bawah umur. Selain itu, produksi massal mengakibatkan jam kerja yang sangat tidak manusiawi, yang mana memaksa para buruh bekerja siang dan malam tanpa hari
libur. Sebagai dampaknya, banyak anak di bawah umur dimulai dari usia enam tahun sudah bekerja selama 14 jam sehari, dan banyak di antaranya meninggal akibat
kecelakaan kerja. Sebagai reaksi perlawanan terhadap Revolusi Industri, muncul suatu gerakan
ideologi yang disebut dengan Luddity, yakni kelompok pemberontak yang terdiri dari gabungan buruh serikat pekerja. Kelompok tersebut menganggap Revolusi Industri
terbukti telah merugikan rakyat dengan adanya perampasan lahan, eksploitasi, dan kapitalisme. Sebagai bentuk protes, Luddity tersebut melakukan pengerusakan alat-
alat pabrik dan melakukan pemogokan kerja.
6.2 Representasi Sebagai Ciri Postrukturalisme
Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, Mary Shelley berasal dari keluarga yang berpemikiran radikal. Ayahnya adalah seorang filsuf ilmu sosial dan
ibunya adalah seorang tokoh feminis; selain itu Shelley juga bersuamikan seorang penulis Romantik terkenal. Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti bahwa
Shelley banyak dipengaruhi oleh berbagai permasalahan sosial social issues dalam penulisan novel Mary Shelley Frankenstein.
Shelley menyuarakan semacam satir Byronic Hero yang dimanifestasikan ke dalam tokoh Victor Frankenstein; yang mana menggambarkan perasaan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
yang ‘teraniaya jiwanya’ oleh dampak Revolusi Industri di Eropa. Sebagai hasilnya, Byronic Hero menjadi suatu representasi dari keadaan kaum yang tertindas. Persepsi
sikap kepahlawanan heroisme yang direpresentasikan jenis penokohan tersebut bersifat mendekonstruksi membongkar prinsip hidup dan pemikiran yang berlaku di
masyarakat abad Romantik pada saat itu, yang mana bersifat terlalu kaku dan mengungkung.
Representasi secara sederhana dapat dimaknai sebagai perwakilan atau peniruan, yang mana merupakan salah satu kunci dalam teori-teori postrukturalisme.
Postrukturalisme lahir sebagai akibat penolakan sekaligus penyempurnaan terhadap teori-teori strukturalisme Ferdinand de Saussure. Lahirnya teori-teori postrukturalis
merupakan penolakan terhadap oposisi biner versi Strukturalisme, narasi-narasi besar, dan berbagai bentuk hegemoni kekuasaan. Tujuannya adalah untuk proyeksi
multikultural, membangkitkan kebudayaan minoritas, dan kebudayaan lain yang terpinggirkan oleh kebudayaan dominan.
Postrukturalisme berfokus terhadap kerja diskursif pola linguistik yang memproduksi subjektivitas dan identitas Mumbly dan Putnam, 1992. Dengan
demikian, postrukturalisme berkonsentrasi pada permasalahan metode dan epistemologi diskursus bahasa, makna dan simbol yang didekonstruksi. Menurut
pandangan konsep postrukturalisme, teks tidak hanya difungsikan untuk menampilkan atau merepresentasikan suatu realitas, melainkan untuk memproduksi
suatu realitas baru.
Universitas Sumatera Utara
Lebih lanjut, peran penting representasi dikaitkan dengan postrukturalisme dijelaskan oleh Ratna 2008: 123 sebagai berikut.
Representasi merupakan salah satu masalah sangat penting dalam teori-teori postrukturalisme. Secara umum diartikan sebagai
perwakilan. Sebagai perwakilan pada dasarnya representasi tidak berbeda dengan simbol, tanda, dan lambang, yang secara definitif
berarti mewakili sesuatu yang lain, sebagai pengganti objek faktual. Perbedaannya, apabila simbol lebih bersifat arbitrer, representasi
lebih bersifat pragmatis, strategis, bahkan politis.
Jika ditindau dari sejarah kemunculannya, postrukturalisme lahir melalui penolakan sekaligus penyempurnaan terhadap teori-teori strukturalisme. Untuk
memahami teori postrukturalisme yang menggunakan hermeneutika sebagai metodenya, maka berikut ini dijelaskan berbagai prinsip yang sangat mendasar pada
pemikiran Saussure mengenai teori semiotika Piliang, 2003: 44-46. Pertama, prinsip struktural. Saussure memandang relasi tanda
sebagai relasi struktural, yang di dalamnya tanda dilihat sebagai sebuah kesatuan antara sesuatu yang bersifat material, yang oleh
Roland Barthes – sebagai penerus Saussure- disebut penanda signifier dan sesuatu yang bersifat konseptual, yang disebut
petanda signified. Dalam kaitan inilah, semiotika yang dikembangkan Saussure biasa disebut Semiotika Struktural dan
kecenderungan ke arah pemikir ini disebut Strukturalisme. Kedua, prinsip kesatuan. Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan antara bidang penanda yang bersifat konkrit atau material Suara, tulisan, gambar, objek dan bidang petanda
konsep, ide, gagasan, makna, seperti dua sisi dari selembar kertas yang tidak mungkin dipisahkan. Ketiga, prinsip konvensional.
Relasi struktural antara sebuah penanda dan petanda, dalam hal ini, sangat bergantung pada apa yang disebut konvensi, yaitu
kesepakatan sosial tentang bahasa tanda dan makna di antara komunitas bahasa. Keempat, prinsip sinkronik. Keterpakuan pada
relasi struktural menempatkan semiotika struktural sebagai sebuah kecenderungan kajian sinkronik yaitu kajian tanda sebagai sebuah
sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang di anggap konstan,
Universitas Sumatera Utara
stabil, dan tidak berubah. Kelima, prinsip representasi. Semiotika struktural dapat dilihat sebagai sebuah bentuk representasi dalam
pengertian sebuah tanda merepresentasikan suatu realitas yang menjadi rujukan atau referensinya. Keenam, prinsip kontinuitas.
Ada kecenderungan pada semiotika struktural untuk melihat relasi antara sistem tanda dan penggunaanya secara sosial sebagai sebuah
kontinum yang dalam konteks semiotika dapat disebut sebagai semiotik kontinum yaitu sebuah relasi waktu yang berkelanjutan
dalam bahasa, yang di dalamnya berbagai tindak penggunaan bahasa selalu secara berkelanjutan mengacu pada sebuah sistem
atau struktur yang tidak pernah berubah, sehingga di dalamnya tidak dimungkinkan adanya perubahan radikal pada tanda, kode,
dan makna.
Shelley menggambarkan penokohan Byronic Hero sebagai ungkapan realitas kondisi sosial, budaya, dan politik yang terjadi pada masyarakat abad ke-19.
Penguasaan Shelley terhadap imajinasi tokoh Byronic Hero merupakan kemampuan Shelley dalam merepresentasikan permainan bahasa language games. Peran penting
bahasa tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Dalam karya sastra, representasi dimediasi oleh bahasa melalui
narasi, plot, citra, gagasan, dan berbagai peralatan literer lain, yang secara keseluruhan disimpulkan dalam ide pokok, seperti: pesan,
tema, dan pandangan dunia Ratna, 2008: 125.
Berangkat dari keterangan tersebut, peneliti berhasil menemukan representasi yang dikemukakan Shelley dalam novel Mary Shelley Frankenstein antara lain, sbb:
a. Sosok Penguasa
Dominator Sosok penguasa atau sosok yang mendominasi digambarkan oleh Shelley
dalam penokohan Victor Frankenstein, di mana ia diceritakan sebagai tokoh yang berkuasa atas jalan hidup orang lain. Victor diposisikan ibarat seorang dewa yang
Universitas Sumatera Utara
menciptakan suatu bentuk kehidupan baru demi memenuhi idealisme yang diinginkannya, tanpa memikirkan nasib yang akan diderita oleh orang yang
didominasinya. Ungkapan tersebut disampaikan, sbb: ”When I found so astonishing a power placed within my hands, I
hesitated a long time concerning the manner in which I should employ it” Shelley: 54.
”Ketika aku mengetahui adanya kekuatan yang begitu mencengangkan di kedua tanganku, aku meragukan bagaimana cara
menindaklanjutinya Shelley: 54.
b. Sosok Yang Terzalimi Dominated
Sosok yang terzalimi atau sosok yang terdominasi digambarkan oleh Shelley dalam penokohan Sang Monster, di mana ia diceritakan sebagai tokoh yang sering
mengalami ketidakadilan atas kekuasaan orang lain. Ungkapan tersebut disampaikan, sbb:
“You, my creator, abhor me; what hope can I gather from your fellow-creatures, who owe me nothing? they spurn and hate me”
Shelley: 103. “Kau, penciptaku, membenciku; harapan apa yang harus
kudapatkan dari makhluk sejenismu, yang tidak berhutang apapun kepadaku? mereka menolak dan membenciku” Shelley: 103.
Berdasarkan kutipan-kutipan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dominasi di sini berarti kekuasaan yang bersifat politis, yang berakibat merugikan
kaum yang didominasi. Kekuasaan tersebut diperlambangkan dengan penolakan- penolakan Victor dan manusia lainnya terhadap Sang Monster sebagai representasi
Universitas Sumatera Utara
kelas sosial, dengan sudut pandang analogi logis: kesempurnaan fisik Victor sebagai representasi kaum aristokrat, dan kecacatan fisik Sang Monster sebagai representasi
kaum kelas bawah.
6.3 Romansa Gotik Sebagai Reaksi Bagi Era Revolusi Industri