2.3.2 Byronic Hero
Istilah Byronic Hero pertama kali dipopulerkan oleh Lord Byron 1788-1824 dalam karya-karyanya pada era Romantik di Inggris dan negara Eropa lainnya
romantic movement. Seperti yang dijelaskan pada bagian pendahuluan, Byronic Hero adalah suatu penokohan yang bersifat kompleks dan banyak mengalami
perubahan suasana hati mood, juga cenderung kontroversial. Dalam realisasinya, tokoh Byronic banyak digambarkan pengarang sebagai tokoh yang semula dianggap
antagonis, antara lain: setan, vampir, monster, ataupun tokoh kontroversial lainnya; namun pada akhirnya diketahui bahwa tokoh-tokoh ini sebenarnya bermanifestasikan
perilaku seorang pahlawan. Ciri tokoh Byronic sangat khas. Menurut Thorslev Jr. 1962: 7, Tokoh ini
sering juga disebut sebagai villainous hero atau pahlawan setengah jahat. Alasannya dikarenakan adanya manifestasi perilaku pendosa, atau disebut juga sebagai
‘algolagnia’, yakni perilaku yang berlawanan antara kegembiraan dan duka, rasa cinta dan rasa benci; kelembutan dan kekasaran yang bercampur menjadi satu.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti menggunakan konsep Byronic Hero untuk menemukan ciri-ciri perilaku yang digambarkan oleh penokohan Victor
Frankenstein dalam novel Mary Shelley Frankenstein. Penelitian akan menjelaskan tentang hal apa saja kah yang melatarbelakangi perilaku tersebut, hal apa sajakah
yang menjadi motivasi perilaku tersebut, dan bagaimana kah perilaku tersebut digambarkan dalam novel.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Postrukturalisme
Kemunculan aliran Postrukruralisme merupakan reaksi penyempurnaan sekaligus penentangan terhadap aliran Strukturalisme. Aliran tersebut dipopulerkan
Jacques Derrida pada awal abad ke-20 1980an di Perancis dan Amerika. Postrukturalisme merupakan sebuah aliran yang sangat berkembang dan mutakhir,
terutama dalam kajian sastra dan kritik sastra. Menurut pandangan Derrida, kekurangan pendekatan Strukturalisme linguistik terletak pada pengandalan
anggapan-anggapan pre-supposition yang tidak pernah dipertanyakan lagi, dan menggunakan konteks sains terlalu sempit. Derrida menentang hal tersebut dengan
konsepsinya mengenai desain sebagai suatu penyingkapan design as a closure, yang dilakukan dengan dekonstruksi deconstruction.
Lebih lanjut, kelemahan Strukturalisme dapat diidentifikasi sebagai berikut: a model analisis Strukturalisme, terutama pada awal perkembangannya dianggap
terlalu kaku sebab semata-mata berdasarkan kepada struktur dan sistem tertentu; b strukturalisme terlalu memberikan perhatian terhadap karya sastra sebagai kualitas
otonom, dengan struktur dan sistemnya, sehingga melupakan pengarang dan pembaca sebagai subyek manusianya; c hasil analisis Strukturalisme seolah-oleh difungsikan
untuk karya sastra itu sendiri intrinsik, bukan untuk kepentingan masyarakat secara luas ekstrinsik.
Secara definitif, Strukturalisme berarti suatu paham mengenai unsur-unsur, yakni struktur dengan mekanisme antarhubungan. Sebagai akibatnya, Strukturalisme
Universitas Sumatera Utara
kemudian direvisi oleh Postrukturalisme, yang mana mengakibatkan pergeseran estetika produksi ke arah estetika konsumsi: yakni menyamakan letak penerima
pembaca sebagai pencipta pengarang. Postrukturalisme menganggap bahwa makna teks tidak diproduksi melalui kontemplasi pasif, melainkan melalui partisipasi
aktif. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa makna tekstual berkaitan erat dengan konteks.
Postrukturalisme beranggapan bahwa bahasa tidak hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas obyektif belaka, melainkan terpisah sifatnya dari subyek
sebagai penyampai pernyataan. Subyek di sini diartikan sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana dan hubungan-hubungan sosialnya. Oleh karena itu,
Postrukturalisme meletakkan dekonstruksi sebagai elemen yang sangat penting dalam pengungkapan makna yang disembunyikan penulisnya hidden meanings.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan, Rancangan, dan Kerangka Model Penelitian
Format desain penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif, dengan analisis konten isi. Dalam penelitian kualitatif, penggunaan analisis isi lebih banyak
ditekankan pada bagaimana simbol-simbol yang ada dalam komunikasi itu terbaca dalam interaksi sosial; dan bagaimana simbol-simbol itu terbaca dan dianalisis oleh
peneliti. Oleh karena itu, kredibilitas peneliti menjadi amat penting, dan diharapkan mampu untuk merajut fenomena isi komunikasi menjadi fenomena sosial yang
terbaca oleh orang pada umumnya Bungin, 2007a: 158. Penelitian sosial yang menggunakan format deskriptif kualitatif bertujuan antara lain: untuk
menggambarkan berbagai kondisi dan situasi serta realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi obyek penelitian, dan berupaya menggambarkan realitas
tersebut sebagai gambaran tentang kondisi, situasi, atau realitas tertentu. Menurut Endraswara 2008: 5, ciri penting dari penelitian kualitatif dalam
sastra antara lain: “1 peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca
secara cermat sebuah karya sastra, 2 penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika
diperlukan, bukan berbentuk angka, 3 lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena
yangbanyak mengundang penafsiran, 4 analisis secara induktif, dan 5 makna merupakan andalan utama”.
Universitas Sumatera Utara