4.5.1 Byronic Hero dalam Penokohan Victor Frankenstein
Dalam hal pencitraan Byronic Hero, Victor digambarkan Shelley sebagai tokoh yang memiliki memiliki sifat arogan, labil, dan suka melakukan hal-hal yang
menantang serta berbahaya. Shelley juga menggambarkan adanya perubahan suasana hati yang drastis, keraguan, keputusasaan, anti sosial, dan keegoisan yang dimiliki
oleh Victor. Namun di lain sisi, ia juga digambarkan sebagai orang yang terpelajar, berkeinginan keras, tekun, dan penyayang. Dengan demikian, maka dapat diketahui
bahwa tokoh Victor Frankenstein mengalami banyak konflik batin dalam menentukan keputusan, yakni pertentangan batin antara memutuskan sesuatu yang benar atau
salah; dan sesuatu yang pantas atau tidak pantas dilakukannya. Sebagai akibatnya, ia sering mengalami depresi, yang mana ditunjukkan dengan cara mengasingkan diri
dari lingkungan sosialnya. Victor dibesarkan di keluarga bahagia, di mana ia selalu disirami oleh kasih
sayang dan perhatian yang cukup dari orangtuanya. Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa ia menghabiskan masa kecilnya dengan bahagia,. Oleh karenanya, Victor
tumbuh menjadi sosok yang penyayang dan pengertian. Ungkapan tersebut dapat disimak dari kutipan, sbb:
“No human being could have passed a happier childhood than myself. My parents were possessed by the very spirit of kindness
and indulgence. We felt that they were not the tyrants to rule our lot according to their caprice, but the agents and creators of all the
many delights which we enjoyed. When I mingled with other families I distinctly discerned how peculiarly fortunate my lot was,
and gratitude assisted the development of filial love” Shelley: 39.
Universitas Sumatera Utara
“Tidak ada manusia manapun yang menghabiskan masa kecilnya lebih bahagia daripada diriku. Orangtuaku memiliki jiwa baik dan
mengemong. Kami tidak merasakan adanya suatu tirani dalam lingkungan keluarga, melainkan orang-orang yang kami sukai.
Ketika aku bergabung dengan keluarga lainnya, aku merasakan betapa beruntungnya aku, dan selalu berterima kasih atas
diberikannya rasa cinta terhadap anak-anaknya” Shelley: 39.
Victor memiliki semangat besar ambisius dalam mempelajari hal-hal yang menarik minatnya. Ungkapan tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut:
“…contemplated with a serious and satisfied spirit the magnificent appearances of things, I delighted in investigating their causes. The
world was to me a secret which I desired to divine. Curiosity, earnest research to learn the hidden laws of nature, gladness akin
to rapture, as they were unfolded to me, are among the earliest sensations I can remember” Shelley: 38.
“…merenungkan dengan jiwa yang serius dan terpuaskan akan rasa takjub terhadap rupa benda-benda, aku senang menyelidiki
penyebab-penyebabnya. Dunia bagiku adalah sebuah rahasia yang harus kutaklukkan. Rasa keingintahuan, riset dengan sungguh-
sungguh untuk mempelajari aturan-aturan alam yang tersembunyi, rasa senang berkaitan dengan rasa pesona, seakan-akan mereka
terbuka untukku, ini lah sensasi awal yang dapat kuingat” Shelley: 38.
Di lain sisi, ia juga menggebu-gebu dan cenderung narsistik. Sebagai akibatnya, ia sering berperilaku labil. Hal tersebut ditunjukkan dalam monolog, sbb:
“My temper was sometimes violent, and my passions vehement; but by some law in my temperature they were turned not towards
childish pursuits but to an eager desire to learn, and not to learn all things indiscriminately” Shelley: 39.
“Amarahku terkadang kejam, dan gairahku berapi-api; namun menurutku itu bukan demi keinginan yang sifatnya kekanakan,
melainkan demi keinginan besar untuk belajar, dan bukan untuk mempelajari semua hal tanpa pandang bulu” Shelley: 39.
Universitas Sumatera Utara
Victor sering mengalami depresi akibat dikendalikan oleh gairah dan nafsu dalam mencapai ambisi-ambisinya, seperti yang dijelaskan, sbb:
“I feel exquisite pleasure in dwelling on the recollections of childhood, before misfortune had tainted my mind and changed its
bright visions of extensive usefulness into gloomy and narrow reflections upon self. Besides, in drawing the picture of my early
days, I also record those events which led, by insensible steps, to my after tale of misery, for when I would account to myself for the birth
of that passion which afterwards ruled my destiny I find it arise, like a mountain river, from ignoble and almost forgotten sources; but,
swelling as it proceeded, it became the torrent which, in its course, has swept away all my hopes and joys” Shelley: 40.
“aku merasakan kesenangan yang teramat sangat ketika mengenang masa kecilku, sebelum kemalangan menodai pikiranku dan
mengubah impian cerah demi pemanfaatan ilmu yang luas menjadi refleksi kelam dan sempit tentang diriku. Selain itu, selama
menggambarkan masa kecilku, aku juga teringat beberapa peristiwa, yang secara tak sadar menggiringku akan kisah
malangku, yakni ketika aku melibatkan diriku akan dalam kelahiran nafsu tersebut yang pada akhirnya menentukan nasibku, ibarat
sungai di atas gunung, dari keadaan hina dan hampir terlupakan; namun terasa sakit, itu menjadi aliran deras yang menyapu semua
harapan dan kegembiraanku” Shelley: 40.
Sepeninggalan ibunya, yakni ketika Victor berusia tujuh belas tahun, ia berkuliah di Universitas Ingolstadt untuk belajar ilmu kedokteran. Pada saat itu ia
merasa terasing dengan lingkungan universitas, dan juga menemukan kesulitan dalam mengenal orang-orang baru. Peneliti menangkap hal tersebut sebagai pertanda bahwa
Victor melibatkan sikap anti sosial, sebagai reaksi dari depresi dan gejala neurosis yang dirasakannya ketika meninggalkan rumah beberapa hari setelah kematian
ibunya.
Universitas Sumatera Utara
“I was now alone. In the university whither I was going I must form my own friends and be my own protector. My life had hitherto been
remarkably secluded and domestic, and this had given me invincible repugnance to new countenances. I loved my brothers,
Elizabeth, and Clerval; these were “old familiar faces,” but I believed myself totally unfitted for the company of strangers”
Shelley: 46. “aku sekarang sendirian. Di universitas, di mana aku harus
mengenal teman baru yang akan menjadi pelindungku. Hidupku berangsur dingin karena terasa diasingkan dan dijinakkan, dan hal
ini membuatku jijik mengenal wajah-wajah baru. Aku menyayangi saudara-saudaraku, Elizabeth, dan Clerval; mereka adalah “wajah-
wajah yang kukenal”, namun aku merasa aku tak cocok berada di lingkungan orang-orang asing“ Shelley: 46.
Setelah beberapa bulan berkuliah di Universitas Ingolstadt, Victor kembali terlibat konflik dengan salah satu pengajar di sana, Prof. M. Krempe. Krempe
meragukan semua ilmu yang dikuasai oleh Victor, yang membuat ia merasa disudutkan dan dikendalikan. Sebagai akibatnya, ia bertindak nekat untuk
membuktikan kemungkinan penerapan ilmu-ilmu yang diketahuinya. Ungkapan tersebut ditunjukkan, sbb:
“Such were the professors words--rather let me say such the words of the fate--enounced to destroy me. As he went on I felt as if my
soul were grappling with a palpable enemy; one by one the various keys were touched which formed the mechanism of my being; chord
after chord was sounded, and soon my mind was filled with one thought, one conception, one purpose.
So much has been done, exclaimed the soul of Frankenstein--more, far more, will I achieve; treading in the steps already marked, I will
pioneer a new way, explore unknown powers, and unfold to the world the deepest mysteries of creation” Shelley: 49.
“Demikian kata-kata profesor tersebut—yang cenderung kuanggap sebagai kata-kata takdir—disampaikan untuk menghancurkanku.
Universitas Sumatera Utara
Semakin ia melanjutkannya aku merasa jiwaku bercengkrama dengan musuh yang jelas; satu persatu kunci menyentuhku dan
membentuk mekanisme jiwaku; kunci demi kunci disuarakan, dan serta merta pikiranku dipenuhi oleh satu ide, satu konsepsi, satu
tujuan. Banyak hal sudah pernah dilakukan, kata jiwa Frankenstein--jauh,
lebih jauh, akan kucapai; mengikuti jejak yang sudah dilakukan, aku akan menjadi seorang pelopor dalam suatu cara baru,
menjelajahi kekuatan-kekuatan yang tak diketahui, dan mengungkap misteri penciptaan di dunia” Shelley: 49.
Berdasarkan ambisi tersebut, Victor kemudian mulai mempelajari tentang berbagai eksperimen tidak lazim yang dibantu oleh pengajar lain yang
mendukungnya, Prof. M. Waldman. Waldman mengajarkan ilmu-ilmu yang tidak pernah didapatinya dari Krempe. Sebagai akibatnya, Victor merasa sangat optimis
dan berani menentang kekakuan sains, seperti yang ditunjukkan dalam uraian, sbb: “…I was surprised that among so many men of genius who had
directed their inquiries towards the same science, that I alone should be reserved to discover so astonishing a secret.
Remember, I am not recording the vision of a madman. The sun does not more certainly shine in the heavens than that which I now
affirm is true. Some miracle might have produced it, yet the stages of the discovery were distinct and probable” Shelley: 53.
“…aku terkejut karena di antara banyak orang jenius sudah mengarahkan penjabarannya terhadap ilmu pengetahuan yang sama,
maka aku sendiri yang akan menemukan rahasia yang mengherankan.
Ingat, aku bukan lah menjabarkan visi orang gila. Bahkan matahari pun tidak menyinari surga seperti apa yang kebenaran yang ku
tegaskan sekarang ini. Kemungkinan beberapa keajaiban lah yang menciptakannya, namun tahapan dari penemuannya berbeda dan
mungkin sifatnya” Shelley: 53.
Universitas Sumatera Utara
Namun tragisnya, satu-satunya orang yang mendukung ambisi-ambisi tersebut tewas terbunuh pada peristiwa vaksinasi cacar. Karena merasa kehilangan sekaligus
putus asa, Victor kemudian berusaha mencegah kematian dengan cara menciptakan sesosok manusia sempurna lewat serangkaian eksperimen sains yang tak lazim.
Ambisi tersebut kemudian direalisasikannya dengan penciptaan monster, yang terdiri dari potongan-potongan tubuh mayat manusia. Ungkapan-ungkapan tersebut
ditunjukkan, sbb: “No one can conceive the variety of feelings which bore me
onwards, like a hurricane, in the first enthusiasm of success. Life and death appeared to me ideal bounds, which I should first break
through, and pour a torrent of light into our dark world. A new species would bless me as its creator and source; many happy and
excellent natures would owe their being to me. No father could claim the gratitude of his child so completely as I should deserve
theirs. Pursuing these reflections, I thought that if I could bestow animation upon lifeless matter, I might in process of time although
I now found it impossible renew life where death had apparently devoted the body to corruption”Shelley: 55.
“Tidak ada yang dapat memahami berbagai macam perasaan yang membuatku bosan di waktu mendatang, bagaikan badai, dalam
langkah pertama antusiasme kesuksesan. Hidup dan mati sama saja bagiku, yang harus kutembus, dan taburkan cahaya ke dalam dunia
gelap kita. Sebuah spesies baru akan memberkatiku sebagai penciptanya; banyak keadaan gembira dan sempurna akan
berhutang budi kepadaku. Tak ada ayah yang dapat merasakan rasa terima kasih dari anaknya seperti yang akan kurasakan. Dengan
mengejar bayangan-bayang ini, aku berpikir untuk memberikan gerakan terhadap benda mati. Aku hanya tinggal menunggu waktu
walaupun kurasa mustahil untuk memperbaharui kehidupan di mana kematian mengabdikan kerusakan terhadap tubuh” Shelley:
55.
Universitas Sumatera Utara
Setelah berhasil menciptakan seorang monster, Victor kembali mengalami konflik batin sebagai akibat makhluk yang diciptakannya tersebut tidak sesuai dengan
apa yang diharapkannya. Ia berusaha menolak kenyataan, sekaligus sebagai reaksi dari rasa penyesalannya. Bertentangan dengan ambisi-ambisi yang semula ingin
direalisasikannya, mendadak Victor menarik diri dari kenyataan yang dihadapinya. Pernyataan tersebut dapat disimak, sbb:
“How can I describe my emotions at this catastrophe, or how delineate the wretch whom with such infinite pains and care I had
endeavoured to form?” Shelley: 58. “…but now that I had finished, the beauty of the dream vanished,
and breathless horror and disgust filled my heart. Unable to endure the aspect of the being I had created, I rushed out of the room and
continued a long time traversing my bed-chamber, unable to compose my mind to sleep” Shelley: 58-59.
“I passed the night wretchedly. Sometimes my pulse beat so quickly and hardly that I felt the palpitation of every artery… I felt the
bitterness of disappointment; dreams that had been my food and pleasant rest for so long a space were now become a hell to me;
and the change was so rapid, the overthrow so complete” Shelley: 59.
“Bagaimana caraku menggambarkan perasaanku atas bencana ini, atau bagaimana menggambarkan orang malang yang berusaha
kubentuk dengan rasa sakit dan rasa peduliku?” Shelley: 58. “…tapi sekarang aku telah menyelesaikannya, keindahan mimpi
sirna, dan kengerian juga kejijikan mengisi hatiku. Karena tak mampu menerima makhluk yang kuciptakan, aku berlari keluar
ruangan dan mengelilingi tempat tidurku, tak mampu untuk tidur” Shelley: 58-59.
“Aku melewatkan malamku dengan mengenaskan. Terkadang jantungku berdetak dengan kencang sampai aku merasakan debaran
di setiap arteri… aku merasakan kepahitan dalam kekecewaan; impian-impian yang tadinya merupakan makanan dan
Universitas Sumatera Utara
kenyamananku sekarang menjadi neraka bagiku; dan perubahan tersebut begitu cepat, kejatuhannya begitu hebat” Shelley: 59.
Selanjutnya, novel menceritakan tentang berbagai tragedi yang menimpa Victor
dan orang-orang yang disayanginya sebagai akibat monster yang diciptakannya merasa diabaikan dan ditinggalkan begitu saja. Pada tahap ini konflik
batin kembali terjadi di mana Victor merasa apatis dan mulai mengasihani dirinya sendiri. Hal tersebut dapat disimak, sbb:
“…I was seized by remorse and the sense of guilt, which hurried me away to a hell of intense tortures such as no language can
describe” Shelley: 93. “ ...I am a blasted tree; the bolt has entered my soul; and I felt then
that I should survive to exhibit what I shall soon cease to be-a miserable spectacle of wrecked humanity, pitiable to others and
intolerable to myself” Shelley: 165. “…aku dihantui penyesalan dan perasaan bersalah, yang mana
membawaku dengan cepat menuju neraka penuh siksaan yang tak dapat dijabarkan dengan bahasa manapun” Shelley: 93.
“ ...aku adalah pohon yang rusak; petir telah menyambar jiwaku; kemudian aku harus selamat untuk menunjukkan bahwa kelak aku
akan dijadikan tontonan, manusia rusak yang menyedihkan, dikasihani oleh orang lain dan diriku sendiri” Shelley: 165.
Sisa cerita novel dilanjutkan dengan amarah dan rasa dendam Victor terhadap monster yang diciptakannya. Ia terus mencari keberadaan monster tersebut untuk
mengakhiri semua penderitaan yang disebabkannya. “Yet at the idea that the fiend should live and be triumphant, my
rage and vengeance returned, and like a mighty tide, overwhelmed every other feeling. After a slight repose, during which the spirits of
Universitas Sumatera Utara
the dead hovered round and instigated me to toil and revenge, I prepared for my journey” Shelley: 210.
“Begitu berpikir jika iblis tersebut harus hidup dan berjaya, amarah dan rasa dendamku kembali muncul, dan ibarat ombak keras,
diliputi dengan perasaan lainnya. Setelah tidur sebentar, saat itu arwah-arwah mengelilingiku seakan menyuruhku untuk menuntut
balas, aku mempersiapkan perjalananku” Shelley: 210.
Universitas Sumatera Utara
BAB V BYRONIC HERO DAN SEJARAH KESUSASTRAAN
I N G G R I S P E R I O D E R O M A N T I S M E
5.1 Byronic Hero Sebagai Ciri Khas Lord Byron
Byronic Hero adalah suatu istilah penggambaran watak tokoh cerita sastra yang sangat khas; diperkenalkan pertama kali oleh George Gordon Byron Lord
Byron pada Era Romantik abad ke-19 di Eropa. Istilah Byronic dalam Byronic Hero itu sendiri merupakan adaptasi dari nama penciptanya. Lord Byron dikenal
sebagai pengarang era Romantik dengan karya-karya yang menantang. Ia sering melukiskan cerita tentang keindahan alam yang bersifat ‘liar’ seperti badai, gunung,
dan lautan. Dalam hal satir, banyak karyanya berisi kritik sosial yang dipicu oleh berbagai kelemahan sifat alami manusia human nature.
Lord Byron menggambarkan konsep tokoh Byronic sebagai sosok seseorang yang melankolis, jeli, menantang, namun dihantui oleh penyesalan atas rahasia-
rahasia kelam yang pernah dilakukan semasa hidupnya Bloom, 2009: 1. Dalam hal penokohan, Byronic Hero dianggap sangat khas dan cenderung kontroversial
dibandingkan dengan jenis tokoh protagonis pada umumnya. Perilaku-perilaku tersebut bahkan dianggap sangat tidak lazim dalam penggambaran suatu tokoh
protagonis. Menurut Thorslev Jr. 1962: 7, tokoh jenis ini sering juga disebut sebagai villainous hero atau pahlawan setengah jahat. Alasannya karena bermanifestasi
perilaku pendosa atau disebut sebagai ‘algolagnia’, yakni perilaku yang berlawanan
Universitas Sumatera Utara