Dekonstruksi Sebagai Teror NOVEL MARY SHELLEY FRANKENSTEIN KARYA MARY SHELLEY

tak bersalah dan eksekusi mati tanpa terlebih dahulu menelusuri fakta secara seksama, yang mana bertentangan dengan hati nurani dan moral manusia.

6.5 Dekonstruksi Sebagai Teror

Dekonstruksi menurut Oxford Companion to English Literature: Sixth Edition 2000 adalah model yang diperkenalkan Jacques Derrida, yakni sebuah pendekatan terhadap suatu teks; yang lazim dilakukan terhadap teks-teks sastra maupun teks-teks filsafat; dengan cara membongkar makna tersembunyi dalam teks untuk memperoleh berbagai kemungkinan makna yang bersifat definitif. Dekonstruksi pada umumnya lazim dimengerti sebagai ‘pembongkaran’. Sebagai varian Teori Sosial Kritis dengan latar belakang pemikiran Marxisme, postrukturalisme membongkar oposisi biner tersebut sesuai dengan pandangan teori konflik dalam mehahami konstruksi sosial masyarakat seperti yang dijelaskan oleh Bungin 2007b: 90: dalam melakukan dekonstruksi, teks dianalisis berdasarkan ungkapan-ungkapan yang saling bertentangan oposisi konseptual, yang mana pada akhirnya menunjukkan adanya suatu makna politis yang disembunyikan. Kajian-kajian mengenai realitas sosial dapat dimulai dari teori dekonstruksi yang dikemukakan oleh Derrida dan Habermas; dan dapat juga dilihat dari teori konstruksi sosial yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial sebagai objek yang didekonstruksi; sementara konstruksi sosial Berger dan Luckmann menggunakan dekonstruksi sebagai bagian Universitas Sumatera Utara analisisnya, yakni tentang bagaimana individu melakukan konstruksi sosial tersebut. Dengan demikian, kedua gagasan tersebut membentuk dua kutub dalam satu garis linear ataupun satu garis vertikal saling berkaitan. Semenjak kemunculan kesusastraan Gotik pada abad ke-19, unsur teror dan horor dijadikan fokus utama yang digunakan untuk menyuarakan rasa takut, ambisi, dan kecemasan yang melanda masyarakat sebagai akibat dari kapitalisme Beville, 2009: 23. Unsur-unsur tersebut merupakan suatu kenyataan simbolis terhadap pemaknaan terhadap sejarah terjadinya hegemoni dalam kehidupan bermasyarakat. Menjelang akhir abad ke-18, pencitraan Gotik tersebut digambarkan dalam suatu cara baru; yakni Romansa Gotik. Genre tersebut tidak lagi berbicara tentang hantu dan makhluk gaib, namun merepresentasikan teror dan horor melalui tindak kekerasan, pembunuhan, dan hilangnya makna juga keyakinan. Penyertaan unsur Gotik dalam karya sastra dapat dikatakan sebagai suatu cara untuk mengungkapkan paradigma postrukturalisme; yakni sebuah karya sastra yang bersifat eksperimental, radikal, dan sering berbau metafiksi, yang mana berfokus terhadap hubungan antara kenyataan dengan fiksi, dan pembaca dengan teks Beville: 2009. Berkaitan dengan hal tersebut, unsur Gotik adalah suatu perwakilan keadaan yang melambangkan berbagai bentuk teror dan horor, yang difungsikan sebagai sarana penyampaian makna dalam karya sastra. Dengan demikian, peran dekonstruksi pada tahap ini adalah untuk mengungkapkan makna yang disembunyikan oleh pengarang terhadap pembacanya. Universitas Sumatera Utara Beville 2009: 49 menjelaskan teror yang erat kaitannya dengan kematian dan ketakutan dalam hubungannya dengan dekontruksi seperti di bawah ini: “Derrida’s deconstructive view of genre and his theories on hauntology are extremely relevant, as the forthcoming analyses by and large take a poststructuralist approach to literature and genre definition. The philosophy of Baurdillard is also pertinent to this examination of Gothic-postmodernism as a self-conscious response to the terrors that haunt our culture of fear and our obsession with ‘the end’. The psychoanalytic analyses of Žižek, similarly, can offer insights into the functions of many Gothic-postmodernist techniques and the execution of its thematic explorations, most notably through the idea of symbolic death, and ‘the Thing”. “Pendapat dekonstruktif Derrida terhadap aliran dan teorinya tentang hauntology adalah sangat relevan sebagai analisis selanjutnya, yang mana dilakukan oleh kaum postrukturalis terhadap karya sastra dan definisi genre. Filosofi Baurdillard juga berkaitan dengan pengungkapan Gotik-posmodernisme sebagai respons setengah sadar terhadap teror-teror yang menghantui budaya kita mengenai rasa takut dan obsesi akan ‘masa penghabisan’. Senada dengan hal tersebut, psikoanalisis Žižek dapat menjelaskan pengertian fungsi-fungsi dari berbagai teknik Gotik- posmodernis dan eksekusi terhadap penjelajahan tema, terutama melalui ide akan kematian simbolis, dan ‘Sang Makhluk’”. Menurut Beville 2009 Romansa Gotik seperti Mary Shelley Frankenstein adalah bersifat diskursif dengan representasi subyek yang terfragmentasi terpecah- pecah, maka dalam hal ini pendekatan ekstrinsik memegang peranan penting. Dalam genre ini, diskursus tersebut diwarnai dengan penyertaan unsur perasaan mengasihani diri sendiri self-irony yang dilakukan oleh tokoh-tokohnya, yang difungsikan sebagai representasi perlawanan terhadap masyarakat tendensi mainstream yang cenderung mendominasi masyarakat minoritas Beville, 2009: 16. Representasi yang Universitas Sumatera Utara dimaksud merupakan bayangan dari sesuatu yang nyata dan ada dengan teror sebagai diskursus politiknya. Untuk memperkuat pernyataan peneliti tentang genre tersebut, Stam Beville, 2009: 19 menjelaskan bahwa menurut sudut pandang kaum postrukturalis, penjelasan peneliti tentang suatu genre tentunya merupakan suatu hasil konstruksi yang dibangun oleh penelitinya sendiri. Karya sastra diciptakan pengarang bukan untuk sekedar dibaca; melainkan untuk ditafsirkan nilai-nilainya terutama berkaitan dengan nilai moral dan nilai sosial. Melalui Romansa Gotik, Mary Shelley melakukan penyingkapan negativitas konstruksi sosial masyarakat barat abad ke-19 dengan unsur teror dan horor sebagai diskursusnya. Lebih lanjut, Beville 2009: 16 menjelaskan: “Its fascination with terror, the negative and the irrational, and its hostility toward accepted codes of reality, place it firmly in the realm of revolution. What is often terrifying is that this revolution is against humanity itself… Through the terror of Gothic- postmodernist texts, we can question our own unconscious fears, beliefs, and prejudices, not only in terms of the desire that instigates them, but also in terms of the repercussions for society in general”. “Pesonanya yang berkaitan dengan teror, yang terkesan negatif dan tidak rasional, dan pertentangannya terhadap aturan-aturan di dunia nyata, meletakkannya secara jelas dalam ranah revolusi. Apa yang dianggap mengerikan adalah bahwa revolusi tersebut melawan rasa kemanusiaan itu sendiri… Melalui teror teks Gotik-posmoderenis, kita dapat mempertanyakan rasa takut, kepercayaan-kepercayaan, dan prasangka-prasangka yang tidak kita sadari, yang tak hanya digunakan untuk menghasut, namun juga sebagai akibat dari apa yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya”. Fungsi unsur-unsur tersebut adalah untuk dijadikan semacam peringatan warning yang direpresentasikan melalui sebab akibat dalam penggambaran cerita novel terhadap kaum yang mendominasi. Dengan kata lain, unsur teror dan horor Universitas Sumatera Utara tersebut difungsikan sebagai hal apa yang akan terjadi jika kaum penguasa mengabaikan permasalahan yang terjadi di kehidupan bermasyarakat. Lebih lanjut, Burke Botting, 2008: 37 menggambarkan peringatan tersebut, sbb: “everything seems out of nature in this strange chaos of levity and ferocity, and of all sorts of crimes jumbled together with all sorts of follies. In viewing this monstrous tragicomic scene, the most opposite passions necessarily succeed and sometimes mix with each other in the mind: alternate contempt and indignation, alternate laughter and tears, alternate scorn and horror”. “semuanya seakan tidak masuk akal di dalam kekacauan sikap sembrono dan keganasan ini, dan semua campur aduk jenis kejahatan dengan semua kebodohan. Dengan memandang adegan tragis dan mengerikan ini, gelora-gelora yang berlawanan dapat berhasil dan terkadang dicampur dengan perasaan-perasaan lainnya: perubahan kejijikan dan kemarahan, perubahan tangisan dan tawa, perubahan caci maki dan horor”. Sosok monster yang digambarkan Shelley dalam Mary Shelley Frankenstein mengisyaratkan teror yang dapat diakibatkan oleh kekakuan sistem yang berlaku di kehidupan bermasyarakat. Sang Monster menjadi dendam dan bertindak keji karena ia merasa terasingkan dari kelas masyarakat dan karena dihina berdasarkan penampilannya. Lebih lanjut, Botting 2008: 122 menjelaskan, sbb: “In disclosing the phantasmatic process of making monsters, however, Shelley enables the monstrosity of the system to be displayed in much the same way that the creature’s interrogations in Frankenstein, disclose the monstrosity of the systems that made him”. “Dalam menyingkap proses ‘kehantuan’ penciptaan monster- monster, Shelley menunjukkan kesamaan terorhoror monstrosity terhadap sistem dalam interogasi dalam Frankenstein, yang mana mengungkap kekacauan sistem terhadapnya”. Universitas Sumatera Utara Penyertaan unsur teror dan horor yang digunakan oleh pengarang Romansa Gotik seperti Mary Shelley difungsikan sebagai suatu peringatan dan dampak negatif dari ketidakadilan. Dalam Mary Shelley Frankenstein, Shelley menceritakan bahwa suatu kekuasaan dapat saja digulingkan, dan suatu keadaan tertentu dapat diputarbalikkan. Hal tersebut merupakan perlambangan suatu pemberontakan terhadap norma sosial yang membelenggu kaum-kaum yang terzalimi kaum proletariat dan masyarakat kelas bawah lainnya. Dengan kata lain, diskriminasi dan ketidakadilan dapat memaksa seseorang untuk berbuat keji. Karena pada hakikatnya, pemberontakan terhadap norma yang berlaku di masyarakat diakibatkan oleh tidak terpenuhinya hak asasi. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa unsur teror dan horor sebenarnya difungsikan pengarang Romansa Gotik seperti Mary Shelley sebagai tujuan pengendalian perilaku masyarakat kontrol sosial. Romansa Gotik sebagai kontrol sosial masyarakat diyakini telah membawa banyak perubahan terhadap peradaban manusia terutama terhadap peradaban masyarakat barat, antara lain yakni: 1 kesadaran masyarakat akan pentingnya demokrasi dan peyetaraan hak hidup sebagai manusia, 2 meningkatkan toleransi dan tenggang rasa dalam kehidupan bermasyarakat, 3 menghapus jurang pemisah antara kaum penguasa dan masyarakat umum, 4 kemunculnya karya-karya sastra serupa yang menyuarakan tema permasalahan sosial, dsb. Dalam novel Mary Shelley Frankenstein, Mary Shelley menyingkap negativitas konstruksi sosial masyarakat barat abad ke-19 melalui representasi Universitas Sumatera Utara Byronic Hero. Negativitas tersebut ditunjukkan dengan adanya berbagai diskriminasi dan ketidakadilan sosial dalam kehidupan sosial masyarakatnya; sementara teror dan horor digunakannya untuk menunjukkan pentingnya sebuah kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Selain itu, Shelley berusaha menyadarkan masyarakat untuk memberontak dari penzaliman sekaligus membangkitkan semangat masyarakat dalam tujuan melakukan rekonstruksi sosial yang bersifat manusiawi. Dengan demikian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Shelley sebenarnya berusaha untuk memfungsikan karyanya sebagai pembelajaran masyarakat yang bersifat emansipatoris demi meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia. Universitas Sumatera Utara

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Mary Shelley Frankenstein karya Mary Shelley merupakan sebuah karya sastra Romansa Gotik yang menceritakan tentang kisah seorang ilmuwan bernasib tragis bernama Victor Frankenstein, yang berambisi menciptakan seorang monster dari potongan-potongan tubuh mayat manusia melalui serangkaian eksperimen sains yang tidak lazim. Semenjak penerbitan novel pada tahun 1818, dunia Kesusastraan Inggris dikejutkan dengan pencitraan kisah khas Romantik yang berlatar-belakangkan suasana Gotik; yang mana merupakan suatu warna baru dalam Kesusastraan Romantik. Novel Mary Shelley Frankenstein diceritakan dalam bentuk cerita berbingkai, dengan alur campuran yang terdiri atas tiga bagian cerita dengan sudut pandang orang pertama, yang mana kesemuanya menggambarkan kisah hidup tiga tokoh yang mempengaruhi jalan cerita novel tersebut, antara lain seperti: Kapten Robert Walton, Victor Frankenstein, dan Sang Monster. Interpretasi dianggap sebagai faktor kunci untuk memahami secara jelas permasalahan yang digambarkan dalam Kesusastraan Romantik. Pada era Romantik, unsur utama sastra adalah ekspresi, luapan, atau ungkapan hati pengarangnya; yang mana merupakan hasil imajinasi pengarang dalam menjabarkan pandangan, Universitas Sumatera Utara