Byronic Hero dalam Karya-Karya Mary Shelley

5.2 Byronic Hero dalam Karya-Karya Mary Shelley

Setelah kesuksesan Byronic Hero di tangan Lord Byron mencapai puncaknya, jenis penokohan ini kemudian diadaptasikan oleh Mary Shelley dalam karya- karyanya yang bertemakan Romansa Gotik. Byronic Hero versi Shelley dianggap kritikus sastra sebagai versi penokohan yang jauh lebih baik daripada versi Lord Byron sendiri; terutama dalam novel Mary Shelley Frankenstein; yang dianggap sebagai mahakarya Mary Shelley. Dalam novel tersebut Shelley menceritakan Victor Frankenstein sebagai tokoh utamanya yang berkepribadian kompleks dan sering mengalami konflik batin. Lebih lanjut, Hall dan Hurley 1930: 86 menjelaskan sosok Shelley dalam ciri khas karyanya, sebagai berikut. ....Mary Shelley is the author of one well-known Gothic Romance with philosophic and scientific tendencies, more in the vein or her fathers’s St. Leon than in that of Lewis or Maturin. Frankenstein, 1818, is her best known novel. Others, having a historical rather than a gothic bent, are Valperga, or The Life and Adventures of Casturiccio, Prince of Lucca, 1821-1823; and Perkin Warbek, 1839. The Last Man, 1826, is more of the former order. ....Mary Shelley adalah salah seorang pengarang Romansa Gotik dengan tendensi filosofis dan ilmiah, lebih mengarah kepada karya ayahnya St. Leon daripada dalam Lewis atau Maturin. Frankenstein, pada tahun 1818 merupakan novelnya yang paling terkenal. Novel lain yang lebih membahas tentang latar belakang sejarah daripada kesan Gotik antara lain Valperga, atau The Life and Adventures of Casturiccio, Prince of Lucca, 1821-1823; dan Perkin Warbek, 1839. The Last Man, 1826, cenderung berbentuk seperti novel sebelumnya. Pada hakikatnya, tokoh Byronic yang digunakan Shelley dalam novel Mary Shelley Frankenstein banyak terilhami oleh karya-karya Lord Byron. Selain itu, Universitas Sumatera Utara Shelley juga dikenal sebagai salah satu pengagum sekaligus teman dekat Byron. Kedekatan tersebut berawal ketika Shelley diperkenalkan oleh suaminya, Percy Bysshe Shelley berlibur musim panas di Genewa, Switzerland sekitar Mei, 1816 Brewer: 1994. Kedua penulis ini menjalin persahabatan selama kurang lebih enam tahun semenjak pertemuan pertamanya, dan sering menghabiskan waktu bersama termasuk untuk keperluan tukar pikiran, debat, bahkan kompetisi dalam menulis cerita. Perlu diketahui bahwa Mary Shelley Frankenstein merupakan karya pertama Shelley yang ditulis ketika ia masih berusia 18 tahun; dan merupakan realisasi dari tantangan Byron dalam hal mengarang tentang cerita hantu. Coghill 2000: 3 mengatakan bahwa Byron terperanjat dan berlari keluar ruangan ketika Shelley membacakan cerita tentang Sang Monster dalam Mary Shelley Frankenstein di hadapannya. Persahabatan Shelley dan Byron mengakibatkan keduanya sering sekali menulis tentang cerita dengan ciri yang serupa, terutama bertemakan sosial-politik, di mana setiap tokoh utamanya menggambarkan penokohan Byronic Hero. Hal tersebut dapat dimaklumi karena baik Shelley maupun Byron tumbuh pada saat era Revolusi Perancis sedang berlangsung dan menyebar di wilayah Eropa lainnya. Pengaruh yang dibawa oleh era tersebut sangat berdampak pada perkembangan kesusastraan. Sebagai akibatnya, karya sastra mulai menceritakan tentang keadaan sosial-politik masyarakat, yang mana banyak diwarnai oleh pemberontakan dan anarkisme. Berdasarkan keterangan di atas, dapat diketahui bahwa karya kedua penulis tersebut memiliki hubungan intertekstualitas. Lebih lanjut, Kristeva dalam Brewer, Universitas Sumatera Utara 1994: 20 menjelaskan bahwa setiap bangun teks adalah mosaik dari berbagai kutipan, di mana setiap teks merupakan serapan dan transformasi dari teks lainnya. Walaupun demikian, Shelley dan Byron tetap memiliki nafas yang berbeda. Shelley adalah seorang idealis, sementara Byron adalah seorang yang vokal dan kritis cynic. Mary Shelley cenderung menceritakan tentang ‘kenyataan pahit’, yakni bagaimana suatu kesalahan dalam pengambilan keputusan terhadap nasib seseorang dapat mengubah persepsi tentang masa depan; sementara Lord Byron cenderung lebih radikal dengan menceritakan tentang suatu keadaan di mana penggunaan rasa benci dan sikap antisosial untuk tujuan dominasi dapat mengakibatkan perbuatan anarkis dan merusak, serta kefatalan bagi orang lain Brewer, 1994: 19. Salah satu ciri khas Mary Shelley dalam pencitraan tokoh fiksinya adalah tidak menggambarkan tokoh-tokohnya sebagai manusia yang berkepribadian super; yang mana identik dengan kesempurnaan. Berbeda dengan gaya Lord Byron, Shelley tidak menggunakan Byronic Hero sebagai sindiran belaka. Nafas Byronic Hero yang digunakan Shelley tak lain berusaha untuk menggambarkan sosok manusia yang sesungguhnya; yakni insan-insan yang tak terlepas dari kesalahan, kekeliruan, ambisi, arogansi dan kegagalan. Fokus Shelley adalah untuk menekankan permasalahan moralitas dan tanggung jawab terhadap aksi dan reaksi tokoh-tokohnya; yang mana dapat dijadikan sebagai sarana introspeksi dan pembelajaran bagi pembacanya. Universitas Sumatera Utara

5.3 Periode Romantisme dalam Sejarah Kesusastraan Inggris