Byronic Hero Sebagai Representasi Diskriminasi Jenis Kelamin

Sang Monster merasa teraniaya. Asumsi tersebut dikaitkan pada peristiwa Perang Napoleon pada tahun 1799-1815, di mana Perancis dan Jerman terlibar adu sentimen.

6.4.3 Byronic Hero Sebagai Representasi Diskriminasi Jenis Kelamin

Novel Mary Shelley Frankenstein juga mengangkat tema diskriminasi jenis kelamin, yang mana menggambarkan wanita sebagai sosok yang tak berdaya, menjadi suatu posesi layaknya benda yang dimiliki, dan teraniaya. Shelley menggambarkan bagaimana wanita diperlakukan pada tahun 1800an. Wanita di sini seakan-akan diposisikan sebagai warga kelas dua, yang mana terbebani oleh dominasi kaum pria. Hal tersebut dapat disimak melalui berbagai kejadian yang mendiskriminasikan kaum wanita dalam alur cerita, di mana kedua tokoh wanita, Justine dan Elizabeth, rentan terhadap penyakit, mengalami kematian tragis, dan menjadi obyek eksperimen. Selain itu, novel digambarkan dalam suasana masyarakat patriarki, di mana pria digambarkan sebagai sosok yang mendominasi, dan wanita diharuskan menuruti semua keinginan kaum pria. Berdasarkan penggambaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tokoh wanita memiliki peran yang sangat kecil dan kurang penting nilainya di dalam novel. Mari kita simak kutipan berikut: “Elizabeth had caught the scarlet fever; her illness was severe, and she was in the greatest danger” Shelley: 44. “Elizabeth terjangkit demam berdarah; sakitnya sangat parah, dan dia dalam bahaya besar” Shelley: 44. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan ungkapan Victor tersebut, dapat diketahui bahwa ia beranggapan Elizabeth tidak akan selamat dari sakit yang dideritanya. Secara psikologis, ia menganggap bahwa kaum wanita tidak akan bisa selamat dari penyakit demam berdarah. Selain itu, di dalam novel, yang dijangkiti penyakit tersebut hanya kedua tokoh wanita Elizabeth dan Caroline pada saat yang bersamaan, sementara tidak ada satupun tokoh pria yang digambarkan menderita penyakit serupa di dalam novel. “…early marriage would at all interfere with any future plans of honour and utility…” Shelley: 156. “…pernikahan dini akan menyimpulkan rencana masa depan akan kehormatan dan kebutuhanmu…” Shelley: 156. Berdasarkan ungkapan tersebut dapat diketahui bahwa wanita disini hanya dijadikan obyek seksualitas alat pemuas. Hal tersebut dapat dipahami, karena pada abad ke-19 wanita hanya berperan sebagai pengurus rumah tangga dan pemuas kebutuhan seksual pasangan semata. “All praises bestowed on her, I received as made to a possession of my own” Shelley: 37. “Segala pujian dihibahkan kepadanya, aku menerimanya bagaikan ia milikku” Shelley: 37. Ungkapan di atas memposisikan wanita sebagai obyek, bukan sebagai individu. Wanita di sini diibaratkan sebagai benda yang harus dimiliki, tanpa mempertimbangkan unsur perasaan, melainkan disebabkan oleh ketertarikan semata. Berikutnya, diskriminasi terparah digambarkan oleh monolog Sang Monster terhadap Justine yang sedang tertidur akibat kelelahan mencari keberadaan William: Universitas Sumatera Utara “…not I, but she, shall suffer; the murder I have committed because I am forever robbed of all that she could give me, she shall atone” Shelley: 145. “…bukan aku, tapi dia; yang akan menderita; atas pembunuhan yang kulakukan karena aku akan selamanya merasa terampas dari semua yang mungkin dapat diberikannya kepada ku, dia akan menebusnya” Shelley: 145. Berdasarkan ungkapan di atas, dapat diketahui bahwa Sang Monster mendiskriminasikan sekaligus memanfaatkan sosok tak bersalah yang dimiliki Justine sebagai penebus perbuatan kejinya. Sang Monster beranggapan jika ia tak mampu memiliki Justine, maka ia harus mati. Oleh karena itu, maka sosok wanita untuk kesekian kalinya digambarkan di sini sebagai obyek, dan penanggung derita atas dominasi pria.

6.4.4 Byronic Hero Sebagai Representasi Ketidakadilan Sosial