28 c. Perkembangan sosial-emosional
Anak tunanetra kelas III memiliki perkembangan sosial- emosional seperti gelisah, blindsm, perilaku stereotif, suka berfantasi,
dan mengembangkan verbalisme. Anak tunanetra memiliki perkembangan sosial yang baik ditandai oleh penerimaan dan interaksi
dengan orang lain. Perkembangan sosial-emosional anak tunanetra berpengaruh pada pembelajaran, sehingga pembelajaran harus
mempertimbangkan karakteristik masing-masing anak tunanetra. Karakteristik anak tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis
Yogyakarta tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran pada penelitian ini memanfaatkan
media pembelajaran berupa media model. Penggunaan media model “bola pecahan” dilaksanakan dengan pertimbangan kebutuhan dan karakteristik
belajar anak tunanetra yang menekankan pada indera pendengaran dan taktual.
3. Keterbatasan Anak Tunanetra
Hambatan penglihatan berdampak pada kondisi dan kebutuhan anak tunanetra. Hambatan penglihatan menyebabkan anak tunanetra
memiliki berbagai keterbatasan. Menurut Lowenfeld 1974: 34 anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam 3 lingkup yang meliputi: a in the
range and variety of this experiences, b in his ability to get about, and c 3. in his interaction with the environment. Dari pendapat tersebut dapat
dijabarkan bahwa keterbatasan yang dimiliki oleh tunanetra sebagai berikut:
29 a. Keterbatasan di dalam lingkup jenis dan variasi pengalaman
Anak tunanetra mengalami hambatan dalam memperoleh pengalaman baru yang beragam. Anak tunanetra memperoleh informasi
melalui indera di luar penglihatan. Indera yang masih berfungsi tidak dapat menerima informasi yang hanya dapat ditangkap oleh indera
penglihatan. Akibatnya, anak tunanetra tidak memperoleh informasi secara keseluruhan dan terbatas pada informasi yang diperoleh melalui
indera yang masih berfungsi. b. Keterbatasan dalam berpindah tempat mobilitas
Hambatan penglihatan mengakibatkan anak tunanetra mengalami kesulitan dalam melakukan berbagai aktivitas. Anak tunanetra tidak
dapat mengeksplorasi lingkungannya secara luas serta tidak bebas dalam melakukan kontak dengan lingkungannya. Keterbatasan dalam berpindah
tempat berakibat pada rendahnya pengalaman anak tunanetra serta kurangnya interaksi tunanetra dengan lingkungannya.
c. Keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan Hambatan penglihatan mengakibatkan anak tunanetra
mengalami keterpisahan dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya. Anak tunanetra kehilangan kemampuan untuk meniru berbagai
aktivitas dan tingkah laku orang lain di lingkungannya. Hal ini mengakibatkan anak tunanetra menarik diri dari lingkungannya serta
terjadinya kepasifan dalam berinteraksi dan kesulitan memasuki lingkungan sosial.
30 Keterbatasan pada anak tunanetra akan berdampak pada berbagai
aspek. Menurut Juang Sunanto 2005: 48 dampak kehilangan penglihatan berpengaruh terhadap beberapa aspek sebagai berikut:
a. Dampak terhadap kognisi yang mengakibatkan anak tunanetra mengembangkan konsepnya melalui taktual dan pendengaran. Anak
tunanetra kurang mampu mengintegrasikan semua jenis fakta yang sudah dipelajari ke dalam satu kesatuan.
b. Dampak terhadap sosial-emosi yang menyebabkan anak tunanetra membutuhkan keterampilan khusus dalam membaca, menafsirkan dan
merepon sinyal sosial dari orang lain. Lingkungan sosial anak tunanetra biasanya lebih sempit dari pada anak umumnya.
c. Dampak terhadap bahasa tidak berpengaruh signifikan. Anak tunanetra memiliki perkembangan bahasa yang hampir sama dengan anak lainnya.
d. Dampak terhadap orientasi dan mobilitas yang menyebabkan anak tunanetra mengalami kesulitan dalam bergerak secara leluasa di dalam
lingkungannya serta hubungan suatu objek dengan lingkungannya. Pendapat lain dikemukakan oleh Purwaka Hadi 2005: 53-58
bahwa keterbatasan yang dimiliki anak tunanetra sebagai akibat dari hambatan penglihatan akan berdampak beberapa aspek sebagai berikut:
a. Dampak personal atau individu tunanetra berupa tidak dapat melihat dengan baik, muncul hambatan dalam hidupnya, kesulitan mengatasi
hambatan, emosi tidak terkendali, dan frustasi yang berlebihan.
31 b. Dampak pada perkembangan sosial-emosional dipengaruhi oleh
penerimaan lingkungan terhadap anak tunanetra. Pandangan negatif akan berdampak pada perilaku anak tunanetra yang kurang baik. Anak
tunanetra sulit biasanya untuk menunjukkan ekspresi wajah yang tepat serta sulit untuk menghilangkan adatanblindsm.
c. Dampak pada perkembangan bahasa dan komunikasi yang berupa rendahnya inisiatif dari anak tunanetra untuk melakukan dialog lisan
bersama. d. Dampak pada perkembangan kognitif berupa kurangnya informasi yang
diperoleh oleh anak tunanetra. Hal ini menyebabkan anak tunanetra lemah dalam kemampuan konseptual serta pengertian yang diperoleh
tidak dapat diproses menjadi informasi yang efisien. e. Dampak pada perkembangan gerak serta orientasi dan mobilitas
menyebabkan anak tunanetra kurang memiliki kesempatan untuk belajar keterampilan bergerak dan memperoleh pengalaman yang beragam.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan pemahaman konsep pecahan pada anak
tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta. Keterbatasan dalam lingkup jenis dan variasi pengalaman berdampak pada kurangnya informasi
yang diperoleh oleh anak tunanetra kelas III. Anak tunanetra memperoleh informasi hanya melalui indera yang masih berfungsi, sehingga kemampuan
konseptual dan pengertian yang diperoleh tidak dapat diproses menjadi informasi yang efisien. Anak tunanetra juga lebih mengoptimalkan fungsi
32 taktual dan pendengaran untuk mengembangkan kemampuan konseptual.
Anak tunanetra kurang mampu mengintegrasikan materi yang diperoleh menjadi suatu pemahaman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi keterbatasan anak tunanetra kelas III yaitu pengoptimalan proses pembelajaran. Pengoptimalan proses pembelajaran dilakukan dengan
penggunaan media model “bola pecahan” terhadap kemampuan pemahaman konsep pecahan siswa tunanetra.
B. Kajian tentang Pembelajaran Konsep Pecahan 1. Kajian Konsep Pecahan dalam Matematika