2005).
(7)
7 6. Mengetahui perkembangan jumlah penduduk Kota Surakarta dan Kawasan
Solobaru (tahun 1975-2005).
7. Mengetahui perkembangan interaksi sosial budaya masyarakat di Kawasan Solobaru.
8. Mengetahui besaran pengaruh variabel perkembangan Kota Surakarta secara bersama-sama terhadap perkembangan permukiman di Kawasan Solobaru. 9. Mengetahui besaran pengaruh setiap variabel perkembangan Kota Surakarta
terhadap perkembangan permukiman di Kawasan Solobaru.
1.4 Batasan Penelitian
Batasan wilayah penelitian yaitu Kawasan Solobaru seluas 5174 Ha yang terdiri dari 2 kecamatan yakni kecamatan Baki dan Grogol (mengacu pada Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Solobaru tahun 1990-2010) sebagai kawasan yang perkembangannya dipengaruhi oleh Kota Surakarta dan Kota Surakarta sebagai kota yang mempengaruhinya. Batasan wilayah penelitian disajikan dalam peta berikut ini :
(8)
8 Peta 1.1 Peta Orientasi Kawasan Solobaru terhadap Kota Surakarta
(9)
34 Lingkup materi penelitian yaitu mengenai pengaruh fisik, ekonomi, dan sosial dari perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru.
Batasan waktu yang digunakan dalam penelitian adalah perkembangan kota tahun 1975-2005 karena berdasarkan sejarah Kota Surakarta, pada tahun 1970an terjadi urbanisasi dan industrialisasi yang berdampak pada pemekaran kota sehingga pada tahun 1987 menjadi awal terbentuknya Kawasan Solobaru.
1.5 Kerangka Pikir
Pola pikir yang mendasari perumusan penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada gambar bagan berikut :
(10)
35 Pertambahan Penduduk Alamiah Kota Surakarta Pertambahan Penduduk Migrasi Kota Surakarta Perubahan Sosial Budaya Penduduk Kota Surakarta Perubahan Sosial Ekonomi Penduduk Kota Surakarta Pertambahan Penduduk Kota Surakarta
Perkembangan Masyarakat (Sosekbud) Kota Surakarta
Perubahan Sosial, Ekonomi, Fisik Kota Surakarta Trend Perkembangan
Kota Surakarta
Dampak Terhadap Berbagai Aspek Kota Peningkatan Kebutuhan Kota
Kebutuhan Ruang Kota
Intensifikasi Ekstensifikasi Perkembangan Kawasan Solobaru Pertambahan Penduduk Alamiah Kawasan Solobaru Pertambahan Penduduk Migrasi Kawasan Solobaru Perubahan Sosial Budaya Penduduk Kawasan Solobaru Perubahan Sosial Ekonomi Penduduk Kawasan Solobaru Pertambahan Penduduk Kawasan Solobaru
Perkembangan Masyarakat (Sosekbud) Kawasan Solobaru
Perubahan Sosial, Ekonomi, Fisik Kawasan Solobaru Trend Perkembangan
Kawasan Solobaru
Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian 1.6 Sistematika Penulisan
TAHAP 1 PENDAHULUAN
Berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan sasaran penelitian, batasan penelitian, kerangka pikir penelitian dan sistematika penulisan. Pe n g a ru h Pe rk emb a n g a n Ko ta S u ra k a rt a t er h a d a p Pe rmuk im a n d i K a w a sa n S o lo b a ru
(11)
36
TAHAP 2 LANDASAN PUSTAKA
Berisi tentang pengertian perumahan dan permukiman, pertambahan penduduk (urbanisasi), teori perkembangan kota, teori pemekaran kota, teori kebutuhan manusia terhadap hunian, teori perumahan dan permukiman, teori bermukim, teori interaksi desa-kota.
TAHAP 3 METODOLOGI PENELITIAN
Berisi mengenai metode yang digunakan dalam penelitian ini. Baik itu metode dalam pengumpulan data maupun metode dalam analisis.
TAHAP 4 TINJAUAN OBYEK KOTA SURAKARTA DAN KAWASAN SOLOBARU
Berisi sejarah perkembangan Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru (tahun 1975-2005), data luas permukiman di Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru, data jumlah sarana perkotaan (pendidikan, kesehatan, perdagangan) di Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru, data kependudukan, ekonomi, dan sosial masyarakat Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru.
TAHAP 5 KAJIAN PENGARUH PERKEMBANGAN KOTA
SURAKARTA TERHADAP PERMUKIMAN DI KAWASAN SOLOBARU
Berisi diskripsi kecenderungan perkembangan fisik, ekonomi, dan sosial Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru (tahun 1975-2005), pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap fisik, ekonomi, dan sosial permukiman di Kawasan Solobaru, serta analisis jalur (path analisys) untuk mengetahui besaran pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru.
TAHAP 6 PENUTUP
Berisi kesimpulan dan saran. BAB 2
(12)
37 2.1 Pengertian Pengaruh
a. Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (2002, 849), pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan, atau perbuatan seseorang.
b. Menurut Badudu dan Zain (2004, 1031), pengaruh adalah :
Daya yang menyebabkan sesuatu yang terjadi.
Sesuatu yang dapat membentuk atau mengubah sesuatu yang lain.
Tunduk atau mengikuti karena kuasa atau kekuatan orang lain.
2.2 Perkembangan Kota
2.3.1 Pengertian Perkembangan Kota
Menurut Hendarto, 1997 (dalam Ilyas Ali, 2006), perkembangan kota dapat diartikan sebagai suatu perubahan menyeluruh, yaitu yang menyangkut segala perubahan di dalam masyarakat kota secara menyeluruh, baik perubahan sosial ekonomi, sosial budaya, maupun perubahan fisik.
Pada umumnya terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi perkembangan kota, yaitu :
Faktor penduduk, yaitu adanya pertambahan penduduk, baik disebabkan karena pertambahan alami maupum karena migrasi.
Faktor sosial ekonomi, yaitu perkembangan kegiatan usaha masyarakat dan peningkatan PDRB kota.
Faktor sosial budaya, yaitu adanya perubahan pola kehidupan dan tata cara masyarakat akibat pengaruh luar, komunikasi, dan sistem informasi.
Pendapat berbeda mengenai faktor yang mempengaruhi perkembangan kota dikemukakan oleh Melville C. Branch (1996:37). Menurutnya, ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan kota, yaitu keadaan geografis, tapak (site), dan fungsi kota.
(13)
38 2.3.2 Struktur Perkembangan Kota
Struktur perkembangan kota dalam Yunus, 2000 dikemukakan oleh beberapa pakar yang menghasilkan beberapa teori struktur perkembangan kota, antara lain sebagai berikut :
a. Teori Konsentrik
Teori konsentrik yang diciptakan oleh E.W. Burgess ini didasarkan pada pengamatanya di Chicago pada tahun 1925, E.W. Burgess menyatakan bahwa perkembangan suatu kota akan mengikuti pola lingkaran konsentrik, dimana suatu kota akan terdiri dari zona-zona yang konsentris dan masing-masing zona ini sekaligus mencerminkan tipe penggunaan lahan yang berbeda.
Gambar 2.1 Teori Konsentris (E.W. Burgess)
Keterangan :
Daerah pusat bisnis atau The Central Bussiness District (CBD)
Zona ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: (1) Bagian paling inti disebut RBD (Retail Business District). Merupakan daerah paling dekat dengan pusat kota. Di daerah ini terdapat toko, hotel, restoran, gedung, bioskop dan sebagainya. Bagian di luarnya disebut sebagai WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan yang diperuntukkan kegiatan ekonomi dalam jumlah yang lebih besar antara lain seperti pasar, pergudangan dan gedung penyimpan barang supaya tahan lebih lama.
Daerah Transisi atau The Zone of Transition
Adalah daerah yang mengitari pusat bisnis dan merupakan daerah yang mengalami penurunan kualitas lingkungan pemukiman yang terus menerus. Daerah ini banyak dihuni oleh lapisan bawah atau mereka yang berpenghasilan rendah.
(14)
39 Daerah pemukiman para pekerja atau The Zo e of Workki g e ’s ho es
Zona ini banyak ditempati oleh perumahan pekerja-pekerja pabrik, industri. Kondisi pemukimanya sedikit lebih baik dibandingkan dengan daerah transisi. Para pekerja disini berpenghasilan lumayan sehingga memungkinkan untuk hidup sedikit lebih baik.
Daerah tempat tinggal golongan kelas menengah atau The Zone of Middle Class Develiers
Daerah ini dihuni oleh kelas menengah yang terdiri dari orang-orang yang profesional, pemilik usaha/bisnis kecil-kecilan, manajer, para pegawai dan lain sebagainya. Fasilitas pemukiman terencana dengan baik sehingga kenyamanan tempat tinggal dapat dirasakan pada zona ini.
Daerah para penglaju atau The Commuters Zone
Merupakan daerah terluar dari suatu kota, di daerah ini bermunculan permukiman baru yang berkualitas tinggi. Daerah ini pada siang hari bisa dikatakan kosong, karena orang-orangnya kebanyakan bekerja.
Ciri khas utama teori ini adalah adanya kecenderungan, dalam perkembangan tiap daerah dalam cenderung memperluas dan masuk daerah berikutnya (sebelah luarnya). Prosesnya mengikuti sebuah urutan-urutan yang dikenal sebagai rangkaian invasi (invasion succesion). Cepatnya proses ini tergantung pada laju pertumbuhan ekonomi kota dan perkembangan penduduk. Sedangkan di pihak lain, jika jumlah penduduk sebuah kota besar cenderung menurun, maka daerah disebelah luar cenderung tetap sama sedangkan daerah transisi menyusut kedalam daerah pusat bisnis. Penyusutan daerah pusat bisnis ini akan menciptakan daerah kumuh komersial dan perkampungan. Sedangkan interprestasi ekonomi dari teori konsentrik menekankan bahwa semakin dekat dengan pusat kota semakin mahal harga tanah.
(15)
40
Teori ini dikemukakan oleh Humer Hyot (1939), menyatakan bahwa perkembangan kota terjadi mengarah melalui jalur-jalur sektor tertentu. Sebagian besar daerah kota terletak beberapa jalur-jalur sektor dengan taraf sewa tinggi, sebagian lainnya jalur-jalur dengan tarif sewa rendah yang terletak dari dekat pusat kearah pinggiran kota. Dalam perkembangannya daerah-daerah dengan taraf sewa tinggi bergerak keluar sepanjang sektor atau dua sektor tertentu. Menurut Humer Hyot kecenderungan penduduk untuk bertempat tinggal adalah pada daerah-daerah yang dianggap nyaman dalam arti luas. Nyaman dapat diartikan dengan kemudahan-kemudahan terhadap fasilitas, kondisi lingkungan baik alami maupun non alami yang bersih dari polusi baik fiskal maupun nonfiskal, prestise yang tinggi dan lain sebagainya.
Gambar 2.2 Teori Sektor (Humer Hyot)
Keterangan :
Daerah Pusat Bisnis
Zona ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: (1) Bagian paling inti disebut RBD (Retail Business District). Merupakan daerah paling dekat dengan pusat kota. Di daerah ini terdapat toko, hotel, restoran, gedung, bioskop dan sebagainya. Bagian di luarnya disebut sebagai WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan yang diperuntukkan kegiatan ekonomi dalam jumlah yang lebih besar antara lain seperti pasar, pergudangan dan gedung penyimpan barang supaya tahan lebih lama.
Daerah Industri ringan dan perdagangan
Terdiri dari kegiatan pabrik ringan, terletak diujung kota dan jauh dari kota menjari ke arah luar. Persebaran zona ini dipengaruhi oleh peranan jalur
(16)
41 transportasi dan komunikasi yang berfungsi menghubungkan zona ini dengan pusat bisnis.
Daerah pemukiman kelas rendah
Dihuni oleh penduduk yang mempunyai kemampuan ekonomi lemah. Sebagian zona ini membentuk persebaran yang memanjang di mana biasanya sangat dipengaruhi oleh adanya rute transportasi dan komunikasi. Walaupun begitu faktor penentu langsung terhadap persebaran pada zona ini bukanlah jalur transportasi dan komunikasi melainkan keberadaan pabrik-pabrik dan industri-industri yang memberikan harapan banyaknya lapangan pekerjaan.
Daerah pemukiman kelas menengah
Kemapanan ekonomi penghuni yang berasal dari zona 3 memungkinkannya tidak perlu lagi bertempat tinggal dekat dengan tempat kerja. Golongan ini dalam taraf kondisi kemampuan ekonomi yang menanjak dan semakin baik.
Daerah pemukiman kelas tinggi
Daerah ini dihuni penduduk dengan penghasilan yang tinggi. Kelompok ini dise ut se agai status seekers , yaitu orang-orang yang sangat kuat status ekonominya dan berusaha mencari pengakuan orang lain dalam hal ketinggian status sosialnya.
c. Teori Pusat Kegiatan Banyak
Dikemukakan oleh Harris dan Ulman, menurut pendapatnya kota-kota besar tumbuh sebagai suatu produk perkembangan dan integrasi terus-menerus dari pusat-pusat kegiatan yang terpisah satu sama lain dalam suatu sistem perkotaan dan proses pertumbuhannya ditandai oleh gejala spesialisasi dan diferensiasi ruang (Yunus, 2000:45).
(17)
42 Gambar 2.3 Teori pusat kegiatan banyak (Harris-Ulman)
Keterangan:
Daerah Pusat Bisnis
Zona ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: (1) Bagian paling inti disebut RBD (Retail Business District). Merupakan daerah paling dekat dengan pusat kota. Di daerah ini terdapat toko, hotel, restoran, gedung, bioskop dan sebagainya. Bagian di luarnya disebut sebagai WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan yang diperuntukkan kegiatan ekonomi dalam jumlah yang lebih besar antara lain seperti pasar, pergudangan dan gedung penyimpan barang supaya tahan lebih lama.
Daerah Industri ringan dan perdagangan
Persebaran pada zona ini banyak mengelompok sepanjang jalur kereta api dan dekat dengan daerah pusat bisnis.
Daerah pemukiman kelas rendah
Zona ini mencerminkan daerah yang kurang baik untuk pemukiman sehingga penghuninya umumnya dari golongan rendah.
Daerah pemukiman kelas menengah
Zona ini tergolong lebih baik dari zona 3, dikarenakan penduduk yang tinggal di sini mempunyai penghasilan yang lebih baik dari penduduk pada zona 3.
Daerah pemukiman kelas tinggi
Zona ini mempunyai kondisi paling baik untuk permukiman dalam artian fisik maupun penyediaan fasilitas. Lokasinya relatif jauh dari pusat bisnis, namun untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya di dekatnya dibangun daerah bisnis baru yang fungsinya sama seperti daerah pusat bisnis.
Daerah industri berat
Merupakan daerah pabrik-pabrik besar yang banyak mengalami berbagai permasalahan lingkungan seperti pencemaran, kebisingan, kesemrawutan lalu lintas dan sebagainya. Namun zona ini juga banyak menjanjikan berbagai
(18)
43
lapangan pekerjaan. Penduduk berpenghasilan rendah bertempat tinggal dekat zona ini.
Daerah bisnis
Zona ini muncul seiring munculnya daerah pemukiman kelas tinggi yang lokasinya jauh dari daerah pusat bisnis, sehingga untuk memenuhi kebutuhan penduduk pada daerah ini maka diciptakan zona ini.
Daerah tempat tinggal pinggiran
Penduduk disini sebagian besar bekerja di pusat-pusat kota dan daerah ini hanya khusus digunakan untuk tempat tinggal.
Daerah industri di daerah pinggiran
Unsur transportasi menjadi prasyarat hidupnya zona ini. Pada perkembangan selanjutnya dapat menciptakan pola-pola persebaran keruangannya sendiri dengan proses serupa.
2.3 Urbanisasi
Pengertian urbanisasi dijelaskan dengan mengutip pendapat Nas yakni adanya sejumlah pengertian yang bisa ditarik dari pengertian urbanisasi, yaitu perubahan daerah pedesaan ke arah sifat kehidupan kota, pertumbuhan suatu pemukiman menjadi kota, perpindahan penduduk ke kota yang terlihat pada berbagai bentuk mobilitas penduduk, serta kenaikan proporsi penduduk yang tinggal di kota. Menurut Charles Whynne-Hammond (dalam Daldjoeni, 1987), salah satu faktor terjadinya urbanisasi adalah adanya industrialisasi.
Gejala dan proses ekologi yang berkaitan dengan gejala dan proses urbanisasi antara lain konsentrasi, agregasi, sentralisasi, desentralisasi, segregasi, invasi, dan suksesi. Urbanisasi sebagai suatu proses sosial, bisa terjadi karena banyak faktor, yang antara lain : (1) adanya masalah pengangguran di pedesaan, dan adanya persepsi bahwa perkotaan banyak menyediakan kesempatan kerja; (2) adanya peningkatan, keberhasilan, dan pemerataan program pendidikan di seluruh daerah dan lapisan masyarakat, yang kemudian menuntut lapangan kerja yang sesuai dengan jenjang
(19)
44
pendidikan yang telah dicapai oleh setiap warga masyarakat yang bersangkutan; (3) adanya persepsi yang sampai saat ini berlaku, bahwa kota adalah pusat modernisasi dan merupakan segala-galanya untuk kemajuan orang perorangan atau kelompok orang; (4) terjadinya proses cepat dalam pergeseran nilai-nilai sosio-budaya di kalangan masyarakat pedesaan sebagai akibat arus informasi yang semakin menjagat; (5) semakin baik dan lancarnya sistem transportasi yang menjalin wilayah-wilayah perkotaan dengan wilayah-wilayah hinterlandnya; (6) urbanisasi adalah salah satu indikasi kemajuan ekonomi dari suatu kawasan tertentu.
2.4 Urban Fringe
Daerah pinggiran kota (urban fringe) sebagai suatu wilayah peluberan kegiatan perkembangan kota telah menjadi perhatian banyak ahli di berbagai bidang ilmu seperti geografi, sosial, dan perkotaan sejak tahun 1930an saat pertama kali istilah urban fringe
dikemukakan dalam literatur. Besarnya perhatian tersebut terutama tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses ekspansi kota ke wilayah pinggiran yang berakibat pada perubahan fisikal misal perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi (Subroto, dkk, 1997). Pokok persoalan yang terdapat di daerah urban fringe pada dasarnya dipicu oleh proses transformasi spasial dan sosial akibat perkembangan daerah urban yang sangat intensif. Dari kecenderungan di atas maka salah satu arah perkembangan kota yang perlu dicermati adalah perkembangan spasial yang berdampak pada perkembangan sosial ekonomi penduduk pinggiran kota.
Menurut Howard pada akhir abad ke 19 (dalam Daldjoeni, 1987), diantara daerah perkotaan, daerah perdesaan, dan daerah pinggiran kota, ternyata daerah pinggiran kota memberikan peluang paling besar untuk usaha-usaha produktif maupun peluang paling menyenangkan untuk bertempat tinggal. Manusia sebagai penghuni daerah pinggiran kota selalu mengadakan adaptasi terhadap lingkungannya. Adaptasi dan aktivitas ini mencerminkan dan juga mengakibatkan adanya perubahan sosial, ekonomi, kultural, dan lain-lain (Daldjoeni, 1987).
Salah satu tanda terjadinya pemekaran kota di daerah pinggiran kota adalah adanya gejala filtering up yaitu pergantian pemukim lama dengan pemukim-pemukim baru yang kondisi ekonominya lebih baik (Yunus, 1987). Dengan kondisi
(20)
45
ekonomi yang lebih baik ini para pemukim di daerah pinggiran kota cenderung mempunyai tingkat pendidikan yang lebih baik pula.
Salah suatu teori yang menjelaskan gejala perkembangan kota yaitu teori kekuatan dinamisyang dikemukakan oleh Colby pada tahun 1959. Salah satu hal yang mendasari teori ini adalah karena adanya persepsi terhadap lingkungan dari penduduk yang berbeda-beda maka timbulah kekuatan-kekuatan yang menyebabkan pergerakan penduduk yang mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan di luar kota atau daerah pinggiran kota. Kekuatan dari teori kekuatan dinamis adalah kekuatan sentripetal yaitu kekuatan yang menyebabkan berpindahnya penduduk dan fungsi-fungsi kekotaan dari bagian dalam ke arah luar dari pada suatu kota. Dan kekuatan sentrifugal yaitu kekuatan yang mengakibatkan pengaruh perubahan bentuk tata guna lahan suatu kota yang realisasinya berwujud sebagai gerakan penduduk yang berasal dari dalam kota menuju luar kota.
2.5 Urban Sprawl
Urban sprawl atau pemekaran kota adalah perluasan wilayah kota akibat terjadinya perkembangan dan pertumbuhan kota. Arah pemekaran kota berbeda-beda bergantung pada kondisi kota dan kondisi wilayah sekitarnya. Kondisi alam seperti perbukitan dan lautan dapat menghentikan laju pemekaran kota. Daerah-daerah yang menjadi penghambat pemekaran kota tersebut dianggap sebagai daerah lemah. Sementara itu, daerah-daerah yang memiliki potensi ekonomi yang baik dapat menjadi daerah yang memiliki daya tarik yang kuat untuk pemekaran kota.
Suatu kota mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan ini menyangkut aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik. Khususnya mengenai aspek yang berkaitan langsung dengan penggunaan lahan perkotaan maupun penggunaan lahan pedesaan adalah perkembangan fisik, khususnya perubahan arealnya yang dise ut pe dekata orfologi kota atau Ur a Morphologi al Approa h (Yunus, 2000).
Menurut Yunus (dalam Megapolitan, 2006), perkembangan spasial dan penduduk suatu kota akan membawa pengaruh terhadap kondisi sosial, ekonomi,
(21)
46
cultural dan lingkungan dimana kota tersebut berkembangan. Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut ur a spra l . Adapun macam ur a
spra l (dalam Yunus, 2000) adalah sebagai berikut :
a. Tipe 1 : Perembetan konsentris (Concentric Development / Low Density continous development)
Gambar 2.4 Perembetan konsentris
Tipe perembetan konsentris dikemukakan pertama kali oleh Harvey Clark (1971) yang menyebut tipe ini sebagai lo de sity, o ti ous de elop e t dan Wallace (1980) menyebut o e tri de elop e t . Tipe perembetan paling lambat, berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakkan fisik kota yang sudah ada sehingga akan membentuk suatu kenampakan morfologi kota yang kompak. Peran transportasi terhadap perembetannya tidak begitu besar.
b. Tipe 2: Perembetan memanjang (ribbon development/lineair development/axial development)
Gambar 2.5 Perembetan Linear
Tipe ini menunjukkan ketidakmerataan perembetan areal perkotaan di semua bagian sisi luar dari pada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari
(22)
47
pusat kota. Daerah di sepanjang rute transportasi merupakan tekanan paling berat dari perkembangan (Yunus, 2000).
Tipe ini perembetannya tidak merata pada semua bagian sisi luar dari pada daerah kota utama. Perembetan bersifat menjari dari pusat kota disepanjang jalur transportasi.
c. Tipe 3: Perembetan yang meloncat (leap frog development/checkkerboard development)
Gambar 2.6 Perembetan Meloncat
Perembetan yang terjadi pada tipe ini dianggap paling merugikan oleh kebanyakan pakar lingkungan, tidak efisien dan tidak menarik. Perkembangan lahan kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian, sehingga cepat menimbulkan dampak negatif terhadap kegiatan pertanian pada wilayah yang luas sehingga penurunan produktifitas pertanian akan lebih cepat terjadi.
Menurut Northam (dalam Yunus, 2000), mengacu pada hubungan antara eksistensi batas fisik kota dengan batas administrasi kota, terlihat ada 3 macam kemungkinan hubungan, yakni :
Sebagian batas fisik kekotaan berada jauh di luar batas administrasi kota. Kondisi kota yang mengalami situasi seperti ini disebut sebagai “under bounded city.
Sebagian batas fisik kekotaan berada jauh di dalam batas administrasi kota. Kondisi kota yang mengalami situasi seperti ini disebut sebagai
(23)
48
Batas fisik kota konsiden dengan batas administrasi kota. Kondisi kota yang mengalami situasi seperti ini disebut sebagai “true bounded city.
2.6 Perumahan dan Permukiman
Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan fisiologis yang saling melengkapi dengan kebutuhan keamanan dan keselamatan. Berikut adalah pengertian dari perumahan dan permukiman.
2.7.1 Pengertian Perumahan
Perumahan menurut UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
Menurut Soedjajadi Keman dalam bukunya yang berjudul Kesehatan Perumahan, perumahan didefinisikan sebagai kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar fisik lingkungan misalnya penyediaan air minum, pembuangan sampah, listrik, telepon, jalan, yang memungkinkan lingkungan pemukiman berfungsi sebagaimana mestinya dan sarana lingkungan yaitu fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan serta pengembangan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya, seperti fasilitas taman bermain, olah raga, pendidikan, pertokoan, sarana perhubungan, keamanan,serta fasilitas umum lainnya.
2.7.2 Pengertian Permukiman
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan, maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman).
Permukiman merupakan wadah kehidupan manusia, bukan hanya menyangkut aspek fisik dan teknis saja, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, dan budaya dari para penghuninya (Bintarto, 1983). Masyarakat dengan berbagai perbedaan sikap dan
(24)
49
idaman, berhubungan secara timbal balik dengan lingkungan fisik tempat tinggalnya. Karena tempat bermukim adalah gejala budaya yang wujud dan keteraturannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan budaya pemukimnya (Rapoport, 1987). Menurut Doxiadis (1968), permukiman mempunyai lima elemen yaitu alam yang dibangun, manusia yang membentuk dan mendiami alam, kehidupan sosial kemasyarakatan yang berupa hubungan antar manusia, wadah yang melindungi, dan jaringan yang memberi kemudahan bagi manusia untuk menyelenggarakan fungsi dan kegiatannya. Permukiman terbentuk dari beberapa komponen (dalam buku Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, 2006) yaitu :
a. Alam
Geologi
Geologi merupakan kondisi batuan dimana permukiman tersebut berada. Sifat dan karakter geologi suatu permukiman (wilayah) akan berbeda dengan permukiman yang lain. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh adanya kondisi dan letak geografis yang berbeda. Misalnya wilayah pegunungan dengan daerah di tepi pantai akan mempunyai kondisi geologi yang berbeda.
Topografi
Topografi merupakan kemiringan suatu wilayah yang juga ditentukan oleh letak dan kondisi geografis suatu wilayah. Kemiringan permukaan suatu wilayah permukiman dengan wilayah permukiman yang lain pasti berbeda. Sebagai contoh, topografi suatu lereng pegunungan akan miring relatif terjal, akan tetapi pada daerah selain pegunungan maka topografinya cendeung datar.
Tanah
Tanah merupakan media untuk meletakkan bangunan (rumah) dan menanam tanaman yang dapat digunakan untuk menopang kehidupan, yaitu untuk mencukupi kebutuhan pangan. Tanah sebenarnya juga mempunyai ciri dan karakter yang berbeda. Oleh karena itu untuk melakukan pembangunan perumahan harus dipikirkan juga faktor keseimbangan lingkungan. Misalnya, pendirian perumahan tersebut harus
(25)
50 sesuai dengan peruntukannya, kemudian pembagian peruntukannya juga harus disesuaikan dengan peraturan kelembagaan yang berlaku (misalnya perbandingan daerah terbangun dan wilayah terbuka sebesar 40% dibanding 60% dan sebagainya, agar kelestarian lingkungan tetap terjaga sepanjang masa.
Air
Air merupakan sumber kehidupan yang pokok dan vital sepanjang kehidupan masih berlangsung, baik untuk manusia maupun makhluk hidup yang lain. Oleh karenanya dalam perencanaan pembangunan permukiman perlu dipertimbangkan dengan masak, baik penataan maupun persentase peruntukan lahannya, agar kondisi air tanah tetap terjaga keseimbangannya.
Tumbuh-tumbuhan
Tumbuh-tumbuhan merupakan salah satu elemen yang dapat dijadikan sebagai bahan makanan guna mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Hewan
Hewan merupakan jenis makhluk hidup lain yang keberadaannya dapat mendukung dan menguntungkan kehidupan manusia. Dengan adanya hewan tersebut manusia bisa tercukupi kebutuhannya (sebagai alat bantu). Hewan juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan dalam kehidupan sehari-hari.
Iklim
Iklim merupakan kondisi alami pada suatu wilayah permukiman, dimana antara satu permukiman yang satu dengan yang lain mempunyai kondisi yang berbeda, tergantung letak dan posisi geografis wilayah tersebut.
b. Manusia
Di dalam suatu wilayah permukiman, manusia merupakan pelaku utama kehidupan, di samping makhluk hidup lain seperti hewan, tumbuhan, dan lainnya. Sebagai makhluk yang paling sempurna, dalam kehidupannya
(26)
51 manusia membutuhkan berbagai hal yang dapat menunjang kelangsungan hidupnya, baik itu kebutuhan biologis (ruang, udara, temperatur, dan lain-lain), perasaan dan persepsi kebutuhan emosional, serta kebutuhan akan nilai-nilai moral.
c. Masyarakat
Masyarakat merupakan kesatuan sekelompok orang (keluarga) dalam suatu permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu. Hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat yang mendiami suatu wilayah permukiman adalah sebagai berikut :
Kepadatan dan komposisi penduduk.
Kelompok sosial.
Adat dan kebudayaan.
Pengembangan ekonomi.
Pendidikan.
Kesehatan.
Hukum dan administrasi d. Bangunan / Rumah
Bangunan (rumah) merupakan wadah bagi manusia (keluarga). Oleh karena itu dalam perencanaan dan pengembangannya perlu mendapatkan perhatian khusus agar sesuai dengan rencana kegiatan yang berlangsung di tempat tersebut. Pada prinsipnya bangunan yang dapat digunakan sepanjang operasional kehidupan manusia bisa dikategorikan sesuai dengan fungsi masing-masing, yaitu :
Rumah pelayanan masyarakat (misalnya sekolah, rumah sakit, dan lain-lain).
Fasilitas rekreasi (fasilitas hiburan).
Pusat perbelanjaan (perdagangan) dan pemerintahan.
Industri.
Pusat transportasi. e. Networks
(27)
52 Networks merupakan sistem buatan maupun alam yang menyediakan fasilitas untuk operasional suatu wilayah permukiman. Untuk sistem buatan, tingkat pemenuhannya bersifat relatif, dimana antara wilayah permukiman yang satu dengan yang lain tidak harus sama. Sebagai contoh, untuk daerah pegunungan akan berbeda dengan daerah perkotaan dalam hal pemenuhan air bersih. Di daerah pegunungan air bersih dapat dengan mudah diperoleh sehingga tidak membutuhkan jaringan air bersih. Di wilayah perkotaan, jaringan air bersih mutlak diperlukan karena air dari sumur biasanya sudah tercemar dengan limbah, baik industri maupun rumah tangga. Sistem buatan yang keberadaannya diperlukan di dalam suatu wilayah, antara lain adalah :
Sistem jaringan air bersih.
Sistem jaringan listrik.
Sistem transportasi.
Sistem komunikasi.
Drainase dan air kotor.
Tata letak fisik.
Menurut Friedmann (dalam Yunus, 2006), perkembangan permukiman kekotaan disebabkan oleh dua proses yang terkait satu sama lain, yakni proses sosial ekonomi dan proses spasial. Proses sosial ekonomi mendahului proses spasial namun adakalanya proses spasial mendahului proses sosial ekonomi.
2.7 Kebutuhan Manusia Terhadap Hunian
Teori kebutuhan manusia terhadap hunian yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow (1970) mempunyai 5 hierarki kebutuhan manusia terhadap hunian. Tingkatan kebutuhan manusia terhadap hunian tersebut dapat dikategorisasikan sebagai berikut :
(28)
53 Gambar 2.7 Hierarki Kebutuhan Manusia Terhadap Hunian (Maslow, 1970)
a. Survival Needs
Tingkat kebutuhan yang paling dasar ini merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi pertama kali. Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana untuk menunjang keselamatan hidup manusia. Kebutuhan untuk dapat selamat berarti manusia menghuni bangunan rumah agar dapat selamat dan tetap hidup, terlindung dari gangguan iklim maupun makhluk hidup yang lain. b. Safety and Security Needs
Kebutuhan terhadap keselamatan dan keamanan yang ada pada tingkat berikutnya ini terkait dengan keselamatan dari kecelakaan, keutuhan anggota badan serta hak milik. Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana perlindungan untuk keselamatan anggota badan dan hak milik tersebut.
c. Affiliation Needs
Pada tingkatan ini hunian merupakan sarana agar dapat diakui sebagai anggota dalam golongan tertentu. Hunian di sini berperan sebagai identitas seseorang untuk diakui dalam golongan masyarakat.
Cognitive and Aesthetic Needs
Esteem Needs
Survival Needs Safety and Security Needs
(29)
54 d. Esteem Needs
Kebutuhan berikutnya terkait dengan aspek psikologis. Manusia butuh dihargai dan diakui eksistensinya. Terkait dengan hal ini hunian merupakan sarana untuk mendapatkan pengakuan atas jati dirinya dari masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Pada tingkatan ini, rumah sudah bukan tergolong kebutuhan primer lagi, tetapi sudah meningkat kepada kebutuhan yang lebih tinggi yang harus dipenuhi setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Rumah yang mewah, bagus, dapat memberikan kebanggaan dan kepuasan kepada pemilik rumah tersebut.
e. Cognitive and Aesthetic Needs
Tingkatan yang paling tinggi dari kebutuhan manusia ini terkait dengan aspek psikologos, seperti halnya esteem needs. Hanya saja pada level ini hunian tidak saja merupakan sarana peningkatan kebanggaan dan harga diri, tetapi juga agar dapat dinikmati keindahannya. Pada tingkatan ini, produk hunian tidak hanya sekedar untuk digunakan tetapi juga dapat memberi dampak kenikmatan (misalnya dinikmati secara visual) pada lingkungan sekitarnya.
2.8 Kecenderungan Pemilihan Lokasi Bermukim
Dalam pemilihan lokasi bermukim manusia tentunya menginginkan lokasi yang lengkap akan sarana dan prasarana untuk menunjang berbagai kemudahan, seperti kemudahan aksesibilitas menuju lokasi kerja, sarana pendidikan, sarana kesehatan serta ketersediaan fasilitas dasar seperti jaringan listrik, air bersih, telepon, drainase, sanitasi dan persampahan. Pertimbangan pemilihan lokasi bermukim tentu dipengaruhi oleh keadaan ekonomi masing-masing orang yang kemudian berpengaruh pada jarak antara lokasi pilihan dengan pusat kota. Berikut ini pendapat beberapa pakar dalam kecenderungan pemilihan lokasi bermukim (dalam Yunus, 2000) :
(30)
55 2.9.1 Menurut E. W Burgess
Menurut teori burges yang menggambarkan bahwa kota adalah sebuah radial dengan lapisan didalamnya dimana tiap lapisan menunjukkan fungsi-fungsi lahan. Menurut teori konsentris Burges dapat digambarkan :
PDK (Pusat Daerah Kegiatan) Daerah Transisi
Permukiman MBR Permukiman MBM Permukiman MBT
Gambar 2.8 Konsep Bermukim Menurut Burgess
Secara ideal antara selaput lapisan mempunyai batasan yang jelas namun pembentukan tidak selalu radial dapat berupa elips atau bentuk lain dan tetap mempunyai inti tunggal. Permukiman pinggiran disini terletak pada lapisan ke 4 dan 5 dari dalam. Dengan ditunjukkan bahwa masyarakat disana adalah yang berpenghasilan menengah ke atas.
2.9.1 Menurut Turner
Konsep bermukim di daerah pinggiran menurut Turner dapat dijelaskan sebagai berikut :
Prioritas
S
K
(31)
56
I II III
Gambar 2.9 Konsep Bermukim Menurut Turner
I : golongan ekonomi lemah (squatting)
II : golongan ekonomi lemah
III : golongan ekonomi menengah dan tinggi J : jarak dari pusat kota
S : status tanah
K : kenyamanan
Dari konsep Turner diatas golongan ekonomi menengah keatas cenderung memilih lokasi bermukim yang semakin jauh dari pusat kota karena menginginkan kenyamanan dari lingkungan perumahan yang ditempati. Tidak terlalu memikirkan besarnya biaya transportasi yang tinggi apabila lokasi tersebut jauh dari pusat kota.
2.9 Interaksi Desa Kota (rural-urban lingkage)
Interaksi desa-kota adalah proses hubungan yang bersifat timbal balik antar unsur-unsur yang ada di kota dan di desa dan mempunyai pengaruh terhadap perilaku dari pihak-pihak yang bersangkutan melalui kontak langsung, berita yang didengar atau surat kabar sehingga melahirkan sebuah gejala baru, baik berupa fisik maupun non fisik. Wujud interaksi desa-kota antara lain adalah adanya pergerakan barang dari desa ke kota atau sebaliknya seperti pemindahan hasi pertanian, produk industri dan barang tambang, pergerakan gagasan dan informasi terutama dari kota ke desa, pergerakan manusia dalam bentuk rekreasi, urbanisasi, mobilitas penduduk baik yang sifatnya sirkulasi maupun komutasi.
Interaksi antara desa-kota melahirkan suatu perkembangan baru bagi desa maupun bagi kota. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan potensi yang dimiliki desa maupun kota, dan adanya persamaan kepentingan. Menurut Edward Ulman ada 3 faktor penyebab interaksi antar wilayah, yaitu :
(32)
57
Wilayah yang memiliki potensi sumber daya yang berbeda-beda baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Perbedaan sumber daya kota dan desa menyebabkan timbulnya interaksi. Jadi ada kebutuhan saling melengkapi atau komplementaritas. Ini didorong oleh permintaan dan penawaran. Perancis berdagang anggur dengan Belanda karena Belanda merupakan konsumennya. Relasi komplementaritas hanya terjadi jika tawaran bermanfaat bagi pihak yang minta. Manfaatnya ditentukan oleh banyak hal seperti : budaya, pengetahuan, teknik, kondisi kehidupan dan sebagainya. Semakin besar komplementaritas, semakin besar arus komoditas. Manfaat Interaksi Desa-Kota bagi Perkotaan :
Terpenuhinya sumber daya alam sebagai bahan mentah/bahan baku industri.
Terpenuhinya kebutuhan pokok yang dihasilkan pedesaan.
Terpenuhinya kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan bagi perkotaan.
Tersedianya tempat pemasaran hasil industri. Manfaat Interaksi Desa-Kota bagi Pedesaan :
Terpenuhinya barang-barang yang tidak ada di desa
Masuknya pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dari kota ke pedesaan.
Membuka lapangan kerja baru di sektor pertanian. b. Intervening Opportunity (kesempatan untuk berintervensi)
Adalah adanya kesempatan untuk timbulnya interaksi antarwilayah dan dapat memenuhi kebutuhan sumber daya wilayah tersebut. Jadi, semakin besar intervening opportunity, semakin kecil arus komoditas.
c. Spatial Transfer Ability (kemudahan pemindahan dalam ruang)
Adalah kemudahan pemindahan dalam ruang baik berupa barang, jasa, manusia maupun informasi. Proses pemindahan dari kota ke desa atau sebaliknya dipengaruhi antara lain :
Jarak mutlak maupun jarak relatif antarwilayah
Biaya transportasi dari satu tempat ke tempat yang lain
(33)
58
Jadi, semakin mudah transfer abilitas, semakin besar arus komoditas.
Kedudukan desa dalam interaksi adalah, desa berfungsi sebagai hinterland atau daerah dukung yang berfungsi sebagai suatu daerah pemberi bahan makanan pokok seperti padi, jagung, ketela disamping bahan makanan lain seperti kacang, kedelai, buah-buahan dan bahan makanan lain yang berasal dari hewan. Dari sudut ekonomi, sebagai lumbung bahan mentah, pensupplai tenaga kerja. Dari segi kegiatan kerja (occupation) desa dapat merupakan desa agraris, desa manufaktur, desa industri, desa nelayan dan sebagainya.
Dampak adanya interaksi desa-kota dapat menimbulkan pengaruh positif maupun pengaruh negatif terhadap desa dan kota termasuk penghuninya.
a. Dampak positif interaksi desa-kota :
Tingkat pengetahuan penduduk desa bertambah karena lebih banyak sekolah di pedesaan. Demikian pengetahuan tentang pemilihan bibit unggul, pemeliharaan keawetan atau kelestarian kesuburan tanah menjadi lebih diperhatikan. Pengetahuan mengenai usaha-usaha lain di bidang yang nonagraris menjadi lebih terbuka.
Mengurangi ketertinggalan dan ketimpangan. Terbukanya wilayah desa karena transportasi yang baik sehingga hubungan sosial-ekonomi warga desa dan kota semakin baik.
Masuknya para ahli di berbagai bidang disiplin ilmu pengetahuan banyak bermanfaat bagi desa dalam melestarikan lingkungan pedesaan khususnya pencegahan erosi dan pencarian sumber air bersih dan di bidang pengairan.
Teknologi masuk desa menyebabkan deversifikasi produk, misalnya teknologi tepat guna di bidang pertanian dan peternakan meningkatkan produksi desa, sehingga penghasilan penduduk desa dapat bertambah.
Campur tangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah meningkatkan kualitas dan kuantitas di bidang wiraswasta seperti kerajinan tangan, industri rumah tangga, peternak unggas dan sapi.
Pengetahuan tentang masalah kependudukan lebih merata di pedesaan. Ini penting karena desa dikenal dengan keluarga yang besar dan ini harus di cegah.
(34)
59
Pengetahuan dan kesadaran mempunyai keluarga kecil telah mulai diresapi di banyak daerah pedesaan.
Berkembangnya koperasi dan organisasi sosial di pedesaan telah menunjukkan bukti juga adanya pengaruh positif di daerah pedesaan.
b. Dampak negatif :
Penetrasi kebudayaan kota ke desa yang tidak sesuai dengan kebudayaan atau tradisi desa mengganggu tata pergaulan atau seni budaya desa. Misalnya pe garuh dari fashion-show , atau er agai ko tes ke a tika telah ditiru oleh
para wanita di beberapa daerah pedesaan.
Pengaruh televisi mempunyai segi negatif, misalnya pengaruh dari film-film barat yang berbau kejahatan dapat meningkatkan kriminalitas di pedesaan.
Terbukanya kesempatan kerja dan daya tarik kota di berbagai bidang telah banyak menyerap pemuda desa sehingga desa mengalami pengurangan tenaga potensial di bidang pertanian karena yang tinggal di pedesaan hanya orang-orang tua yang semakin kurang produktif.
Motivasi urbanisasi tinggi sehinga terjadi perluasan kota dan masuknya orang-orang kota ke daerah pedesaan yang telah banyak mengubah tata guna lahan di pedesaan, terutama di tepian kota yang berbatasan dengan kota. Banyak daerah hijau telah menjadi daerah pemukiman atau bangunan lainnya.
Munculnya slum area dan squatter area.
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Obyek Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dengan judul Pengaruh Perkembangan Kota Surakarta terhadap Permukiman di Kawasan Solobaru ini berlokasi di Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru sebagai wilayah yang perkembangannya dipengaruhi oleh
(35)
60 perkembangan Kota Surakarta. Penentuan lokasi penelitian ini, didasarkan pada pertimbangan bahwa perkembangan Kawasan Solobaru dipandang relatif dipengaruhi oleh Kota Surakarta walaupun ada faktor lain di luar Kota Surakarta maupun Kawasan Solobaru yang mempengaruhinya. Berdasarkan studi tim P2KT (Proyek Pengembangan Kota Terpadu) pada tahun 2000 Kota Surakarta mengalami pemekaran kota seluas ±12000 ha yang terjadi pada hinterlandnya yakni seluas ±7000 ha pada kabupaten Sukoharjo (Baki, Grogol, dan Kartasura) dan seluas ±5000 ha pada kabupaten Karanganyar (Ngringo dan Colomadu). Hal ini menunjukkan bahwa pemekaran Kota Surakarta lebih banyak berkembang mengarah ke bagian selatan yakni kabupaten Sukoharjo. Banyak penduduk Kawasan Solobaru yang memilih tinggal di Kawasan Solobaru karena dekat dengan Kota Surakarta. Penduduk di Kawasan Solobaru juga tidak sedikit yang menggunakan fasilitas di Kota Surakarta.
3.1.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian dengan judul Pengaruh Perkembangan Kota Surakarta terhadap Permukiman di Kawasan Solobaru ini adalah 6 bulan yakni dari bulan februari sampai bulan juli 2010.
Tahun penelitian ditentukan tahun 1975 – 2005 karena kurun waktu 30 tahun tersebut digunakan untuk mencari pengaruh dari perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru. Tahun 1975 dipilih sebagai awal penelitian karena pada tahun 1970 terjadi industrialisasi dan urbanisasi di Kota Surakarta hingga menyebabkan pemekaran kota pada tahun 1980. Kemudian pada tahun 1984 merupakan awal mula perkembangan Kawasan Solobaru yang dimulai dengan pembangunan perumahan di Kawasan Solobaru oleh PT. PSP.
3.2 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dengan judul Pengaruh Perkembangan Kota Surakarta terhadap Permukiman di Kawasan Solobaru ini adalah penelitian deskriptif – eksplanatory. Menurut Sugiyono (2003), penelitian deskriptif eksplanatory adalah penelitian yang bermaksud menjelaskan kedudukan variabel-variabel yang diteliti
(36)
61 serta hubungan antara satu variable dengan variable yang lain. Penelitian deskriptif eksplanatory yang dilakukan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Penelitian deskriptif
Penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya. Penelitian ini juga sering disebut non eksperimen, karena pada penelitian ini penelitian tidak melakukan kontrol dan manipulasi variabel penelitian. Dengan metode deskriptif, penelitian memungkinkan untuk melakukan hubungan antar variabel, menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi, dan mengembangkan teori yang memiliki validitas universal.
Dalam penelitian ini, pendekatan deskriptif digunakan untuk memaparkan perkembangan Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru dalam kurun waktu 30 tahun yakni tahun 1975 sampai 2005. Deskriptif perkembangan kota yang dipaparkan adalah perkembangan fisik, ekonomi dan sosial.
b. Penelitian eksplanatory
Penelitian eksplanatory merupakan penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sebuah fenomena sosial terjadi. Dalam penelitian ini, pendekatan eksplanatory digunakan dalam pembahasan yakni dalam menganalisis variabel perkembangan Kota Surakarta yang berpengaruh terhadap permukiman di Kawasan Solobaru. Analisis tersebut dilakukan dengan path analisys untuk menemukan besaran pengaruh dari setiap indikator perkembangan Kota Surakarta yang berpengaruh terhadap permukiman di Kawasan Solobaru.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dengan cara verifikasi dari kajian pustaka. Adapun variabel yang digunakan adalah variabel independent, variabel dependent dan variabel lain.
a. Variabel Independent
Variabel independent merupakan variabel bebas. Yang dimaksud variabel bebas dalam penelitian ini adalah faktor perkembangan Kota Surakarta yang didapat dari verifikasi kajian teori, peneliti mengambil 6 variabel
(37)
62 perkembangan Kota Surakarta yang dianggap dominan berpengaruh terhadap perkembangan hinterlandnya, yakni sebagai berikut :
Tabel 3.1 Variabel Independent dalam Penelitian
Faktor Perkembangan
Kota Surakarta
Verifikasi variabel penelitian dengan landasan pustaka
Deskripsi Tokoh
Pertambahan Jumlah Penduduk
Salah satu faktor perkembangan kota adalah faktor penduduk, yaitu adanya pertambahan penduduk, baik disebabkan karena pertambahan alami maupum karena migrasi.
Hendarto (1997) Pertambahan
Rumah
Perkembangan suatu kota salah satunya ditandai oleh meningkatnya jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang.
Yunus (1987)
Luas
Permukiman
Perkembangan suatu kota salah satunya ditandai oleh meningkatnya jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang.
Yunus (1987)
Jumlah Sarana (Perdagangan, Kesehatan, Pendidikan)
Perkembangan suatu kota salah satunya ditandai oleh meningkatnya jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang.
Yunus (1987)
Prasarana Jalan Perkembangan suatu kota salah satunya ditandai oleh meningkatnya jumlah penduduk. Pertambahan penduduk dalam suatu wilayah perkotaan selalu diikuti oleh peningkatan kebutuhan ruang.
Yunus (1987)
Peningkatan PDRB
Salah satu faktor perkembangan kota adalah faktor sosial ekonomi, yaitu peningkatan PDRB kota dan perkembangan kegiatan usaha masyarakat.
Hendarto (1997) Interaksi Sosial Salah satu faktor perkembangan kota adalah faktor sosial
budaya, yaitu adanya perubahan pola kehidupan dan tata cara masyarakat akibat pengaruh luar/interaksi sosial, komunikasi, dan sistem informasi.
Hendarto (1997)
Sumber : Hasil Identifikasi, 2010
Jumlah sarana yang dimaksud dalam penelitian ialah jumlah sarana perdagangan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan sarana industri dan rekreasi menjadi variabel lain, karena industri besar di Kota Surakarta sudah semakin berkurang meskipun terdapat industri kreatif yang semakin bermunculan, dan Kota Surakarta bukanlah kota untuk tujuan rekreasi tetapi hanyalah kota rekreatif. Berikut adalah penurunan jumlah industri besar di Kota Surakarta tahun 1975-2005 (Surakarta dalam Angka Tahun 1975-2005) :
(38)
63 Gambar 3.1 Penurunan Jumlah Industri Besar di Kota Surakarta
b. Variabel Dependent
Variabel dependent merupakan variabel terikat. Yang dimaksud variabel terikat dalam penelitian ini yaitu :
Jumlah Penduduk Kawasan Solobaru
Jumlah Rumah Kawasan Solobaru
Luas Permukiman Kawasan Solobaru
Jumlah Sarana Kawasan Solobaru c. Variabel Lain
Variabel lain adalah faktor yang mempengaruhi variabel dependent tetapi tidak dijadikan variabel independent, seperti :
Bertambahnya pedagang kaki lima atau sektor informal lain yang berkembang di Kota Surakarta.
Bertambahnya industri kreatif yang semakin banyak di Kota Surakarta.
Meningkatnya prasarana jalan di Kawasan Solobaru.
Bertambahnya tempat rekreasi di Kota Surakarta.
Perkembangan komunikasi dan sistem informasi.
Dan faktor lainnya yang dapat mempengaruhi variabel dependent. 3.4 Populasi dan Sampel
Menurut Singarimbun (1995), populasi ialah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga. Populasi yang akan dijadikan dasar pengambilan sample dalam penelitian ini adalah penduduk yang ada di Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru.
(39)
64 Menurut Suharsimi (1996), sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Perhitungan sample menurut Gay dan Diehl, 1992 (dalam artikel “Teknik Sampling” oleh Hasan Mustafa, 2000) dalam penelitian perbandingan kausal, sample yang digunakan adalah minimal 30. Karena penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kausalitas, maka dalam penelitian ini sampel yang diambil adalah 30.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya, diamati, dan dicatat untuk pertama kalinya. Data primer ini diperoleh dari hasil pengamatan lapangan pada waktu studi dilakukan, angket (kuesioner) dan wawancara dengan informan yang terkait. Instrument yang digunakan adalah pedoman wawancara, angket (kuesioner) bagi sejumlah responden.
b. Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh tidak secara langsung. Data ini diperoleh dari instansi-instansi terkait dengan penelitian ini.
Berikut ini adalah tabel kebutuhan data primer dan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini :
Tabel 3.2 Data yang Digunakan dalam Penelitian
Aspek Data Sifat Jenis Data Sumber
Fisik
a. Literatur mengenai sejarah
perkembangan Kota Surakarta dan Solobaru.
Kualitatif Sekunder
BAPEDA, BPN, BPS, Developer Perumahan di
(40)
65
b. Kebijakan penggunaan lahan di
Kota Surakarta dan Solobaru
(RTRW Surakarta, RTRW
kabupaten Sukoharjo, dan RUTR Kawasan Solobaru).
Kualitatif Sekunder
Solobaru
c. RTRW provinsi Jawa Tengah Kualitatif Sekunder
d. Data dan peta penggunaan lahan di Kota Surakarta dan Solobaru.
Kuantitatif dan Kualitatif
Sekunder
e. Data jumlah rumah dan luas
permukiman di Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru.
Kuantitatif Sekunder
f. Data jumlah sarana perkotaan
(pendidikan, kesehatan,
perdagangan) dan prasarana jalan di Kota Surakarta dan Solobaru.
Kuantitatif Sekunder
Ekonomi a. PDRB Kota Surakarta Kuantitatif Sekunder BPS
Sosial
a. Jumlah penduduk tahun
1975-2005 Kuantitatif Sekunder
BPS, Kecamatan, Penduduk (wawancara,
kuesioner), observasi.
b. Interaksi Sosial Budaya Kualitatif Primer
Sumber : Identifikasi Peneliti
Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Wawancara
Wawancara merupakan suatu teknik mendekati sumber informasi dengan jalan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematis dan berdasarkan tujuan penelitian. Wawancara merupakan percakapan dengan tujuan tertentu dan dilakukan oleh pewawancara dan informan (Moleong, 1993).
Dalam penelitian ini wawancara dilakukan dengan pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara yaitu pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara kepada informan yang bertindak sebagai responden yang terdiri dari sejumlah penduduk yang tinggal di Kawasan Solobaru serta instansi pemerintah. Dalam penelitian ini digunakan teknik wawancara terbuka yaitu wawancara yang dilakukan secara terbuka, akrab dan penuh kekeluargaan. Wawancara terbuka ini terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban dari informan yang tidak terbatas dalam jawaban-jawabannya kepada
(41)
66 beberapa kata atau hanya pada jawaban “ya” atau “tidak” saja, tetapi dapat memberikan keterangan dan cerita yang panjang. Wawancara ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang sifatnya mendalam terhadap masalah-masalah yang diajukan.
b. Observasi Langsung
Menurut Sutrisno Hadi (Metode Research, 1981), observasi adalah suatu proses pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan kemudian melakukan pencataan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang terjadi.
Observasi ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang apa yang dilihat dan diperhatikan pada saat dilapangan. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan sekali melainkan berulang-ulang. Sebab dengan pengulangan diharapkan data yang diperoleh akan lebih valid dan akan diperoleh hasil yang nyata dan mendalam.
Dalam penelitian ini, data hasil observasi digunakan untuk mengetahui interaksi penduduk Kawasan Solobaru dengan Kota Surakarta sehingga dapat digunakan untuk mendukung data yang lain.
c. Dokumentasi
Teknik dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan data guna mendukung penelitian. Teknik dokumentasi bertujuan untuk memperoleh data berdasarkan sumber-sumber yang berasal dari buku-buku, literatur, laporan serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan penulisan. Dokumen ini dapat diperoleh dari lembaga pemerintah dan arsip serta dokumen pribadi. Hal ini sesuai dengan pendapat H.B Sutopo (Metode Penelitian Kualitatif, 1990), yaitu bahwa dokumen dan arsip adalah sumber informasi tertulis yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau kegiatan.
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode dokumentasi adalah cara pengumpulan data yang dibutuhkan sebagai bukti dan keterangan dalam bentuk tulisan maupun yang tampak. Dokumentasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa arsip yang berkaitan dengan perkembangan Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru.
(42)
67 d. Kuesioner
Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu untuk dijawab oleh responden. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik kuesioner untuk mengetahui sikap responden terhadap pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru.
Kuesioner yang digunakan adalah kuesioner terbuka, yaitu kuesioner yang memberi kesempatan penuh memberi jawaban menurut apa yang dirasa perlu oleh responden.
Dalam penelitian ini diusahakan memperoleh validitas data yang dapat dipertanggung jawabkan. Validitas merupakan keakuratan data yang telah dikumpulkan yang nantinya akan dianalisa dan ditarik kesimpulannya pada akhir penelitian. Usaha meningkatkan validitas data dilakukan dengan :
Trianggulasi
Menurut Moleong (1993), trianggulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data dengan menggunakan sesuatu yang lain selain data tersebut untuk memeriksa atau untuk membandingkan data yang telah ada tersebut.
Untuk menjamin kesahan data yang diperoleh dalam penelitian ini maka dilakukan dengan trianggulasi data. Trianggulasi dilakukan dengan trianggulasi data sumber. Trianggulasi data sumber dalam penelitian ini diperoleh dengan cara mengumpulkan beberapa data dari berbagai sumber yang berbeda baik dari hasil wawancara, observasi, kuesioner maupun dokumentasi yang telah diperoleh untuk mendapatkan data yang sama jenis, memperoleh kepercayaan terhadap suatu data dengan membandingkan data yang diperoleh dari sumber yang berbeda sehingga data yang satu akan dikontrol dengan data yang lain.
Review Informan
Selain teknik pemeriksaan data dengan trianggulasi data, digunakan pula review informan. Review informan merupakan pencocokan data atau
(43)
68 informasi yang sama kepada informan yang berbeda. Menurut H.B Sutopo (Metode Peneltian Kualitataif, 1990), review informan adalah laporan yang diperiksa kembali key informan untuk mengetahui apakah yang ditulis merupakan sesuatu yang disetujui oleh mereka.
3.6 Metode Analisis
Analisis data yang dipergunakan dalam mengolah data atau informasi yang diperoleh baik data yang berupa hasil wawancara, kuesioner maupun data hasil observasi disinkronkan dengan teori yang mendasari dan kemudian dilakukan analisis. Sedang yang dimaksud dengan analisis sendiri adalah proses penyusunan data agar dapat ditafsirkan yaitu dengan menggolongkan, mengurutkan, menstrukturisasikan sampai dengan mengumpulkan data sehingga mempunyai arti.
Analisis yang digunakan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Analisis perkembangan kota
Analisis yang dilakukan adalah analisis deskriptif untuk mengetahui perkembangan Kota Surakarta dan perkembangan Kawasan Solobaru dengan kurun waktu 30 tahun yakni dari tahun 1975 sampai 2005. Analisis ini dilakukan dengan dasar data (tahun 1975-2005) mengenai perkembangan Kota Surakarta dan perkembangan Kawasan Solobaru serta peta perkembangan permukiman yang dioverlay dari tahun ke tahun. Perkembangan kota yang dianalisis secara deskriptif ini meliputi perkembangan fisik, ekonomi, dan sosial kedua kota.
b. Analisis pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru
Analisis yang dilakukan menggunakan metode deskriptif eksplanatori dimana data yang ada mengenai perkembangan Kota Surakarta dan Kawasan Solobaru kemudian dikaji dengan teori untuk mengetahui bagaimana pengaruhnya. Sedangkan untuk besaran pengaruhnya akan dijelaskan dengan teknik analisis jalur.
(44)
69 c. Analisis Jalur (Path Analysis)
Menurut Robert D. Retherford (dalam Ali Muhidin, Sambas dan Maman Abdurahman, 2009), analisis jalur ialah suatu teknik untuk menganalisis hubungan sebab akibat yang tejadi pada regresi berganda jika variabel bebasnya mempengaruhi variabel tergantung tidak hanya secara langsung tetapi juga secara tidak langsung. Analisis jalur (path analysis) dikembangkan oleh Sewall Wright, 1934 (dalam Ali Muhidin, Sambas dan Maman Abdurahman, 2009). Analisis jalur digunakan untuk mengetahui pengaruh secara serempak atau mandiri beberapa variabel penyebab terhadap sebuah variabel akibat. Analisis jalur merupakan pengembangan korelasi yang diurai menjadi beberapa interpretasi akibat yang ditimbulkannya. Lebih lanjut, analisis jalur mempunyai kedekatan dengan regresi berganda, atau dengan kata lain, regresi berganda merupakan bentuk khusus dari analisis jalur. Teknik ini juga dikenal sebagai model sebab-akibat (causing modeling). Penamaan ini didasarkan pada alasan bahwa analisis jalur memungkinkan pengguna dapat menguji proposisi teoritis mengenai hubungan sebab dan akibat tanpa memanipulasi variabel-variabel.
Dalam penelitian ini, analisis jalur (path analysis) menggunakan SPSS yang digunakan untuk mengetahui besaran pengaruh variabel perkembangan Kota Surakarta terhadap variabel perkembangan permukiman di Kawasan Solobaru baik secara bersama-sama maupun secara parsial.
d. Model Analisis Jalur
Model merupakan representasi dari suatu sistem yang sedang diamati. Dalam penelitian ini, model yang digunakan adalah model skematis dan matematis. Model skematis dibuat dalam suatu diagram jalur yang digunakan untuk menggambarkan kerangka hubungan kausal antar jalur (satu variabel terhadap variabel lainnya). Sedangkan model matematisnya merupakan model persamaan regresi yang juga menjelaskan hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Dalam analisis jalur terdapat banyak model jalur yaitu model satu persamaan jalur, model dua persamaan jalur, model tiga persamaan jalur, model empat persamaan jalur, dan seterusnya. Semakin kompleks
(45)
70 hubungan struktural maka semakin kompleks diagram jalurnya, dan makin banyak pula substruktur yang membangun. Dalam penelitian ini menggunakan model empat persamaan jalur dengan empat persamaan substruktur.
Adapun variabel penelitian yang akan diuji yaitu :
1) Variabel bebas (eksogen atau penyebab) yaitu faktor perkembangan Kota Surakarta yang meliputi :
1) Jumlah Penduduk (X1)
2) Luas Permukiman (X2)
3) Jumlah Rumah (X3)
4) Jumlah Sarana (X4)
5) Jumlah Prasarana Jalan Kota Surakarta (X5)
6) Peningkatan PDRB Kota Surakarta (X6)
2) Variabel terikat (endogen atau akibat) yaitu beberapa elemen dari permukiman Kawasan Solobaru yang meliputi :
1) Jumlah Penduduk (X7)
2) Jumlah Rumah (X8)
3) Luas Permukiman (X9)
4) Jumlah Sarana (Y)
Karena dalam penelitian ini menggunakan model empat persamaan jalur, maka model persamaan jalurnya dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.2 Model Empat Persamaan Jalur dalam Analisis Dimana :
X1 = Jumlah Penduduk Kota Surakarta
(46)
71 X3 = Luas Permukiman Kota Surakarta
X4 = Jumlah Sarana Kota Surakarta
X5 = Jumlah Prasarana Jalan Kota Surakarta
X6 = Peningkatan PDRB Kota Surakarta
X7 = Jumlah Penduduk Kawasan Solobaru
X8 = Jumlah Rumah Kawasan Solobaru
X9 = Luas Permukiman Kawasan Solobaru
Y = Jumlah Sarana Kawasan Solobaru
r
XnXk = Besaran Koefisien PengaruhAdapun persamaan regresi yang digunakan untuk menunjukkan hubungan kausal di atas adalah :
1) Persamaan regresi hubungan kausal perkembangan Kota Surakarta terhadap jumlah penduduk di Kawasan Solobaru.
X7 = B + pyX1 X1+ … + pyXk Xk+ py€
2) Persamaan regresi hubungan kausal perkembangan Kota Surakarta melalui jumlah penduduk Kawasan Solobaru terhadap jumlah rumah di Kawasan Solobaru.
X8 = B + pyX1 X1+ … + pyXk Xk+ py€
3) Persamaan regresi hubungan kausal perkembangan Kota Surakarta melalui jumlah penduduk Kawasan Solobaru dan jumlah rumah di Kawasan Solobaru terhadap luas permukiman di Kawasan Solobaru.
X9 = B + pyX1X1+ … + pyXk Xk+ py€
4) Persamaan regresi hubungan kausal perkembangan Kota Surakarta melalui jumlah penduduk Kawasan Solobaru, jumlah rumah di Kawasan Solobaru, dan luas permukiman di Kawasan Solobaru terhadap jumlah sarana di Kawasan Solobaru.
Y = B + pyX1 X1+ … + pyXk Xk+ py€
(1)
8) Pengaruh variabel dominan perkembangan Kota Surakarta terhadap jumlah rumah di Kawasan Solobaru adalah sebagai berikut :
Jumlah rumah Kawasan Solobaru akan bertambah ketika jumlah penduduk Kawasan Solobaru bertambah menjadi 0.24828 X jumlah penduduk Kawasan Solobaru + variabel lain.
Jumlah rumah Kawasan Solobaru akan bertambah ketika luas permukiman di Kota Surakarta berkurang menjadi 0.392317 X luas permukiman Kota Surakarta + variabel lain.
Jumlah rumah Kawasan Solobaru akan bertambah ketika luas permukiman di Kota Surakarta berkurang menjadi 0.008000001 X jumlah rumah Kota Surakarta + variabel lain.
9) Pengaruh variabel dominan perkembangan Kota Surakarta terhadap jumlah luas permukiman di Kawasan Solobaru adalah sebagai berikut : Luas pemukiman di Kawasan Solobaru akan bertambah ketika jumlah
penduduk Kawasan Solobaru bertambah menjadi 0.03806791 X jumlah penduduk Kawasan Solobaru + variabel lain.
Luas permukiman di Kawasan Solobaru akan bertambah ketika jumlah rumah di Kota Surakarta berkurang menjadi 0.047 X jumlah rumah Kota Surakarta + variabel lain.
10) Pengaruh variabel dominan perkembangan Kota Surakarta terhadap jumlah sarana di Kawasan Solobaru adalah sebagai berikut :
Jumlah sarana Kawasan Solobaru akan bertambah ketika jumlah rumah di Kawasan Solobaru bertambah menjadi 0.054795119 X jumlah rumah Kawasan Solobaru + variabel lain.
Jumlah sarana Kawasan Solobaru akan bertambah ketika luas permukiman di Kota Surakarta berkurang menjadi 0.312 X luas permukiman Kota Surakarta + variabel lain.
Jumlah sarana Kawasan Solobaru akan bertambah ketika PDRB Kota Surakarta bertambah menjadi 0.00057929 X tingkat PDRB Kota Surakarta + variabel lain.
(2)
Berdasarkan kesimpulan dari penelitian mengenai pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru, maka dapat disusun rekomendasi sebagai berikut :
1) Rekomendasi bagi pemerintah
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru, disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antar Kota Surakarta ke Kawasan Solobaru oleh karena itu direkomendasikan kepada pihak pemerintah bahwa perlu adanya kerjasama antara pemerintah Kota Surakarta dengan pemerintah kabupaten Sukoharjo dalam mengantisipasi perkembangan Kawasan Solobaru yang dipengaruhi oleh perkembangan Kota Surakarta agar lebih berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Kerjasama tersebut dapat diwujudkan dalam koordinasi antar instansi terkait dalam penyusunan rencana tata ruang.
a. Bapeda Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo
Kedua instansi perlu melakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan pembangunan yang mempengaruhi Kawasan Solobaru. Hal ini perlu dilakukan mengingat adanya kecenderungan konversi lahan tak terbangun menjadi terbangun yang kurang terkendali karena adanya pengaruh perkembangan Kota Surakarta yang lokasinya berbatasan langsung dengan Kawasan Solobaru.
b. DPU Kota Surakarta dan DPU Kawasan Solobaru
Perlunya peningkatan aksesbilitas agar dapat menunjang mekanisme kegiatan ke pusat Kawasan Solobaru, terutama pada pusatlingkungan permukiman penduduk. Selain itu juga dikembangkan berbagai fasilitas pelayanan sesuai dengan fungsi lahan yang diberikan, seperti penyediaan fasilitas dan utilitas yang lebih memadai.
c. Dinas Tata Kota Surakarta dan Bapeda Kabupaten Sukoharjo
Perlunya diterbitkan aspek peraturan yang berkaitan dengan kepastian hukum dalam pelaksanaan rencana penataan ruang, terutama masalah pertanahandan prosedur perijinan. Hal ini ditujukan untuk mengantisipasi kecenderungan perubahan penggunaan lahan yang kurang terkendali.
(3)
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini memiliki banyak kekurangan sehingga direkomendasikan untuk studi lanjutan bila ingin mengkaji lebih dalam lagi mengenai pengaruh perkembangan Kota Surakarta terhadap permukiman di Kawasan Solobaru, maka sebaiknya variabel penelitian yang digunakan diharapkan untuk lebih spesifik pada variabel yang pengaruhnya berkontribusi besar pada perkembangan Kawasan Solobaru. Variabel yang digunakan untuk penelitian selanjutnya lebih baik dispesifikan pada jangkauan sarana prasarana di Kota Surakarta yang dapat membentuk interaksi dengan Kawasan Solobaru.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU/DOKUMEN
Ali Muhidin, Sambas dan Maman Abdurahman. 2009. Analisis Korelasi, Regresi, dan Jalur dalam Penelitian. Bandung : Pustaka Setia.
Badudu, J.s dan Zein. 2004. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Barlow M.H & Newton R.G. 1971. Patterns and Procesess in Man’s Economic Enviroment. Sydney: Angus & Robertson Pty. Ltd
Bintarto. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Branch, Melville. 1996. Perencanaan Kota Komprehensif: Pengantar dan Penjelasan. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University Press.
Colby. 1959. Centrifugal and Centripetal Forces in Urban Geography. In : Mayer and Kohn (eds.) : Reading in Geography. Chicago : University of Chicago. Daldjoeni. 1987. Geografi Kota dan Desa untuk Mahasiswa dan Guru SMU.
Bandung: Alumni.
Doxiadis. 1968. Ekistics: An Introduction to the Science of Human Settlements. New York: Oxford University Press.
(4)
Hendro, Raldi Koestoer. 2001. Dimensi Keruangan Kota Teori dan Kasus. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Jayadinata, Johara T. 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah. Bandung: ITB.
Kecamatan Baki dalam Angka Tahun 1975 – 2005. Kecamatan Grogol dalam Angka Tahun 1975 – 2005.
Maslow, Abraham H. 1970.“A Theory of Human Motivation”, dalam Psychologi Review.
Moleong, Lexy. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
P.J.M. Nas. Kota di Dunia Ketiga. Jil. 1 dan 2. Terj. S. Suryochondro. Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1979.
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surakarta Tahun 1993 – 2013. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukoharjo Tahun 2009 – 2029. Rencana Umum Tata Ruang Kota Kawasan Solobaru Tahun 1990 – 2010. Sejarah Kabupaten Sukoharjo.
Pontoh, Nia K dan Iwan Kustiwan. 2009. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: ITB.
Rapoport, A. 1987. The Meaning of The built Environment, An Nonverbal Communication Approach,Sage Publication.
Sarwono, Jonathan. 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Yogyakarta: Andi Offset.
Sastra, M. Suparno dan Endy Marlina. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Perumahan. Yogyakarta: Andi Offset.
Singarimbun, M dan Effendi, S. 1995. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. SNI 03-1733-2004 tentang Perencanaan Perumahan Kota.
Somantri, Ating dan Sambas Ali Muhidin. 2006. Aplikasi Statistika dalam Penelitian. Bandung: Pustaka Setia.
Subroto, Yoyok Wahyu, Bakti Setiawan, Setiadi. 1997. Proses Transformasi Spasial dan Sosio-Kultural Desa-Desa di Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe) di Indonesia (Studi Kasus Yogyakarta). Laporan Penelitian Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan Dasar Tahun Anggaran
(5)
Suharsimi, Arikunto. (1996). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Sukoharjo dalam Angka tahun 1975 – 2005. Surakarta dalam Angka tahun 1975 – 2005.
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Sutopo, HB. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS.
Ullman, E.L. 1980. Transportation Geografic: eemn methodologische inleiding. Den Bosch: Malmberg.
UU No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
Yunus. 1978. Konsep Perkembangan Daerah dan Pengembangan Daerah Perkotaan. Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Yunus, Hadi Sabari. 1987. Permasalahan Daerah Urban Fringe dan Alternatif Pemecahannya. Yogyakarta : Fakultas Geografi UGM.
Yunus, Hadi Sabari, M.A. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yunus, Hadi Sabari, M.A. 2006. Megapolitan Konsep, Problematika, dan Prospek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yunus, Hadi Sabari, M.A. 2008. Dinamika Wilayah Peri Urban Determinan Masa Depan Kota. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
ARTIKEL
Arminah, Valentina. 1999. Kajian Pola Perkembangan Fisik Kota Surakarta Melalui Citra Spot dan Landsat TM. Majalah Geografi Indonesia Volume 13 Nomor 2 Terbitan September 1999.
Mustafa, Hasan. 2000. Teknik Sampling.
Rum, Sri Giyarsih. Gejala Urban Sprawl Sebagai Pemicu Proses Densifikasi Permukiman di Daerah Pinggiran Kota. Yogyakarta.
(6)
Giyarsih, S.R. 2001. Gejala Urban Sprawl Sebagai Pemicu Proses Desifikasi Permukiman di Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe Area). Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 12 (1):40-45.
Keman, Soedjajadi. Kesehatan Perumahan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol 2 No 1, Juli 2005. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Kustiwan, I dan M. Anugrahani. 2001. Perubahan Pemanfaatan Lahan Perumahan
Ke Perkantoran: Implikasinya Terhadap Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota. Jurnal Perencanaan Wilayah Dan Kota. 11 (1):40-45.
Prayitno, Budi. Morfologi Kota Surakarta (1500-2000). Bandung.
Qomarun dan Budi Prayitno. 2007. Morfologi Kota Solo (tahun 1500-2000). Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 35, No. 1, Juli 2007: 80 – 87. Jurusan Teknik Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan - Universitas Kristen Petra.
SKRIPSI/TESIS
Adi, Hari. 2002. Dampak Keberadaan Permukiman Solobaru terhadap Kondisi Ekonomi, Sosial, dan Fisik Permukiman Sekitarnya. Tugas Akhir (S1). Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota UNDIP. Semarang.
Ilyas, Ali. 2006. Pengaruh Perkembangan Kota Banjarmasin terhadap Penggunaan Lahan di Kota Kertak Hanyar. Tesis (S2). Pasca Sarjana Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota UNDIP. Semarang.
Karyono. 2006. Pemekaran Kota Surakarta dan Strategi Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan. Tesis (S2). Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Lingkungan UNS. Surakarta.