Efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg pada tikus terinduksi streptozotosin.

(1)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg pada tikus terinduksi streptozotosin. Penelitian ini bersifat penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus jantan galur Wistar, umur 6-8 minggu, berat 120-160 g, dan terbagi dalam 5 kelompok sama banyak. Kelompok I merupakan kelompok basal. Kelompok II diberi CMC Na dosis 50 mg/kgBB secara oral. Kelompok III, IV, dan V diinduksi STZ dosis 40 mg/kgBB secara intraperitonial dan kelompok IV dan V dilanjutkan dengan pemberian glibenklamid 0,45 mg/kgBB dan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB secara oral. Pada hari 0, 4, 7 dan 14 ditimbang berat badan dan diukur kadar glukosa darah, hari ke-14 tikus dibedah untuk diamati kerusakan pankreasnya. Data kadar glukosa darah dan berat badan dihitung nilai LDDK0-14 dan dianalis dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi normalitas data normalitas data dilanjutkan dengan ANOVA dan uji post hoc Bonferroni dengan tingkat kepercayaan 95% untuk melihat perbedaan antar kelompok. Hasil penelitian menunjukkan pemberian ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB tidak memiliki efek antihiperglikemik berdasarkan pengukuran kadar glukosa darah dan gambaran histologis pankreas tikus terinduksi streptozotosin.

Kata kunci : Artocarpus altilis (Park.) Fosberg, antihiperglikemia, streptozotosin, ekstrak etanol, kadar glukosa darah, gambaran histologis pankreas


(2)

ABSTRACT

This aim of study research were to prove antihyperglycemic effect of ethanol extract of leaves of Artocarpus altilis (Park.) Fosberg in rats induced-streptozotosin. This research was purely experimental research with randomized complete direct sampling design. This research use 25 male Wistar rats, age group between 6-8 weeks and weight around 120-160 g and was divided into 5 groups as many. Group I was the basal group. Group II was givenCMC Na dose 50 mg/kgBW orally. Group III, IV, and V induced STZ 40 mg/kgBW intraperitoneally and the group IV and V were followed by administration of glibenclamide 0,45 mg/kgBW and ethanol extract of Artocarpus altilis (Park.) Fosberg leaves 50 mg/kgBW orally. At day 0, 4, 7 and 14 body weight were weighed and blood glucose levels of rats were measured. At day 14th, the rats were dissected and pancreas were taken to observe the damage. Blood glucose levels and body weight were calculated using LDDK0-14 value and analyzed using Kolmogorov-Smirnov test to look at the distribution of normality the data and resumed using ANOVA and post hoc Bonferroni test standard of 95% to look at the differences between group. The results showed administration of ethanol extract of leaves of Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dose of 50 mg/kgBW didn’t have antihyperglycemic effect based on the measurement of fasting blood glucose levels and histologisc structure of the pancreas in rat induced-STZ.

Keywords: Artocarpus altilis (Park.) Fosberg, antihyperglycemic, streptozotosin, ethanol extracts, blood glucose levels, histologisc pancreas


(3)

EFEK ANTIHIPERGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL DAUN Artocarpus altilis (Park.) Fosberg PADA TIKUS TERINDUKSI STREPTOZOTOSIN

SKRIPSI

Dianjurkan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh:

Inggrid Roswita Tokan NIM : 108114035

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2014


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

“The person who the person who says something is impossible should interrupt the person doing it”

- Chinese Proverb -

Kupersembahkan buat: Tuhan Yesus Kristus yang selalu menjaga dan memberi jalan keluar dari semua masalah yang dialami selama pengerjaan skripsi, Bapak, Mama, dan keluargaku, Teman-temanku, serta Almamater tercinta.


(7)

(8)

(9)

vii PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang melimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi dengan judul “Efek Antihiperglikemik Ekstrak Etanol Daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg pada Tikus Terinduksi Streptozotosin” ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan dan campur tangan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orangtua Bapak Hendrikus Baro Sili dan Ibu Maria Magdalena Rawa Borot yang selalu memberi dukungan dan mandanai pengerjaan skripsi.

2. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

3. Bapak Ipang Djurnarko, M.Sc., Apt. selaku Dosen Pembimbing Utama pada skripsi ini atas kesabaran, bantuan, bimbingan, serta motivasi dan masukan kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

4. Ibu drh. Sitarina Widyarini, M.P., Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Pendamping pada skripsi ini atas kesabaran, bantuan, bimbingan, serta motivasi dan masukan kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.


(10)

viii

5. Ibu Phebe Hendra, M. Si., Apt., Ph.D. selaku Dosen Penguji skripsi yang telah banyak memberi perhatian, masukan dan saran kepada penulis. 6. Bapak Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt. selaku Dosen Penguji skripsi yang

telah banyak memberi perhatian, masukan dan saran kepada penulis. 7. Ibu Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt, selaku Kepala Laboratorium

Fakultas Farmasi yang telah memberikan ijin dalam penggunaan semua fasilitas laboratorium untuk kepentingan penelitian skripsi ini.

8. Pak Suparjiman, Pak Heru, Pak Kayatno, Pak Wagiran, Pak Parlan, Pak Kunto, Pak Musrifin dan Mas Bimo selaku Laboran Laboratorium Fakultas Farmasi yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pelaksanaan penelitian.

9. Pak Sugiyono dan Pak Lilik selaku staff Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada yang telah banyak memberikan bantuan selama proses pelaksanaan penelitian.

10.Rekan-rekan tim Sukun Chatarina Serafina I. W., Therezita Sahita L., dan Anggun Amalia M. atas segala kerjasama, bantuan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi.

11.Kakak Ester Boi D., Maria Agustina T., Vinsensius A. T., dan Theresia Helena T. yang selalu memberi dukungan pengerjaan skripsi.

12.Sahabat-sahabatku Maria Theresia G., Vera Juniarta, Theresia A., Puspita Sari D., Mega Wiro S., Priscilla D. V. V., Adrienne Roma A., dan Pande Putu K. W. atas motivasi, doa, kebersamaan dan persahabatannya.


(11)

(12)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

INTISARI ... xxii

ABSTRACT ... xxiii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1.Permasalahan ... 5

2.Keaslian penelitian ... 5

3.Manfaat penelitian ... 6

a. Manfaat teoritis ... 6


(13)

xi

B. Tujuan Penelitian ... 6

1.Tujuan umum ... 6

2.Tujuan khusus ... 7

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 8

A. Tanaman Artocarpus altilis (Park.) Fosberg ... 8

1. Habitat dan morfologi ... 8

2. Klasifikasi ... 9

3. Penyebaran ... 9

4. Kandungan kimia ... 10

5. Nama daerah ... 10

6. Manfaat ... 11

B. Ekstraksi ... 12

C. Pankreas ... 13

1. Bagian eksokrin pankreas ... 14

2. Bagian endokrin pankreas ... 15

D. Diabetes Melitus ... 16

1. Definisi ... 16

2. Epidemiologi ... 17

3. Manifestasi klinis ... 18

4. Klasifikasi ... 19

5. Patogenesis ... 19

6. Diagnosis ... 23


(14)

xii

F. Insulin ... 25

1. Fungsi insulin ... 25

2. Sintesis insulin ... 25

3. Regulasi sekresi insulin ... 26

G. Streptozotosin ... 27

H. Glibenklamid ... 30

I. Metode Penetapan Kadar Glukosa Darah ... 31

J. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin ... 33

K. Landasan Teori ... 34

L. Hipotesis ... 36

BAB III. METODE PENELITIAN ... 37

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 37

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 37

1. Variabel penelitian ... 37

2. Definisi operasional ... 38

C. Bahan Penelitian ... 40

1.Bahan utama ... 40

2.Bahan kimia ... 40

D. Alat dan Instrumen Penelitian ... 42

E. Tata Cara Penelitian ... 43

1. Determinasi tanaman Artocarpus altilis (Park.) Fosberg ... 43

2. Pengumpulan bahan ... 43


(15)

xiii

4. Pembuatan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg ... 44

5. Dosis ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg pada penelitian ... 44

6. Penetapan kadar air serbuk daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg .... 45

7. Pembuatan suspensi CMC Na 0,5% ... 45

8. Pembuatan dapar Na Sitrat 50 mM pH 4,5 ... 45

9. Penetapan dosis streptozotosin ... 46

10. Penetapan keseragaman bobot tablet glibenklamid ... 46

11. Pembuatan suspensi glibenklamid 5 mg% (b/v) ... 47

12. Penentuan dosis glibenklamid ... 47

13. Induksi hiperglikemia pada tikus ... 47

14.Pengukuran kadar glukosa darah ... ... 48

15. Desain dan perlakuan penelitian ... 48

16. Pengumpulan sampel ... 50

17. Pembuatan slide ... 50

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 54

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

A. Hasil Determinasi Tanaman ... 56

B. Penetapan Kadar Air Serbuk Daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg ... 57

C. Penetapan Bobot Tetap Ekstrak Etanol Daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg ... 58


(16)

xiv

E. Efek Antihiperglikemik Ekstrak Etanol Daun Artocarpus altilis (Park.)

Fosberg ... 60

1. Kadar glukosa darah ... 60

2. Berat badan ... 70

F. Gambaran Histologis Pankraes Tikus ... 75

1. Kelompok basal ... 76

2. Kelompok kontrol negatif ... 77

3. Kelompok kontrol positif ... 78

4. Kelompok perlakuan STZ + glibenklamid ... 80

5. Kelompok perlakuan STZ + EEAA ... 81

G. Rangkuman Pembahasan ... 83

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

1. Kesimpulan ... 87

2. Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 88

LAMPIRAN ... 94


(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Daftar negara dengan estimasi kasus diabetes tahun 2000 dan

2030 ... 18

Tabel II. Klasifikasi diabetes melitus ... 19

Tabel III. Kriteria kadar glukosa darah pada pasien normal, pradiabetes dan diabetes melitus ... 24

Tabel IV. Keseragaman bobot tablet ... 47

Tabel V. Volume bahan untuk pengukuran kadar glukosa ... 48

Tabel VI. Prosedur pewarnaan Harris Hematoxyline-Eosin ... 53

Tabel VII. Rata-rata nilai LDDK0-14 kadar glukosa darah tikus pada perlakuan kelompok basal, kontrol negatif dan kontrol positif... 62

Tabel VIII. Hasil uji Bonferroni nilai LDDK0-14 kadar glukosa darah tikus pada perlakuan kelompok basal, kontrol negatif dan kontrol positif ... 63

Tabel IX. Rata-rata kadar glukosa darah tikus pada hari ke-0, 4, 7, dan 14 ... .... 67

Tabel X. Hasil uji post hoc Bonferroni LDDK0-14 kadar glukosa darah pada tikus kelompok basal, kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan STZ + glibenklamid dan STZ + perlakuan EEAA... 69


(18)

xvi

Tabel XII. Hasil uji post hoc Bonferroni LDDK0-14 berat badan pada tikus kelompok basal, kontrol negatif, kontrol positif,

perlakuan STZ + glibenklamid dan perlakuan STZ + EEAA .. 72 Tabel XIII. Presentase kerusakan sel Iset Langerhans pankreas tikus

dengan pengecatan Hematoksilin dan Eosin ... 75 Tabel XIV. Keseragaman bobot tablet glibenklamid ... 103 Tabel XV. Bobot pengeringan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg ... 104 Tabel XVI. Hasil rendemen ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.)

Fosberg ... 104 Tabel XVII. Hasil penetapan kadar air serbuk daun Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg ... 105 Tabel XVIII. Data pengukuran kadar glukosa darah tikus pada kelompok

basal, kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan STZ +

glibenklamid dan perlakuan STZ + EEAA ... 106 Tabel XIX. Nilai LDDK0-14 kadar glukosa darah (hari.mg/dl) pada

kelompok basal, kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan

STZ + glibenklamid dan perlakuan STZ + EEAA ... 107 Tabel XX. Data penimbangan berat badan tikus pada kelompok basal,

kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan STZ + glibenklamid


(19)

xvii

Tabel XXI. Nilai LDDK 0-14 berat badan tikus (hari.mg/dl) pada kelompok basal, kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan


(20)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Interpretasi spektrum flavonoid 7, 3’, 4’ trihidroksi flavonol ... 10

Gambar 2. Bagian abdominal atas dengan lambung, penampang melintang colon dan sebagian besar bagian hati yang dipotong untuk menunjukkan lokasi dan hubungannya dengan pankreas ... 13

Gambar 3. Penampang histologis organ pankreas ... 14

Gambar 4. Gambaran sel-sel asini (bagian eksokrin pankreas) ... 15

Gmabar 5. Sel Islet Langerhans pankreas (A) Sel β pankreas berfungsi menghasilkan insulin (B) Sel α pankreas berfungsi menghasilkan glukagon (C) Sel δ pankreas berfungsi menghasilkan somatostatin (D) Sel PP berfungsi untuk menghasilkan hormon polipeptida pankreas ... 16

Gambar 6. Regulasi sekresi insulin dari sel β pankreas ... 26

Gambar 7. Struktur streptozotosin ... 27

Gambar 8. Mekanisme STZ menginduksi rusaknya sel β pankreas ... 28

Gambar 9. Struktur glibenklamid ... 30

Gambar 10. Skema uji antihiperglikemik ... 55

Gambar 11. Kurva hubungan antara waktu (hari) dengan rata-rata kadar glukosa darah tikus (mg/dl) ... 68

Gambar 12. Histogram perbandingan rata-rata LDDK0-14 kadar glukosa darah pada pada tikus kelompok basal, kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan STZ + glibenklamid dan perlakuan STZ + EEAA... 69


(21)

xix

Gambar 13. Kurva hubungan antara waktu (hari) dengan rata-rata berat badan tikus (mg/dl) ... 72 Gambar 14. Histogram perbandingan rata-rata LDDK0-14 berat badan pada

pada tikus kelompok basal, kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan STZ + glibenklamid dan perlakuan STZ + EEAA ... 73 Gambar 15. Foto mikroskopik organ pankreas tikus kelompok basal dengan

perbesaran 400x, ( ) menunjukkan sel Islet Langerhans tidak ada perubahan patologi spesifik ... 76 Gambar 16. Foto mikroskopik organ pankreas tikus kelompok kontrol negatif

dengan perbesaran 400x, ( ) menunjukkan sel Islet Langerhans tidak ada perubahan patologi spesifik ... 77 Gambar 17. Foto mikroskopik organ pankreas tikus kelompok kontrol positif

dengan perbesaran 400x, ( ) menunjukkan sel Islet Langerhans yang mengalami nekrosis ... 79 Gambar 18. Foto mikroskopik organ pankreas tikus kelompok perlakuan STZ

+ glibenklamid dengan perbesaran 400x, ( ) menunjukkan sel Islet Langerhans yang mengalami nekrosis ... 80 Gambar 19. Foto mikroskopik organ pankreas tikus kelompok perlakuan STZ

+ EEAA dengan perbesaran 400x, ( ) menunjukkan sel Islet Langerhans yang mengalami nekrosis ... 82


(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat determinasi daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg .... 95 Lampiran 2. Surat pengesahan medical and health research ethics

committe (MHREC) ... 96 Lampiran 3. Hasil pembacaan preparat histopatologi organ pankreas

tikus dengan pengecatan Hematoksilin dan Eosin ... 97 Lampiran 4. Leaflet GOD-PAP ... 98 Lampiran 5. Foto ... 100 Lampiran 6. Keseragaman bobot tablet glibenklamid ... 103 Lampiran 7. Bobot pengeringan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg ... 104 Lampiran 8. Perhitungan rendemen serbuk daun Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg ... 104 Lampiran 9. Penetapan kadar air seruk daun Artocarpus altilis (Park.)

Fosberg ... 105 Lampiran 10. Data pengukuran kadar glukosa darah tikus ... 106 Lampiran 11. Hasil perhitungan nilai luas daerah di bawah kurva kadar

glukosa darah tikus pada hari ke-0, 4, 7 dan 14 ... 107 Lampiran 12. Analisis statistik nilai LDDK 0-14 kadar glukosa darah

tikus... 108 Lampiran 13. Data pengukuran kadar glukosa darah tikus ... 111


(23)

xxi

Lampiran 14. Hasil perhitungan nilai luas daerah di bawah kurva berat badan tikus pada hari ke-0, 4, 7 dan 14 ... 112 Lampiran 15. Analisis statistik nilai LDDK 0-14 berat badan tikus ... 113


(24)

xxii INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg pada tikus terinduksi streptozotosin.

Penelitian ini bersifat penelitian eksperimental murni dengan rancangan acak lengkap pola searah. Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus jantan galur Wistar, umur 6-8 minggu, berat 120-160 g, dan terbagi dalam 5 kelompok sama banyak. Kelompok I merupakan kelompok basal. Kelompok II diberi CMC Na dosis 50 mg/kgBB secara oral. Kelompok III, IV, dan V diinduksi STZ dosis 40 mg/kgBB secara intraperitonial dan kelompok IV dan V dilanjutkan dengan pemberian glibenklamid 0,45 mg/kgBB dan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB secara oral. Pada hari 0, 4, 7 dan 14 ditimbang berat badan dan diukur kadar glukosa darah, hari ke-14 tikus dibedah untuk diamati kerusakan pankreasnya. Data kadar glukosa darah dan berat badan dihitung nilai LDDK0-14 dan dianalis dengan uji Kolmogorov-Smirnov untuk melihat distribusi normalitas data normalitas data dilanjutkan dengan ANOVA dan uji post hoc Bonferroni dengan tingkat kepercayaan 95% untuk melihat perbedaan antar kelompok.

Hasil penelitian menunjukkan pemberian ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB tidak memiliki efek antihiperglikemik berdasarkan pengukuran kadar glukosa darah dan gambaran histologis pankreas tikus terinduksi streptozotosin.

Kata kunci : Artocarpus altilis (Park.) Fosberg, antihiperglikemia, streptozotosin, ekstrak etanol, kadar glukosa darah, gambaran histologis pankreas


(25)

xxiii ABSTRACT

This aim of study research were to prove antihyperglycemic effect of ethanol extract of leaves of Artocarpus altilis (Park.) Fosberg in rats induced-streptozotosin.

This research was purely experimental research with randomized complete direct sampling design. This research use 25 male Wistar rats, age group between 6-8 weeks and weight around 120-160 g and was divided into 5 groups as many. Group I was the basal group. Group II was givenCMC Na dose 50 mg/kgBW orally. Group III, IV, and V induced STZ 40 mg/kgBW intraperitoneally and the group IV and V were followed by administration of glibenclamide 0,45 mg/kgBW and ethanol extract of Artocarpus altilis (Park.) Fosberg leaves 50 mg/kgBW orally. At day 0, 4, 7 and 14 body weight were weighed and blood glucose levels of rats were measured. At day 14th, the rats were dissected and pancreas were taken to observe the damage. Blood glucose levels and body weight were calculated using LDDK0-14 value and analyzed using Kolmogorov-Smirnov test to look at the distribution of normality the data and resumed using ANOVA and post hoc Bonferroni test standard of 95% to look at the differences between group.

The results showed administration of ethanol extract of leaves of Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dose of 50 mg/kgBW didn’t have antihyperglycemic effect based on the measurement of fasting blood glucose levels and histologisc structure of the pancreas in rat induced-STZ.

Keywords: Artocarpus altilis (Park.) Fosberg, antihyperglycemic, streptozotosin, ethanol extracts, blood glucose levels, histologisc pancreas


(26)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Diabetes melitus sering dikenal penyakit gula darah atau kencing manis merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dimana kadar glukosa di dalam darah tinggi (Porth and Matfin, 2009; Soegondo, 2005). Kadar glukosa tinggi atau hiperglikemia yang diakibatkan oleh defisiensi fungsional kerja insulin. Hal ini disebabkan karena sekresi insulin oleh sel β pankreas menurun, resistensi insulin, atau peningkatan hormon counter regulatory yang melawan efek insulin (McPhee and William, 2010). Akibat dari terjadinya defisiensi insulin adalah penyerapan glukosa dalam sel terhambat sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat (Indrowati dan Joko, 2008).

Diabetes melitus menyebabkan tingginya angka mortalitas. Diperkirakan terdapat sekitar 180 juta orang dengan diabetes di seluruh dunia dan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2030. Peningkatan prevalensi penderita diabetes terbanyak yaitu, di negara India, China dan Amerika Serikat. Di Indonesia pada tahun 2000 prevalensinya mencapai 8,6 persen dari total penduduk dan menduduki peringkat ke-4 di dunia dan diperkirakan meningkat pada tahun 2030 menjadi 21,3 juta orang (Wild, Roglic, Green, Sicree, and King, 2004).

Diabetes melitus diakibatkan karena gaya hidup yang tidak sehat, infeksi virus, pemberian senyawa diabetogenik, atau secara genetik (wolfram sindrome).


(27)

Dalam penelitian ini, digunakan streptozotosin yang merupakan senyawa diabetogenik untuk menginduksi penyakit DM pada hewan uji. Mekanisme kerja dari streptozotosin yaitu, alkilasi DNA, pelepasan nitrit oksida (NO) dan radikal hidroksil (OH) yang memicu nekrosis sel β pankreas. Hal ini menyebabkan

penurunan sekresi insulin oleh sel β pankreas akibatnya terjadi poliuria, polidispia, polifagi dan penurunan berat badan (Nugroho, 2006; Kim, Seock, Bu, Hae, Hong, and Sae, 2006). Dalam penelitian ini, dosis streptozotosin yang digunakan sebesar 40 mg/kgBB untuk menginduksi diabetes pada tikus. Penggunaan dosis ini disesuaikan dengan penelitian Astuti, Mulyani, Laksmindra, dan Sismindari (2001) menyatakan pada tikus Sprague Dawley dengan pemberian STZ dosis tunggal sebesar 40 mg/kgBB memberikan respon yang stabil dan penurunan insulin yang lebih cepat dibandingkan dengan dosis 60 mg/kgBB.

Saat ini penggunaan tanaman obat dalam pengobatan, banyak diminati masyarakat. Hal ini mendorong peneliti untuk meneliti lebih mendalam mengenai penggunaan tanaman obat tradisional. Penggunaan tanaman obat tradisional diharapkan dapat mengoptimalkan pengobatan dan memungkinkan penderita diabetes mempunyai pilihan pelengkap dalam pengobatan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.

Salah satu tanaman obat tradisional yang biasa digunakan berdasarkan pengalaman empiris oleh masyarakat adalah Artocarpus altilis (Park.) Fosberg (tanaman sukun). Artocarpus altilis (Park.) Fosberg termasuk famili Moraceae, mengandung beberapa senyawa kimia seperti saponin, polifenol, asam hidrosianat, asetilkolin, tanin, riboflavin, fenol, dan flavonoid seperti


(28)

artondonesianin dan kuersetin (Ramadhani, 2006). Menurut Coskun, Mehmet, Ahmet, and Sukru (2004) kuersetin dapat menurunkan radikal bebas dan melindungi sel Islet Langerhans akibat induksi streptozotosin. Dalam penelitian Kurniawan (2013) diperoleh isolat 7, 3′, 4′ trihidroksi flavonol dari daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg yang memiliki efek menurunkan kadar glukosa darah secara in vitro. Selain itu, Le, Ly, Son, and Trung (2013) juga mengisolasi

β-sitosterol-3-O-β-D-glucopyranoside dari daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg yang memiliki kemampuan antidiabetes.

Dalam penelitian yang dilakukan Gustina (2012) menyatakan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dapat menghambat enzim α -glukosidase sehingga berpotensi sebagai antidiabetik. Penelitian Ramadhani (2009) menggunakan etanol 70% dan hasilnya tidak begitu sempurna dalam melarutkan zat aktif. Sesuai dengan penelitian tersebut, maka digunakan pelarut etanol 96% memiliki kadar alkohol yang lebih tinggi dibandingkan etanol 70% sehingga diharapkan dapat melarutkan zat aktif dalam daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dengan sempurna.

Dalam penelitian ini menggunakan hewan uji tikus jantan galur Wistar yang memiliki kemampuan fisiologis sama dengan manusia dan dipilih tikus jantan karena tikus betina memiliki sensitifitas rendah terhadap streptozotosin (Kolb, 1987). Senyawa antihiperglikemia berupa ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dengan dosis 50 mg/kgBB yang diberikan secara per oral sekali sehari selama 10 hari. Berdasarkan penelitian Chandrika, Wedage, Wickramasinghe, and Fernando (2006) dengan dosis 50 mg/kgBB dapat


(29)

memberikan efek antihiperglikemia pada tikus dengan pemberian ekstrak air panas daun Artocarpus heterophyllus. Tanaman Artocarpus heterophyllus yang mempunyai genus yang sama Artocarpus altilis (Park.) Fosberg (famili Moraceae).

Selain itu, dalam penelitian ini digunakan juga glibenklamid sebagai pembanding ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dengan dosis 50 mg/kgBB dengan dosis 0,45 mg/kgBB. Hal ini didasarkan penelitian Rajasekaran, Karuran, and Sorimuthu (2005) yang menyatakan bahwa glibenklamid biasa digunakan sebagai obat standar pada tikus dengan model diabetes terinduksi streptozotosin. Dosis sebesar 0,45 mg/kgBB merupakan dosis konversi dari dosis glibenklamid umumnya pada manusia dengan dosis 5 mg.

Efek antihiperglikemik yang diamati dalam penelitian ini adalah kadar glukosa darah tikus dan berat badan yang menggambarkan karakteristik diabetes melitus. Selanjutnya diamati gambaran histologis pankreas tikus untuk melihat ada tidaknya nekrosis sehingga dapat disimpulkan tingkat keparahan pada sel Islet Langerhans pankreas. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dibuktikan secara ilmiah mengenai efek antihiperglikemik dari ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg pada tikus terinduksi streptozotosin.


(30)

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Apakah pemberian ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB memiliki efek antihiperglikemik berdasarkan pengukuran kadar glukosa darah pada tikus terinduksi streptozotosin?

b. Apakah pemberian ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB memiliki efek antihiperglikemik berdasarkan gambaran histologis pankreas pada tikus terinduksi streptozotosin?

2. Keaslian penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan Kurniawan (2013) menyatakan hasil isolasi kandungan flavonoid dalam daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) berupa isolat 7, 3′, 4′ trihidroksi flavonol dapat menurunkan kadar glukosa darah secara in vitro. Selain itu, Le, et al., (2013) juga mengisolasi β -sitosterol-3-O-β-D-glucopyranoside yang memiliki kemampuan antidiabetes. Menurut Coskun, et al., (2004) kuersetin dapat menurunkan radikal bebas dan melindungi sel Islet Langerhans akibat induksi streptozotosin. Penelitian Ramadhani (2009) menyatakan daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg mengandung senyawa flavonoid yang bersifat larut dalam alkohol. Penelitian Gustina (2012) menyatakan bahwa ekstrak etanol dan etil asetat daun sukun dapat

menghambat enzim α-glukosidase lebih besar dibandingkan dengan kontrol kuersetin, sehingga berpotensi sebagai antidiabetes. Menurut Nublah (2011) dengan pembebanan glukosa monohidrat dosis tunggal sebelum diberikan fraksi


(31)

air dan fraksi etil asetat daun sukun dapat menurunkan kadar glukosa darah meskipun belum sebanding dengan glibenklamid.

Sejauh pengamatan penulis, penelitian tentang efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun sukun yang diinduksi streptozotosin pada tikus jantan Wistar belum pernah dilakukan.

3. Manfaat penelitian a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dan pengembangan bagi ilmu pengetahuan khususnya dibidang kefarmasian tentang manfaat ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dalam pengobatan hiperglikemia dan dampaknya terhadap pankreas.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran, informasi, dan masukan kepada masyarakat pada umumnya dan khususnya pada penderita diabetes mengenai penggunaan daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dalam pengobatan hiperglikemia.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum

Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk membuktikan adanya efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB


(32)

2. Tujuan khusus

Tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk

a. Mengetahui efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB berdasarkan pengukuran kadar glukosa darah pada tikus terinduksi streptozotosin.

b. Mengetahui efek antihiperglikemik ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB berdasarkan gambaran histologis pankreas pada tikus terinduksi streptozotosin.


(33)

8 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Tanaman Artocarpus altilis (Park.) Fosberg 1. Habitat dan morfologi

Tanaman Artocarpus altilis (Park.) Fosberg (sukun) memiliki habitus pohon yang tingginya dapat mencapai 30 meter, namun rata-rata tingginya hanya 12-15 meter. Jenis sukun dapat tumbuh baik sepanjang tahun (evergreen) di daerah tropis basah dan beriklim penghujan. Tanaman sukun memiliki batang yang besar, bergetah dan bercabang banyak. Daun tanaman sukun kaku, tebal dan tunggal yang bentuknya oval sampai lonjong, ukurannya bervariasi. Satu pohon sukun memiliki ukuran daun dengan panjang 20-60 cm, lebar 20-40 cm dan panjang tangkai daun 3-7 cm. Bagian ujung daun meruncing, sedangkan bagian pangkalnya membulat, tepi daun berlekuk menyirip kadang-kadang siripnya bercabang. Permukaan daun bagian atas licin, warnanya hijau mengkilap sedang bagian bawahnya kasar, berbulu dan berwarna kusam. Posisi daun menyebar menghadap ke atas dengan jarak antar daun bervariasi antara 2-10 cm. Bunga-bunga sukun berkelamin tunggal (Bunga-bunga betina dan Bunga-bunga jantan terpisah) tetapi berumah satu. Bunganya keluar dari ketiak daun pada ujung cabang dan ranting. Bunga jantan berbentuk tongkat panjang berwarna kuning, dan bunga betina berbentuk bulat betangkai pendek. Buah sukun terbentuk dari keseluruhan jambak bunga. Buahnya berbentuk bulat dan sedikit bujur. Biji sukun berbentuk ginjal, berwarna hitam dengan panjang 3-5 cm. Tanaman sukun memiliki akar tunggang


(34)

yang dalam dan akar samping yang dangkal (Pitojo, 1992). 2. Klasifikasi

Kedudukan tanaman sukun dalam klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg (Triwiyatno, 2003). 3. Penyebaran

Dalam buku History of Indian Archipelago, disebutkan bahwa orang Jepang menemukan tanaman sukun di kepulauan Ambon, kemudian menyebar luas di Pulau Jawa dan Malaysia bagian barat. Beberapa ahli yang lain berpendapat bahwa tanaman sukun diduga berasal dari Amerika Latin dan kepulauan Pasifik. Dari daerah asalnya, tanaman sukun masuk ke Indonesia melalui orang-orang Spanyol dan Portugis yang datang ke Indonesia pada abad XV. Di Indonesia, tanaman sukun banyak dikembangkan di wilayah Kabupaten Cilacap yang merupakan pusat produksi bibit sukun di Indonesia (Triwiyatno, 2003).


(35)

4. Kandungan kimia

Daun sukun mengandung beberapa senyawa kimia seperti saponin, polifenol, asam hidrosianat, asetilkolin, tanin, riboflavin, fenol, dan flavonoid seperti kuersetin dan androindonesianin (Ramdhani, 2009). Selain itu, daun sukun

juga mengandung β-sitosterol, trigliserida, squalen, polifenol, lutein dan asam lemak (Ragasa, Vincent, Jea, Dong, Kimberly, and Chien, 2014). Penelitian yang dilakukan Kurniawan (2013) mengisolasi kandungan flavonoid dalam daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) secara spektrofotometer visibel dan menghasilkan isolat 7, 3′, 4′ trihidroksi flavonol (Gambar 1).

Gambar 1. Interpretasi spektrum flavonoid 7, 3′, 4′ trihidroksi flavonol (Kurniawan, 2013)

Le, Ly, Son, and Trung (2013) mengisolasi β-sitosterol-3-O-β -D-glucopyranoside dari ekstrak etil asetat daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg

yang memiliki kemampuan menghambat enzim α-glukosidase dan baik digunakan dalam pengobatan diabetes.

5. Nama daerah

Tanaman sukun merupakan salah satu jenis yang sangat dikenal di Indonesia dan negara lainnya. Jenis ini memiliki banyak nama lokal tergantung daerah persebarannya. Beberapa sebutan lokal antara lain, hatopul (Batak), sokon (Madura), karara (Bima dan Flores), baka (Bugis), suune (Ambon), kamandi


(36)

(Irian). Di beberapa negara seperti Malaysia dikenal sebagai kulur/kuro, dan di Inggris dikenal sebagai bread fruit (Suprapti, 2002). Di Filipina dikenal sebagai rimas, Papua New Guinea dikenal sebagai kapiak, Thailand dikenal sebagai sa-ke, khanun-sampalor dan di Vietnam dikenal sebagai sake (Deivanai, and Subhash, 2010).

6. Manfaat

Daun sukun berpotensi sebagai antialergi dan anti tumor (Syah, dkk., 2006). Daun sukun juga memiliki kemampuan untuk mengurangi risiko kanker, mencegah penyakit jantung, antioksidan, antiinflamasi, antivirus dan dapat mencegah dan mengobati depresi tulang (Le, et al., 2013). Penelitian Kurniawan (2013) menyatakan hasil isolat flavonoid 7, 3′, 4′ trihidroksi flavonol dapat menurunkan kadar glukosa. Menurut Coskun, et al., (2004) kuersetin dapat menurunkan radikal bebas dan melindungi sel Islet Langerhans. Daun sukun memiliki aktivitas sebagai penangkap radikal bebas (Suryanto dan Frenly, 2009). Menurut Ramadhani (2009) terkait pengujian daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg melaporkan daun sukun efektif mengobati penyakit seperti liver, hepatitis, pembesaran limpa, jantung, ginjal dan kencing manis dan juga bisa untuk penyembuhan kulit yang bengkak atau gatal-gatal. Selain itu, daun sukun juga efektif mengobati tekanan darah tinggi (Mitchell dan Ahmad, 2006). Ekstrak etanol dan etil asetat daun sukun berpotensi sebagai antidiabetes (Gustina, 2012).


(37)

B. Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan penyari simplisia menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung. Ekstrak kering harus mudah digerus menjadi serbuk. Penyari simplisia dilakukan dengan cara maserasi, perkolasi atau penyeduhan dengan air mendidih. Penyarian dengan campuran etanol dan air dilakukan dengan cara maserasi atau perkolasi (Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2010). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein, dan lain-lain (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

Maserasi dilakukan dengan memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok ke dalam sebuah bejana, tuangi dengan 75 bagian cairan penyari, tutup, biarkan selama 5 hari terlindungi dari cahaya sambil sering diaduk. Setelah itu, cuci ampas dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Pindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan di tempat tertutup dan sejuk serta terlindungi dari cahaya selama 2 hari kemudian disaring. Maserat yang diperoleh diuapkan pada tekanan rendah dan suhu yang tidak lebih dari 50oC hingga konsistensi yang dikehendaki (Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2010).

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000) cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal dalam


(38)

memisahkan senyawa aktif dan berkhasiat, dari bahan dengan senyawa kandungan lainnya. Cairan pelarut yang dipilih harus dapat melarutkan hampir semua metabolit sekunder yang terkandung. Faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan cairan penyari adalah selektivitas, kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut, ekonomis, ramah lingkungan dan keamanan.

C. Pankreas

Gambar 2. Bagian abdominal atas dengan lambung, penampang melintang colon dan sebagian besar bagian hati yang dipotong untuk menunjukkan lokasi dan hubungannya dengan pankreas (Sobotta and Hammersen, 1985)

Pankreas adalah organ retroperitoneum melintang yang terbentang di

antara lengkung “C” duodenum dan terletak di belakang lambung dengan berat sekitar 100 g (Johnson, 1994) (Gambar 2).


(39)

Gambar 3. Penampang histologis organ pankreas (Sobotta and Hammersen, 2007)

Kelenjar ini merupakan kelenjar ganda yang terdiri atas bagian eksokrin dan endokrin. Secara embriologis, baik komponen eksokrin maupun komponen endokrin berasal dari endoderm. Bagian eksokrin pankreas membentuk 80% sampai 85% pankreas yang menghasilkan enzim-enzim pencernaan. Bagian endokrin pankreas membentuk 1% sampai 2% pankreas yang terdiri dari sekitar 1 juta kelompok sel Islet (pulau) Langerhans. Sel-sel Islet ini yang mensekresikan insulin, glukagon, dan somatostatin (Kumar, Abbas, dan Fausto, 2010) (Gambar 3).

1. Bagian eksokrin pankreas

Unit fungsional utama dari bagian eksokrin pankreas adalah asinus. Tiap asinus terdiri atas banyak sel epitel piramidal yang bergabung satu sama lain melalui kompleks tautan yang dikelilingi oleh membran basalis. Sel asini pankreas (Gambar 4), merupakan lebih dari 80% pankreas dan berbentuk bulat. Sel-sel ini khusus mensekresi protein yang digunakan dalam proses pencernaan (Johnson, 1994).

Asinus pankreas (bagian eksokrin)


(40)

Gambar 4. Gambaran sel-sel asini (bagian eksokrin pankreas) (Mills, 2007)

2. Bagian endokrin pankreas

Bagian endokrin disebut juga Islet Langerhans yang terdiri atas kelompok sel yang terpulas lebih pucat dari sel asinus di sekitarnya (bagian eksokrin). Sel Islet Langerhans memiliki ukuran yang lebih kecil daripada sel asinus. Bentuknya kelihatan bulat dan dinding selnya tidak mudah dilihat. Di antara sel-sel itu terdapat pembuluh kapiler darah (Wonodirekso, 2003) (Gambar 5). Islet Langerhans terdapat beberapa sel yaitu, sel β pankreas berfungsi menghasilkan insulin. Granula intrasel yang mengandung insulin berisi suatu

matriks kristalina dengan profil rektangular dikelilingi oleh suatu halo. Sel α

mengeluarkan glukagon, memicu hiperglikemia melalui efek glikogenolitiknya pada sel hati. Granula sel α berbentuk bulat dengan membran yang rapat dan

bagian tengah yang padat. Sel δ mengandung somatostatin, yang menekan

pelepaan insulin dan glukagon; sel ini memiliki granula besar, pucat terbungkus membran (Kumar, dkk., 2010). PP merupakan peptida rantai lurus yang berperan dalam regulasi glukosa melalui insulin hepatik (Mills, 2007).


(41)

Gambar 5. Sel Islet Langerhans pankreas (A) Sel β pankreas berfungsi menghasilkan insulin (B) Sel α pankreas berfungsi menghasilkan glukagon (C) Sel δ pankreas berfungsi menghasilkan somatostatin (D) Sel PP berfungsi untuk menghasilkan hormon polipeptida pankreas (Mills, 2007)

Penyakit yang paling signifikan pada pankreas endokrin adalah diabetes melitus dan tumor endokrin pankreas, sedangkan penyakit pada pankreas eksokrin mencakup fibrosis kistik, anomali kongenital, pankreatitis akut dan kronik, dan neoplasma (Kumar, dkk., 2010).

D. Diabetes Melitus 1. Definisi

Diabetes berasal dari bahasa Yunani yang berarti “mengalirkan atau mengalihkan” (siphon). Melitus dari bahasa Latin yang bermakna manis atau madu. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan gambaran umum hiperglikemia (Kumar, dkk., 2010). Diabetes melitus

A

B


(42)

adalah penyakit yang disebabkan karena adanya gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan sekresi insulin (Anonim a, 2010). Selain itu, diabetes melitus juga terjadi karena adanya peningkatan hormon counter regulatory yang melawan efek insulin (McPhee and William, 2010). Kekurangan insulin atau defisiensi insulin mengakibatkan penyerapan glukosa dari peredaran darah ke dalam sel terhambat sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat (Indrowati dan Joko, 2008).

2. Epidemiologi

Peningkatan jumlah penderita diabetes melitus tipe 2 disebabkan karena adanya peningkatan pertumbuhan penduduk, peningkatan jumlah usia tua, urbanisasi, peningkatan prevalensi obesitas dan jumlah penduduk yang jarang berolaraga. Secara keseluruhan, prevalensi penderita diabetes lebih tinggi pada laki-laki berusia di atas 60 tahun dibandingkan pada perempuan. Di negara berkembang mayoritas penderita diabetes berada pada rentang usia 45-64 tahun sebaliknya, sebagian besar penderita diabetes di negara maju berada pada usia di atas 64 tahun. Diperkirakan pada tahun 2030 penderita diabetes di atas usia 64 tahun di negara-negara berkembang berjumlah di atas 82 juta penderita dan di negara maju berjumlah di atas 48 juta penderita (Wild, et al., 2004).


(43)

Tabel I. Daftar negara dengan estimasi kasus diabetes tahun 2000 dan 2030

(Wild, et al., 2004) Berdasarkan usia diperkirakan terjadinya peningkatan jumlah penderita diabetes pada tahun 2000 dan 2030. Dari tabel I di atas dapat dilihat, terdapat tiga negara yang memiliki peningkatan prevalensi terbanyak yaitu, India, China dan Amerika Serikat. Indonesia menempati peringkat ke-4 dengan penderita diabetes pada tahun 2000 sekitar 8,4 juta penderita yang diperkirakan mengalami peningkatan pada tahun 2030 menjadi 21,3 juta penderita (Wild, et al., 2004).

3. Manifestasi klinis

Manifestasi klinis diabetes berkaitan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak mampu mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang mengakibatkan terjadi hiperglikemia. Apabila hiperglikemia melebihi ambang ginjal untuk reabsorpsi glukosa, maka akan terjadi glukosuria (McPhee and William, 2010).

Glukosuria ini mengakibatkan diuresis osmotik yang secara klinis bermanifestasi sebagai poliuria dan memicu dehidrasi yang dapat merangsang rasa haus sehingga mengakibatkan polidipsia. Glukosuria juga menyebabkan penurunan aktivitas pusat kenyang di hipotalamus sehingga terjadi polifagi. Hal


(44)

ini mengakibatkan penurunan berat badan dan hilangnya kalori melalui urin, rasa lelah dan somnolen (Porth and Matfin, 2009; McPhee and William, 2010).

4. Klasifikasi

Klasifikasi etiologi diabetes melitus berdasarkan American Diabetes Association (2010) dapat dilihat pada tabel II di bawah ini:

Tabel II. Klasifikasi diabetes melitus

Tipe Keterangan

Diabetes tipe 1 Diabetes yang tergantung dengan insulin. Hal ini dikarenakan adanya kerusakan sel-sel β pankreas sehingga terjadi defisiensi insulin secara tetap.

Diabetes tipe 2 Biasanya diawali dengan resistensi insulin karena defisiensi insulin relatif sampai terjadi gangguan sekresi insulin beserta resistensi insulin.

Diabetes tipe lain 1. Defek genetik fungsi insulin 2. Defek genetik kerja insulin 3. Karena obat

4. Infeksi

5. Sebab imunologi yang jarang: antibodi insulin 6. Resistensi insulin

7. Sindroma genetik lain yang berkaitan dengan DM (Klinefelter, sindrom Turner)

Diabetes gestasional Karena dampak kehamilan

5. Patogenesis a. Diabetes tipe 1

Diabetes tipe 1 adalah suatu penyakit autoimun, dan kerusakan sel-sel Islet Langerhans. Diabetes tipe 1 disebabkan oleh limfosit T yang bereaksi terhadap antigen-antigen sel β yang belum diketahui. Seperti halnya penyakit autoimun lainnya, kerentangan genetik dan faktor lingkungan berperan penting dalam patogenesisnya (Kumar, dkk., 2010). Penderita DM tipe 1 sangat memerlukan "insulin untuk bertahan hidup" dalam mencegah perkembangan


(45)

ketoasidosis, koma dan kematian. Selain itu, penderita DM tipe 1 biasanya ditandai dengan kehadiran anti-GAD, sel Islet atau antibodi insulin yang

mengidentifikasi proses autoimun yang menyebabkan destruksi sel β (Anonim a, 2010).

Kelainan fisiologis pertama yang terdeteksi pada seseorang yang rentang secara genetik adalah hilangnya fase pertama dalam sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa. Sebelum hilangnya fase pertama, autoantibodi sel Islet Langerhans yang terdeteksi dalam serum (autoantibodi yang biasanya dikenal termasuk insulin, glutamat dekarboksilase, tirosin protein fosfatase IA-2 [ICA-512], dan seng transporter 8 [SLC30A8]) akan memicu stimulus proses autoimun yang belum diketahui dan sebagian besar akan mendukung paparan virus (enterovirus, dll). Pada pemeriksaan histologis pankreas hewan uji model diabetes tipe 1 menunjukkan sel T dalam jumlah yang dominasi di dalam sel CD8+ (insulitis). Akibatnya terjadinya penghancuran sel-sel dimediasi, menghasilkan TNF-, IFN-, dan IL-1, yang dapat menyebabkan kematian sel. Penghancuran sel terjadi selama berbulan-bulan sampai tahun dan ketika lebih dari 80% dari sel-sel yang rusak, akan terjadi hiperglikemia dan baru dapat didiagnosis secara klinis bahwa penderita mengalami diabetes tipe 1 (Brunton , Chabner and Bjorn, 2010).

b. Diabetes tipe 2

Meskipun diabetes tipe 2 memiliki predisposisi genetik yang jauh lebih kuat, defek molekular spesifik atau defek yang menyebabkan diabetes tipe 2 sebagian besar masih belum diketahui, sebagian karena sifat penyakit yang heterogen serta kemungkinan kausa poligenik (McPhee and William, 2010).


(46)

Dalam penelitian Trisnawati dan Soedijono (2013) menyatakan bahwa peningkatan risiko diabetes pada usia lebih dari 40 tahun, disebabkan karena pada usia tersebut mulai terjadi peningkatan intolenransi glukosa. Selain itu, pada individu yang berusia lebih tua terdapat penurunan aktivitas mitokondria di sel-sel otot. Adapun dua defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah berkurangnya kemampuan jaringan perifer merespon terhadap insulin (resistensi

insulin) dan disfungsi sel β yang bermanifestasi sebagai kurang adekuatnya

sekresi insulin dalam menghadapi resistensi insulin dan hiperglikemia (Kumar, dkk., 2010).

Patogenesis diabetes tipe 2 menurut Brunton et al. (2010) dapat dilihat dari:

1) Gangguan fungsi sel

Pada penderita diabetes tipe 2, sensitivitas sel terhadap glukosa terganggu dan ada juga yang mengalami hilangnya respon terhadap rangsangan. Hal ini menyebabkan, sekresi insulin terhambat sehingga glukosa darah meningkat setelah makan dan terjadinya kegagalan menahan lepasnya glukosa hepatik selama puasa. Selain itu, penderita diabetes tipe 2 juga mengalami pengurangan massa sel. Pengurangan progresif dari massa sel dan fungsi sel mengakibatkan kebanyakan pasien yang membutuhkan terapi terus meningkat untuk mempertahankan kontrol glukosa darahnya. Peningkatan kadar insulin puasa terjadi disebabkan karena peningkatan jumlah proinsulin. Proinsulin memiliki efek yang lemah untuk menurunkan kadar glukosa darah dibandingkan dengan insulin.


(47)

2) Resistensi insulin

Sensitivitas insulin merupakan parameter kuantitatif yang diukur sebagai jumlah glukosa yang dibersihkan dari darah dalam merespon dosis insulin. Kegagalan jumlah insulin dalam mendapatkan respon yang diharapkan disebut sebagai resistensi insulin. Sensitivitas insulin dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk usia, berat badan, tingkat aktivitas fisik, penyakit dan obat-obatan.

3) Tidak ada regulasi metabolisme glukosa hepatik

Pada penderita diabetes tipe 2, glukosa hepatik yang keluar dalam keadaan puasa sangat berlebihan sehingga tidak cukup ditekan setelah makan. Akibatnya profil glikemik pasien diabetes menjadi abnormal sehingga terjadi peningkatan kadar glukosa dalam keadaan setelah diabsorpsi dan penekanan peningkatan kadar glukosa setelah makan.

c. Diabetes gestational

Diabetes gestational terjadi pada wanita hamil, dapat kambuh pada kehamilan berikutnya dan cenderung sembuh setelah melahirkan. Diabetes gestasional biasanya terjadi pada trimester kedua kehamilan, yang dipicu oleh peningkatan kadar hormon-hormon seperti somatomamotropin khorion, progesteron, kortisol, dan prolaktin yang memiliki efek counter regulatory anti-insulin (McPhee and William, 2010).


(48)

6. Diagnosis

Kriteria untuk mendiagnosis penderita diabetes menurut American Diabetes Association (2010) dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

a. Nilai HbA1C≥ 6,5%.

Nilai HbA1C digunakan sebagai penanda adanya glikemia kronis, yang mencerminkan rata-rata kadar glukosa darah selama periode 2-3 bulan. Pengujian ini digunakan untuk mengontrol pengobatan yang diberikan pada penderita diabetes. Sebaiknya pengujian ini dilakukan di laboratorium menggunakan metode NGSP bersertifikat dan standar uji DCCT.

b. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (≥ 7,0 mmol/l).

Pengujian kadar glukosa darah puasa dilakukan setelah minimal 8 jam penderita tidak menerima asupan kalori.

c. Kadar plasma glukosa 2 jam selama TTGO ≥ 200 mg/dl (≥ 11,1 mmol/l). Menurut World Health Organization pengukuran beban glukosa yang terkandung dalam darah setelah 2 jam makan setara dengan 75 g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air.

d. Untuk pasien dengan gejala klasik hiperglikemia, kadar plasma glukosa ≥ 200

mg/dl (≥ 11,1 mmol/l).

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis diabetes melitus antara lain pemeriksaan urin untuk mendeteksi adanya glukosuria.


(49)

Tabel III. Kriteria kadar glukosa darah pada pasien normal, pradiabetes dan diabetes melitus

Kelompok Glukosa darah puasa Glukosa darah postprandial (mg/dl) (mmol/l) (mg/dl) (mmol/l)

Normal < 100 < 5,6 < 140 < 7,8

Pradiabetes 100-125 5,6-6,9 140-199 7,8-11,1

Diabetes melitus ≥ 126 ≥ 7,0 ≥ 200 ≥ 11,1

(Dipiro, Robert, Gary, Gary, Barbara, and Michael, 2008)

E. Diabetes pada Tikus

Untuk hewan uji khususnya tikus, kadar glukosa darah puasa normal adalah 50-135 mg/dl (Wolfensohn and Maggie, 2003). Secara umum, kadar glukosa darah sesaat kelompok yang diinduksi STZ harusnya > 200 mg/dl, sedangkan untuk kadar gkulosa darah puasa harusnya > 150 mg/dl (glukosa dari 18 mg/dl = 1mM). Hal yang paling penting adalah harus ada perbedaan yang signifikan antara kelompok yang diinduksi STZ dan kelompok kontrol (Wu and Youming, 2008).

Dosis yang digunakan untuk menginduksi DM tipe 1 secara intravena adalah sebesar 40-60 mg/kg, sedangkan dosis intraperitoneal adalah lebih dari 40 mg/kg BB. STZ juga dapat diberikan secara berulang, untuk menginduksi DM tipe 1 yang diperantarai aktivasi sistem imun. Untuk menginduksi DM tipe 2, STZ diberikan intravena atau intraperitoneal dengan dosis 100 mg/kg BB pada tikus berumur 2 hari kelahiran, atau 8-10 minggu. Dosis tersebut dapat menyebabkan terjadinya gangguan respon terhadap glukosa dan sensitivitas sel β terhadap glukosa (Szkudelski, 2001). Dosis yang digunakan untuk menginduksi DM tipe 1 pada tikus berkisar dari 40-70 mg/kgBB (dosis tunggal) dengan jalur pemberian secara intraperitonial. Model tikus diabetes ini biasanya digunakan untuk


(50)

mempelajari patogenesis dari DM tipe 1, dan mengevaluasi senyawa antidiabetes (Wu and Youming, 2008). Dalam penelitian Astuti, dkk. (2001) menyatakan pada tikus Sprague dawley dengan pemberian STZ dosis tunggal sebesar 40 mg/kgBB memberikan respon yang stabil dan penurunan insulin yang lebih cepat dibandingkan dengan dosis 60 mg/kgBB. Senyawa diabetogenik yang sering digunakan selain STZ yaitu alloxan, vacor, dithizone dan 8-hidroksikuinolon.

F. Insulin 1. Fungsi insulin

Insulin adalah hormon anabolik utama tubuh dan memiliki efek menstimulasi transpor glukosa, meningkatkan transpor asam amino ke dalam sel, menstimulasi sintesis protein, menghambat pemecahan cadangan lemak, protein, dan glukosa dan menghambat glukoneogenesis, sintesis glukosa baru oleh hati. Insulin dilepaskan pada tingkat/kadar basal oleh sel-sel β pulau Langerhans. Stimulasi utama untuk pelepasan insulin di atas kadar basal adalah peningkatan glukosa darah (Corwin, 2009).

2. Sintesis insulin

Insulin disintesis sebagai prekursor berantai tunggal yang rantai A dan B dihubungkan oleh peptida C. Produk awal insulin adalah preproinsulin yang

digabungkan dan dipenetrasi ke dalam retikulum endoplasma kasar sel β,

kemudian dipecah menjadi proinsulin. Proinsulin kemudian diangkut ke aparatus Golgi, dibungkus di dalam granula yang diikat membaran. Granula ini bergerak ke dinding sel oleh suatu proses yang melibatkan mikrotubulus dan membran


(51)

berfusi dengan membran sel ini. Insulin dikeluarkan ke daerah luar dengan eksositosis. Kemudian insulin melintasi membran basalis sel β dan kapiler berdekatan serta endotel fenestrata kapiler untuk mencapai aliran darah (Ganong, 1995).

3. Regulasi sekresi insulin

Glukosa merupakan stimulus utama sekresi insulin. Glukosa memasuki

sel β melalui transpor terfasilitasi, yang diperantarai oleh GLUT2. Kemudian glukosa difosforilasi oleh glukokinase. Metabolisme glukosa yang diawali dengan glukokinase, dan menghasilkan perubahan dalam perbandingan ATP/ADP. Hal ini mengakibatkan, penghambatan saluran K+ sensitif-ATP dan depolarisasi sel β. Aktivitas konpensasi saluran Ca2+ bergantung pada tegangan dan menghasilkan influks Ca2+ ke dalam sel β. Ca2+ mengaktivasi fosfolipase A2 dan fosfolipase C, yang menghasilkan pembentukan asam arikidonat, inositol polifosfat dan diasilgliserol. Inositol-1,4,5-trifosfat memobilisasi Ca2+ dari kompartemen mirip-retikulum endoplasma, yang selanjutnya meningkatkan konsentrasi kation sitosolik. Ca2+ intraseluler bekerja sebagai perangsang sekresi insulin (Gambar 6).

Gambar 6. Regulasi sekresi insulin dari sel β pankreas (Brunton et al., 2010)


(52)

Insulin dilepaskan pada tingkat/kadar basal oleh sel-sel β pulau Langerhans. Stimulasi utama untuk pelepasan insulin di atas kadar basal adalah peningkatan glukosa darah. Kadar glukosa darah puasa dalam keadaan normal adalah 80-90 mg/100 mL darah. Apabila glukosa darah meningkat lebih dari 100mg/100 mL darah, maka sekresi insulin dari pankreas dengan cepat meningkat cepat dan kemudian ke tingkat basal dalam 2-3 jam (Corwin, 2009).

G. Streptozotosin

Gambar 7. Struktur streptozotosin (Konrad, Irina, Joseph, Kan and Jeffrey, 2001)

Streptozotosin atau streptozosin atau izostazin atau zanosar (STZ) adalah sintesis dari derivat nitrosoureido glukopiranosa yang diisolasi dari frementasi Streptomyces achromogenes yang merupakan suatu antibiotik anti tumor dan senyawa kimia yang berkaitan dengan nitrosureas untuk kemoterapi kanker. Setiap vial streptozotosin bubuk mengandung 1 g bahan aktif streptozotosin dengan nama kimia 2-Deoxy-2[(methylnitrosoamino)-carbonyl]


(53)

amino]-D-glucopyranose (Gambar 7). Streptozotosin berbentuk bubuk, berwarna kuning pucat digunakan untuk menginduksi baik DM tipe 1 maupun tipe 2 pada hewan uji (Etuk, 2010). STZ disimpan pada suhu -20oC untuk menghidari terjadinya kekeringan. Sebelum menimbang STZ, ditutup dengan alumunium foil sehingga terlindung dari cahaya (STZ sensitif terhadap cahaya). STZ tidak stabil dalam larutan dengan pH terlalu asam. Larutan STZ disiapkan dalam kondisi segar dan diinjeksikan 5 menit setelah dicampur karena STZ dapat terdekomposisi dalam buffer sitrat 15 sampai 20 menit setelah pencampuan (Wu and Youming, 2008).

Gambar 8. Mekanisme STZ menginduksi rusaknya sel β pankreas (Szkudelski, 2001)

STZ merupakan analog dari glukosa toksik yang terakumulasi dalam sel

β pankreas melalui transporter glukosa GLUT2. Aktivitas alkilasi STZ dihubungkan dengan bagian nitrosoureidonya. Nitrosoureido bersifat lipofilik dan diserap jaringan melalui membran plasma dengan proses yang cepat. STZ akan

terakumulasi dalam sel β pankreas melalui transporter glukosa GLUT2 dan


(54)

perpindahan gugus metil dari STZ ke molekul DNA sehingga terjadi alkilasi DNA (Lenzen, 2008). STZ juga secara selektif akan menghambat aktivitas enzim O-G1cNAase yang bersama-sama dengan O-G1cNAc tranferase bertanggung jawab dalam terhadap perpindahan G1cNAc dari protein. Akibatnya terjadinya O-glikosilasi protein intraseluler yang mengakibatkan terjadinya kerusakan DNA (Pathak, Helge, Vladimir, and Daan, 2008). Kerusakan DNA akibat STZ dapat mengaktivasi poly (ADP-ribose) polymerase (PARP) yang kemudian mengakibatkan penekanan nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) seluler, penurunan jumlah adenosine triphospate (ATP) dan akhirnya terjadi nekrosis sel

β pankreas (Lenzen, 2008) (Gambar 8).

Selain itu, STZ merupakan pendonor nitrit oksida (NO) yang mempunyai kontribusi terhadap kerusakan sel melalui peningkatan aktivitas guanilil siklase dan pembentukan cyclic guanosine monophospate (cGMP). NO dihasilkan sewaktu STZ mengalami metabolisme dalam sel (Ramesh and Pugalendi, 2006). STZ juga menghasilkan radikal hidroksi (OH) yang berperan penting dalam

kerusakan sel β pankreas. OH yang dihasilkan STZ menyebabkan terjadinya

pembentukan anion superoksida dalam mitokondria dan peningkatan aktivitas xantin oksidase. Dalam hal ini, STZ menghambat siklus Krebs dan menurunkan konsumsi oksigen mitokondria. Penurunan produksi ATP mitokondria

mengakibatkan pengurangan secara drastis neukleotida sel β pankreas dan

menyebabkan nekrosis sel (Lenzen, 2008).

Degredasi sel yang terjadi setelah pemberian STZ akan nampak dalam 2-4 hari akibat adanya pembengkakan pada pankreas dapat dilihat dari terjadinya


(55)

peningkatan kadar glukosa darah setelah 3 hari pemberian STZ sebagai parameter diabetes melitus. Efek metabolik dari streptozotosin menyebabkan terjadinya hiperglikemia, sedangkan keton dan plasma free fatty acid tidak mengalami peningkatan. Streptozotosin menyebabkan destruksi sel β dan tidak menimbulkan toksisitas ekstrapankreatik. Namun jika dibandingkan dengan aloxan, streptozotosin lebih efektif dalam induksi diabetes pada hewan percobaan (Etuk, 2010).

H. Glibenklamid

Gambar 9. Struktur glibenklamid

(Parameswararao, Satynarayana, Naga, and Ramana, 2012)

Glibenklamid (Gambar 9), merupakan golongan sulfoniurea generasi kedua. Mekanisme kerja glibenklamid, yaitu dengan merangsang sekresi hormon insulin dari granul sel-sel β Langerhans pankreas. Interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada membran sel-sel β menyebabkan terjadinya depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Terbukanya kanal Ca, maka ion Ca2+ akan masuk ke dalam sel β kemudian merangsang granula yang berisi insulin untuk mengsekresikan insulin. Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia (Suherman, 2007). Glibenklamid secara umum digunakan untuk pasien penderita diabetes tipe 2 (Anonim a, 2010). Glibenklamid biasanya digunakan sebagai obat standar dalam


(56)

membandingkan sifat antidiabetes dari berbagai senyawa pada tikus yang merupakan model diabetes terinduksi streptozotosin (Rajasekaran, Karuran, and Sorimuthu, 2005).

Glibenklamid memiliki potensi 200 kali lebih kuat dari tolbutamid. Untuk mencapai kadar optimal di plasma, glibenklamid akan lebih efektif bila diminum 30 menit sebelum makan. Glibenklamid cepat diserap dalam saluran pencernaan, memiliki waktu paruh sekitar 4 jam. Glibenklamid di dalam plasma, akan terikat pada protein plasma, terutama albumin sekitar 90-99%. Meskipun waktu paruh glibenklamid pendek, namun efek hipoglikemiknya berlangsung selama 12-24 jam, sehingga cukup diberikan satu kali dalam sehari. Sekitar 50% dari dosis disekresikan dalam urin dan 50% melalui empedu ke tinja. Dosis awal untuk penderita DM tipe 2 adalah 2,5-5 mg setiap hari, disesuaikan setiap 7 hari dengan penambahan sebesar 2,5 atau 5 mg sehari sampai 15 mg per hari (Suherman, 2007).

I. Metode Penetapan Kadar Glukosa Darah

Metode penetuan glukosa darah dapat ditentukan dengan beberapa cara, yaitu:

a. Metode kondensasi dengan gugus amina

Prinsip dari metode ini adalah terjadinya kondensasi aldosa dengan orto toluidin dalam suasana asam dan menghasilkan larutan berwarna hijau setelah dipanaskan. Penetapan kadar glukosa kemudian ditentukan dengan metode


(57)

spektofotometri sesuai dengan intensitas warna yang terjadi (Widowati,

Dzulkarnain, dan Sa’roni, 1997).

b. Metode oksidasi-reduksi

Prinsip metode ini adalah dengan reaksi oksidasi reduksi menggunakan suatu oksidan ferrisianida. Oksidan diredusi menjadi ferrosianida oleh glukosa dalam suasana basa dengan adanya pemanasan. Kelebihan garam ferri dititrasi secara iodometri (Widowati, dkk., 1997).

c. Metode pemisahan glukosa

Prinsip metode ini adalah glukosa dipisahkan dalam keadaan panas dengan antron atau timol dalam suasana asam. Pemisahan glukosa menggunakan kromatografi tetapi metode ini jarang dilakukan (Widowati, dkk., 1997).

d. Metode enzimatik

Metode enzimatik yang paling sering dilakukan adalah metode glukosa oksidase (GOD) dan heksokinase. Metode GOD memiliki akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD spesifik untuk reaksi pertama), tetapi reaksi kedua rawan interferen (tidak spesifik). Interferen yang bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat dan asam askorbat (Nabyl, 2012).

Penetapan kadar glukosa darah tikus menggunakan metode enzimatik menggunakan pereaksi GOD-PAP “DiaSys®”. Kadar glukosa darah tikus diukur dengan menggunakan mikrovitalab pada panjang gelombang 500 nm dan operating time selama 20 menit pada suhu 20-25 oC. Penetapan kadar glukosa tikus dilakukan dengan mereaksikan serum tikus dengan reagen GOD-PAP sehingga menghasilkan senyawa berwarna merah. Pada pinsipnya glukosa okidase


(58)

(GOD) akan mengkatalis oksidasi glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen peroksida. Hidorgen peroksida akan bereaksi dengan 4-amino-antipirin dan fenol yang dikatalis oleh enzim peroksidase membentuk senyawa kuinonimin berwarna merah muda . Pembentukan senyawa berwarna merah muda ini membutuhkan waktu 20 menit, dimana dengan waktu 20 menit reaksi antara glukosa yang terdapat dalam serum tikus dengan enzim yang terdapat dalam reagen dapat berlangsung secara optimal (Anonim b, 2012).

Reaksi yang terjadi dapat dilihat dibawah ini: Glukosa + O2 + 2 H2O GOD asam glukonat + H2O2

2 H2O2 + 2,4-dikloro phenol + 4-aminoantipirin POD quinonimine + 4H2O (Anonim b, 2012)

J. Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin

Pewarnaan Hematoksilin dan Eosin (HE) adalah jenis pewarnaan rutin yang paling umum dipakai. Prosedur ini digunakan dalam proses pembuatan preparat histopatologi dari berbagai spesies hewan sakit atau mati dan memerlukan pemeriksaan hispatologi untuk peneguhan diagnosis hewan yang bersangkutan (Muntiha, 2001). Pewarnaan ini digunakan untuk mewarnai jaringan. Prinsip dari pewarnaan ini adalah inti yang bersifat asam akan menarik zat/larutan yang bersifat basa sehingga berwarna biru. Sitoplasma bersifat basa akan menarik zat/larutan yang bersifat asam sehingga berwarna merah (Mulyatno, 2002). Menurut Mulyatno (2002) pada pewarnaan HE ada beberapa tahapan, yaitu:


(59)

1. Deparafinisasi, bertujuan untuk menghilangkan/melarutkan parafin yang terdapat pada jaringan dengan menggunakan xylol.

2. Rehidrasi, bertujuan untuk memasukkan air ke dalam jaringan. Air akan mengisi rongga-rongga jaringan yang kosong dengan menggunakan alkohol absolut, alkohol 90% dan alkohol 80%.

3. Pewarnaan I, bertujuan untuk memberi warna pada inti dan sitoplasma pada jaringan dengan menggunakan hematoxylin.

4. Differensiasi, bertujuan untuk mengurangi warna biru pada inti dan menghilangkan warna biru pada sitplasma dengan menggunakan HCl 0,6%. 5. Blueing, bertujuan untuk memperjelas warna biru pada inti sel dengan

menggunakan lithium carbonat 0,5%.

6. Pewarnaan II, bertujuan untuk memberi warna merah pada sitoplasma sel dengan menggunakan eosin.

7. Dehidrasi, bertujuan untuk menghilangkan air dari jaringan dengan menggunakan alkohol 80%, alkohol 90% dan alkohol absolut.

8. Mounting, bertujuan untuk mengawetkan jaringan yang telah diwarnai dengan menggunakan entelan/canada balsem. Jaringan yang telah diwarnai, akan awet lebih dari 5 tahun.

K. Landasan Teori

Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relatif dari kerja dan sekresi


(60)

insulin (Anonim a, 2010). Kekurangan insulin atau defisiensi insulin mengakibatkan penyerapan glukosa dari peredaran darah ke dalam sel terhambat sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat (Indrowati dan Joko, 2008).

Daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg mengandung flavonoid 7, 3′, 4′ trihidroksi flavonol dapat menurunkan kadar glukosa (Kurniawan, 2013). Selain itu, Le, et al., (2013) juga mengisolasi β-sitosterol-3-O-β-D-glucopyranoside yang memiliki kemampuan antidiabetes. Menurut Coskun, Mehmet, Ahmet, and Sukru (2004) kuersetin dapat menurunkan radikal bebas dan melindungi sel Islet Langerhans akibat induksi streptozotosin. Dalam penelitian Gustina (2012) menyatakan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis memliki efek antidiabetik. Menurut Chandrika, et al., 2006) dengan dosis 50 mg/kgBB dapat memberikan efek antihiperglikemia pada tikus dengan pemberian ekstrak air panas daun Artocarpus heterophyllus. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut, dilakukan penelitian pankreokuratif dengan model antihiperglikemik dari daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB, dan senyawa model streptozotosin.

STZ merupakan analog dari glukosa toksik yang terakumulasi dalam sel

β pankreas melalui transporter glukosa GLUT2. Mekanisme toksisitas sel β

pankreas melalui aktivitas alkilasi DNA (Szkudelski, 2001) dan mendonorkan nitrit oksida (NO) dan radikal hidroksi (OH) yang menghambat siklus Krebs dan

menurunkan konsumsi oksigen mitokondria sehingga menyebabkan nekrosis sel β

pankreas (Ramesh and Pugalendi, 2006; Lenzen, 2008). Degredasi sel yang terjadi setelah pemberian STZ akan nampak dalam 2-4 hari akibat adanya pembengkakan pada pankreas dapat dilihat dari terjadinya peningkatan kadar


(61)

glukosa darah setelah 3 hari pemberian STZ sebagai parameter diabetes melitus (Etuk, 2010). Penelitian ini termasuk penelitian akut dengan waktu pengamatan selama 14 hari dan pengambilan cuplikan darah pada hari ke-0, 4, 7 dan 14.

Senyawa flavonoid dapat bersifat sebagai antidiabetes karena flavonoid mampu berperan sebagai senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas dan dapat mencegah kerusakan sel β pankreas yang memproduksi insulin (Schroeter, Clinton, Jeremy, Robert, Enrique, and Catherine, 2002). Efek antihiperglikemik adalah efek dari suatu senyawa dalam menyembuhkan dan mencegah lebih lanjut

hiperglikemia akibat kerusakan dari sel β pankreas yang sudah terpapar radikal

bebas dalam jangka waktu tertentu.

L. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah

1. Pemberian ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus terinduksi streptozotosin

2. Pemberian ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dosis 50 mg/kgBB dapat mempengaruhi gambaran histologis pankreas pada tikus terinduksi streptozotosin


(62)

37 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian acak lengkap pola searah. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakognosi-Fitokimia, Hayati Imono dan Farmakologi-Toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel-variabel yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Variabel penelitian

a.Variabel utama

1) Variabel bebas. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah perlakuan hewan uji (dosis glibenklamid dan ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg.)

2) Variabel tergantung. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kadar glukosa darah yang diolah menjadi kurva kemudian dihitung nilai LDDK0-14 dan gambaran histologis pankreas tikus.

b.Variabel pengacau

1) Variabel pengacau terkendali. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah hewan uji yang digunakan adalah tikus jantan Artocarpus altilis (Park.) Fosberg dan glibenklamid secara per oral,


(63)

Wistar dengan berat badan 120-160 g dan umur 1,5-2 bulan, jalur pemberian streptozotosin secara intraperitonial, ekstrak etanol daun jumlah asupan makanan sebesar 40 g/hari dan jumlah asupan minum sebesar 120 mL/hari dengan waktu pengambilan cuplikan darah pada hari ke-0, 4, 7 dan 14.

2) Variabel pengacau tak terkendali. Variabel pengacau tak terkendali dalam penelitian ini adalah keadaan patologis dari hewan uji yang digunakan dan stabilitas streptozotosin.

2. Definisi operasional

a. Daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg

Daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg adalah daun segar berwarna hijau, tidak berlubang dan tidak terlalu tua dan muda (diambil daun yang berada tidak dipangkal dan diujung batang) yang diperoleh pada bulan November 2013 dari Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon Bantul, DIY

b. Ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg

Ekstrak etanol daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg menggunakan metode ekstraksi. Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut etanol 96%. Proses maserasi dilakukan selama 5 hari dan remaserasi dilakukan selama 2 hari.


(64)

c. Kadar glukosa darah tikus

Kadar glukosa darah tikus adalah banyaknya glukosa di dalam darah tikus setelah dipuasakan selama 12 jam. Pengukuran kadar glukosa darah tikus menggunakan metode enzimatik GOD-PAP. Dimana tikus dikatakan hiperglikemia apabila kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dl setelah 72 jam diinduksi streptozotosin.

d. Nilai LDDK0-14 glukosa darah

Nilai LDDK0-14 glukosa darah adalah nilai yang menggambarkan jumlah kadar glukosa darah dalam darah setelah tikus dipuasakan 12 jam kemudian diukur kadar glukosa darahnya. Nilai LDDK0-14 dihitung pada rentang waktu hari ke-0, 4, 7 dan 14 yang dihitung dengan menggunakan metode trapezoid. Peningkatan nilai LDDK0-14 menunjukkan efek hiperglikemia.

e. Gambaran histologis pankreas

Gambaran histologis pankreas adalah gambaran keadaan dari struktur jaringan organ pankreas secara detail dengan menggunakan mikroskop. Gambaran histologis pankreas akan mengalami perubahan apabila terinduksi streptozotosin. Tikus dibedah pada hari ke-14 kemudian diamati gambaran histologis pankreas tikus.


(65)

C. Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bahan utama

a. Hewan uji

Hewan uji yang digunakan, yaitu tikus jantan Wistar, dengan umur 6-8 minggu, berat badan 120-160 g yang diperoleh dari Laboratorium Hayati Imono Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

b. Bahan uji

Bahan uji yang digunakan adalah daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg yang diperoleh dari Desa Panggungharjo Kecamatan Sewon Bantul, DIY. 2. Bahan kimia

a. Senyawa penginduksi (kontrol positif) berupa streptozotosin (STZ) merk Nacalai dari BIOZATIC yang diperoleh dari Laboratorium Farmakologi FMIPA Unversitas Islam Indonesia Yogyakarta.

b. Senyawa untuk perlakuan obat berupa tablet glibenkamid yang diperoleh dari Apotek Sanata Dharma Yogyakarta.

c. Etanol 96% sebagai pelarut dalam ekstraksi daun Artocarpus altilis (Park.) Fosberg yang diperoleh dari CV. General Labora, Yogyakarta.

d. Pereaksi untuk pengukuran glukosa darah yang digunakan adalah enzim Glucose GOD FS* (DiaSys, Jerman).


(1)

Lampiran 13. Data penimbangan berat badan tikus

Tabel XX. Data penimbangan berat badan tikus pada kelompok

basal, kontrol negatif, kontrol positif, perlakuan STZ +

glibenklamid dan perlakuan STZ + EEAA

Kelompok

Waktu

(hari)

Perlakuan

I

II

III

IV

Basal

0

135,14

137,77 143,89

144,9

4

133,16

146,9 159,24

154,83

7

133,96

146,9 157,15

159,8

14

129,19

142,84 155,02

153,77

Kontrol negatif

0

142,64

140,02 128,69

144,6

4

143,08

140,67

135,4

128,24

7

141,76

134,6 128,64

135,22

14

138,4

126,16 109,01

130,57

Kontrol positif

0

137,91

138,17 130,02

138,45

4

155,31

159,04 152,85

170,61

7

172,32

172,8 160,37

145,08

14

202,3

207,42

177

202,51

Perlakuan STZ+

glibenklamid

0

126,57

130,33 121,68

120,21

4

168,75

178,1 162,81

161,13

7

177,91

183,24 160,67

176,76

14

194,97

220,51 174,77

201,07

Perlakuan STZ +

EEAA

0

120,6

124,22 151,11

130,71

4

127,68

127,38 133,13

132,14

7

155,13

154,68 139,16

150,18

14

188,29

177,84 153,48

189,59


(2)

Lampiran 14. Hasil perhitungan nilai luas daerah di bawah kurva berat

badan tikus pada hari ke-0, 4, 7 dan 14

Tabel XXI. Nilai LDDK

0-14

berat badan tikus (hari.mg/dl) pada

kelompok

basal,

kontrol

negatif,

kontrol

positif,

perlakuan STZ + glibenklamid dan perlakuan STZ +

EEAA

Kelompok

Interval

waktu

Perlakuan

I

II

III

IV

Total

Basal

0

4

536,6

569,34

606,26

599,46 2311,66

4

7

400,68

440,7

474,58

471,94 1787,9

7

14

921,02 1014,09 1092,59

1097,49 4125,19

LDDK

0-14

1858,3 2024,13 2173,43

2168,89 8224,75

rata-rata LDDK

0 -14

± SD : 2056,19 ± 149,04

Kontrol

negatif

0

4

571,44

561,38

528,18

545,68

2206,68

4

7

427,26

412,9

396,06

395,19

1631,41

7 - 14

980,56

912,66

831,77

930,26

3655,25

LDDK

0-14

1979,26

1886,94 1756,01 1871,13

7493,34

rata-rata LDDK

0 -14

± SD : 1873,34 ± 91,61

Kontrol

positif

0 - 4

586,44

594,42

565,74

618,12

2364,72

4 - 7

491,44

497,76

469,83

473,53

1932,56

7 - 14

1311,17 1330,77 1180,79 1216,56

5039,29

LDDK

0-14

2389,05 2422,95 2216,36 2308,21

9336,57

rata-rata LDDK

0-14

± SD : 2334,14 ± 92,10

Perlakuan

STZ +

glibenklamid

0 - 4

590,64

616,86

568,98

562,68

2339,16

4 - 7

519,99

542,01

485,22

506,83

2054,05

7 - 14

1305,08 1413,12 1174,04 1322,4

5214,64

LDDK

0-14

2415,71 2571,99 2228,24 2391,91

9607,85

rata-rata LDDK

0-14

± SD : 2401,96 ± 140,69

Perlakuan

STZ + EEAA

0

4

496,56

503,2

568,48

525,7

2093,94

4 - 7

424,21

423,09

408,43

423,48

1679,21

7 - 14

711,97

1163,82 1024,24 1189,19

4089,22

LDDK

0-14

1632,74

2090,11 2001,15 2138,37

7862,37

rata-rata LDDK

0-14

± SD : 1965,59 ± 229,06


(3)

Lampiran 15. Analisis statistik nilai LDDK

0-14

berat badan tikus

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

LDDK_B

B

N

20

Normal Parameters

a

Mean

2.1262E3

Std. Deviation

2.50235E2

Most Extreme

Differences

Absolute

.103

Positive

.081

Negative

-.103

Kolmogorov-Smirnov Z

.462

Asymp. Sig. (2-tailed)

.983

a. Test distribution is Normal.

Interpretasi data:

Jumlah sample 20 sample data

Diketahui nilai probabilits (Asymp. Sig (2-tailed) 0,983.

Pengambilan kesimpulan:

Jika nilai probabilitas atau p > 0,05 maka sampel dikatakan terdistribusi

normal. Pada analisis tampak bahwa p = 0,983 yang berarti p > 0,05

maka disimpulkan

sampel terdistribusi normal

. Maka analisis

dilanjutkan dengan analisis

Anova

one

way

.


(4)

Descriptives

LDDK_BB

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimu m

Maximu m Lower

Bound

Upper Bound

Kelompok Basal 4 2.0562E3 149.03557 74.51778 1819.0387 2293.3363 1858.30 2173.43 Kelompok Kontrol

Negatif 4 1.8733E3 91.60644 45.80322 1727.5687 2019.1013 1756.01 1979.26 Kelompok Kontrol

Positif 4 2.3341E3 92.09925 46.04963 2187.5920 2480.6930 2216.36 2422.95 Kelompok Perlakuan

STZ + Glibenklamid 4 2.4020E3 140.68748 70.34374 2178.0973 2625.8277 2228.24 2571.99 Kelompok Perlakuan

STZ + EEAA 4 1.9656E3 229.06462 1.14532E2 1601.0996 2330.0854 1632.74 2138.37 Total 20 2.1262E3 250.23532 55.95432 2009.1303 2243.3577 1632.74 2571.99

Test of Homogeneity of Variances

LDDK_BB

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.049 4 15 .415

ANOVA

LDDK_BB

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 855689.030 4 213922.257 9.606 .000

Within Groups 334047.539 15 22269.836


(5)

Multiple Comparisons

LDDK_BB

Bonferroni

(I) Kelompok (J) Kelompok

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval Lower

Bound

Upper Bound Kelompok Basal Kelompok Kontrol Negatif 182.85250 1.05522E2 1.000 -163.8973 529.6023

Kelompok Kontrol Positif -277.95500 1.05522E2 .188 -624.7048 68.7948 Kelompok Perlakuan

Glibenklamid -345.77500 1.05522E2 .051 -692.5248 .9748 Kelompok Perlakuan EEAA 90.59500 1.05522E2 1.000 -256.1548 437.3448 Kelompok Kontrol

Negatif

Kelompok Basal -182.85250 1.05522E2 1.000 -529.6023 163.8973 Kelompok Kontrol Positif -460.80750* 1.05522E2 .006 -807.5573 -114.0577 Kelompok Perlakuan

Glibenklamid -528.62750

*

1.05522E2 .002 -875.3773 -181.8777

Kelompok Perlakuan EEAA -92.25750 1.05522E2 1.000 -439.0073 254.4923 Kelompok Kontrol

Positif

Kelompok Basal 277.95500 1.05522E2 .188 -68.7948 624.7048 Kelompok Kontrol Negatif 460.80750* 1.05522E2 .006 114.0577 807.5573 Kelompok Perlakuan

Glibenklamid -67.82000 1.05522E2 1.000 -414.5698 278.9298 Kelompok Perlakuan EEAA 368.55000* 1.05522E2 .033 21.8002 715.2998 Kelompok

Perlakuan Glibenklamid

Kelompok Basal 345.77500 1.05522E2 .051 -.9748 692.5248 Kelompok Kontrol Negatif 528.62750* 1.05522E2 .002 181.8777 875.3773 Kelompok Kontrol Positif 67.82000 1.05522E2 1.000 -278.9298 414.5698 Kelompok Perlakuan EEAA 436.37000* 1.05522E2 .009 89.6202 783.1198 Kelompok

Perlakuan EEAA

Kelompok Basal -90.59500 1.05522E2 1.000 -437.3448 256.1548 Kelompok Kontrol Negatif 92.25750 1.05522E2 1.000 -254.4923 439.0073 Kelompok Kontrol Positif -368.55000* 1.05522E2 .033 -715.2998 -21.8002 Kelompok Perlakuan

Glibenklamid -436.37000

*

1.05522E2 .009 -783.1198 -89.6202


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis Skripsi

dengan judul “

Efek Antihiperglikemik

Ekstrak Etanol Daun

Artocarpus altilis

(Park.) Fosberg

pada Tikus Terinduksi Streptozotosin

” dengan nama

lengkap Inggrid Roswita Tokan, merupakan putri kedua

dari pasangan Hendrikus Baro Sili dan Maria Magdalena

Rawa Borot. Penulis dilahirkan di Kupang, pada tanggal 3

September 1992. Pendidikan formal yang telah ditempuh

penulis, yaitu TK Sta. Familia-Sikumana Kupang

(1996-1998), tingkat Sekolah Dasar di SDK St. Yoseph-Naikoten

Kupang (1998-2004), tingkat Sekolah Menengah Pertama

di SMP Negeri 1 Kupang (2004-2007), tingkat Sekolah

Menengah Atas di SMAK Syuradikara-Ende NTT (2007-2010). Pada tahun 2010,

penulis melanjutkan Pendidikan Sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta. Semasa menempuh Pendidikan Sarjana, penulis aktif dalam

kegiatan kepenitiaan seperti Panitia Donor Darah 2011 sebagai seksi pubdekdok,

kegiatan Desa Mitra 2012 sebagai volunter, Kampanye Informasi Obat 2012

sebagai volunter. Penulis juga aktif dalam kegiatan keorganisasi di Komunitas

Sant’ Egidio Yogyakarta.


Dokumen yang terkait

Penggunaan Berbagai Jenis Kompos Terhadap Pertumbuhan Sukun (Artocarpus communis Forst ) Pada Daerah Tangkapan Air Danau Toba, Kecamatan Haranggaol Horison

0 68 50

Karakterisasi Simplisia Dan Isolasi Senyawa Flavonoida Dari Ekstrak Etanol Daun Sukun (Artocarpus Altilis (Park.) Fosberg)

11 73 109

Pertumbuhan Stek Akar Sukun (Artocarpus communis Forst.) Berdasarkan Perbedaan Jarak Akar Dari Batang Pohon

4 84 47

Peningkatan Kelarutan Fraksi Etil Asetat Daun Sukun Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg dengan Penambahan Polimer β-siklodekstrin Menggunakan Metode Pencampuran Kneading

5 15 70

KEMAMPUAN DIURETIK EKSTRAK ETANOL BUAH SUKUN (Artocarpus altilis) PADA TIKUS Kemampuan Diuretik Ekstrak Etanol Buah Sukun (Artocarpus Altilis) Pada Tikus.

0 2 13

PENGARUH PASTA GIGI EKSTRAK DAUN SUKUN (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg.) TERHADAP HAMBATAN Pengaruh Pasta Gigi Ekstrak Daun Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg.) Terhadap Hambatan Pertumbuhan Streptococcus mutans.

0 7 12

PENGARUH PASTA GIGI EKSTRAK DAUN SUKUN (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg.) TERHADAP HAMBATAN PERTUMBUHAN Pengaruh Pasta Gigi Ekstrak Daun Sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg.) Terhadap Hambatan Pertumbuhan Streptococcus mutans.

0 2 14

Pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) pada tikus terinduksi streptozotosin.

0 0 97

Pengaruh pemberian ekstrak etil asetat daun sukun (Artocarpus altilis (Park.) Fosberg) pada tikus terinduksi streptozotosin.

1 8 97

EFEK DIURETIK EKSTRAK ETANOL BUAH DAN DAUN SUKUN (Artocarpus altilis (Parkinson) Fosberg) TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR SKRIPSI

0 0 17