Karakteristik Anak Tunanetra Kajian tentang Anak Tunanetra 1. Pengertian Anak Tunanetra

23

2. Karakteristik Anak Tunanetra

Menurut Anastasia Widdjajantin dan Imanuel Hitipeuw 1996: 11 bahwa hambatan penglihatan, baik disadari atau tidak disadari akan berdampak pada perilaku dan kegiatan anak tunanetra. Perilaku dan kegiatan tersebut akan menjadi karakteristik atau ciri khas dari anak tunanetra. Karakterstik dari anak tunanetra dipengaruhi oleh usia terjadi ketunanetraan, tingkat gangguan penglihatan, penerimaan lingkungan, maupun perolehan pengalaman yang dimiliki anak tunanetra. Menurut Hallahan, et al. 2009: 388-391, anak tunanetra memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Perkembangan bahasa Ketunanetraan tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kemampuan untuk memahami dan menggunakan bahasa. Hal ini karena persepsi auditori lebih baik dari pada persepsi visual sebagai modalitas untuk belajar berbahasa. Anak tunanetra biasanya tidak mengalami gangguan bahasa dan memungkinkan memiliki kemampuan berbahasa yang lebih baik dari pada anak normal. b. Kemampuan intelektual Anak tunanetra yang masih bayi dan anak-anak biasanya memiliki keterlambatan kemampuan konseptual dibandingkan dengan anak pada umumnya. Hal ini dikarenakan anak tunanetra banyak mengandalkan perabaan dibandingan dengan penglihatan yang memiliki 24 peranan sangat besar. Anak tunanetra membutuhkan usaha yang lebih besar dari pada anak melihat dalam memproleh suatu pengertian. c. Orientasi dan mobilitas Anak tunanetra memproses informasi ruang secara sekuen serta melalui peta kognitif. Seorang tunanetra mempunyai kemampuan mendeteksi objek dan bahaya dengan cara mengingat perubahan dari berbagai ciri khas suatu objek. Anak tunanetra juga memiliki kepekaan yang tinggi dan memiliki kemampuan penginderaan yang lebih baik pada salah satu inderanya atau beberapa indera lainnya. d. Prestasi akademik Anak tunanetra biasanya memiliki prestasi akademik yang lebih rendah dibandingkan dengan teman sebayanya yang dapat melihat. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya harapan atau kurangnya paparan dalam bentuk tulisan Braille untuk anak tunanetra. e. Penyesuaian sosial Anak tunanetra memiliki masalah penyesuaian sosial yang lebih besar dari pada anak melihat pada umumnya. Anak tunanetra menggunakan tongkat untuk berinteraksi. Tongkat akan menjadi identitas anak sehingga orang lain akan mengetahui kondisinya. Anak tunanetra juga memiliki beberapa karakteristik seperti gelisah, perilaku adatan, perilaku stereotif, menekan atau menggosok bola mata. Pendapat lain dikemukakan oleh T. Sutjihati Somantri 2006: 67- 87 bahwa anak tunanetra memiliki karakteristik sebagai berikut: 25 a. Perkembangan kognitif Anak tunanetra memiliki perkembangan kognitif dan konseptual yang cenderung lebih lambat dibandingkan dengan anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh pengertian dan pengenalan terhadap dunia luar hanya diperoleh melalui indera di luar visual, sehingga informasi yang diperoleh anak tunanetra tidak lengkap dan utuh. Anak tunanetra mungkin lebih superior dibandingkan dengan anak awas dalam hal ketajaman sensoris, ingatan maupun kreativitas dengan proses latihan secara rutin dan intensif. Umumnya anak tunanetra memiliki nilai yang lebih rendah dalam bidang matematika dibandingkan dengan anak awas. b. Perkembangan motorik Anak tunanetra cenderung memiliki perkembangan motorik yang lebih lambat dari anak pada umumnya. Hal ini disebakan oleh kurangnya koordinasi fungsional dengan fungsi psikis, serta kesempatan yang diberikan kepada tunanetra untuk melakukan aktivias gerak motorik. Anak tunanetra kurang memahami batas wilayah ruang gerak, bahaya yang mungkin muncul, serta sulit untuk belajar menirukan orang lain pada saat melakukan suatu aktivitas gerak motor. Hambatan penglihatan juga mempengaruhi perkembangan gerakan motorik terutama pada koordinasi tangan, koordinasi badan, serta cara berjalan. c. Perkembangan emosi Anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan emosi dibandingkan dengan anak awas pada umumnya. Anak tunanetra 26 memiliki keterbatasan menyampaikan perasaan kepada orang lain melalui ekspresi dan reaksi wajah atau tubuh. Anak tunanetra cenderung menyatakan emosinya secara verbal. Masalah emosi yang sering dihadapi oleh anak tunanetra adalah gejala emosi yang tidak seimbang, pola negatif, dan pola berlebihan seperti: takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang berlebihan. d. Perkembangan sosial Anak tunanetra cenderung lebih banyak menghadapi masalah perkembangan sosial dibandingkan dengan anak normal. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas dan baru, perasaan rendah diri, malu, serta penolakan dari lingkungan. Anak tunanetra mengalami hambatan dalam belajar sosial melalui proses identifikasi dan imitasi, serta mengikuti bentuk permainan sebagai wahana penyerapan norma atau aturan dalam sosialisasi. Perkembangan sosial anak tunanetra dipengaruhi oleh perlakuan dan penerimaan lingkungan terhadap keberadaan anak tunanetra. e. Perkembangan kepribadian Anak tunanetra memiliki kecenderungan untuk mengalami gangguan kepribadian seperti introvert, neurotik, frustasi, dan rigiditas kekakuan mental dibandingkan dengan anak pada umumnya. Anak tunanetra cenderung bertahan dengan ide dan pendapatnya yang belum tentu benar menurut penilaian umum. 27 Menurut Sari Rudiyati 2002: 34-38, bahwa anak tunanetra memiliki karakteristik berupa: cenderung memiliki rasa curiga, mudah tersinggung, verbalisme, perasaan rendah diri, adatan atau blindsmmannerism, suka berfantasi, berpikir kritis, serta pemberani. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat ditegaskan kerateristik anak tunanetra yang berkaitan dengan subjek penelitian ini yaitu sebagai berikut: a. Perkembangan fisik Anak tunanetra kelas III memiliki perkembangan yang hampir sama dengan anak umumnya. Anak tunanetra memiliki beberapa hambatan terutama dalam koordinasi tangan, koordinasi badan, serta cara berjalan. Anak tunanetra mengembangkan fungsi auditoris dan taktual. Anak tunanetra kelas III juga memiliki kemampuan motorik halus yang baik sesuai dengan kondisi ketunanetraannya. b. Perkembangan akademik Anak tunanetra kelas III mengandalkan fungsi pendengaran dan perabaan dalam memperoleh informasi. Anak tunanetra menggunakan tulisan Braille pada saat pembelajaran. Anak tunanetra mengalami hambatan dalam perkembangan konseptual, tetapi memiliki daya ingat yang lebih kuat dibandingkan anak pada umumnya. Anak tunanetra kelas III memiliki prestasi akademik yang lebih rendah terutama di bidang matematika, sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam pelaksanaan proses pembelajaran. 28 c. Perkembangan sosial-emosional Anak tunanetra kelas III memiliki perkembangan sosial- emosional seperti gelisah, blindsm, perilaku stereotif, suka berfantasi, dan mengembangkan verbalisme. Anak tunanetra memiliki perkembangan sosial yang baik ditandai oleh penerimaan dan interaksi dengan orang lain. Perkembangan sosial-emosional anak tunanetra berpengaruh pada pembelajaran, sehingga pembelajaran harus mempertimbangkan karakteristik masing-masing anak tunanetra. Karakteristik anak tunanetra kelas III di SLB-A Yaketunis Yogyakarta tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam pelaksanaan pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran pada penelitian ini memanfaatkan media pembelajaran berupa media model. Penggunaan media model “bola pecahan” dilaksanakan dengan pertimbangan kebutuhan dan karakteristik belajar anak tunanetra yang menekankan pada indera pendengaran dan taktual.

3. Keterbatasan Anak Tunanetra

Dokumen yang terkait

Penggunaan Alat Peraga "Blok Pecahan" Dalam Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa Kelas III SDN Cakung Barat 04 Pagi

0 18 0

PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA BLOK PECAHAN DAN REALITA TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP PECAHAN SISWA KELAS IV Pengaruh Penggunaan Media Blok Pecahan Dan Media Realita Terhadap Pemahaman Konsep Pecahan Siswa Kelas Iv SD Negeri Pilang 1 Masaran Sragen Tahun Pelajar

1 11 16

PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA BLOK PECAHAN DAN REALITA TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP PECAHAN SISWA KELAS IV Pengaruh Penggunaan Media Blok Pecahan Dan Media Realita Terhadap Pemahaman Konsep Pecahan Siswa Kelas Iv SD Negeri Pilang 1 Masaran Sragen Tahun Pelajar

0 0 19

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGHITUNG PECAHAN MELALUI MEDIA KARTU DOMINO PECAHAN PADA SISWA KELAS V Peningkatan Kemampuan Menghitung Pecahan Melalaui Media Kartu Domino Pecahan Pada Siswa Kelas V Sekolah Dasar Negeri I Widoro Kecamatan Sidoharjo

0 0 16

Pemanfaatan bola sebagai alat peraga untuk membantu siswa Sekolah Luar Biasa Tunanetra (SLB A) memahami konsep perkalian : studi kasus pada siswa kelas II SLB A Yaketunis Yogyakarta.

0 4 146

PENGARUH MEDIA KARTU DOMINO TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP PECAHAN.

3 38 6

PENINGKATAN KEMAMPUAN PENGEMBANGAN DIRI DENGAN MENGGUNAKAN METODE PRAKTIK SISWA TUNANETRA KELAS III SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

0 1 212

KEEFEKTIFAN METODE PERMAINAN DOMINO BRAILLE TERHADAP KEMAMPUAN PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA SISWA TUNANETRA KELAS 1 DI SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA.

7 32 165

PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA REPLIKA BANGUN DATAR TERHADAP KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP BANGUN DATAR PADA SISWA TUNANETRA BUTA TOTAL KELAS 1 SEKOLAH DASAR (SD) DI SEKOLAH LUAR BIASA (SLB) NEGERI 1 BANTUL YOGYAKARTA.

3 15 230

KEEFEKTIFAN MEDIA GLOBE TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP PERUBAHAN KENAMPAKAN BUMI DAN BULAN BAGI SISWA TUNANETRA KELAS IVA SLB-A YAKETUNIS.

0 0 166