1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Anak tunanetra dapat diartikan sebagai individu yang mengalami gangguan pada penglihatan walaupun sudah dilakukan koreksi dan
berpengaruh terhadap kemampuan pembelajaran, interaksi dengan kelompok, serta kemandirian Smith Tyler, 2010: 368. Anak tunanetra diklasifikasikan
menjadi 2 macam, yakni anak tunanetra buta total dan anak tunanetra kurang lihat. Anak tunanetra buta total diartikan sebagai anak yang memiliki
ketajaman penglihatan 20200 atau kurang setelah dikoreksi maupun memiliki rentang pandang tidak lebih dari 20 derajat. Anak tunanetra kurang lihat
diartikan sebagai anak yang masih memiliki sisa penglihatan dengan ketajaman mata antara 2070 dan 20200 serta lebih baik setelah dikoreksi Ysseldyke
Algozzine, 1984: 15-18. Sebagai dampak dari gangguan penglihatan, anak tunanetra
mengalami hambatan dalam memperoleh informasi visual. Informasi visual memiliki peranan dalam memadukan konsep-konsep yang diperoleh dari hasil
pengamatan. Informasi visual yang diperoleh dari fungsi indera penglihatan memiliki kemampuan daya serap dan daya jangkauan informasi yang lebih luas
dari pada indera lainnya Juang Sunanto, 2005: 47. Terhambatnya fungsi penglihatan menyebabkan anak tunanetra kehilangan kemampuan menyerap
informasi yang sangat penting. Akibat dari hilangnya kemampuan dalam menyerap informasi, anak tunanetra memiliki berbagai kebutuhan khusus
Irham Hosni, 1995: 35. Kebutuhan khusus tersebut diantaranya berupa
2 penyesuaian dalam memperoleh dan mengolah informasi, memaknai suatu
konsep tertentu, serta upaya dalam mengatasi keterbatasannya. Keterbatasan-keterbatasan yang dialami oleh anak tunanetra
Lowenfeld, 1974: 34 meliputi: keterbatasan di dalam lingkup jenis dan variasi pengalaman, keterbatasan dalam berpindah tempat mobilitas, serta
keterbatasan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Keterbatasan anak tunanetra di dalam lingkup jenis dan variasi pengalaman disebabkan karena
perolehan pengalaman yang tidak utuh. Pengalaman anak tunanetra hanya diperoleh melalui indera yang masih berfungsi, yakni indera pendengaran,
perabaan, penciuman, dan perasa. Indera-indera tersebut juga memiliki keterbatasan dalam menerima informasi, terutama informasi yang hanya bisa
diperoleh oleh indera penglihatan. Menurut Irham Hosni 1995: 29 keterbatasan indera di luar penglihatan dalam menerima informasi berakibat
pada miskinnya konsep-konsep tentang diri, objek, dan lingkungan anak tunanetra.
Konsekuensi dari hambatan penglihatan yang dialami oleh anak tunanetra berdampak pada proses pembelajaran. Anak tunanetra memiliki
kebutuhan belajar yang berbeda dengan anak pada umumnya. Salah satu kebutuhan belajar anak tunanetra yaitu pembelajaran dengan pengalaman
langsung atau pengalaman konkret IG. A. K Wardani, dkk., 2008: 4.43. Pengalaman konkret membantu siswa tunanetra dalam memaknai suatu
konsep, termasuk kebutuhan pengalaman konkret dalam pembelajaran matematika seperti materi tentang konsep pecahan.
3 Penggunaan kurikulum pada pembelajaran anak tunanetra
dilaksanakan sesuai dengan kebijakan sekolah serta materi yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing siswa, baik secara individual maupun
klasikal. Pembelajaran konsep pecahan anak tunanetra kelas III tingkat Sekolah Dasar SD di Sekolah Luar Biasa SLB-A Yaketunis Yogyakarta tahun ajaran
2014-2015 berpedoman pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP tahun 2006. Penggunaan KTSP mengacu pada Standar Isi Kurikulum SDLB
khusus Tunanetra Bagian A yang terdapat di Badan Standar Nasional Pendidikan BSNP. Dalam KTSP 2006, 347, materi konsep pecahan
termasuk ke dalam mata pelajaran matematika dan mulai diberikan di kelas III semester 2. Standar kompetensi yang perlu dimiliki oleh anak tunanetra yakni
memahami pecahan sederhana dan penggunaannya dalam pemecahan masalah. Adapun kompetensi dasar yang harus dikuasi oleh anak tunanetra yakni
mengenal pecahan sederhana, membandingkan pecahan sederhana, serta memecahkan masalah yang berkaitan dengan pecahan sederhana.
Bilangan pecahan pada matematika Sekolah Dasar dapat diartikan sebagai pembagian suatu benda atau himpunan atas beberapa bagian yang sama
Lisnawaty Simanjuntak, dkk., 1993: 153. Bilangan pecahan terdiri dari pembilang dan penyebut. Pembilang adalah bagian pada pecahan yang
biasanya diarsir atau bagian yang letaknya berada di atas garis apabila ditulis dalam tulisan awastulisan cetak, sedangkan penyebut merupakan bagian yang
utuh yang dianggap sebagai satuan atau bagian yang letaknya berada di bawah garis apabila ditulis dalam tulisan awastulisan cetak Heruman, 2008: 43.
4 Tujuan dari suatu pembelajaran yaitu pengembangan diri dalam tiga
aspek kompetensi. Aspek kompetensi tersebut berupa kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor E. Mulyasa, 2007: 139. Tujuan pembelajaran konsep
pecahan bagi siswa tunanetra yaitu agar siswa tunanetra memiliki pengembangan diri dalam kompetensi kognitif, afektif, dan psikomotor.
Pertama, pengembangan diri dalam aspek kognitif, yakni siswa tunanetra diikutsertakan untuk memahami konsep-konsep pecahan serta operasi hitung
pecahan. Kedua, pengembangan diri dalam aspek afektif, yakni siswa tunanetra mampu memiliki sikap menghargai dan adil setelah memahami konsep
pecahan. Ketiga, pengembangan diri dalam aspek psikomotor, yakni siswa tunanetra mampu bekerjasama dalam memecahkan masalah terkait penggunaan
konsep pecahan dalam kehidupan sehari-hari. Konsep pecahan dapat menjadi dasar kemampuan siswa tunanetra untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya
dan dapat menjadi pemahaman siswa tunanetra kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran konsep pecahan terdiri dari tiga tahap yang harus dilaksanakan. Tahapan tersebut yaitu tahap penanaman konsep dasar, tahap
pemahaman konsep, serta tahap pembinaan keterampilan Heruman, 2008: 2- 3. Prasyarat yang harus dimiliki oleh siswa sebelum memahami konsep
pecahan adalah konsep angka, konsep nilai, serta operasi hitung penjumlahan dan pengurangan Heruman 2008: 52-58. Konsep angka dan konsep nilai
akan menjadi prasyarat dalam memahami konsep nilai pecahan, pecahan senilai, serta membandingkan pecahan berpenyebut sama. Konsep operasi
5 hitung akan menjadi prasyarat dalam melakukan penjumlahan dan
pengurangan sederhana pecahan berpenyebut sama. Siswa tunanetra membutuhkan suatu layanan dan program khusus
dalam pelaksanaan pembelajaran. Suasana pelaksanaan pembelajaran konsep pecahan hendaknya dirancang menyenangkan dan memperhatikan kemampuan
serta kebutuhan individu Anastasia Widdjajantin dan Imanuel Hitipeuw, 1996: 152. Hal ini berdasarkan pada perkembangan kognitif siswa tunanetra yang
berbeda dengan siswa pada umumnya serta siswa tunanetra tertinggal dalam pemahaman tugas-tugas konseptual Piaget dalam Tin Suharmini, 2009: 33.
Layanan dan program khusus tersebut dapat berupa penyampaian materi dengan diselingi oleh kegiatan permainan, modifikasi materi ajar, maupun
penggunaan metode dan media yang relevan dengan materi dan kebutuhan. Salah satu contohnya yaitu penggunaan media pembelajaran yang berbasis
taktual dan auditoris. Berdasarkan hasil wawancara kepada guru kelas III di SLB-A
Yaketunis Yogyakarta tanggal 15 Oktober 2014 diperoleh informasi adanya hambatan dalam melaksanakan pembelajaran konsep pecahan. Hambatan
tersebut berupa: 1 siswa tunanetra masih memiliki kemampuan pemahaman yang rendah dalam konsep pecahan; 2 siswa tunanetra kurang antusias dan
pasif dalam mengikuti pembelajaran konsep pecahan; 3 kurang efektifnya media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran konsep pecahan
untuk siswa tunanetra; serta 4 metode pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran konsep pecahan pada siswa tunanetra belum efektif.
6 Pertama, siswa tunanetra masih memiliki kemampuan pemahaman
yang rendah dalam konsep pecahan. Diungkapkan guru bahwa siswa tunanetra masih mengalami kesulitan dalam memahami konsep pecahan. Skor hasil
belajar siswa tunanetra kelas III masih berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimum KKM sebesar 70. Siswa tunanetra memiliki skor rata-rata hasil
belajar konsep pecahan sebesar 50 sampai 60. Siswa tunanetra masih mengalami kesulitan dalam membedakan bagian-bagian pecahan yakni bagian
pembilang dan penyebut. Siswa telah memahami bahwa satu dibagi dengan dua yaitu
ଵ ଶ
, tetapi masih mengalami kesulitan dalam memaknai nilai dari
ଵ ଶ
dan mengaplikasikannya ke dalam bentuk pecahan. Menurut pendapat guru,
kesulitan siswa tunanetra dalam memahami makna nilai suatu pecahan berdampak pada kesulitan membandingkan nilai pecahan dengan nilai pecahan
lainnya serta aplikasinya dalam suatu operasi hitung pecahan sederhana. Hal ini disebabkan oleh kesulitan siswa dalam membentuk dan memaknai materi
yang bersifat abstrak serta kurangnya pengalaman konkret pada saat pembelajaran.
Kedua, siswa tunanetra kurang antusias dan pasif dalam mengikuti pembelajaran konsep pecahan. Pada saat pembelajaran, siswa kurang memiliki
inisiatif untuk menulis materi serta hanya mendengarkan penjelasan guru. Menurut pendapat guru, siswa ragu-ragu untuk bertanya dan menjawab
pertanyaan yang diberikan. Siswa kurang memberikan respon apabila guru memberikan pertanyaan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
bertanya. Diungkapkan guru bahwa beberapa siswa mengeluhkan materi
7 konsep pecahan sulit untuk dipahami. Hal ini disebabkan oleh anggapan siswa
bahwa konsep pecahan sulit, sehingga mengurangi semangat siswa tunanetra pada saat pembelajaran konsep pecahan. Rentang usia yang beragam, faktor
kesehatan, serta kemampuan masing-masing individu yang berbeda juga memberikan pengaruh yang besar terhadap pelaksanaan proses pembelajaran di
kelas. Salah satu buktinya yaitu seorang siswa yang lebih unggul dalam bidang seni dari pada akademik serta terdapat siswa yang sering tidak masuk sekolah
karena faktor kesehatan. Ketiga, kurang efektifnya media pembelajaran yang digunakan dalam
pembelajaran konsep pecahan untuk siswa tunanetra. Diungkapkan guru bahwa selama ini proses pembelajaran konsep pecahan baru menggunakan media
seadanya. Guru biasanya menggunakan potongan kertas atau benda nyata seperti makanan. Menurut pendapat guru, penggunaan media tersebut kurang
efektif. Media potongan kertas tidak mampu bertahan lama serta hanya mampu digunakan dalam beberapa pertemuan. Siswa kurang mampu membuat suatu
nilai pecahan dengan menggunting sendiri, sehingga guru yang menyediakan dan mengguntingnya. Guru juga mengakui bahwa media makanan kurang
efektif digunakan dalam pembelajaran konsep pecahan. Media makanan hanya bisa digunakan pada satu penjelasan serta keterbatasan dalam penyediaan
jumlah dan ragam makanan. Siswa juga lebih dominan dalam menikmati makanan yang diberikan oleh guru dari pada memahami materi yang
disampaikan. Kurang efektifnya media dapat disebabkan oleh berbagai keterbatasan. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan waktu, biaya, dan tenaga
8 dari guru maupun sekolah dalam menyediakan serta menggunakan media
pembelajaran relevan dengan materi yang hendak diajarkan. Keterbatasan juga dapat disebabkan oleh konsentrasi dan minat siswa tunanetra yang kurang
dalam menggunakan media pembelajaran. Keempat, metode pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran
konsep pecahan pada siswa tunanetra belum efektif. Diungkapkan guru bahwa selama ini pembelajaran konsep pecahan baru menggunakan metode ceramah
dan pemberian tugas. Metode tersebut diakui guru belum efektif dalam meningkatkan kemampuan pemahaman siswa tunanetra tentang konsep
pecahan. Siswa lebih pasif karena hanya fokus mendengarkan ceramah dari guru serta mengerjakan soal-soal latihan yang belum dipahami. Kurang
efektifnya metode pembelajaran disebabkan oleh kurangnya kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk belajar sambil melakukan learning by doing
melalui pengalaman nyata. Proses pembelajaran pada siswa tunanetra baru dilakukan sebatas pada pemaparan secara verbal dan latihan-latihan.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu adanya suatu upaya untuk mengatasi permasalahan dalam pembelajaran konsep pecahan bagi siswa
tunanetra. Upaya yang dapat dilakukan untuk membuat pembelajaran konsep pecahan menjadi mudah dipahami oleh siswa diantaranya yaitu memastikan
kesiapan intelektual dan kesiapan penguasaan materi prasyarat untuk belajar materi pecahan; tingkat kesulitan soal diberikan sesuai dengan kemampuan
siswa dan menyangkut kegiatan sehari-hari; memberi kebebasan kepada siswa
9 untuk mencari penyelesaian masalah dengan caranya sendiri; serta pemakaian
media belajar yang mempermudah pemahaman siswa Pitadjeng, 2006: 49-58. Menurut Anastasia Widdjajantin dan Imanuel Hitipeuw 1996: 152
bahwa bagi siswa tunanetra dalam mempelajari konsep matematika harus melalui pendekatan khusus. Salah satu faktor yang dapat membantu dalam
kelancaran belajar matematika yaitu alat bantu atau media. Media dapat dibuat oleh guru dengan menggunakan barang-barang bekas maupun benda-benda
yang ada di lingkungan sekitar anak. Media juga dapat dibuat dengan memanipulasi benda konkret menjadi benda model atau benda tiruan yang
dapat membantu siswa tunanetra dalam memahami konsep pecahan. Menurut Gerlach, et al., 1980: 241 media dalam konsep luas
didefinisikan sebagai berbagai orang, bahanalat, atau kejadian yang dapat menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan siswa untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Bagi siswa tunanetra, media pembelajaran dibedakan penggunannnya menjadi dua, yakni media
pembelajaran bagi siswa yang mengalami hambatan penglihatan total dan media pembelajaran bagi hambatan penglihatan low vision Yosfan Azwandi,
2007: 117-118. Bagi siswa yang mengalami hambatan total media pembelajaran lebih menekankan pada media-media auditoris dan taktual. Bagi
siswa yang tunanetra low vision, media pembelajaran lebih menekankan pada pemodifikasian terhadap ukuran huruf dan penggunaan warna yang kontras.
Penggunaan media pembelajaran bagi siswa tunanetra harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan individu yang berbeda.
10 Salah satu klasifikasi media pembelajaran menurut Smaldino, et al.,
2012: 8 yaitu perekayasa, seperti: model atau benda nyata. Hal ini sependapat dengan Briggs dalam Arief S. Sadiman, dkk., 2006: 23 yang menyatakan
salah satu macam media pembelajaran yaitu media model. Media model merupakan media representasi tiga dimensi dari objek riil dan memungkinkan
untuk lebih detail atau sederhana dari tujuan pembelajaran Newby, et al., 2000: 107. Media model memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan media model diantarnya: menggambarkan konsep realisme dan tiga dimensi, menimbulkan minat yang bersifat multisensorik, serta memacu
kerjasama dan belajar kooperatif. Kekurangan media model diantaranya: biaya pembuatan yang mahal, penyimpanan yang sulit, serta mudah rusak Smaldino,
et al., 2012: 286-287. Menurut Cica Anwar 2012: 69 bahwa penggunaan media model
memberikan perubahan kemampuan pemahaman konsep pecahan pada siswa. Hal ini dibuktikan dengan perolehan hasil belajar siswa sebelum diberikan
perlakuan dengan menggunakan media model yaitu kurang dari 85 dan hasil belajar setelah diberikan perlakuan yaitu lebih dari 85. Media model
membantu siswa memahami materi pecahan melalui benda yang lebih konkret. Media model juga menciptakan suasana pembelajaran menjadi lebih
menyenangkan. Media model yang digunakan dalam pembelajaran konsep pecahan disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa tunanetra.
Adapun media model yang digunakan dalam penelitian ini yaitu media model “bola pecahan”.
11 Media model “bola pecahan” merupakan suatu media pembelajaran
tiga dimensi sebagai model atau tiruan dari konsep pecahan. Media model “bola pecahan” merupakan modifikasi dari media model pecahan yang
berbentuk tabung berukuran tipis yang dibagi menjadi beberapa irisan. Media model “bola pecahan” dimodifikasi sehingga berbentuk bola yang dibagi
menjadi beberapa irisan yang berukuran sama besar. Irisan “bola pecahan” menjadi representasi dari suatu bagian terhadap keseluruhan bentuk bola.
Pemodifikasian media model “bola pecahan” dilakukan berdasarkan pada kondisi dan karakteristik siswa tunanetra. Media model berbentuk tabung tipis
memungkinkan siswa tunanetra mengalami kesulitan dalam memahami bentuk yang utuh. Media model berbentuk tabung tipis dapat memberikan berbagai
variasi bentuk dari penggabungan masing-masing irisan sehingga tidak selalu berbentuk tabung utuh. Penggabungan dari irisan media model “bola pecahan”
akan selalu berbentuk bola utuh, sehingga media tersebut lebih memberikan kemudahan kepada siswa tunanetra dalam memahami irisan dan bagian yang
dari suatu konsep pecahan. Media model “bola pecahan” terdiri dari nilai 1 bola utuh serta irisan
pecahan
ଵ ଶ
ǡ
ଵ ଷ
ǡ
ଵ ସ
ǡ
ଵ ହ
ǡ
ଵ
tetapi masih dalam ukuran utuh 1 “bola pecahan”. Media model “bola pecahan” dapat digunakan sebagai media untuk
memperjelas materi nilai pecahan, membandingkan pecahan berpenyebut sama, serta penjumlahan dan pengurangan sederhana pecahan berpenyebut
sama. Media tersebut terbuat dari bahan kayu yang dilengkapi dengan tulisan Braille nilai-nilai pecahan. Media model “bola pecahan” dapat digunakan
12 dalam beberapa kali pertemuan dan bersifat portable, sehingga memudahkan
dalam penggunannya. Media model “bola pecahan” juga tidak membutuhkan biaya perawatan dan penyimpanan yang besar.
Media model “bola pecahan” dapat membantu dalam mengubah konsep pecahan yang abstrak ke dalam pemahaman yang lebih konkret dengan
menekankan pada indera taktual. Media model “bola pecahan” membantu guru untuk mengurangi verbalisme dalam menjelaskan materi konsep pecahan
kepada siswa tunanetra. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki tujuan untuk menguji keefektifan media model “bola pecahan” terhadap kemampuan
pemahaman konsep pecahan siswa tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta.
B. Identifikasi Masalah